1. Friend Zone Sialan!

Sebenarnya... semesta selalu bekerja sesuai dengan porsinya. Namun manusia, selalu menyalahkan semesta atas apa yang telah digariskan di hidup mereka. Banyak manusia yang mengeluh terhadap apa yang semesta berikan, padahal... semesta hanya memberikan apa yang manusia butuhkan.

Hampir sama seperti saat ini, di awal musim hujan, di mana banyak manusia mengeluhkan pergantian cuaca yang menyebabkan turunnya imun mereka. Hei ayolah... seminggu yang lalu mereka bahkan mengeluhkan cuaca panas yang ekstrim. Ketika semesta mengabulkan kebutuhan mereka, bukanlah rasa syukur yang semesta terima dari para manusia. Memang pada dasarnya manusia banyak maunya saja, sama seperti manusia satu yang sedang berteduh di bawah kanopi pertokoan saat ini.

Ia benci musim panas, tapi ia juga mengeluhkan musim hujan yang seringkali memporakporandakan penampilannya.

"Hah... tau gitu naik taksi online aja tadi," gerutunya untuk yang kesekian kali.

Ardhani namanya. Perempuan berjilbab berumur dua puluh enam tahun yang seharusnya sedang berada dalam tahap quarter life crisis-nya. Yah... seharusnya, karena kasus Ardhani sedikit berbeda. Ia tidak merasakan tahap tersebut, lebih tepatnya tidak tahu apakah ia merasakan tahap hidup tersebut atau tidak. Sejauh ini hidupnya terasa berjalan dengan baik-baik saja. Tak ada perubahan emosi ataupun beban pikiran yang terlalu mengganggunya. Segala hal di dalam hidupnya pun berjalan sesuai dengan keinginannya. Sampai-sampai... sebuah pertanyaan seringkali melintas di pikirannya seperti ini...

Ini hidupku yang nggak normal, atau aku yang terlalu lempeng jalanin hidup sih?

Ponsel Ardhani yang bergetar membangunkan lamunan sesaatnya tentang pertanyaannya sendiri. Nama Bintang tertera di layar ponsel hitamnya.

"Ardha? Kamu di mana?"

"Masih neduh, Tang. Kena hujan."

"Ya udah neduh dulu aja. Nggak usah dipaksa ke sini kalau nggak memungkinkan."

Dada Ardhani seolah tertusuk jarum tak kasat mata. Ia pun menunduk memperhatikan sneakers putihnya yang sedikit ternodai cipratan hujan. "He'em. Sana hujan nggak?" tanyanya basa-basi.

"Gerimis aja."

"Ya udah kalau setengah jam lagi masih hujan aku nggak ke sana."

"Emang kamu mau ke mana?"

"Ketemu Kak Jeya."

"Ngapain ketemu Kak Jeya?"

Kening Ardhani mengerut. "Kepo amat sih? Girl's time lah."

Bintang tertawa di sana. "Enggak... sebenarnya aku butuh ketemu kamu. Tapi kalau emang nggak memungkinkan ya mau gimana lagi?"

Ardhani memejamkan mata dan menghela napas tertahan. Selalu seperti ini...

"Hati-hati ya..."

"Ya udah aku tetap ketemu kamu aja. Kak Jeya bisa kapan-kapan."

"Ha? Yakin bisa ke sini?"

"Aku di deket parkiran umum kota sih. Motorku bisa aku parkirin, aku ke sana pakai taksi online aja."

"Oh ya udah kalau gitu. Hati-hati ya... aku di meja biasa."

Panggilan terputus, dan Ardhani hanya bisa menghela napas berat berkali-kali sambil bertanya-tanya mengapa ia selalu luluh dan tidak bisa menolak semua permintaan Bintang.

Friend zone sialan!

.

.

Bintang menyampirkan jaket abu-abunya di bahu Ardhani begitu perempuan itu duduk di hadapannya. "Di sini dingin banget. Aku aja yang kering kedinginan, apalagi kamu yang basah sedikit gini?"

Ardhani tak menyahut, dan hanya memakai jaket Bintang begitu saja.

"Kamu jangan pesen es latte. Teh hijau hangat aja," ucap Bintang sambil membuka buku menu.

"Ih... apaan sih?" Ardhani merebut buku menu dari Bintang. "Kayak orang tua aja pesennya teh hijau hangat."

Bintang tertawa. Alhasil, es latte tetap tersedia di hadapan Ardhani.

"Jadi... ada apa, Tang? Kenapa ngajak aku ketemuan?" tanya Ardhani setelah meminum setengah latte-nya.

"Santai dooong. Dua minggu nggak ketemu basa-basi dulu apa kek. Masa' langsung maincourse sih?"

"Karena kalau dilihat dari Whatsapp kamu kaya' ada sesuatu yang penting." Ardhani menyandarkan punggungnya dan melipat lengan di kedua dada. "Kamu nggak lagi terlibat masalah di tempat kerja, kan?"

"Nggaaak. Aman kalau itu."

"Terus?"

"Cuma mau tanya pendapat."

"Pendapat apa?"

"Soal kado."

Ardhani memandang jengkel Bintang yang sedang meringis. Gila... hanya untuk diskusi soal kado pria itu mengajaknya untuk bertemu?

"Kalau kujelaskan alasannya dari awal kamu pasti nggak mau kita ketemuan," jelas Bintang. "Makanya baru aku jelasin di sini. Hitung-hitung ngelepas kangen lah."

"Aku nggak kangen kamu."

"Aku yang kangen kamu," sahut Bintang seraya tersenyum tanpa dosa.

Bahu Ardhani menegak. Ia menumpukan kedua lengannya di atas meja. "Ya udah, mau diskusi kado apa?"

Senyum Bintang berubah semangat. Ia mengeluarkan ponselnya yang menampilkan aplikasi market place. "Aku udah milih beberapa kado. Nah, tolong kamu pilihkan satu yang cewek banget dong!"

Dada Ardhani mulai sedikit ngilu saat menerima ponsel Bintang. "Kado buat siapa?" tanyanya.

"Buat Melinda."

Telak sudah sensasi tertombak di dada Ardhani. Perempuan itu pun mengontrol dirinya untuk tetap tenang dan menuruti permintaan Bintang.

"Dua hari yang lalu dia kasih kode supaya aku beliin dia hadiah. Tapi sekarang aku bingung mau kasih yang mana."

"Kenapa nggak tanya Melinda aja langsung minta hadiah apa?" Kedua mata Ardhani tetap terfokus pada layar ponsel Bintang.

"Nggak surprise, dong?"

"Dia kan kasih kamu kode, ngapain dia butuh di-suprise-in?" Ardhani tak sadar jika nada bicaranya sedikit meninggi.

"Ya kan biar romantis." Raut wajah Bintang berubah sedikit muram. "Lagian kita berdua sedikit ribut sekarang."

"Lagi?"

Bintang mengangguk polos.

Ardhani menghela napas dan meletakkan ponsel Bintang di atas meja. "Pilihan kado kamu nggak ada yang menarik. Mana seneng cewek kamu kasih tumbler atau alat makan kayak gitu?"

"Terus apa dong?"

"Parfume aja. Cewek nggak akan nolak."

Kedua mata Bintang berbinar. "Oh iya... bener juga kamu."

"Ada lagi?" Ardhani meminum es latte-nya lagi.

"Mau ke mana sih kamu? Katanya nggak ada agenda. Aku mau sekalian curhat nih, jarang bisa ketemua kaya' gini."

Kalau soal pacar kamu lagi, aku beneran bakal pulang, Tang. "Curhat soal apa?" ucap Ardhani pada akhirnya.

"Macem-macem sih. Keluarga, kerjaan, sama Melinda."

Kan?

Bibir Ardhani melepas sedotan latte-nya. Ia pun kembali menyandarkan punggungnya. "Kenapa sama keluargamu? Soal Mama kamu lagi?"

"Iya."

.

Perbincangan di antara keduanya pun berlangsung lama. Dan seperti biasa, Ardhani hanya menyimak semua keluh-kesah Bintang tanpa sedikit pun menceritakan apa yang sebenarnya selama ini mengganjal di hatinya. Yah... seperti biasanya.

***

Ratna memperhatikan Ardhani yang nampak tak bersemangat memakan sarapan buatannga. Dua puluh tujuh tahun melahirkan anak bungsunya itu, Ratna selalu mengerti jika ada sesuatu yang sedang membuat Ardhani bersedih.

"Sarapannya nggak enak, Dhan?" tanya Ratna.

"Enak." Ardhani meletakkan sendoknya. "Nanti nggak usah dibawain bekal, Bu. Temen sedivisi Dhani ada yang mau ngajakin makan siang hari ini."

"Punya uang tuh ditabung. Selagi bisa bawa bekal kenapa harus hambur-hamburin sih?"

Kening Ardhani menaut. "Dhani ditraktir, Bu. Temen Dhani itu lagi ultah."

"Oooh... kirain." Ratna mengangguk-angguk singkat sebagai formalitas kekalahan debat paginya. "Eh... Ibu baru tahu loh kalau Adam itu ternyata batal nikah."

Jika Ratna membelokkan topik pembicaraan setajam ini, itu tandanya perempuan berusia pertengahan lima puluh itu benar-benar sedang ingin bergosip dengan putrinya. Ardhani mengenal Ratna sebagai perempuan yang tidak gemar bertamu unuk bergosip dengan tetangga di kanan kiri rumah. Ratna hanya akan membagi topik yang ia dengar dengan satu-satunya anak perempuannya. Sering kali mereka berdiskusi, dan sering kali Ratna hanya membagi informasi. Bisa dibilang Ratna adalah pemasok berita untuk Ardhani yang jarang bisa bersosialiasi dengan lingkungan rumah.

"Adam siapa?" tanya Ardhani.

"Adam yang rumahnya di depan rumah Lula itu loh!"

Lula adalah teman rumah Ardhani yang seusia dengannya, dan sudah mempunyai dua anak. Catat! Seusianya dan punya dua anak. "Oh... Adam itu. Bukannya dia udah nikah? Dhani nggak pernah ketemu dia tuh, Bu."

"Ibu kira juga gitu. Eh ternyata Ibu baru tahu kalau rencana pernikahannya batal."

Ardhani memicing. "Ibu tahu kabar ini dari siapa emang? Terpercaya nggak?"

"Yeee... Ibu ini diceritan Tante Resti. Mamanya langsung."

"Oh..." Giliran Ardhani yang mengangguk-angguk untuk formalitas.

"Jodoh orang tuh nggak ada yang tahu ya, Dhan? Yang diharap dan direncanakan untuk bertemu, ternyata bisa aja nggak bersatu."

Jika perkataan Ratna sudah puitis seperti ini, itu tandanya pergosipan mereka sudah masuk ke tahap kesimpulan.

"Itu makanya manusia itu harus banyak berdo'a. Minta dikasih sesuai yang dibutuhkan, bukan cuma yang diinginkan." Ratna mendekati Ardhani, menyelipkan anak rambut putrinya yang sedikit keluar dari kain jilbab. "Apalagi kalau yang diinginkan nggak bisa untuk didapatkan."

Detik itu juga, entah kenapa, sosok Bintang terlintas begitu saja dengan menyakitkan di benak Ardhani.

***

Dari tempatnya duduk di teras minimarket dua puluh empat jam, Ardhani bisa melihat perempuan yang ia tunggu selama setengah jam sedang berlari kecil dari parkiran menuju ke arahnya. Jeya, perempuan yang lebih tua setahun dari Ardhani itu menunjukkan cengiran meminta maaf seperti biasa.

"Nunggu lama ya, Dhan? Maaf ya..."

"Udah biasa kok aku nungguin Kak Jeya."

Jeya lagi-lagi menyengir. Ia pun duduk di hadapan Ardhani dan meminum air mineral botol milik Dhani. "Kenapa nggak ketemu di warung mie ayam biasanya aja sih? Enak deket rumahku."

"Aku mau curhat, Kak."

"Uw... kenapa adek sepupuku? Ada apa?"

Ardhani menghela napas. "Kak Jeya pasti bosen kalau aku curhat ini."

Kedua mata Jeya memicing. "Pasti Bintang lagi."

Giliran Ardhani yang menyengir.

"Kenapa lagi sih? Dia nembak kamu?"

"Dia punya pacar kali."

"Percuma punya pacar kalau tiap nggak bisa tidur hubungi kamu."

Raut wajah Ardhani berubah sedikit murung saat ia menunduk. "Tiga hari yang lalu dia ngajak aku ketemuan, Kak. Sepulang dari sana aku ngerasa bodoooooh banget. Aku juga ngerasa... capek."

Pandangan Jeya meneduh. "Oh, Dhan. Are you okay?"

Ardhani memandang Jeya sesaat sebelum menarik napas dalam-dalam. Ia pun menggeleng.

Jeya berdiri dari tempat duduknya, memeluk Ardhani dan mengusap punggung adik sepupunya. "Apa aku bilang dari dulu? Jangan punya perasaan lebih sama sahabat sendiri!"

Isakan Ardhani mulai terdengar. Kedua tangannya memeluk pinggang Jeya dengan erat. "Andai aku bisa ngontrol, aku nggak akan nangis di depan Kak Jeya kaya' gini."

"It's okay, it's okay. Kamu nggak sepenuhnya salah. Bintang emang brengsek."

Tangis Ardhani semakin kuat. Tatapan beberapa orang yang keluar masuk minimarket pun tak ia hiraukan. Ardhani sedang ingin menangis, ia ingin melepaskan rasa lelah yang kian hari kian menyesakkan dadanya.

"I feel you, Dhan. Aku pernah ngerasain. Friend zone tuh emang bener-bener tai. Fuck lah!"

Ardhani melepas pelukan dan mengusap sisa air mata di kedua sisi pipinya. "Kak Jeya dulu juga ngerasa bodoh, nggak?"

"Of course. Aku malah menyalahkan diriku sendiri untuk waktu yang lama karena nggak segera mengakhiri rasa."

"Aku harus gimana ya, Kak? Aku udah capek jadi orang yang selalu ada untuk dia. Aku nggak mau perasaanku semakin dalam untuk dia."

Jeya tersenyum dan menghapus air mata Ardhani yang baru saja jatuh. "Move on, Baby. Find someone else. You're still young, beauty, and smart. Pergi dari Bintang secepatnya nggak akan bikin kamu rugi sedikit pun."

Raut wajah Ardhani semakin tampak sendu.

"Madam Rose kamu gimana? Setahun lebih main itu masa iya sih nggak ada yang cocok diajak jalan?"

Madam Rose, aplikasi kencan yang Jeya pasangkan di ponsel Ardhani setahun lalu. Dan tentu saja, aplikasi kencan yang juga mempertemukan Jeya dengan kekasihnya saat ini.

"Aku jarang main itu, Kak. Apalagi kalau di kantor. Tengsin ketahuan temen sendiri," jawab Ardhani malas.

"Lah... pemikiran macam apa sih itu?"

Ardhani menghela napas. "Intinya... kalau aku main Madam Rose, aku nggak mau ketemu sama orang yang aku kenal. Malu kalau ketahuan ngemis cinta lewat aplikasi."

"Ya Allah Ya Rabb ini anak. Bebelnya nurun dari Bapaknya dah."

"Lagian aku takut, Kak. Temen-temenku tuh ada yang dipaksa phone sex tahu nggak! Malah aku pernah baca ada kasus pemerkosaan karena aplikasi kencan."

Jeya memutar bola mata jengah. "Kamu tuh umur berapa sih, Dhan? Mainnya sama Bintang mulu sih! Jadinya nggak bisa mikir lebih luas."

Raut wajah Ardhani menunjukkan protes berat. "Kak Jeya kan tahu aku nggak gampang nyaman sama orang baru."

"Iya, Ardhani. Aku tahu banget. Paham malah. Kalau kamu gampang nyaman sama orang baru, pasti dari dulu kamu curhatnya nggak sama aku." Jeya mengambil napas dalam-dalam. "Tapi mau sampai kapan kamu kekeuh sama mindset kamu itu, Dhan? Hidup di dunia itu soal menghadapi apa yang datang dan yang pergi."

Ardhani sedikit menundukkan kepala, bak anak SD yang dimarahi guru mereka.

"Nggak harus sekarang untuk nemuin orang barunya. Sembuhin dulu rasa capek kamu mikiran cinta, baru cari orang baru. Ngerti, Dhan?"

***

Terhitung dua minggu sejak mendengarkan Jeya bersabda soal kehidupan cinta, Ardhani mencoba untuk menghindari Bintang dengan bagaimana pun cara dan alasannya. Padahal biasanya, seminggu sekali tiap Jum'at malam, Bintang selalu mengajak Ardhani untuk makan malam, belanja, nonton, atau sekedar nongkrong di coffee shop. Bintang yang berprofesi sebagai pegawai pemerintahan kota terkadang disibukkan oleh pekerjaan di luar kota. Maka dari itu, Bintang selalu menyempatkan diri menemui Ardhani sepulang kerja di hari Jum'at. Sabtu dan Minggu pria itu jelas untuk keluarganya.

Oh... dan kekasihnya.

Ardhani melempar tubuhnya yang baru saja mandi ke atas ranjang. Pekerjaan hari ini cukup melelahkan. Laporan keuangan akhir tahun harus mulai dipersiapkan di akhir bulan ke sebelas. Tiga hari belakangan ini ia dan seluruh pegawai divisi keuangan yang lain rela lembur agar akhir tahun nanti mereka bisa mengambil jatah libur dengan tenang.

Sebuah pesan dari Jeya membuat Ardhani mengernyitkan Dhani. Seminggu belakangan, kakak sepupunya yang lebih dekat dengannya dibanding dua abangnya itu selalu merecokinya dengan pertanyaan 'Sudah match sama siapa aja hari ini?'. Ah... lama-lama Ardhani bosan berbohong juga. Menyamankan posisi berbaringnya, Ardhani lalu membuka Madam Rose, dan mengaktifkan profilnya untuk bisa melihat-lihat 'katalog pria'.

Sebenarnya... setahun belakangan ini Ardhani telah terhubung dengan beberapa pria lewat Madam Rose. Ia bahkan juga sempat bertemu dengan tiga pria untuk alasan mengenal lebih dekat. Namun Ardhani tetaplah Ardhani, perempuan yang malas untuk berbasa-basi. Hubungannya dengan ketiga pria yang ia temui itu pun menguap seiring waktu yang berjalan. Ardhani benar-benar payah soal menjalin hubungan dengan orang baru.

Pop up pesan itu muncul kembali. Kali ini nama Bintang yang tertera di sana.

Bintang Anugerah Mulawan : Aku mau curhat, Ardha :(
Aku ke rumah kamu sekarang ya?

Jemari Ardhani memencet nomor tiga untuk beberapa saat di keypad ponselnya sebelum mengarahkan benda itu ke telinga. Orang yang ia telepon sekarang cukup dekat dengan Bintang, jadi pasti Bintang akan menuruti semua perkatannya.

"Kamu kira rumah kamu ini Buckingham Palace sampai harus telepon segala? Sini turun! Abangnya dateng malah di kamar mulu."

Ardhani memastikan nama yang tertera di layar ponselnya. "Kok Bang Aofar sih yang jawab? Bang Arman mana?"

"Ngobrol sama Ibu."

"Ck. Ya udah kalau gitu." Ardhani jelas tak akan menutupi kejutekannya untuk kakak keduanya.

"Turun napa sih, Dhan? Abang kedua kamu lagi di rumah ini lho!"

"Abang kan di rumah sampai Minggu malam. Ketemu besok pagi kan juga bisa. Jangan lebay deh! Aku capek, mau tidur dulu."

Aofar menghela napas. "Ya udah, ada apa tadi telepon?"

"Nggak. Sama Bang Arman aja."

"Ada apa sih? Nanti aku bilang ke Bang Arman."

"Nggak! Bang Aofar nggak bisa jaga rahasia."

"Nyebelin ya nih anak!"

Tanpa mendengar ucapan Aofar lagi, Ardhani menutup panggilan begitu saja. Oh sial, apa iya dirinya harus bertemu Bintang lagi?

Nggak, Ardhani! Kamu harus tegas!

Tanpa membalas pesan Bintang, Ardhani menelepon pria itu.

"Ya?"

"Jangan ke sini, Tang! Aku mau tidur. Capek."

"Yah.... Ardha...." Suara Bintang terdengar kecewa. "Ini aku udah mau jalan, lho!"

"Aku beneran capek, Tang. Kamu ke sini juga bakal aku tinggal tidur. Percuma."

"Ya udah Rabu, ya?"

Ardhani sedikit gelagapan. "Ngapain Rabu?"

"Rabu aku ada urusan di deket kantor kamu. Kita ketemu setelah kamu pulang kerja."

"Ya ampun, Tang," keluh Ardhani seraya memijat pelipisnya. "Aku kan udah bilang ke kamu bakal sering lembur akhir-akhir in-."

"Sekarang atau Rabu. Pilih, Ardhani!"

Hanya helaan napas berat Ardhani yang menyahut.

"Sekarang pun nggak apa-apa aku ke rumah kamu. Bangunin kamu sampai mau dengerin curhatan aku. Jadi kamu pilih, sekarang atau Rabu!"

AKU CAPEK DENGERIN CURHATAN KAMU SOAL MELINDA, TAAAAAANG! Hanya di dalam hatinya Ardhani bisa berteriak seperti itu.

"Ardha?"

"Ya udah Rabu," jawab Ardhani pada akhirnya.

"Sip. Okay see you, Ardha. Met bobok."

Panggilan terputus. Ingin rasanya Ardhani menangisi kebodohannya menggagalkan rencana 'puasa bertemu Bintang' selama sebulan.

Ponsel Ardhani berdering singkat, tanda pesan masuk dari aplikasi Madam Rose yang ia mainkan. Keningnya mengerut melihat foto profil pria sedikit gondrong, berkumis dan bercambang yang baru saja mengiriminya pesan.

Rico? Yang mana ya tadi?

Rico : Hai.

Ardhani menguap dan mengetikkan balasan sapaan serupa. Tak lama kemudian ketika Ardhani mulai mengantuk berbaring di atas ranjang, ponselnya kembali berdering.

Rico : Tinggal di mana?

Ardhani : Sini-sini aja. Hehehe...

Rasa-rasanya, Ardhani baru saja tertidur sesaat ketika ponselnya lagi-lagi berdering. Ia pun kesal, lalu memode heningkan ponselnya sebelum membaca pesan seraya menahan kantuk.

Rico : Selera humor kamu gini aja nih?

Kening Ardhani mengerut jengkel. Kantuknya berkurang sedikit saat ini.

Ardhani : Griya Asri. Ada yang perlu disensus lagi Pak Lurah?

Rico: Ardhani? Tinggal di Griya Asri?

Ardhani menunggu proses typing pria yang baru saja match dengannya di aplikasi kencan dengan sedikit heran. Kenapa pria bernama Rico di aplikasi kencan itu kelihatan heran?

Rico: Jangan bilang kamu temen rumahku!

Hah?

Ardhani : Aku nggak punya temen namanya Rico. Ada pun Om Riko ketua RT sekarang. Nggak mungkin dooong do'i main aplikasi ginian -_-

Rico : Fix, kamu Dhani temen kecilku.

Ardhani melotot, ia pun beranjak duduk. Hilang sudah kantuknya dalam sekejap. Match dengan seseorang di aplikasi kencan tak pernah terasa sehoror ini di hidupnya.

.

.

.

BERSAMBUNG

.

.

.

Tahun baru dan cerita baru tuh mengingatkan saya sama Bersauh. Wkwkwkwk...

Ternyata banyak yang pada ngga tahu yak siapa para cast-nya. Maka dari itu, saya perkenalkan sosmed mereka satu per satu.

.

.

.

Yang jadi Ardhani ini adalah Sivia Azizah. Personelnya Blink, tapi saya lebih mengenalnya sebagai kontestan Idola Cilik sih. Lupa tahun berapa, wkwkwkwk.

.

.

.

.

.

Yang jadi Adam ini bukan Adam Suseno punya Mbak Inul ya 😂
Namanya Bilal Indrajaya, salah satu musisi favorit saya ❤

.

.

.

.

.

Bintang is Achmad Megantara. Kalau ada yang pernah lihat 'Catatan Si Boy The Series' di Net TV dulu, doi yang memerankan Boy. Terus juga pernah memerankan Mas Bima di 'The East'.

.

.

.

.

.

So? Udah 'ngeh' siapa mereka? 😂

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top