10. Maafkan Jika Kau Kusayangi

"Jangan lupa dibawa!"

Ardhani membelalakkan mata menatap tas kain berisi kue bolu yang diletakkan Ratna dengan sedikit kasar, tepat di samping piringnya.

"Ini hari Selasa Nggak ada alasan kamu keburu kerja kaya' kemarin."

Takut-takut Ardhani menatap wajah jutek Ibunya. "Ibu beli lagi?"

"Ya iya, lah!" sembur Ratna kencang. "Bolu yang Ibu beli kemarin udah basi."

Tanpa berkata apa-apa, Ardhani melanjutkan sarapannya.

"Lagian yang harusnya berterima kasih itu kamu. Harusnya kamu dong yang lebih usaha."

"Adam nggak apa-apa kok walaupun Dhani cuma bilang 'makasih' dari chat."

"Mana bisa begitu?" sahut Ratna cepat. Kedua matanya nampak horor menatap anak perempuan satu-satunya. "Kamu udah repotin dia, Dhan. Tahu diri dikit, dong!"

Ardhani hanya menghela napas dan mengangguk. Pikirannya kembali membayangkan apa yang diceritakan Ibunya tentang malam di mana ia 'merepotkan' Adam beberapa hari lalu.

.

.

Ratna membuka pintu rumah dengan mata yang sudah mulai memanas karena kantuk.

"Wa'al..." Kedua mata Ratna membelalak tiba-tiba. "LOH, DHANI KENAPA?"

Adam yang tengah menggendong Ardhani di punggungnya nampak takut sekaligus bingung menjelaskan.

"Dhani mabu-"

"Enggak, Tante!" sela Adam cepat. "Dhani... itu..."

"Apa? Kenapa Dhani, Dam?"

"Datang bulan," ucap Adam lirih. "Dhani kesakitan, Tante. Dia nggak sadar sekarang."

Dengan segera Ratna menengok wajah Ardhani yang berada di balik punggung Adam. Kedua alis anak permpuannya itu menyatu karena kesakitan. "Tolong bawa ke sofa, Dam," ucap Ratna kemudian.

Adam menurut. Dibantu Ratna, ia membaringkan Ardhani di atas sofa.

"Dhani bilang nggak pernah sampai seperti ini. Apa perlu dibawa ke dokter, Tante?"

Ratna mengusap kening Ardhani yang dipenuhi bulir keringat. "Dia pernah seperti ini waktu SMA dan kuliah. Nggak apa-apa, Dam. Setelah minum obat pereda nyeri, rasa sakitnya perlahan pasti hilang."

"Tapi Dhani masih nggak mau buka mata."

"Ditunggu aja."

Adam mengangguk pelan.

"Duh... ini Aofar pulang jam berapa, ya?" gumam Ratna seraya meraih ponselnya.

"Kenapa, Tante?"

"Kasihan kalau Dhani tidur lama di sini."

"Mau Adam pindahkan Dhani ke kamarnya?"

"Kamar Dhani di lantai dua, Dam. Nih anak lumayan berat. Pasti nyusahin kamu."

Adam terkekeh. "Asal Tante nggak kasih Adam deadline mepet, Adam bisa gendong Dhani ke kamarnya."

Ratna tertawa. "Ya udah. Tolong, ya? Biar Tante ambilkan dulu obatnya."

"Oke, Tante."

"Jangan lupa istirahat tiap tiga anak tangga, Dam."

.

.

Ardhani menutup mata dan menggeleng kencang agar tak lanjut mengingat cerita Ibunya. Karena seperti yang Ratna ceritakan, Ardhani tak merepotkan Adam dari sana saja.

***

Tepat di depan rumah Adam, Ardhani menghentikan motor matic-nya. Dengan langkah penuh segan, ia berjalan mendekat ke gerbang.

"Assalamu'alaikum," sapa Ardhani teramat lirih.

Tak ada tanda-tanda orang yang akan keluar dari rumah bercat putih di hadapan Ardhani. Ia bahkan baru menyadari jika tak ada vespa kuning Adam di halaman rumah itu.

"Dhani, ya?"

Ardhani terkejut bukan main mendegar suara perempuan di belakangnya.

"Oh iya, bener Dhani."

"Pa-pagi, Tante Resti." Sekuat mungkin Ardhani berusaha untuk tak terbata-bata di hadapan perempuan anggun di hadapannya.

"Pagi juga. Gimana temulawaknya? Enak?"

"Enak kok, Tante."

"Tante denger dari Adam, kamu habis sakit karena datang bulan, ya?"

Kedua mata Ardhani melebar.

"Tante sering bikin jamu sendiri, Dhan. Kamu mau tante buatkan kunyit asam?"

"Nggak perlu, Tante. Nggak perlu repot-repot."

Resti tertawa kecil. "Oh iya, kamu cari Adam, ya?"

Kegugupan Ardhani semakin menjadi-jadi. "Ng-nggak kok, Tante. S-saya cari Tante. Mau kasih titipan Ibu."

"Wah... terima kasih," ucap Resti saat menerima pemberian. "Dhani nggak mau masuk dulu?"

Ardhani menggeleng. "Keburu telat masuk kerja, Tante."

"Oh, gitu. Ya sudah, hati-hati kalau berangkat ya, Cantik. Nanti biar Tante Whatsapp Ibu kamu."

Jangan, Tante. Plis...

"Iya, Tante," ucap Ardhani pada akhirnya.

.

.

.

.

Yah ... paling tidak Ardhani tahu bahwa dirinya harus bersiap menerima omelan Ibunya, karena tak memberikan bolu tersebut kepada Adam sebagai ungkapan terima kasih.

***

Tiga hari setelahnya, saat Ardhani berjalan santai di lobby kantornya, ia melihat Bintang berjalan masuk melewati pintu. Laki-laki itu masih mengenakan batik yang merupakan baju kerjanya di hari Jum'at.

"Bintang? Ngapain ke sini?" tanya Ardhani saat mendekat.

Bintang menghela napas dan memutar bola mata. "Kamu pura-pura lupa atau gimana?"

"Hah?"

"Aku kan minta kamu temenin makan malam bareng Bang Arman dan istrinya."

Ardhani sedikit melotot. "Kamu nggak bilang harinya, Tang!"

"Kamu nggak balas chatku sama sekali. Kukira kamu free setiap hari."

"Dih, nih anak."

Bintang merangkul pundak Ardhani dan mengajaknya berjalan. "Aku belum pernah ke restorannya. Tapi nggak jauh dari sini, kok."

"Kita jalan?"

"Nggak, lah. Naik mobilku, nanti aku anter kamu ke sini lagi."

.

.

Entah hanya perasaan Ardhani saja atau bagaimana, hari ini Bintang nampak lebih pendiam. Laki-laki itu menyetir dengan keheningan di sepanjang perjalanan. Sungguh bukan seperti Bintang yang banyak bicara dan gemar bersenandung seperti biasa.

"Kamu nggak capek, pulang kerja langsung nemuin Bang Arman?" tanya Ardhani seraya melepas sabuk pengaman.

"Nggak, kok. Ketemu Bang Arman malah recharge energiku." Bintang turun dan menyerahkan kunci mobil ke petugas valley.

"Kalian emang cocok," gumam Ardhani.

Bintang dan Ardhani berjalan menuju bagian dalam restoran. Masih tak ada ocehan dari Bintang seperti yang bisa ia lakukan ketika mengomentari tempat yang baru ia kunjungi. Ia hanya berjalan lurus ke depan, dengan tatapan fokus yang tak teralihkan.

Nampak Arman dan Binar duduk di deretan meja di samping jendela. Arman melambaikan tangan melihat kedatangan Bintang.

"Kirain kamu sama pacar kamu, Tang."

Bintang hanya terkekeh, sedangkan Ardhani menarik kursi tanpa menghiraukan perkataan kakak pertamanya.

"Dhani sehat?" tanya Binar.

"Sehat, Kak."

"Sayang," ucap Arman lembut kepada Binar. "Ini Bintang. Teman Dhani yang udah kuanggap sebagai adikku sendiri."

Bintang mengulurkan tangan kepada Binar. "Bintang, Kak. Bang Arman dulu sering cerita tentang Kak Binar. Aku turut berbahagia atas pernikahan Kakak dan Bang Arman."

"Oh, yaaaa?" Binar melirik Arman jahil. "Cerita apa aja dia?"

"Tang!" Arman menggeleng memberi peringatan.

Bintang tertawa, dan Binar melayangkan tatapan protes kepada suaminya. Hanya Ardhani yang diam tak bereaksi di meja itu.

"Kata Arman kamu sahabatnya Dhani ya, Tang?" tanya Binar. "Berteman sejak kapan?"

"Dari SMA, Kak."

"Mereka berdua nih dari jaman sekolah sampai kuliah dulu nggak bisa dipisahin kaya' lem. Sekarang karena harus kerja aja, jadi memudar perekatnya." Arman mendengkus. "Nggak tahu kenapa mereka nggak pernah jadian."

"Aku pilih menunya duluan, ya?" tanya Ardhani cuek seraya membuka buku menu.

Ketiga orang lainnya di meja makan itu tertawa.

"Orang tua sehat, Tang?" tanya Arman.

"Sehat, Bang."

"Kerjaan lancar?"

Bintang tersenyum sesaat. "Lancar. Harusnya ke depannya juga tetap lancar."

"Kok kedengarannya ragu gitu?"

"Karena setelah ini aku ada uji coba staff kementrian selama setahun di beberapa daerah, Bang."

Ardhani sontak mengalihkan perhatian dari buku menu bergambar makanan western di tangannya.

"Wih... bagus, dong! Ini kesempatan bagus untuk karir kamu."

Bintang mengangguk. Senyum simpul belum luntur dari bibirnya. "Semoga begitu, Bang."

"Semangat, Tang! Kamu masih muda. Banyak hal yang bisa kamu jelajahi di depan sana."

Tak ada sahutan lagi dari Bintang. Entah mengapa, Ardhani menangkap keraguan dari sorot mata Bintang yang nampak redup malam ini.

.

.

"Kamu take away apa?"

Ardhani mengalihkan perhatian dari kantung yang ada di tangannya, dan menoleh Arman yang berdiri bersamanya di depan kasir. "Lasagna sama garlic bread."

"Buat Ibu?"

"Buat aku," jawab Ardhani cepat.

Tidak mungkin ia mengaku dengan lugas membungkuskan makanan untuk Adam, bukan? Entah dari mana datangnya inisiatif tersebut. Sejak memilih menu tadi, Ardhani hanya teringat bahwa ia pernah membuat Adam kelaparan karena tak membiarkan laki-laki itu menikmati menu makanan ala western di pesta pernikahan rekan kerjanya.

"Kamu masih lapar?" Arman memasukkan dompet ke saku celana seraya menatap heran adik bungsunya.

"Kumakan nanti malam."

"Awas besok pagi sakit perut."

Ardhani lega Arman tak memperpanjang interogasinya. Menyejajari langkah Arman, Ardhani mengamit lengan kakak pertamanya itu. "Makasih," ucapnya.

"Hm."

Kakak beradik itu berjalan menghampiri Binar dan Bintang yang berbincang di lobby restoran.

"Dhani langsung pulang bareng Bintang atau ambil motor dulu?" tanya Binar.

"Ambil motor dulu di kantor, Kak."

"Hati-hati, ya." Arman menyahut.

Mereka berpisah saat mobil Bintang datang terlebih dahulu. Setelah masuk dan memasang sabuk pengaman, Ardhani menatap lekat-lekat Bintang yang menyetir dengan diam di sampingnya.

"Berarti setelah ini kamu nggak di sini?" tanya Ardhani memecah sepi.

Bintang mengangguk.

"Kapan kamu berangkat?"

"Tanggalnya belum pasti. Kemungkinan bulan depan."

Sorot mata Ardhani meredup. "Selama setahun itu kamu nggak bisa pulang, ya?"

Kekehan Bintang mengalun pelan. "Nggak bisa, Ardha. Setahun full aku harus keliling Indonesia."

Ardhani menghela napas berat, lalu meluruskan pandangan ke depan.

"Kenapa sedih gitu, sih?"

"Takut kangen kamu."

Perlahan, Bintang menepikan mobil di sisi jalan.

"Sebenarnya sampai detik ini pun aku masih ragu mau nerima tawaran itu atau nggak." Suara Bintang terdengar begitu sedih.

"Nggak dibolehin Mama Papa kamu? Atau nggak dibolehin Melinda?"

Lagi-lagi Bintang terkekeh. Ia menggeleng. "Aku udah putus sama Melinda."

"Hah?" Ardhani membelalakkan matanya. "Kenapa?"

"Capek. Energiku untuk nanggepin semua keegoisan dia udah sampai batasnya."

"Kapan kalian putus?"

"Dua hari sebelum aku ke rumah kamu. Niatnya aku mau curhat. Eh, malah jadi ajang Master Chef  bareng Bang Aofar."

Wajah Ardhani seketika penuh penyesalan. "Ya ampun, Tang. Maaf."

"Nggaaak. Aku justru seneng hari itu karena pikiranku teralihkan." Bintang menatap Ardhani lekat-lekat. "Lagian kamu ngehindarin aku akhir-akhir ini. Aku bisa rasain itu, Ardha."

Mulut Ardhani seketika terkunci. Tak ada yang bisa ia ucapkan walau saat ini membalas tatapan Bintang.

Bintang tersenyum dan mengusap puncak kepala Ardhani. "Kamu tuh bilang dong, kalau aku ada salah apa. Jangan diam dan ngehindarin aku. Jangan buat aku merasa bersalah tanpa aku tahu letak kesalahanku di mana."

Susah payah Ardhani menarik napas sebelum bicara. "Nggak penting ngomongin itu sekarang. Kamu mau pergi, tapi kamu masih ragu sama jalan ini."

"Karena seumur hidup aku di sini. Jalanin kehidupanku yang seperti ini. Aku nggak tahu, apa aku siap atau nggak meninggalkan kehidupanku di sini."

"Selama nggak ada yang memberatkan kamu, harusnya kamu siap. Lagian setahun itu bentar, Tang."

Pandangan Bintang yang tertuju ke Ardhani semakin meredup. "Walaupun nggak kelihatan, aku bisa merasa ada yang memberatkanku untuk pergi, Ardha."

Ardhani terdiam, mencoba menelaah apa yang saat ini hatinya rasakan. Apakah ia merasa begitu sedih, atau justru merasa sedikit senang karena kalimat ambigu Bintang.

"Masih ada waktu sebulan, kan? Masih ada waktu buat kamu memantapkan diri dan melepas beban yang memberatkan pilihan kamu," ucap Ardhani pada akhirnya.

Bintang menggenggam tangan Ardhani. "Bantu aku, ya? Paling nggak, jangan menghindar lagi selama sebulan ini."

"Iya." Ardhani menangguk dan menepuk punggung tangan Bintang. "Aku nggak akan ke mana-mana."

***

Setelah Bintang mengantarkannya kembali ke kantor, Ardhani menjalankan motornya langsung menuju studio Adam. Niatnya hanya satu, memberikan makanan sebagai ungkapan rasa terima kasih, lalu pulang memikirkan apa yang harus ia siapkan selama sebulan ke depan. Karena tentu, Ardhani tak ingin terjatuh lagi ke lembah menyedihkan yang diciptakan oleh ekspektasinya sendiri.

Saat mematikan mesin motor di samping motor kuning Adam, laki-laki yang akan ia temui itu nampak mengunci pintu studio seraya membawa galon kosong di tangan satunya.

"Dhani?"

Ardhani mengangkat paperbag berlogo restoran yang ia singgahi tadi. "Mau kasih ini."

Adam mendekat dan memperhatikan baik-baik logo tersebut. Seketika senyum cerahnya terbit. "Wih... apa isinya?"

"Lasagna sama garlic bread. Porsinya cukup banyak."

"Rejeki emang nggak ke mana. Cocok banget makan itu buat naikin mood sebelum rekaman."

"Jam segini kamu mau kerja?"

"Kalau rekaman sama anak-anak sih bisa kapan aja." Adam menyodorkan kunci studionya. "Masuk sendiri, ya? Tunggu di pantry, aku mau beli air dulu."

Ardhani sedikit panik mendengarnya. "Aku ke sini cuma mau kasih makanan."

"Bentar doang, tokonya di blok sebelah. Kita makan bareng nanti."

"Dam?" panggil Ardhani saat Adam melangkah pergi.

"Aku beliin susu strawberry. Sana tunggu di dalam."

Adam semakin berjalan mejauh membawa galon kosong di tangannya. Ardhani pun turun dan membuka pintu studio. Lebih baik memanaskan makanan sebentar sebelum dimakan, daripada harus berdiam diri di atas motor sambil menunggu Adam kembali. Seingat Ardhani, terdapat microwave di pantry studio Adam.

Saat menunggu sepiring lasagna yang ia panaskan tengah berputar di dalam microwave, Ardhani mendengar suara pintu studio yang dibuka dari luar.

"Aku langsung pulang ya, Dam? Nggak ikut ma-" suara Ardhani terhenti saat melihat dua laki-laki yang menggendong tas berbentuk gitar besar berdiri di depan pintu pantry.

"Kakak siapa, ya?"

Ardhani segera berdiri dengan panik. "S-saya temennya Adam. Tadi masuk ke sini karena disuruh sama dia."

Dua laki-laki itu meng-oh ria. "Adamnya mana?" tanya salah satu di antaranya yang berambut pirang.

"Beli galon. B-beli air."

"Temen... apa?" Laki-laki satunya turut bertanya. "Nggak pernah kelihatan ke sini sebelumnya."

"Temen rumah."

"Oh! Adiknya Aofar, ya?" seru si pirang dengan heboh.

Seketika raut muka Ardhani berubah lega. "Iya bener. Dia Abangku."

"Ye ... bilang dong dari tadi kalau adiknya Aofar."

Ardhani hanya bisa meringis. Untuk pertama kalinya, ia bersyukur ada yang mengenali kakak keduanya itu di situasi seperti ini.

"Ya udah. Kami berdua ke atas dulu, ya?"

"Iya. Nanti aku aku bilangin ke Adam."

"Kirain kamu selingkuhan Adam yang bikin dia gagal nikah."

Sesaat suasana pantry itu menjadi hening. Ardhani cengo mendengar perkataan teman si pirang. Sedangkan si pirang hanya tertawa seraya menyikut pelan perut temannya.

"Diem ah, Bob!" ucap si pirang seraya menahan tawa. "Kami ke atas ya, em ... Nama kamu siapa?"

"Ardhani."

"Oke kami ke atas ya, Ardhani."

Ardhani mengangguk. Ia bahkan tanpa sadar membalas lambaian tangan pria yang membuatnya terhenyak untuk beberapa saat tadi. Dalam keheningan panjang di pantry, sebuah pertanyaan melintas di kepala Ardhani.

Adam? Selingkuh?

.

.

.

BERSAMBUNG

.

.

.

Selamat menunaikan ibadah puasa bagi yang melaksanakannya ❤


.

.

.

Dan selamat mengenal Maurico Adam Maulana, pemirsaaah :')

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top