22. Never Know

"Freya?!!"

Perempuan itu menengok lalu mengembangkan senyum pagi harinya. "Morning."

"Apa-apaan ini? How Shit!" kutuk Granger langsung menutup bagian-bagian tubuhnya dengan selimut.

"Hah?"

"Kenapa bisa begini!" kata Granger masih menahan amarahnya.

"Kenapa? Ya semalem kita—"

"Nggak mungkin!" sangkal Granger langsung memotong pembicaraan Freya.

Freya menatap Granger heran. "Kamu nggak percaya kalau semalam kita tidur di tempat yang sama?"

Granger mendecih lalu mengacak-acak rambutnya sendiri. Sementara itu, Freya mencari bukti kalau mereka benar-benar melakukannya.

"Kamu liat ini, kan?" Freya menunjukkan sebuah bercak darah di sprey kusut yang membalut tempat tidur itu. "Apa belum cukup?"

"Damn it!" kutuknya lagi. Kenyataan dan harapannya sudah tidak singkron. Namun dalam hati kecilnya, Granger masih menyangkal kalau mereka melakukan perbuatan terlarang itu malam tadi.

"Kamu semalam ada yang menyerang. Aku dateng buat nolongin kamu, membawa kamu ke kamar dan semuanya terjadi!"

"Aku nggak ngerasa ngapa-ngapain kamu, ya!"

"Kamu ngomong apa, Gran? Kamu masih menyangkal kalau kita udah ngelakuinnya?"

"Aku nggak ngerasa apapun, Freya! Tolong jangan bodohi aku!"

"Terserah, Granger! Tapi kalau sampai terjadi apa-apa, aku akan menuntut pertanggung jawaban kamu!" kata Freya tanpa ragu.

"Terserah! Aku nggak takut sama ancaman kamu, Fre. Yang jelas, aku yakin kalau aku nggak pernah ngapa-ngapain kamu!" bentak Granger lalu berderap memunguti pakaiannya. Setelah itu, ia berpakaian rapi dan membereskan semua barang bawaannya.

Granger melangkah pasti ketika ia siap meninggalkan tempat itu. Ia tak peduli dengan jadwal dan perjanjian proyek itu lagi.

"Granger kamu mau ke mana?!" sahut Freya yang mengikuti Granger keluar kamar hotel itu. Ia memakai pakaian asal. Dari luarnya, ia terlihat seperti perempuan yang baru dicampakan seorang lelaki. Ia langsung memegang lengan Granger.

"Jangan cegah! Aku mau balik ke Celestial sekarang juga!"

"Tapi jadwal kepulangan kita besok siang." Freya masih berusaha mencegah.

"Aku nggak peduli!" Granger melepaskan tangan Freya yang mencengkram lengannya secara paksa. Granger berderap ke arah lift tanpa ingin menoleh lagi ke belakang.

"Gue nggak pernah tau kalau semuanya bakal kayak gini," batin Granger.

Selama lift membawanya turun lantai, pikirannya melayang. Merasa khawatir, bersalah, berdosa. Tapi ia yakin kalau semuanya tidak pernah terjadi. Ia tak merasa menyentuh Freya sedikitpun.

***

Mendengar bel apartemennya berbunyi, Silvanna langsung menyambar gagang pintu dan membukanya.

Betapa terkejutnya ia ketika Granger langsung memeluk tubuhnya erat, bahkan tak memberikan kesempatan Silvanna untuk menambut kedatangannya.

"Gran—" kata Silvanna.

Granger tak menjawab, malah semakin mengeratkan tubuhnya. Membiarkan semua rasanya bertukar melalui pori-porikulit mereka. Silvanna membalas pelukan itu tak kalah erat.

Setelah semua rasa rindunya tuntas, Granger menangkup rahang Silvanna lalu mengecup bibirnya.

"Katanya besok pulangnya, Hon?" tanya Silvanna polos.

"Aku cuma mau buru-buru pulang," sahut Granger. Ada senyum getir yang terukir di bibirnya.

"Kamu langsung ke sini?" tanya Silvanna ketika melihat barang-barang Granger yang masih ada di depan pintu.

"Iya, karena kamu tempat yang tepat untuk aku pulang," ungkap Granger membuat Silvanna menunduk untuk menyembunyikan gurat kemerahan di pipinya.

"Ya udah, kamu mandi terus istirahat dulu. Biar nanti pakaian kotor kamu aku laudriin," kata Silvanna seraya menggeret koper Granger ke dalam kamarnya.

Granger mengikuti Silvanna ke kamarnya sambil melepaskan dasinya. "Kamu mau ke mana? Syuting lagi?" tanya Granger ketika melihat Silvanna sudah rapi dengan pakaiannya.

Ada perubahan drastis dari wajah Silvanna ketika mendengar kata syuting. "Tolong jangan bahas soal syuting lagi. Aku udah membatalkan kontrakku sama Zilong," kata Silvanna datar.

"Maaf," kata Granger lalu menghela napas. "Apa karena aku?"

"Aku yang mau sendiri, Gran."

"Oke kalau kamu nggak keberatan. Soalnya, kamu sebelumnya antusias banget mau kerja sama lagi sama Zilong. Alasannya demi karir kamu ke depannya, kan?"

"Iya. Tapi, lupain aja. Masih banyak kesempatan aku buat nambah skill di tempat lain," kata Silvanna. Ia melangkah pelan ke hadapan Granger. "Aku cuma mau kita tenang," ungkapnya pelan. "Aku ngehargain kamu seagai tunangan aku. Dan pastinya, kamu nggak nyaman kan kalau aku masih berhubungan sama Zilong?"

Granger sudah tidak bisa berkata-kata lagi. Silvanna sangat memikirkannya dan juga hubungan mereka. Ada rasa sesal dalam hati Granger, saat ia melihat pengorbanan Silvanna.
Granger menarik Silvanna ke pelukannya. Sekali lagi, Granger memeluk gadis itu erat. Ia mengecup puncak kepala Silvanna yang berada di bawah dagunya. Sementara itu, Silvanna yang terpejam nyaman. Selalu nyaman ketika berada di pelukan Granger.

"Maafin aku," lirih Granger yang tak sengaja didengar Silvanna.

"Maaf? Buat apa?" tanya Silvanna ketika pelukan mereka terlepas.

Granger gelagapan, mencari alasan atas kata maaf yang barusan ia ucapkan. "M-maaf karena aku nggak bisa kayak kamu, Silv. Kamu bisa meninggalkan keinginan kamu demi kita. Tapi aku, belum bisa kayak kamu."

"Gran, mungkin alasan kamu berbeda. Kamu pernah bilang kan kalau kamu mau nikahin dan fasilitasin aku dengan hasil jeripayahmu sendiri. Dan aku bisa ngerti kenapa kamu nggak bisa ninggalin kerjaan kamu. Di sini, aku yang harusnya lebih mengerti kamu," kata Silvanna yang langsung mengantarkan banyak oksigen pada tubuh Granger.

Pria dua puluh tujuh tahun itu kembali memeluk kekasihnya. Merasa damai saat embusan napas lembut dari gadis itu menyapa area dadanya.

Akibat dorongan hati dan kerinduannya—sekaligus ingin menuntaskan rasa bersalahnya itu, Granger melahap bibir Silvanna tanpa permisi.

Meski terkejut, Silvanna tetap membalas tiap-tiap lumatan yang diberikan kekasihnya itu. Matanya terpejam untuk merasakan kelembutan itu semakin dalam. Bahkan, ia membiarkan bibir kekasihnya itu berangsur turun ke lehernya. Kulit bahunya sedikit tersentuh ketika outernya merosot ke punggung.

Tak lama setelah itu, Silvanna mendorong Granger sedikit. "kamu belum mandi!" omelnya seraya merapikan kembali outernya.

"Habis mandi, ya."

"Aku mau pergi sama Odette dan Fanny. Jangan macem-macem!" Silvanna memperingati Granger.

Cowok itu tak gentar dengan ancaman yang menggemaskan itu. Bibirnya menempel ke telinga Silvanna sambil tangannya memeluk dari belakang."Let's make this quick!"

***

Odette mengendap ke arah Silvanna yang sedang memilih pakaian, meninggalkan Fanny yang ngoceh sendiri mencarikan sweeter untuk Claude.

"Silv, lo jangan ribut-ribut, ya," bisik Odette sambil memastikan kalau Fanny tak melihat gerak gerik mereka.

"Apaan?"

Odette mendekatkan mulut ke telinga Silvanna untuk membisikkan sesuatu.

"Kata siapa lo?!" sahut Silvanna kencang membuat beberapa pasang mata melihat ke arahnya. Begitupun dengan Fanny yang langsung mendengus. Tampaknya, cewek tomboy itu sadar kalau sedang dibicarakan.

Odette langsung menempelkan telunjuknya ke mulut "stttt!! Jangan sampe didenger orang lain. Ini rahasia, oke!" peringat Odette. "Orangnya sendiri yang bilang. Makannya, ini jangan bocor ke siapapun, ya. Gue cuma ngasih tau lo sama Lance. Nanti, lo kasih tau Granger. Cuma Granger, inget!"

"Kapan?"

"Katanya sih pas malam tahun baru nanti," terang Odette. "Dan kayaknya, kita jadi triple date nanti." Odette menyembunyikan wajahnya yang bergurat merah.

"Lo udah resmi jadian sama Lance?" Silvanna turut senang dengan kabar itu.

Malu-malu, Odette mengangguk. "Biarpun dia lebih muda dari gue, but its ok!" senyum tipis terukir dari bibirnya. "We never know what will happen tomorrow. Tapi gue udah yakin, Lance bakal jagain gue."

Silvanna ikut senang mendengar banyak kabar baik hari ini.

"Kalian berdua bukannya bantuin gue, malah ngerumpi," protes Fanny yang masih menimbang-nimbang antara dua sweeter berwarna hijau botol dan kuning mustard.

"Monyet lo tuh udah kebanyakan pakean gelap, kasih yang cerahan dikit, lah!" saran Odette berderap menuju Fanny. Ia memilah-milah warna sweeter yang lain di jajaran sweeter yang sejenis.

Odette menemukan satu warna putih tulang di sana. Ia mengambil dan menempelkannya ke bahu Fanny. "Sekali-kali dia suruh pake baju putih. Jangan pas kondangan aja!"

Fanny hanya menatapnya sinis sekaligus bingung. "Lo lagi PMS ya, Dette? Dari tadi ngegas mulu gila!"

"Gue cuma ngasih saran, Fann. Bosen gue liat cowok lo pake item, dongker, sama marun terus. Nggak ada warna lain apa?"

"Ciri khas dia!"

Dari jarak tertentu, Silvanna memutar bola matanya malas. Odette dan Fanny memang saudara, tapi untuk urusan adu mulut mereka ahlinya.

***

Silvanna sampai di Apartemen tepat pada jam 7 malam. Masih ada Granger yang tertidur di sofa ruang tamu. Ia membiarkannya, mungkin cowok itu lelah sepulangnya dari Monastery.

Silvanna hanya menatap wajah tenang Granger sebentar, lalu merapikan belanjaan dan beberapa bahan masakan di atas meja makan. Ia akan mulai memasak untuk makan malam mereka berdua.

Semerbak aroma masakan malu-malu masuk ke lubang hidung Granger. Aroma itu menggelitiknya untuk segera bangun dan mengikuti sumber wangi yang sudah membangunkan cacing di perutnya.

Perempuan berkuncir rendah itu langsung dipeluknya dari belakang. Mengejutkan. Hingga ia terlonjak saking kagetnya. Untung saja tubuh kekar Granger bisa menahannya agar gadis itu tidak terjatuh.

Jika dilihat dari samping, tubuh Silvanna seperti tenggelam saat dipeluk Granger.

"Gran, untung sayurnya nggak tumpah!" protesnya.

"Bau masakannya bikin aku laper lebih cepet, Silv. Pas liat dapur, ada kamu. Langsung aja aku peluk biar laparku sedikit tertunda."

"Hilih! Dari kapan kamu gombal-gombal begitu?" cibir Silvanna.

"Sejak kangen kamu." Granger memeluknya erat dan gemas.

"Iih, Gran. Aku nggak bisa napas!" protesnya lagi. Kebiasaan Granger, selalu memeluknya gemas.

Granger membalikkan tubuh Silvanna ke arahnya. Masih ada sisa-sisa muka kesal karena dikagetkan tadi. "Honey, jalan-jalan, yuk!" Ia membatasi ruang gerak Silvanna dengan menaruh kedua tangannya di samping Silvanna.

"Tapi aku udah masak," sahutnya manja.

"Kita perginya sehabis makan. Nanti naik motor aja, ya. Aku udah sewa motor buat jalan hari ini," ajak Granger sambil merapikan rambut Silvanna yang terlihat berantakan. Uap dari kuah sayur membuat kening dan sekitar wajahnya berkeringat. "Ada yang mau aku omongin."

"Kenapa nggak di sini aja?"

"Kurang romantis, Hon!" rajuk Granger.

"Maunya di mana?"

"Kamu ikut aku aja," kata Granger.

"Baik, Tuan Granger. Saya akan ikut dengan tuan," goda Silvanna.

"Baiklah, Nyonya Granger." Saking gemasnya, Granger meremas-remas kedua pipi Silvanna.

***

Suasana pameran lukisan itu makin malam makin terasa ramai. Orang-orang pecinta seni rela memberikan waktu lebih untuk pergi ke pameran yang hanya diadakan 2 kali dalam setahun di kota Celestial.
Mulai dari pelukis pemula, hingga para profesional memajang karyanya di pameran ini.

"Aku nggak tau kalo pameran ini diadain minggu ini. Soalnya di poster sebelumnya, bakal diadain bulan depan," kata Silvanna pada Granger ketika mereka berjalan di koridor yang menjajarkan karya-karya lukis di kanan kirinya.

"Kebetulan Brody ngasih tau aku waktu di Monastery. Aku pernah cerita kalo kamu suka banget sama seni. Kebetulan, dia juga suka sama seni."

Silvanna mengangguk-angguk. "Sayang banget kalo nggak mampir ke sini. Soalnya, pameran ini cuma diadain sekali dalam setahun," terangnya. Saat menatap satu lukisan di panel paling ujung, Silvanna langsung berderap ke arahnya.

Sebuah lukisan bertema The Stary Night karya seniman terkenal Vincent van Gogh menarik mata Silvanna untuk menatapnya lekat. Meski hanya sebuah replika, Silvanna tetap kagum pada salah satu karya terbaik di dunia. Ia menyusuri tiap inci lukisan itu dengan jemari tangannya.

"Kayaknya, aku sering liat lukisan ini," kata Granger.

"Iya, itu replikanya. Tapi, akan terlihat berbeda jika kita melihat yang aslinya," ucap Silvanna. "Sama kayak gitar Baxia yang pernah aku rusakin. Replikanya memang bisa dibuat, tapi rasanya pasti berbeda."

"Tapi, apa bedanya?"

"Rasa dan maknanya, Gran. Seniman nggak cuma pakai tangan untuk berkarya. Dia juga pakai hati untuk menambahkan nyawa pada karyanya. Karena itu, orang-orang pecinta seni akan tau apa makna dari tiap karya yang dilihatnya."

Granger diam mendengarkan. "Lalu, apa yang kamu liat dari lukisan ini?" 

"Banyak, Gran." Silvanna kini memandang Granger. Setelah beberapa detik, ia kembali memandang lukisan itu. "Makna mendalam dari sang pelukis, seperti terbitnya sebuah harapan setelah masa-masa kelam ia lalui."
Granger masih tak mengerti.

"Setahu aku, pelukis aslinya ngelukis ini pas beliau dirawat di sebuah rumah sakit jiwa setelah kasusnya yang memotong telinganya sendiri."

Granger meringis mendengarnya. "Oke, aku nggak ngerti soal seni. Jadi, lebih baik aku diam."

Hampir saja tawa Silvanna menyembur di sana. "Kita liat-liat yang lain aja, ya."

Beralih ke koridor yang lain, Silvanna masih saja mengoceh tentang karya-karya lukis yang berjajar. Meskipun sebagian besar dari pelukis lokal, tetap ada keistimewaannya tersendiri.

"Kak Silva!" panggil seorang gadis dari belakangnya.

Silvanna dan Granger menoleh bersamaan, lalu menemukan Nana dan Chang'e di sana.

"Halo Nana, Chang'e. Kalian di sini juga?" tanya Silvanna saat kedua remaja itu menghampirinya.

"Iya, Kak. Aku abis bantuin Nana masang stand lukisannya di sini," kata Chang'e. "Kak..." Chang'e sepertinya lupa-lupa ingat dengan wajah Granger. Sebelumnya, mereka pernah bertemu beberapa tahun silam.

"Chang'e, kan? Adiknya Gusion?" Granger masih mengenali gadis remaja itu.

"Iya kak, seneng ketemu kakak di sini," ungkap Chang'e.

"Kamu pasang stand di sebelah mana, Na?"

"Di bagian belakang, kak."

"Ke sana yuk, kakak pengen liat!"

Sebuah lukisan bertema hitam putih terpajang di stand yang tak banyak pengunjung. Sepasang suami istri yang duduk tegak di sebuah kursi kayu. Namun, kepala kedua orang itu berbentuk kepala merpati yang saling buang muka. Di dekat jendela, ada seekor burung yang lain, namun wajahnya tertutup kain.

"Temanya apa, Na?"

"Never Know," jawab Nana.

"Filosofinya?"

"Tiga orang yang saling berhubungan, tapi tak pernah tahu satu sama lain."
Silvanna dan Granger saling pandang.

Nana menyadari kebingungan dua orang dewasa di depannya itu. "Mm, maaf kalo karyanya agak membingungkan."

"Nggak, Na. Kakak cuma nggak nyangka kalo kamu bisa ngelukis. Bagus banget!" ucap Silvanna.

"Oh iya, dia juga sering bikin komik online, lho!" sambar Chang'e yang juga ikut bangga dengan bakat sahabatnya itu. Namun siapa sangka, Nana malah menyikutnya.

"Hebat, Na. Kembangin terus ya!"

"Pasti, Kak!"

***

"Jadi itu Nana yang sering kamu ceritain itu?" tanya Granger ketika mereka dalam perjalanan pulang.

"Iya. Nggak nyangka banget dia juga punya bakat ngelukis," sahut Silvanna. "Oh iya, kamu pernah ketemu Chang'e? Di mana?"

Granger memutar matanya. "Nggak usah aku ceritain. Nanti kamu ngambek!" kata Granger.

Silvanna hanya mendecih. Namun untuk selanjutnya, ia merapatkan pelukannya pada Granger yang sedang melajukan motornya di kecepatan sedang.

"Tadi kamu mau ngomong apa?" tanya Silvanna.

Granger tak langsung menjawab. Ia masih mencari tempat yang tepat untuk membicarakannya.

Di sebuah jembatan layang dengan pemandangan lampu kendaraan dari jalan tol di bawahnya, Granger berhenti.

Silvanna melompat turun dari boncengannya. Ia memandang takjub pemandangan luar biasa yang ada di depannya itu.

"Aku nggak tau, kamu bakalan seneng atau sedih dengernya."

"Emang apa, sih? Jangan bikin aku penasaran, deh!" rajuk Silvanna.

"Aku mau resign dari kantor."

"Hah? Kenapa?" kejut Silvanna.

"Setelah aku pikir lagi, kayaknya aku udah nggak nyaman kerja di sana. Terlebih lagi, aku kepikiran sama ucapan kamu tadi. Kamu aja bisa batalin kontrak sama Zilong. Kenapa aku nggak bisa?" jelas Granger. "Aku juga nggak mau kamu terus ngerasa nggak nyaman karena kehadiran Freya. Iya, kan?"

"T-tapi, kenapa kamu mendadak mau resign?"

Granger meraih kedua tangan Silvanna. "Aku cuma mau jaga hati kamu."

Nada-nada indah terdengar di telinga Silvanna saat itu. Entah kenapa, meski ia sering mendengar kata-kata rayuan dari Granger, tapi ia tak pernah bosan mendengarnya.

"Terus kalau kalau resign, rencana selanjutnya apa?"

"Nggak ada salahnya aku coba kerja di tempat lain. Seperti yang kamu bilang juga, ngembangin skill bisa di mana aja, selagi kita mau belajar."

Silvanna perlahan mengembangkan senyumnya. Terlihat begitu manis dan cantik, apalagi saat semilir angin mengibas-kibaskan rambut panjangnya.

"Kamu nggak keberatan, kan?"

"Sama sekali enggak, Gran. Itu udah keputusan kamu. Apapun itu, tetep aku dukung," kata Silvanna.

"Thanks, Honey!" Granger mengecup kening Silvanna.

"Pulang, yuk!" ajak Silvanna yang langsung berderap ke arah motor dan memakai helmnya.

Baru selangkah maju, Granger menerima pesan di ponselnya.

"Apapun yang terjadi, aku bakal minta pertanggung jawaban kamu, Granger!"

Tanpa ragu lagi, Granger langsung memblokir kontak Freya saat itu juga.

Bersambung...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top