11. Takkan Ada yang Tersakiti
Hati berbisik lirih
Mengharapmu untuk kembali
Kupaham kamu takkan bisa
Kan kusimpan segala angan
-Kaleb J.-
.
.
.
Sebenarnya memang terasa lucu jika Ardhani ingat.
Setelah bertahun lamanya tak bertemu dengan Adam, ia kembali berkomunikasi dengan lelaki itu lewat Madam Rose. Catat. Madam Rose. Dating apps yang disarankan Jeya untuk ia coba, demi melupakan Bintang yang tak pernah menganggapnya 'ada'.
Adam sangat menyebalkan di awal pembicaraan. Bahkan masih seperti itu hingga di awal-awal pertemuan. Namun lambat laun Ardhani sadar, dirinya lah yang sebenarnya tak bisa beradaptasi cepat dengan tetangga yang memergokinya mencari pasangan lewat aplikasi. Ia terlalu malu, bahkan terlalu gengsi untuk terlihat 'belum laku' di hadapan Adam.
Astaga ... Ardhani selalu bergidik tiap kali mengingat momen kejujurannya di hadapan Adam.
Perlahan tapi pasti, keadaan telah menjungkirbalikkan semua tatanan kehidupan Ardhani. Mulai dari membiasakan diri menjadi adik yang baik untuk Aofar, memutuskan menyerah akan Bintang yang bertahun-tahun bertahta di hatinya, hingga menjalin hubungan baik dengan Adam si 'nyebelin' yang tak pernah ia sangka akan hadir dalam kesehariannya.
Di mata Ardhani, Adam adalah laki-laki yang perhatian, dan sopan. Walau sedikit gengsi untuk mengakuinya secara gamblang, Ardhani juga mengakui bahwa Adam adalah salah satu laki-laki terbaik yang pernah ia temui. Adam bertindak dan bertutur sesuai porsi. Pas, tak kurang dan tak lebih.
Namun di balik apa yang ia yakini, benarkah laki-laki yang sedang girang menyantap makanan di hadapannya saat ini pernah melakukan hal yang tak bisa ia toleransi?
"Enak juga. Beli di mana?"
Ardhani mengerjap, terbangun dari lamunan dan pertanyaannya sendiri. Ia melihat Adam tengah menancapkan sedotan pada susu kotak rasa stroberi, lalu mengegser benda tersebut di hadapan Ardhani.
"Deket kantor." Ardhani meminum susunya perlahan.
"Acara makan-makan kantor?"
"Bukan. Diajak Bang Arman."
"Berdua doang?"
"Berempat sama Kak Binar dan Bintang."
"Oh..."
Ardhani melirik jam tangannya. "Aku pulang ya, Dam. Besok masih harus kerja."
Adam menghentikan suapan, lalu turut berdiri. "Oh iya. Makasih buat makanannya."
"Hutangku udah lunas."
"Hutang apa?"
"Kasih kamu makanan western."
"Hah?" Adam tertawa saat berjalan mengantar Ardhani keluar. "Hutang apaan sih?"
"Kamu kan pernah nggak bisa makan itu karena aku." Ardhani mengenakan helm sambil menatap Adam yang mengeluarkan motornya dari parkiran.
"Oh ... kalau gitu berarti hutang kamu belum lunas."
Ardhani yang sudah duduk di atas motornya, melotot tak terima. "Kok gitu?"
"Aku yakin, yang bayarin makanannya pasti Bang Arman, kan?"
Bibir Ardhani terkunci karena tak bisa membantah.
"Lain kali traktir aku di sana." Adam mendekat, mengaitkan tali pengikat helm Ardhani. "Baru hutang kamu bisa disebut lunas."
Ardhani masih terdiam. Bukan karena tak bisa membantah, namun karena cukup terkejut dengan apa yang ia alami baru saja.
"Hati-hati di jalan."
"Hm," gumam Ardhani pada akhirnya.
.
.
.
Ah ... Ardhani kira ia tak bisa merasakan debaran jantung sekencang ini lagi.
.
.
.
"Bang?"
"Ha?"
"Bang Aofar?"
"Apa?"
Ardhani sedikit ragu menanyakan hal yang sejak perjalanan tadi mengganggunya. "Bang?" panggilnya sekali lagi.
"Apaan sih, Dhan?" Aofar meletakkan ponselnya, menghentikan permainan Fruit Ninja. "Dari tadi manggil mulu mecah konsentrasi."
"Bang Aofar tahu nggak, kalau Adam nggak jadi nikah karena selingkuh?"
Kedua pupil Aofar melebar. "Kamu denger dari mana?"
"Temennya."
"Bobby sama Axel, ya?"
"Nggak tahu namanya."
"Bobby yang rambut item klimis. Axel yang pirang."
Ardhani mengangguk. "Oh, iya. Mereka."
Aofar menghela napas dan menggaruk kepala. "Yang Abang denger sih gitu."
"Berarti bener?" Dapat Ardhani rasakan, jantungnya mulai berdegup kencang.
"Nggak tahu juga, ya. Abang nggak pernah nanyain langsung ke Adam."
"Kenapa?"
"Karena Abang nggak kepo kaya' kamu."
Ardhani seketika menekuk muka.
"Dih, jelek amat mukanya."
Dengan langkah menghentak, Ardhani berdiri dan berjalan menuju tangga.
"Lagian ngapain kepo sama kehidupan pribadi Adam, sih? Tumben amat."
"Nggak! Siapa juga yang kepo?" sahut Ardhani kencang dari arah tangga.
"Abang telponin deh biar kamu tahu jawabannya."
"BANG AOFAR!"
"Halo, Dam. Lagi di mana?"
Sekuat mungkin Ardhani berlari kencang dan menubruk Aofar hingga terjungkal ke sofa. Aofar tertawa kencang, sedangkan Ardhani berusaha meraih ponsel kakak keduanya itu.
"Iya iya, Dhan. Canda. Hahaha. Aelaaah."
"Awas, ya!"
"Iya, Ardhaniiiii. Allahu Akbar."
Suara gaduh mereka pun menghiasi rumah yang terlampau lama terasa hening dan tenang itu.
***
Sialnya ... perkataan Aofar cukup mengganggu Ardhani hingga keesokan hari.
"Lagian ngapain kepo sama kehidupan pribadi Adam, sih? Tumben amat."
Ardhani yang sedang memanaskan mesin motornya pun menggeleng kencang. Ia tidak merasa seingin tahu itu sebenarnya. Hanya saja ....
"Duh, apa sih? Cuma pengen tahu aja. Nggak kepo. Apa sih itu namanya?" gumamnya sendiri.
"Nanti malam nggak ada acara, kan?"
Sekonyong-konyong Ardhani berjingkat di atas motornya. Di depan gerbang, nampak Adam yang sedang menaiki sepeda.
"Bayar hutangnya nanti aja."
"Hah?" Hanya itu yang bisa Ardhani ungkapkan.
"Berangkat jam setengah tujuh, ya?"
"Hah, apaan sih?" Ardhani turun dan membuka gerbang. "Maksudnya apa?"
Adam malah tersenyum. Kontras dengan wajah Ardhani yang masih nampak bingung.
"Nanti malam. Di restoran western yang kamu ceritain kemarin. Traktir aku di sana."
"Nanti?"
"Iya. Kenapa? Ada acara?"
Ardhani menggeleng.
"Nah, sip." Adam siap mengayuh sepedanya. "Ketemu nanti, ya? Aku jemput."
"Setelah ini mau ke mana?" Belum sedetik mengatakan hal itu, Ardhani mengutuk reflek mulutnya yang berbasa-basi murahan.
"Nggak ke mana-mana. Cuma mau ke sini nemuin kamu."
Ardhani menarik napas dalam-dalam. "Oh," gumamnya kemudian.
"Semalam sampai rumah jam berapa?"
"Setengah sembilan." Ardhani membuka gerbang rumahnya lebih lebar. "Kamu pulang subuh lagi?"
"Nggak. Kemarin kelar cepet. Pulang sekitar jam satu."
"Kok cepet?"
"Karena kebetulan materinya dikit."
"Oh ..."
"Tadi sarapan apa?"
.
.
.
Tanpa terasa, rangkaian obrolan kecil Ardhani dengan Adam pagi ini membuatnya telat masuk kerja.
***
Sepanjang perjalanan pulang kerja, Ardhani mengingat semua dress yang ia punya. Sepertinya tak begitu banyak, namun Ardhani yakin ia punya beberapa lembar di lemari bagian bawahnya yang jarang ia buka.
Siang ini cuaca tak seterik biasanya. Cerah, namun masih terasa bershabat di kulit para pengendara. Harusnya nanti malam cuaca pun masih sama baiknya. Ya, Ardhani berharap begitu karena ia tak ingin dress dan natural make-up yang rencananya akan ia kenakan malam nanti akan berakhir sia-sia.
Kening Ardhani berkerut saat melihat mobil yang ia kenal terparkir di depan gerbang. Semangat dan suasana hatinya mendadak luntur. Jauh di dalam lubuk hatinya ia merasa was-was dan takut tanpa alasan yang jelas. Tanpa bersuara, ia melongokkan kepala ke dalam rumah.
"Itu anaknya udah pulang, Tang. Tante lanjut setrika dulu, ya?"
Sekujur tubuh Ardhani pun mendadak lemas di depan teras.
Kan?
Bintang yang sebelumnya nampak duduk di sofa bersama Ratna, menghampiri Ardhani dengan raut muka bahagia. "Kok nggak salam, sih?"
Ardhani hanya bisa menatap Bintang yang menjulang tinggi di depannya.
"Mandi. Ganti baju. Terus ikut aku."
"Ke mana?"
"Belanja baju, sepatu, koper, sama kebutuhanku yang lain. Yuk."
Dengan gusar Ardhani melangkah masuk ke dalam rumah. "Nggak bisa, Tang. Aku ada janji."
"Tumben? Janji apaan? Sama siapa? Kak Jeya, ya?"
"Makan malam sama Adam."
Bintang terdiam, bahkan hingga saat ia mengikuti Ardhani berjalan ke dapur.
"Lagian kamu tuh kenapa suka ngajak dadakan, sih?" protes Ardhani setelah membasahi kerongkongannya dengan air mineral.
"Dari sekolah dulu kita keluar tiap malming, kan? Malah kamu yang selalu agendain destinasinya."
Ardhani yang mulai gemas, memilih untuk menghabiskan isi gelasnya.
"Keluar sama aku dulu, temani belanja. Baru keluar sama Adam. Gimana?" Bintang menatap Ardhani serius. "Kamu bilang mau bantu aku sebulan ini."
Oh, ingin sekali rasanya Ardhani mencubit kencang pipi Bintang. "Ya udah," sahut Ardhani ketus.
"Yesss!!!"
"Tapi jangan lama-lama ya, Tang! Aku nggak mau telat ketemu Adam."
"Iyaaa .... aku jamin on time."
.
.
Sebenarnya Ardhani sadar, sejak berangkat hingga menemani Bintang berbelanja, laki-laki itu berkali-kali mencuri pandang dengan heran ke arahnya. Namun Ardhani memilih untuk tak memperjelas semuanya. Selain karena ia ingin sebisa mungkin mengurangi komunikasi yang tak penting dengan Bintang, ia juga merasa lelah karena tak memiliki banyak waktu untuk beristirahat.
"Setelah toiletries bag apa?" tanya Ardhani tanpa menoleh Bintang di sampingnya yang sedang berdiri mengantri pembayaran.
"Sepatu sama jaket."
Mau tak mau Ardhani menoleh. "Kan sepatu udah. Terus kenapa tadi di store baju nggak beli jaketnya sekalian, sih?"
"Pantofel buat kerja. Sneakersnya kan belum." Bintang balas menoleh Ardhani. "Kalau jaket, aku punya langganan sendiri."
Ardhani mengecek jam tangannya. "Ini udah mepet, Tang. Belum lagi habis ini maghrib. Bisa-bisa aku sampai rumah jam tujuh."
"Kalian janjian di mana, sih?"
"Resto western yang kita datangi kemarin."
"Ya udah, aku antar aja langsung kamu ke sana. Beres."
"Adam mau jemput ke rumah."
"Ketemu di lokasi aja, Ardha. Malah lebih enak, kan? Kamu nggak perlu pulang, Adam nggak perlu jemput kamu." Bintang mengedikkan dagunya. "Lagian kalau kuantar, make up sama baju kamu nggak akan berantakan."
Ardhani turut menunduk memeriksa long dress toscanya yang bermotif bunga.
"Kamu tumben amat sih penampilannya kaya' gini?" tanya Bintang.
"Kenapa emangnya?"
"Nggak apa-apa. Tumben aja seniat ini."
Ketimbang menjawab pertanyaan Bintang, Ardhani lebih merenungi kata 'tumben' yang akhir-akhir ini ia terima. Ia pun mengeluarkan ponsel, mencari nama Adam di kolom kontak.
"Mau aku bantu bilangin ke Adam?"
"Aku aja." Ardhani berjalan menjauh seraya mengarahkan ponsel ke telinganya.
"Ya, Dhan?"
Entah kenapa Ardhani sering berdebar saat mendengar suara Adam di telepon. "Dam, nanti kita ketemu langsung di lokasi aja, ya?"
"Kenapa?"
"Aku lagi di luar. Daripada bolak-balik pulang dulu, mending aku langsung ke lokasi."
"Oh, gitu? Oke."
"Oke."
"Kamu lagi di mana, sih? Kok kedengarannya rame banget?"
"Lagi di mall."
"Hati-hati hilang."
Ardhani hanya tertawa.
"Lah, malah ketawa."
Seketika itu juga Ardhani diam, ia sadar bahwa ia baru saja menertawakan hal yang tak lucu sama sekali.
"Kok diem? Ketawa lagi, dong."
"Apaan sih, Dam? Aneh."
Giliran Adam yang tertawa.
"Ya udah, ya?"
"Hm. Sampai ketemu nanti."
Ardhani memutus sambungan telepon. Ia menghela napas singkat menatap layar ponselnya, lalu meringis kecut mengingat keanehannya beberapa detik yang lalu.
Saat akan kembali menghampiri Bintang, Ardhani mendapati laki-laki itu tengah menatapnya. Entahlah ... dari jauh, tatapan Bintang nampak datar dan terkesan tak bersahabat. Ardhani tak bisa benar-benar memastikannya, karena ia tak pernah melihat tatapan sahabatnya itu sedingin sekarang.
"Udah bayar, Tang?" tanya Ardhani.
Dalam sedetik, ekspresi Bintang dapat Ardhani kenali lagi. "Udah. Yuk lanjut cari sepatu."
Buru-buru Ardhani menepis pemikirannya tadi. "Cari jaketnya habis sholat maghrib aja, ya?" ucapnya seraya melihat jam tangan.
"Yuhuuu."
.
.
.
.
Kedua alis Ardhani mengerut mengamati interior foto yang dikirimkan Adam.
"Oh, di lobby dalam," gumamnya pelan. Buru-buru ia mengetikkan balasan.
You: Tunggu bentar. Udh deket.
"Turunin pinggir jalan aja, Tang," ucap Ardhani seraya melepas sabuk pengaman.
"Aku ikut."
Ardhani menoleh ke samping dengan cepat. Tatapannya menelisik, meminta penjelasan Bintang.
"Aku juga laper."
"Nggak, Tang!"
Bintang sedikit berjingkat. "Kenapa, sih? Orang laper juga."
"Ini acaraku sama Adam."
"Terus kenapa? Aku juga kenal Adam."
"Pokoknya nggak!"
"Kalian ngedate, ya?"
Bibir Ardhani mendadak kaku.
"Nggak, kan?" Bintang membelokkan mobilnya ke arah valet parking. "Kenapa aku nggak boleh ikut?"
Hingga Bintang mematikan mesin dan melepas sabuk pengaman, Ardhani masih belum bisa menemukan jawaban.
"Kita nunggu Adam dulu atau gimana, nih?" tanya Bintang saat menerima karcis valet.
"Dia udah di dalam." Suara Ardhani tak terdengar kencang lagi.
"Oke, let's go."
Ardhani berjalan di samping Bintang dengan penuh keraguan. Ia takut, namun ia tak bisa membantah perkataan Bintang. Sepanjang langkahnya menemui Adam, Ardhani hanya meyakini bahwa tak mungkin ada yang tersakiti hanya karena hal ini.
"Dam!"
Adam terlihat berdiri di dekat pintu lebar penghubung lobby dalam dan area makan. Laki-laki itu kaos putih yang dilengkapi jaket dan celana jeans biru terang. Rambut ikalnya hanya disisir asal, hingga menyisakan sejumput anak rambut di sekitar jambang. Penampilan Adam begitu biasa, namun Ardhani menatapnya dengan sedikit berbeda.
"Bintang? Apa kabar?"
Suara Adam mengalihkan perhatian Ardhani dari penampilan laki-laki itu.
"Baik, Dam," ucap Bintang saat membalas kepalan tangan Adam.
Kedua mata Adam menatap Ardhani dan Bintang bergantian. "Kalian datang bareng?"
"Yo'i. Aku ikut kalian makan. Nggak apa-apa, kan?"
"Nggak apa-apa, dong. Lebih asyik kalau rame."
Bintang menatap Ardhani. "Tuh, Ardha! Adam aja ngebolehin."
Ardhani menghela napas dan melempar tatapan ketus untuk Adam. "Udah reservasi kan, Dam?" tanyanya seraya berjalan ke area makan.
"Udah."
"Nanti kamu bayar sendiri, ya! Hari ini aku nggak jadi traktir."
"Lah, kok gitu, Dhan?"
"Kamu nraktir Adam dalam rangka apa, Ardha?"
Oh ... ingin rasanya Ardhani segera pulang dan membaringkan diri di atas kasur kesayangannya.
.
.
.
BERSAMBUNG
.
.
.
Karena udah memasuki vibes lebaran, Selamat Idul Fitri bagi yang merayakan.
Amel mohon maaf kalau ada salah, ya? 🙏💋
.
.
.
Halah hasemboh 😖
Aku aja pusing milih siapa, apalagi Ardhani.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top