13. Accident

Perubahan jadwal kuliah mendadak weekend ini berhasil membuat geram para mahasiswa yang harusnya bisa rebahan sepanjang hari. Terlebih lagi dengan Silvanna yang sudah menjadwalkan untuk liburan bersama Fanny dan Odette di akhir minggu ini. Terpaksa, rencana mereka harus diundur. Bahkan, Fanny sudah ngamuk-ngamuk di grup WhatsApp perihal pengunduran rencana ini.

"Kalo tau nggak jadi, gue ajak si Monyet buat pergi!" amuknya dalam grup chat tersebut.

Silvanna dan Odette tak menggubris. Mereka hanya mengirimkan knot pemakluman akan tingkah Fanny yang masih seperti anak kecil.

Dengan penuh emosi karena jadwal yang berubah semena-mena, Silvanna membuka pintu unit apartemennya sedikit pakai tenaga. Saat hendak keluar, jalannya dihalangi oleh seorang cowok bertubuh tinggi yang entah dari kapan berdiri di sana. Silvanna sontak menatap cowok itu tajam.

Setajam apapun tatapan mata gadis itu tak membuat Granger ciut. Ia malah mengayun alisnya untuk menyambut Silvanna. "Pagi, Princess!" sahutnya.

"Princess Hongkong?" katanya ketus.

"Princess Moniyan."

Silvanna menghela napas, mengabaikan rayuan Granger yang dianggapnya sebagai angin lalu.

"Nih!" Granger memberikan sebuah buket bunga yang disembunyikannya di balik punggung dari tadi. "Semoga mood kamu hari ini membaik," harapnya. Granger menyadari kalau dari kemarin Silvanna sedang tidak mood berbicara dengannya. Semalam teleponnya diangkat berkat membawa nama Natalia.

"Hampir membaik," jawab Silvanna seraya menerima buket bunga itu. "Tapi, perubahan jadwal kuliah dadakan menghancurkan semuanya."

"Jadi kamu mau kuliah hari ini?" tanya Granger yang tampaknya kecewa dengan keadaan ini.

"Ya, tapi cuma dua jam kuliah," kata Silvanna yang mulai melangkah bersama menyusuri lorong apartemen itu.

"Oke, kita perginya abis kamu kuliah aja," kata Granger.

"Ke mana?"

"Ke mana aja. Sesuka kamu," kata Granger menengok ke samping seraya menemukan manik keabuan milik tunangannya. Selain itu, Granger juga bisa melihat senyum tipis yang tersamar di bibir Silvanna. "Aku tunggu di kantin kampus aja, ya."

Silvanna mengangguk. Setidaknya, jadwal dadakan pagi ini yang membuatnya kesal setengah mati, diobati oleh kedatangan Granger dengan kejutan kecil yang diberikannya.

***

Setelah kuliah berakhir, Silvanna segera menghampiri Granger di parkiran mobil. Sebelumnya, cowok itu menunggu Silvanna di kantin sambil mengenang masa-masa kuliahnya dulu. Dan setelah menyadari kalau jam kuliah Silvanna akan berakhir, Granger langsung menuju parkiran.

Tak lama, mobil sport itu melaju dikemudikan oleh cowok tinggi berkacamata hitam. Di sampingnya ada seorang gadis yang tampaknya sudah tak sabar ingin mengeluarkan semua penatnya selama perkuliahan tadi.

Kedua tangan Silvanna diangkat seraya menggeliat, melepas semua penat selama dua jam pelajaran berada di ruangan bersama Pak Gord yang sudah seenak jidat mengubah jadwal.

"Akhirnya gue bisa menghirup udara segar juga!" Silvanna menghela napas lega. "Tugas promosi produk bikin gue pusing setengah mati!" Gadis itu menyandar nyaman di jok mobil.

Granger yang mendengar keluhan itu hanya tersenyum simpul. Mungkin dalam hatinya sedikit tertawa, akhirnya Silvanna merasakan juga bagaimana rasanya dikerjain dosen sendiri. Namun, itulah proses dalam menempuh pendidikan untuk masa depan mereka.

"Oke, sekarang kita ke tempat wisata atau makan dulu?" tanya Granger.

"Makan dulu ya, laper," jawab Silvanna sambil nyengir. "Drive thru aja."

"Laksanakan, Tuan Putri," sahut Granger seraya menambah kecepatan laju kendaraannya menuju salah satu restoran cepat saji terdekat di sekitar mereka.

"Gimana kerjaan kamu?" tanya Silvanna.

"Baik-baik aja. Kerjaannya sesuai keinginan aku," jawab Granger.

"Jadi nggak sabar buat lulus," kata Silvanna kemudian.

"Sabar dua tahun lagi. Sekalian nunggu kontrak kerjaku selesai."

Silvanna membenarkan posisi duduknya, "Sekarang aku ngerasain apa yang kamu rasain dulu, Gran. Beratnya kuliah, tugas-tugas, dan juga tanggung jawab lainnya." Silvanna membuat percakapan yang lebih panjang. "Maaf ya, kalo dulu aku terlalu cerewet pas kamu kuliah."

Granger tertawa tipis, "Sekarang, aku biarin kamu ngerasain sensasi kuliah di semester tengah. Dan mengenai kecerewetan kamu dulu, aku sih maklum. Kalau kamu nggak cerewet, mungkin aku belum lulus sampe sekarang."

Silvanna melotot sambil mendelik, "Lo mau kita lulus bareng gitu?"

"Ya nggak gitu juga,"

"Tapi lucu juga ya kalo kita lulus bareng," canda Silvanna.

"Terus sekalian lamaran pas acara wisuda gitu?"

Silvanna terbahak, "Ya udah, kamu masuk kuliah lagi. Nanti sekalian nikah pas wisudaan,"

Tangan kiri Granger mengusap wajah Silvanna yang sepertinya sedang kesambet setan tawa saat ini. "Bilang aja mau cepet lulus, cepet dinikahin, cepet diem di rumah dan ngurus anak!" duga Granger kemudian ikut tertawa di tengah konsentrasinya menyetir.

"Enggak gitu juga," sanggah Silvanna. "Ini sih pikiran kamu yang kejauhan."

"Terus apa? Tiba-tiba bilang pengen cepet lulus?"

"Nggak kuat sama Gord!" kesalnya.

"Alibi!" celetuk Granger.

"Eh, apa lo bilang tadi?" Silvanna melotot ke arah Granger. Entah kenapa tampang itu malah membuat Granger gemas.

Cowok itu tertawa lalu mencubit pipi Silvanna keras-keras hingga gadis itu menjerit. Akibat perbuatannya, ia dihujani pukulan kecil dari Silvanna. Hal itu tak membuat Granger jera untuk menggoda kekasihnya. Ia malah tertawa semakin keras di tengah kekesalan Silvanna.

Namun, tak berapa lama kemudian, terdengar suara klakson panjang dari depan mobil mereka. Suasana canda itu membuat konsentrasi Granger berkurang.

Silvanna sontak melihat ke depan, "Granger!!!" serunya menyadarkan Granger kalau ada mobil dari arah yang berlawanan nekat menyalip dan menuju ke arah mobilnya.

***

Prang!!!

Seloyang brownies yang dipegang Alucard jatuh sia-sia ke lantai. Entah kenapa pegangan tangannya melemah itu. Brownies cokelat itu berserakan di lantai.

Miya yang tengah menambahkan hiasan pada cake yang ada di depannya, sontak berbalik lalu mendapati brownies yang berserakan bersama wajah lesu suaminya.

Miya menghampiri dan ikut berlutut di samping suaminya. "It's oke, Sayang. Mungkin kamu lagi kecapean. Nanti biar aku yang beresin," kata Miya menuntun suaminya berdiri. "Kamu istirahat aja."

Saat berdiri, entah apa yang Miya dapatkan dari tatapan lesu Alucard. Ia tampak risau, merasakan sesuatu yang mengganggu perasaannya saat ini.

"Ada apa, Sayang?" tanya Miya lembut.

"Nggak tau kenapa, perasaaanku mendadak nggak enak," ungkap Alucard.

Miya mengusap bahu lalu menyusur ke lengan Alucard, "Kamu cuma kecapekan. Semalam kamu lembur sampai pagi dan sekarang kamu maksa bantuin aku," kata Miya. "Aku bisa ngerjain sendiri. Lagipula, ada Eudora yang bisa membantuku." Miya teringat akan pesanan cake sahabatnya yang harus selesai sebelum makan siang.

Alucard berpikir sejenak lalu merasa kalau saran dari Miya memang tepat baginya. "Aku istirahat di kamar aja," katanya lesu lalu Miya mengangguk.

Dari arah depan, muncul Eudora yang setengah berlari.

"Tuan, Nona," panggilnya gusar. "Saya barusan mendengar berita kalau..," Eudora menggantungkan perkataannya.

***

Silvanna masuk ke mobil Granger yang terparkir di depan sebuah minimarket. Ia baru saja membelikan air mineral dan beberapa makanan kecil untuk di dalam mobil.

Hampir saja mereka tabrakan dengan sebuah mobil. Untungnya, dengan kemampuan menyetir yang dimiliki Granger, kecelakaan itu berhasil mereka hindari. Dengan sigap, Granger membanting stir ke kiri dan mengerem tepat waktu sebelum mobilnya benar-benar menabrak trotoar.

"It's oke, Hun. Kamu tenangkan dirimu dulu," kata Silvanna seraya membukakan tutup botol air mineral itu. Granger langsung meraihnya dan meneguk isinya hingga tersisa setengah botol. "Ada yang kamu rasain?" tanya Silvanna.

"Mendadak perasaanku nggak enak," ungkap Granger jujur.

"Kamu bisa cerita masalah kamu. Ada apa?" tanya Silvanna dengan nada rendah.

Granger menatap manik keabuan Silvanna. "Aku mendadak inget..."

Terdengar sebuah dering handphone Granger. Ia segera mengangkatnya setelah tahu panggilan itu datang dari Miya.

"Halo, ada apa, Miy?" tanya Granger.

"Granger... sebisa mungkin, cepat kamu dengar berita dari ponsel atau radio," kata Miya di seberang sana dengan nada lirih.

"Kenapa?" tanya Granger penasaran sambil melempar kode pada Silvanna untuk menyalakan radio di mobilnya. Silvanna menurut.

Tak ada jawaban dari Miya selain teriakan dari Alucard yang tak sengaja terdengar dari speaker ponsel Granger. Tak lama kemudian, sambungan telepon itu terputus.

"Berita duka kembali hadir, pesawat Angkasa Airlines yang berangkat menuju Amsterdam telah jatuh di perairan Laut Indonesia pada pukul 06.32 waktu Celestial. Diinfokan kalau pesawat tersebut mengangkut 186 penumpang dengan 12 awak kabin hilang kontak pada perkiraan waktu tersebut. Sampai saat ini tim SAR masih melakukan usaha pencarian..."

Berita duka dari radio itu membuat Granger semakin gusar. Ia memempererat pegangannya pada kemudi mobilnya sambil menunduk lesu. Tak lama kemudian ia meringis lalu memukul kemudi kuat-kuat sambil mengeram.

Keadaan Granger membuat Silvanna ketakutan.

"Gran," Silvanna langsung mengusap bahu dan merapatkan tubuhnya pada Granger. "Tolong tenang dulu."

Granger seakan tak mendengar perkataan Silvanna. Ia bergegas menyalakan mesin mobil dan melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Sepertinya, Silvanna tahu ke mana arah perginya Granger.

Kecepatan pacuan mobil itu terbilang di atas rata-rata, hingga Silvanna ngeri sendiri melihat Granger yang tengah geram menyetir mobil. Dalam hati, Silvanna berharap mereka selamat sampai Bandara.

Dari arah belakang, muncul sebuah mobil yang sepertinya dikenal Silvanna. Mobil sedan hitam itu pasti milik Alucard yang mungkin saja menuju ke tempat yang sama.

Dua mobil itu terus berdampingan seolah-olah jalan hanya milik mereka. Tidak ada yang mendahului maupun yang mengalah soal kecepatan. Mereka harus segera sampai di bandara untuk mengetahui informasi lebih lanjut mengenai Natalia dan Roger.

***

Di papan informasi digital di bandara itu, Granger dan Alucard menyeruak kerumunan yang sepertinya dari keluarga korban. Jari mereka menyusuri dan mencari list nama penumpang yang berada di pesawat itu. Setelah mendapatkan nama Natalia Hunter dan Roger Hunter, mereka mengklik nama orang tua masing-masing, lalu muncul foto dan informasi mengenai data korban yang tertera.

Sudah dapat di pastikan kalau Roger dan Natalia berada dalam pesawat nahas itu.

Kedua pemuda yang biasanya ceria, kini terlihat rapuh secara bersamaan. Mereka berlutut di tengah kerumunan orang yang menangis sambil menyebut nama keluarganya yang juga hilang.

Granger tak ingin Silvanna melihat kemarahan dan kesedihannya mengirimkan pesan pada Silvanna untuk pulang menggunakan taksi. Ia tahu, dalam keadaan seperti ini emosinya pasti tak terkendali. Ia hanya takut kalau Silvanna menjadi pelampiasan amarahnya. Setelah mengirimkan pesan itu, Granger bergegas kembali ke mobilnya dan melajukan mobilnya dengan batas maksimal kecepatan yang tertera. Sambil berteriak, ia terus memukul kemudi mobil yang dikendarainya.

Berbeda dengan Silvanna yang ingin terus bersama Granger. Ia khawatir akan keadaan kekasihnya yang kini tengah dirundung duka yang mendalam. Setelah dijemput oleh Hayabusa di Bandara, Silvanna bergegas ke rumah Granger sore itu. Ia tahu, pemuda itu pasti ada di kediaman keluarga Hunter, tempat tinggalnya beberapa tahun ini.

***

Setelah mengucapkan terima kasih pada Hayabusa, Silvanna bergegas masuk ke pagar otomatis di kediaman keluarga konglomerat itu.

Silvanna memberanikan diri masuk ke kamar Granger meskipun Eudora sudah menahannya. Granger tengah di luar kendali akibat amarah dan kesedihannya karena kehilangan Natalia. Rasa takut seperti yang hanya menyapa kulit luar Silvanna meskipun terdengar suara benda-benda yang membentur dinding, pecahan kaca, hingga beberapa barang yang pecah dari dalam kamar kekasihnya.

Perempuan itu melangkah, masuk lebih dalam ke kamar yang gelap gulita serta lebih mirip kapal pecah. Matanya makin berkaca-kaca kala melihat sosok rapuh di antara benda-benda rusak dan patah. Pria itu menyandar pada lemari kecil yang tampaknya terlalu kokoh untuk dihancurkan.

https://youtu.be/rmgTaoJuvcI

Terdengar geraman amarah, sedih, kehilangan, yang menyatu dalam satu tarikan suara berat nan serak. Suara itu yang membuat Silvanna tak kuasa menahan tangisnya. Ia melangkah cepat lalu menghambur, merangkul sosok rapuh itu serta memeluknya erat. Di sana, mereka seakan menangis bersama. Kala Granger hampir berontak lagi, Silvanna menahannya sekuat tenaga. Ia memeluk leher Granger dan mendaratkan dagunya di puncak kepala kekasihnya.

"Gran, tolong tenang," kata Silvanna berusaha menenangkan di tengah isaknya.

"Gimana mau tenang? Gue nggak punya siapa-siapa lagi sekarang!" sahut Granger masih dengan nada di luar kendalinya hingga Silvanna pun ikut ketakutan.

Silvanna makin terisak. Ia seakan masuk lebih dalam ke jiwa kekasihnya yang baru saja ditinggalkan oleh orang yang sangat disayanginya.

"Gue sekarang sendirian, Silv! Gue nggak punya siapa-siapa lagi di sini!" kata Granger yang suaranya mulai melemah. Kepalanya semakin lekat dengan tengkuk leher Silvanna, mencoba mencari tempat ternyaman untuk bersandar.

"Masih ada aku, Gran," lirih Silvanna semakin memeluk erat kekasihnya. "Kamu masih punya aku! Kamu nggak pernah sendirian." Dari situ, tangis Silvanna juga bucat.

Berkat pelukan itu, Granger menjadi lebih tenang meskipun masih ada sisa isak yang terdengar pelan. Kepalanya perlahan bangkit dituntun oleh kedua telapak tangan Silvanna yang menangkup di rahangnya.

"Kamu jangan bilang gitu, Gran. Kamu punya aku. Kamu nggak akan sendirian, aku janji! Kamu bakal baik-baik aja." Mata Silvanna yang berkaca-kaca turut mengantarkan pesan pengharapan pada Granger. Sebuah harapan kalau Granger akan tenang kemudian. "Jangan kayak gini, aku nggak bisa liat kamu rapuh begini," kata Silvanna lembut di depan wajah Granger yang sembab.

Setelah itu, Silvanna kembali memeluk Granger seraya mengusap rambut hingga punggung pemuda itu. Ia membiarkan Granger tenang bersandar di bahunya. Silvanna memberikan waktu untuk kekasihnya yang kini terlihat rapuh.

Bagi Granger, bahu Silvanna adalah tempat ternyaman untuk bersandar, pelukan Silvanna adalah tempat terhangat untuk menenangkannya. Ia nyaman ada di sana.

Sepuluh hari kemudian...

Suasana pemakaman Natalia dan Roger berlangsung khidmat. Begitu banyak karangan bunga yang berjejer dari lahan parkiran hingga tempat dua orang ternama itu dikebumikan sebagai rasa simpati dan duka cita dari orang-orang.

Dua nisan yang berdampingan itu diusap oleh dua pemuda yang paling dekat dengan mereka.

Tragedi pesawat itu membuat dua pemuda yang biasanya terlihat ceria itu menjadi pemurung dalam sekejap.

Terlihat Miya yang sedang menenangkan suaminya di dekat pusara Roger Hunter, serta di sisi lain ada Silvanna yang terus menggenggam tangan Granger di dekat pusara Natalia.

Setelah proses pemakaman dan doa selesai dipanjatkan, perkumpulan pelayat itu satu persatu pamit undur diri menyisakan keluarga korban serta beberapa temannya.

"Bro, gue turut berduka," ucap Claude yang menepuk bahu Granger dari belakang. Ia sepertinya kehabisan kata-kata hari ini.

Granger menoleh sedikit lalu bangkit dan memeluk Claude. "Thanks," sahut Granger.

Setelahnya, ada Lancelot, Hayabusa, dan Estes yang melakukan hal yang sama secara bergantian. Mereka juga mengucapkan turut berduka pula pada Alucard yang tampaknya masih belum percaya Roger telah meninggalkannya.

Sementara itu, teman-teman Fanny, Odette, Karina, memberikan support pada Silvanna agar tetap sabar dan menjaga Granger sepeninggal orang tuanya.

Selain mereka, ternyata masih ada pelayat yang belum meninggalkan area pemakaman. Ada Alice yang membawa serta Freya dan Layla untuk menyampaikan bela sungkawa pada Granger.

"Granger, kami turut berduka atas peristiwa itu," ucap Ailce lembut.

"Terima kasih, Bu," jawab Granger.

"Semuanya akan baik-baik saja," kata Freya yang juga ikut bersimpati pada Granger.

"Terima kasih, Nona Freya," sahut Granger lagi.

Mungkin, hari-hari Granger setelah ini akan terasa lebih berat mengingat tak ada lagi yang bisa menjadi tempatnya bercerita, berkeluh-kesah, serta sebagai tempat penenang. Mungkin, mulai saat ini Granger akan melimpahkan itu pada Silvanna, calon istrinya.

***

Beberapa hari setelahnya, Granger masih belum bersemangat beraktivitas seperti biasanya. Dan beberapa hari itu juga Silvanna menginap di rumah keluarga Hunter untuk memantau kondisi serta menemani Granger di sana.

Kali ini, Silvanna masuk ke kamar kekasihnya sambil membawa baki yang berisi makan malam untuk sang kekasih. Ia menaruhnya di nakas samping dan bermaksud membangunkan Granger.

"Hon, bangun dulu. Kamu belum makan dari siang," bisik Silvanna di telinga Granger seraya menepuk kecil bahunya.

Belum ada jawaban dari Granger. Bahkan, tidurnya tak terusik sedikit pun.

"Hon, ayo bangun. Jangan siksa perutmu," kata Silvanna lagi

Kali ini Granger terusik, ia berbalik badan dan mulai membuka matanya. Yang pertama kali dilihatnya adalah wajah wanita beriris keabuan yang selalu mengisi hatinya. Wanita itu tersenyum lalu dibalas senyum tipis dari Granger.

"Ini udah lebih dari jam makan malam. Dan kamu belum makan dari siang. Ayo, bangun dulu. Jangan siksa dirimu!" Silvanna menarik Granger agar bangkit dan terduduk.

Setelah menghela satu napas berat, Granger bangkit dan duduk di sisi ranjang, berdampingan dengan Silvanna.

Gadis itu lantas menyisir rambut Granger yang menutupi mata. Sambil tersenyum, ia meminta Granger untuk mencuci mukanya terlebih dulu. "Cuci muka dulu sana, biar keliatan lebih seger," pinta Silvanna yang kemudian memberikan handuk kecil pada kekasihnya. Granger menurut dan langsung beranjak menuju kamar mandi meski dengan langkah gontai.

Tak perlu waktu lama, Granger kembali duduk berdampingan dengan Silvanna di bibir ranjang. Ia mulai mengambil menu makan malam lalu melahapnya. Silvanna senang melihatnya. Setidaknya, Granger sudah tidak rapuh seperti di hari kelam itu. Meskipun masih ada sisa-sisa kesedihan dalam benak Granger, Silvanna yakin kalau hal itu tak akan lama bersemayam di dalam diri kekasihnya.

"Kamu mau tambah?" tawar Silvanna saat Granger hampir menghabiskan makanannya.

Granger menggeleng lembut. Ia meletakkan piring bekas makannya di atas baki lalu meneguk air putih yang juga disediakan Silvanna.

"Aku denger dari Miya kalau Alucard ingin pergi sejenak untuk menenangkan diri." Silvanna kembali membuka percakapan. "Kamu ada rencana yang sama?" tanyanya. "Aku pikir, hal itu bisa membuatmu jauh lebih tenang."

"Dia mau ke mana emangnya?" tanya Granger.

"Aku nggak tau, tadi aku denger dari Miya saja," kata Silvanna menenangkan.

"Kayaknya, liburan adalah rencana yang bagus," Granger setuju dengan usul Silvanna.

"Oke, kamu mau ke mana? Biar aku yang beresin semua keperluan kamu, barang-barang, sampai tiket pesawat atau kereta."

"Aku mau ke Private Island," ucap Granger rendah.

"Oke, aku siapin tiket kereta dan barang-barang kamu dulu," kata Silvanna seraya tersenyum. Akhirnya, Granger sudah bisa diajak berkomunikasi secara normal lagi.

***

2700 kata... Hmm

Maaf ya kalau part ini nggak begitu terasa isi ceritanya. Aku bikinnya buru-buru wkwkwk.

Semoga tetap menikmati jalan ceritanya ya guys. I Love You all :*

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top