27. Find the Truth

Memasuki ruang pengawasan hotel yang di maksud di kota Monastery, X-Borg kembali menunjukkan kartu identitasnya. Setelah itu, sang petugas pengawasan kamera pemantau membantu kedua pemuda itu untuk mencari rekaman cctv sesuai dengan waktu kejadian.

Kesepuluh jemari petugas itu menari balet di atas keyboard komputer itu. Beberapa rekaman muncul di tiap lantai muncul di beberapa layar komputer. Granger mencari rekaman di mana dia dipukul dan diberikan sesuatu saat itu.

Ketika mereka menemukan rekaman cctv itu, Granger yakin seseorang berjubah hitam itu sudah mengintainya dari jauh. Maka dari itu, orang misterius itu memukulnya dengan benda tumpul sekaligus menyuntikan sesuatu ke tubuhnya.

X-Borg mengamati rekaman itu dengan detail. Namun ia belum bisa memastikan cairan apa yang disuntikkan pria itu pada Granger.

"Lo ngerasain apa setelah kejadian itu?" tanya X-Borg untuk mengerucutkan dugaan cairan yang bercampur di tubuh Granger saat itu.

"Pusing, lemas, dan ngantuk. Seinget gue itu," jawab Granger dengan yakin.

X-Borg mengangguk, mungkin ia sudah memiliki kesimpulan mengenai cairan yang disuntikkan itu.

Ke detik selanjutnya, seorang perempuan memapah Granger menuju sebuah kamar hotel. Jika diperhatikan dari postur tubuhnya, perempuan itu adalah Freya.

Seluruh rekaman cctv di koridor itu disetel ulang. Tampak Granger sudah lemas dan tidak bertenaga, berbeda dengan Freya yang memapah Granger dengan langkah yang cepat meskipun ia merasa berat dengan bobot tubuh Granger.

"Lo udah keliatan lemes di situ. Lo udah hampir tertidur setelah itu."

"Maka dari itu, gue nggak inget apa-apa lagi setelah dipapah Freya." Granger menjelaskan singkat.

"Ini berarti lo dijebak. Lo nggak mungkin ngelakuin apapun lagi kalo tubuh lo udah begitu. Kalaupun yang disuntikkan itu obat tidur, lo bisa kena efek obatnya sekitar empat sampai delapan jam, tergantung jenisnya." X-Borg menjelaskan. Ia juga mengecek jam yang tertera pada rekaman cctv tersebut. "Kejadian jam sepuluh malam, kemungkinan lo bangun paling lama jam enam pagi pada saat efek obatnya hilang. Jadi, kemungkinan sementara adalah lo dijebak sama Freya. Kecuali lo terbangun dan melakukan itu sama Freya."

"Mana mungkin! Gue bangun dia udah di samping gue!" tegas Granger.

"Soalnya mana ada hotel yang pasang cctv di kamar, kan?"

"Coba kita cari rekaman paginya!" pinta Granger pada petugas itu.

Dengan sigap, ia membuka beberapa video hari selanjutnya. Terlihat Granger bertengkar dengan Freya di sana. Mata jeli X-Borg menangkap sesuatu yang janggal dari Freya.

"Sebentar, gue menyimpulkan sesuatu dari penampilan Freya sekarang."

"Apa itu?" tanya Granger.

X-Borg mengeluarkan sebuah harddrive dan menyodorkannya ke petugas pengawasan. "Tolong copy semua video itu. Kami akan selidiki lebih lanjut di kantor."

Petugas pengawasan itu menurut. Tak hanya di hari itu. Petugas itu juga menyalin beberapa video yang menampilkan aktivitas Granger dan Freya selama di hotel itu.

"Lo mau selidikin di kantor?" tanya Granger.

X-Borg menatap Granger. "Lo lagi kena kasus. Jangan kira nggak ada mata-mata di sini."

Granger menatap sekitar hingga kebingungan sendiri. Ia tak bisa melihat siapa yang mengintainya, namun lain di mata X-Borg.

"Ada yang ngintai kita sejak berangkat dari Bandara Celestial!" sahut X-Borg pelan. "Lebih baik kita langsung cabut ke Celestial sebelum terlambat."

Setelah mendapatkan kembali harddrive-nya, X-Borg dan Granger segera keluar ruangan pengawasan. Tak lupa mereka berterima kasih kepada petugas karena telah membantu mereka.

***

Malam harinya, pesawat mereka landing di Bandara Celestial. Namun, Granger masih berkutat dengan kumpulan video yang sudah di-backup di laptop milik X-Borg. Entah apa yang dilakukan Granger, yang jelas, kumpulan video itu harus aman dan tidak bocor ke mana-mana.

 Keduanya lantas menaiki mobil X-Borg yang terparkir di Bandara sejak mereka berangkat kemarin malam. Satu yang belum mereka lakukan, yakni tidur dan beristirahat dengan tenang. Mungkin rasa ngantuk akan minder kalau melihat kesibukan mereka saat ini.

X-Borg memegang kemudi mobilnya. Ia menyadari ada sebuah mobil yang mengikutinya dari Bandara. Tanpa berbicara pada Granger, X-Borg menambah kecepatan mobilnya, begitupun ketika mereka baru melewati pintu masuk tol.

Seperti pada umumnya, jalan bebas hambatan begitu sepi jika dilalui tengah malam begini. Namun, hal itu tak menggentarkan keberanian dua pemuda itu untuk menempuh perjalanan di sana. Mereka bisa dengan bebas mengebut tanpa mengganggu pengemudi lain.

"Ada yang ngikutin kita," kata Granger ketika dia melihat dari spion dalam mobil itu.

"Gue tau, dan sekarang gue lagi menghindar. Tadi gue udah ngabarin rekan kantor gue. Mereka nunggu kita di pintu keluar tol deket apartemen Victory.

"Thanks X-Borg, gue lebih tenang sekarang. Gue udah dapetin bukti kalo gue bener-bener nggak salah atas kejadian ini."

"Gue percaya sama lo. Memang lo banyak berubah setelah ketemu sama Silvanna. Sampe-sampe, kebiasaan lo dulu nggak pernah lo lakuin lagi sampe sekarang. Mabok misalnya," canda X-borg.

"Ya, karena gue udah ngerti apa itu yang dimaksud komitmen."

"X-Borg tersenyum miring. Ia bersyukur sahabatnya kini sudah menemukan tambatan hati yang tepat setelah berbagai perempuan dikencani Granger saat kuliah dulu.

Mobil sedan putih itu menyalip mobil yang dikemudikan X-Borg sambil menembakinya secara asal. X-Borg berusaha menghindari peluru-peluru yang terus menghujani mobilnya hingga laju mobilnya meliuk-liuk sembarang.

Beberapa kali dihantam peluru dan batu, kaca mobil X-Borg retak di beberapa titik hingga melebur. Serangan terakhir, peluru itu mengenai tepat bahu kanan X-Borg hingga kemudinya langsung oleng.

Dengan sigap, Granger memegang kemudi lalu membantu X-Borg untuk berpindah tempat. Mungkin mereka melakukan ini karena sering melihat trik dari film-film action yang sering mereka tonton. Kurang dari satu menit mereka bertukar tempat duduk tanpa memberhentikan mobil. 

Kali ini Granger mencoba fokus untuk mengemudi dan mengatur kecepatannya, meskipun ia juga ngeri karena hujan peluru masih terjadi di sekitar mereka.

Merasa tak kunjung berhasil memberhentikan mobil incarannya, pengendara mobil itu yang ternyata dua orang, memberanikan diri untuk menabrakan bemper depan untuk mempersempit ruang laju mobil yang dikemudikan Granger.

Hingga akhirnya mobil itu menabrak pembatas jalan sebelah kiri sebelum akhirnya terguling di tengah jalan tol itu.

***

Sehabis bimbingan pertama dengan Mr. Gord, Silvanna dan Karina ingin mengunjungi perpustakaan untuk mencari buku referensi yang mendukung judul skripsi mereka kali ini.

Bukan Karina namanya jika tidak mengomel sepanjang jalan karena judul skripsinya dikomentari habis-habisan oleh dosen killer itu.

"Serius ya, rasanya gue pengen nyubit hidungnya Mr. Gord pas komentarin judul skripsi gue tadi. Emangnya apa salahnya coba ngambil judul 'Rebranding Logo Celestial International Hospital'? Itu juga nyambung buat jurusan kita?!" omel Karina seakan tanpa titik dan koma.

"Bukan ngomelin lo, Mr. Gord cuma ragu, kenapa lo berani ngambil judul itu. Rebranding nggak gampang soalnya," sahut Silvanna sesampainya mereka di kursi depan perpustakaan. Mereka sengaja melipir sebentar karena perpustakaan itu masih tutup karena jam istirahat.

"Padahalkan gue udah punya narasumber terpercaya buat bantuin skripsi gue itu. Kenapa dia minta ganti?" Karina masih aja protes.

"Mr. Gord nggak minta ganti, dia cuma mau lo yakin sama judul skripsi lo. Apalagi kita ngerjainnya cuma 6 bulan, kan?"

"Terus lo udah pede tuh sama judul skirpsi lo sendiri?" tanya Karina pada Silvanna yang sudah mulai membuat sketsa.

"Komik Legend of Legend Street? Yakin banget gue," Silvanna yakin dengan pilihan judul skripsinya. Meskipun ia sempat ingin mengganti judulnya, namun akhirnya ia memastikan untuk melanjutkan judul itu. Meskipun sekarang bukan Granger yang akan menjadi narasumbernya. Silvanna menghela napas lalu memandangi sketsa gambarnya. Seorang pria dengan rambut lancip sepunggung sambil membawa gitarnya.

Karina menyadari air muka Silvanna yang berubah mendadak. Mungkin sahabatnya itu sedang teringat sesuatu yang menyesakkan. Ia lantas mengusap telapak tangan Silvanna yang terkulai di meja. Sepertinya Karina ingin mengantarkan energi positif untuk menguatkan Silvanna, meskipun tidak terlalu berpengaruh.

"Gue ngerti kok kalo lo masih belum terbiasa dengan ini. Mengakhiri hubungan ketika akan menikah pasti berat banget. Tapi gue yakin, Tuhan punya rencana yang lebih baik dari ini," harap Karina. "Lo pasti bisa selesaiin skripsi lo tanpa campur tangan Granger di dalamnya."

Silvanna mengangguk sambil tersenyum tipis setelah mendengar perkataan Karina barusan. "Ya, thanks Karina. Lo ngerti banget posisi gue gimana. Gimanapun, gue nggak mau ngecewain orang tua gue lagi setelah gue ngecewain mereka karena kasus kemaren. Seenggaknya, mereka bisa balik bangga sama gue."

"Lo cewek yang kuat, Silv," puji Karina merasa bangga punya sahabat sekuat dan secerdas Silvanna.

"Tapi, Rin. Gue mau curhat sedikit sama lo."

"Ya, curhat aja sepanjang apapun lo mau." Karina bersedia mendengarkan.

"Gue masih belum yakin kalo Granger ngelakuin hal itu. Gue tau dia dulu emang playboy, suka mainin hati cewek. Tapi kalo dia bertindak sejauh ini dan nggak mau ngakuinnya, berarti ada yang salah," kata Silvanna sambil menatap Karina serius. Bahkan, manik matanya memancarkan sebuah keyakinan. "Hati gue yakin kalo ada yang nggak beres dengan kasus ini."

Karina menyimak tiap kalimat yang dilontarkan Silvanna dengan serius. Sepertinya perempuan ini tidak main-main. Memang ada yang tidak beres dengan kasus yang tengah dihadapi Silvanna.

"Tapi gue masih bingung, Rin. Nyokap, bokap gue udah nyuruh gue buat tetep ninggalin Granger. Entah kenapa hati gue menolak permintaan mereka." Silvanna melanjutkan ceritanya. "Gue bingung gimana caranya buat nyampein ini ke orang tua gue? Mereka pasti membantah dan langsung menolaknya."

"Sekarang, lo tau di mana keberadaan Granger sekarang?" tanya Karina.

Silvanna menggeleng, "Udah hampir satu minggu ini gue nggak denger kabar dia, Rin. Gue nggak tau dia di mana sekarang." Tampak wajah khawatir yang sangat jelas ditorehkan oleh Silvanna. "Gue juga mau minta maaf sama dia. Gue udah marah-marah, udah ngusir dia pas terakhir kita ketemu." Silvanna dengan sigap menghapus air mata yang mendadak tumpah di sana. "Orang tua gue juga masih di sini. Mereka masih mantau gue karena takut Granger masih gangguin gue."

Karina menatap Silvanna penuh perhatian. Menurutnya, saking dalamnya perasaan cinta Silvanna pada Granger, dia sampai tersiksa seperti ini. Tapi, Silvanna sangat yakin dengan hati dan perasaannya. Terlebih itu pada Granger.

"Salah satu cara itu lo ketemu Granger dan buktikan sendiri dengan penglihatan lo, apakah Granger salah atau enggak. Karena lo baru dapet bukti kasus itu dari sisi cewek itu."

Silvanna mengangguk yakin, "Ya, gue berharap bisa ketemu Granger secepatnya."

Ponsel Silvanna berdering, nama Zilong tertera di sana. Ia lekas mengangkatnya. "Halo,"

"Siang, Silvanna. Apa kamu sibuk?"

"Aku lagi di perpustakaan kota. Ada apa, Zi?"

"Boleh kita ketemu? Ada yang ingin aku bicarakan. Penting."

"Soal apa?"

"Soal kamu."

Silvanna menatap Karina untuk meminta pendapat. Setelah mendapat anggukan tanda setuju, Silvanna mengiyakan ajakan Zilong.

"Oke,"

"Oke, kamu kabarin aja selesai jam berapa. Aku bakal jemput kamu di sana."

"Tapi, aku harus izin dulu ke orang tua aku kalau kamu mau ngajak pergi keluar. Soalnya, mereka ada di sini."

"Oh ada orang tua kamu? Baiklah, boleh aku ketemu orang tua kamu juga. Sekalian perkenalan mungkin."

Silvanna tahu arah pembicaraan Zilong padanya.

"Baiklah, sampai ketemu." Silvanna lekas menutup teleponnya.

Ketika suara pintu perpustakaan terbuka, Silvanna lekas menghapus air matanya, dan memastikan tidak ada yang tersisa lagi di pipinya. Selanjutnya, ia menuntun Karina untuk masuk ke perpustakaan di tengah kota itu.

***

Seorang wanita baya turun dari bus dibantu oleh petugas kendaraan tersebut. Ia berhenti di halte Victory Apartemen. Setelah memastikan nama tempatnya sama dengan nama yang tertulis di secarik kertas yang dibawanya. Dengan langkah pelan, perempuan baya itu memasuki area Victory Apartemen.

"Permisi, apakah Nona Silvanna ada di tempat?" tanya Bibi Vexana pada resepsionis bernama Hanabi di sana.

"Dengan siapa dan dari mana?" tanya Hanabi sopan.

"Saya Vexana, kerabat jauhnya Nona Silvanna."

"Baiklah, silakan duduk menunggu. Saya akan menghubungi Nona Silvanna."

Setelah mendapatkan kabar positif dari lawan bicaranya, resepsionis itu langsung menorehkan senyum pada Vexana. "Nona Silvanna sedang menuju kemari. Mohon tunggu sebentar."

Vexana duduk di ruang tunggu yang terkesan amat mewah. Napas hari senjanya sangat terlihat kasar. Ia lelah. Baru kali ini ia melakukan perjalanan jauh lagi. Ia bersikeras meskipun Faramis sudah melarangnya berkali-kali.

Sekitar lima belas menit Vexana menunggu, sahutan dari suara gadis yang dikenalnya mulai terdengar.

"Bibi." Silvanna menghampiri sekaligus sungkem di hadapan Vexana yang duduk di kursi. "Bibi dateng sama siapa?" tanya Silvanna.

Penuh kasih sayang, Vexana mengelus rambut hingga punggung Silvanna. "Bibi datang sendiri, Nona. Bagaimana kabar kamu?"

"Aku baik, Bi." Silvanna berkaca-kaca kala melihat sepasang mata teduh yang sudah keriput itu menatapnya.

"Bibi merindukan Nona Silvanna," tutur Vexana tulus. Ia lalu mendongak, melihat pria jangkung berkulit terang yang berdiri di belakang Silvanna. Hal itu membuatnya sedih.

"Mari ke kamarku, Bi," ajak Silvanna. Namun ia menangkap ketidak sanggupan Vexana untuk berjalan. Mungkin ia merasa lelah setelah menempuh perjalanan yang begitu jauh dari private island.

Silvanna menangkap Vexana yang hampir jatuh. Zilong segera ke resepsionis untuk meminjam kursi roda guna membawa Vexana ke unit apartemen Silvanna.

Silvanna membuka pintu apartemennya, lalu membantu Zilong untuk memasukkan Vexana ke kamarnya.

"Bi, udah makan? Aku bikinin makanan hangat dulu, ya," kata Silvanna ketika mereka berhasil memindahkan Vexana ke tempat tidur.

"Tidak usah repot-repot, Nona. Bibi sudah makan."

"Nggak, bibi pasti belum makan. Biar aku buatkan sesuatu dulu untuk Bibi, ya. Sekarang bibi istirahat dulu. Aku kembali sebentar lagi." Silvanna menyalakan pendingin ruangan agar Vexana bisa beristirahat dengan nyaman.

***

Tak perlu waktu lama untuk Silvanna membuat sup ayam hangat. Ia menyajikannya bersama nasi putih dan beberapa pelengkap lainnya untuk santapan Vexana kali ini. Dalam satu nampan bersama air putih, Silvanna meletakkannya di desk samping tempat tidur.

"Seharusnya Nona tidak usah repot menyiapkan makan untuk Bibi," lirih Vexana dengan suara tuanya.

"Nggak usah bilang gitu, Bi. Waktu aku ke Private Island juga bibi yang menyiapkan semua kebutuhan aku. Jadi mumpung di sini, aku yang nyiapin semuanya untuk bibi," kata Silvanna. Ia mengangkat mangkuk berisi sup dan berniat untuk menyuapi Vexana.

"Tidak usah, Non. Biar bibi makan sendiri saja. Temani temanmu. Kasihan dia menunggu," kata Vexana begitu lembutnya.

Silvanna tampak ragu untuk meninggalkan Vexana. Karena sebenarnya, Silvanna merasa malas meladeni Zilong saat ini. Namun karena Vexana juga butuh istirahat, akhirnya Silvanna menuruti saran Vexana untuk menemani Zilong di ruang tamu. Silvanna mengangguk pada Vexana lalu keluar ruangan itu.

Ada Zilong yang baru saja selesai berbincang dengan seseorang di seberang teleponnya. Pria itu menyadari kedatangan Silvanna dan langsung mengantongi ponsel pintarnya.

"Zi, apa kamu juga mau makan? Aku bakal siapin," tawar Silvanna.

Zilong maju beberapa langkah untuk mendekatkan jaraknya dengan Silvanna. Ia menggeleng. "Aku harus bilang ini sama kamu, sekarang."

Silvanna mulai khawatir pada keadaan ini. Apalagi, ketika melihat Zilong mencondongkan kepalanya.

Begitu hampir tak berjarak, pintu apartemen terbuka oleh seseorang yang menggunakan kartu. Seorang wanita paruh baya masuk sembarangan dan melihat adegan Silvanna dan Zilong yang hampir berdekatan.

Terlihat wajah senang Nyonya Aurelius ketika melihat anak gadisnya yang sepertinya sudah mencapatkan tambatan hati yang baru.

"Apa ini pacar baru kamu, Silvanna?" tanya Nyonya Aurelius dengan nada yang begitu ceria.

***

Malam itu, Freya berniat keluar dari ruangan kerjanya. Cuti yang diajukan Layla sedikit merepotkannya. Ia harus bekerja lembur untuk mencapai targert pengerjaannya.

Ketika membuka ruang kerjanya, seseorang berjubah hitam menghadangnya di ambang pintu dan membuat Freya terkejut. Ia berjalan mundur ketika seseorang itu melangkah maju.

"Mau apa lo ke sini?" tanya Freya.

"Gue mau nagih janji lo!" tegas seseorang misterius itu yang ternyata bersuara laki-laki.

Freya terus melangkah mundur hingga meja kerja membatasi langkahnya. Mau tak mau kini ia diapit antara meja dan pria misterius itu.

"Janji apa?"

"Janji kalo lo mau ngasih apapun yang gue mau kalau semua rencana lo berhasil!"

Pria itu membuka tudung jubahnya, lalu mengapit dagu Freya di antara ibu jari dan telunjuk kanannya. Pria itu lengsung menghirup aroma leher Freya lalu menggigit telinganya.

"Cukup, Ling! Hentikan ini!"

Bersambung...

Wuihhh gimana nih udah di-update-in Soulmate 3 hari berturut-turut? hehehe😁

Soalnya ini jadi permintaan maaf author karena udah hilang sekitar lima--enam bulan kemarin.

Semoga pembaca masih inget sama alur ceritanya ya.

Selamat membaca 💕💕💕

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top