12. Eye to Eye


"Honey, please. Jangan bikin aku khawatir," ucap Granger saat mata mereka bertemu.

Silvanna tak menjawab apa-apa, tapi tangannya berangsur memegang perutnya sendiri.

Melihat tingkah itu, Granger membulatkan mata. "Hon?" Granger tajam menatap Silvanna. Ia berusaha membaca sebuah pesan yang ingin disampaikannya lewat tatapan mata. Satu kata yang menghantui pikirannya saat ini. Namun, ia ingin mendengar penjelasan lebih, tak hanya dari tatapan mata kekasihnya.

Bungkamnya Silvanna memancing rasa penasaran Granger. Dari tatapan itu, sudah dapat disimpulkan kalau pikirannya benar. Telah terjadi apa-apa pada Silvanna saat itu.

Tatapan Granger melembut seraya mengatupkan kedua telapak tangannya di wajah kekasihnya. "It's oke, Hon. Aku bakal tanggung jawab," ungkap Granger dengan nada yang tulus seperti biasanya.

Tak lama kemudian, Estes, dokter yang menangani Silvanna saat itu masuk ke ruang IGD sambil membawa catatan resep untuk Silvanna.

"Sebaiknya kamu bisa lebih menjaga kesehatanmu, Silva," peringat Estes dengan hati-hati. "Dan ini resep yang harus kamu tebus di apotek." Estes menyerahkan secarik kertas itu.

"Terima kasih, Dok. Saya akan lebih menjaga kesehatan saya mulai sekarang," sahut Silvanna menerima carikan kertas itu.

"Kalau begitu, saya permisi dulu," pamit Estes kemudian. Setelah melemparkan senyum ramah pada dua sejoli itu, ia meninggalkan ruangan IGD.

"Oke, Silv, minggu depan kita nikah!" sahut Granger serius.

Dahi Silvanna mengerut mendengar kalimat dari Granger barusan sambil terus memegangi perutnya. Ia terkejut saat Granger hendak ikut mengelus perutnya.

Satu tepukan dari kertas resep hinggap di kening Granger. "Mau apa?" tanya Silvanna galak.

"Mau pegang calon anakku, dong," sahut Granger.

"Anak dari Hongkong?!" sahut Silvanna frontal. "Aku laper!"

Rahang Granger hampir jatuh mendengar pernyataan dari Silvanna. "Kamu hamil, kan? Kata Karina kamu mual-mual. Terus megangin perut terus."

"Asam lambungku naik, Gran. Aku nggak jaga pola makan beberapa hari ini," ungkap Silvanna.

Ada udara segar yang dirasakan Granger saat itu. Kalaupun iya Silvanna hamil, ia akan segera bertanggung jawab. "Ja-jadi—"

"Jadi aku nggak hamil. Aku mual karena asam lambungku naik," kata Silvanna seraya menarik napas tipis. "Kamu mau tanggung jawab, kan? Tebusin obat ini di apotek sekarang karena aku udah boleh pulang." Silvanna menepukkan kertas resep itu ke telapak tangan Granger. Ia turun dari brankar secara perlahan sambil menahan senyumnya.

"Thank, God!" Granger yang masih diam di tempatnya mengucap syukur karena tidak terjadi apa-apa pada Silvanna. Ia mendongak dan dan mengusap wajahnya sendiri. Granger merasa, salah satu beban beratnya terlepas hari ini.

***

Kedua sejoli itu tiba di apartemen kediaman Silvanna. Gadis itu langsung ambruk di sofa, sementara Granger mengambil bantal dari kamar Silvanna. Ia membiarkan tunangannya itu berbaring di sofa untuk mengistirahatkan tubuhnya.

"Kamu nggak balik kerja?" tanya Silvanna pada Granger yang kini sibuk menyiapkan sesuatu di dapur.

"Mana tega aku ninggalin kamu sendiri dalam keadaan begini?" sahut Granger.

"Hey inget, kamu kerja bukan di tempat Roger lagi! Nggak ada Alucard yang bisa backup kamu!" Silvanna mengingatkan.

"Aku udah bilang, kok. Kayaknya, atasanku nggak keberatan," kata Granger seraya membawakan nampan berisi makanan yang mereka beli dalam perjalanan pulang tadi.

"Kayaknya? Kamu bilang ke siapa memangnya?"

"Ke asistennya," jawab Granger enteng. Silvanna memutar bola matanya.

"Kalo aku punya karyawan kayak kamu, bakal langsung aku pecat!" celetuk Silvanna.

"Kalo aku punya boss kayak kamu, langsung aku pacarin!" balas Granger tak mau kalah. Ia pun duduk di sofa yang sama dengan Silvanna. "Ayo, keburu dingin makanannya." Granger menuntun SIlvanna untuk bangkit sejenak.

Dengungan manja keluar dari mulut Silvanna yang sepertinya terpaksa duduk. Ia harus menurut sebelum mendapatkan paksaan lebih dari ini.

"Mau disuapin atau sendiri?"

"Sendiri aja." Silvanna memegang mangkuk berisi sup ke depannya. Sementara Granger mulai menyantap makan siangnya.

Seperti biasa, tidak ada yang bicara di antara mereka selama makan berlangsung. Granger sudah mulai terbiasa dengan kebiasaan Silvanna dan keluarganya. Bisa dibilang, ia cukup cepat untuk menyesuaikan diri dengan keluarga Silvanna.

"Kamu udah ketemu Mama sama Papaku?" tanya Silvanna sebagai pembuka percakapan ketika keduanya sudah selesai menyantap makanan masing-masing.

Granger yang tengah meneguk air putihnya, langsung meletakkan kembali gelasnya di atas meja. "Ya, aku ke Moniyan," jawabnya jujur. "Aku udah bilang semuanya pada orang tua kamu, tentang masalah kita, dan pernikahan kita yang tertunda," lanjut Granger meski terdengar berat di telinga keduanya.

"Lalu, apa kata mereka?"

"Mereka sedikit kaget karena kamu memang belum cerita apa-apa sama mereka," sahut pria berusia dua puluh tujuh tahun itu. "Aku bilang ini salahku yang nggak mendiskusikan ini dulu sama kamu. Aku mengambil keputusan itu sendiri. Maafin aku," kata Granger dengan keberaniannya mengakui kesalahannya.

Silvanna sontak menoleh, menemukan sepasang iris hitam yang selalu membuatnya luluh. Pria ini sudah mengatakan semuanya, sudah berani jujur pada keluarganya, sudah berani mengambil keputusan sendiri meskipun ada beberapa orang yang mungkin kecewa dengan keputusannya. Namun itulah Granger, pria yang selalu punya maksud dan tujuan di balik semua keputusannya.

"Ini salahku juga," ucap SIlvanna kemudian. "Aku keburu ngambek sebelum mendengarkan alasan kamu ngambil keputusan itu." Silvanna juga nampaknya tak mau kalah jujur dengan Granger. Prinsipnya kini adalah selalu terbuka pada pasangannya tentang apa yang mengganjal di hatinya.

"Intinya aku mau ngajak kamu hidup sama aku tanpa ada campur tangan dari orang lain," Granger mulai menjelaskan alasannya perlahan. "Kamu tahu, sekarang aku belum sepenuhnya mandiri. Aku masih tinggal di rumah keluarga Hunter, ikut menikmati fasilitas yang ada di sana. Meskipun ada ibu kandungku di keluarga itu, tapi aku bukan siapa-siapa buat Roger dan Alucard. Aku pikir, dengan menandatangani kontrak kerja itu, aku bisa sedikit demi sedikit nggak bergantung lagi di keluarga Hunter. Rencanaku dalam tiga tahun ke depan, aku sudah bisa menikahimu dan memfasilitasimu dari hasil kerjaku sendiri. Sekali lagi aku mau nyampein kalau aku mau mengajak kamu mendampingi aku tanpa adanya campur tangan orang lain."

Penjelasan panjang lebar dari Granger membuat hati Silvanna melunak. Ternyata, itu maksud Granger menandatangani kontrak kerja itu. Pria itu sudah punya ribuan rencana indah yang tak pernah ia tahu untuk mereka ke depannya.

Silvanna menyerah, ia menunduk untuk menyembunyikan butiran bening yang hampir menetes dari matanya. Buru-buru, Silvanna menghapusnya.

"Maafin aku," lirih Silvanna. "Aku terlalu egois." Kini ia mendongak, mengejar iris hitam milik kekasihnya.

Seulas senyum terpancar dari wajah tegas Granger, "It's ok! Kita bisa lanjutkan hubungan ini dengan lebih baik," kata Granger sambil mengacak rambut panjang kekasihnya.

"Sejujurnya, kalau malam itu nggak terjadi, aku nggak bakal marah sampai segininya sama kamu. Kemarin aku cuma takut kalau sampai terjadi apa-apa. Sementara, kamu baru boleh nikah 3 tahun lagi." Silvanna mengungkapkan kekhawatirannya. "Dan untungnya, Miya membantuku memberikan solusi."

Granger terdiam mendengarkan penuturan jujur dari kekasihnya. Mau tak mau, pikirannya melayang pada kejadian terlarang yang mereka lakukan beberapa waktu silam.

"Setelah dipikir-pikir, hal itu terjadi karena salahku juga. Aku terlalu terlena sampai-sampai nggak bisa nahan kamu lagi." Silvanna melanjutkan bicaranya. "Sekali lagi, maafin aku." Lega yang kini dirasakan Silvanna saat itu.

Mendengar permintaan maaf dari sang kekasih membuat Granger tersadar. Hatinya bergejolak seperti ingin mengutarakan apa yang selama ini menjadi rahasia pribadinya.

"Sayang, sebenarnya itu bukan sepenuhnya salah kamu," ucap Granger. Silvanna mendengarkan dengan saksama. Kemudian, iris hitamnya menatap ragu manik abu milik kekasihnya. "Aku yang salah," Granger menjeda sebentar perkataannya. "A-aku yang bikin kamu terlena."

"Maksud kamu?" tanya Silvanna dengan tatapan memicing seperti berusaha membaca makna dari tatap Granger.

"A-aku campurin susu yang kamu minum sama obat—"

"Minuman yang dari kamu?" tanya Silvanna memastikan. Nada bicaranya mengeras seperti orang kaget pada umumnya.

"Iya, itu karena aku punya alasannya sendiri," ucap Granger buru-buru sebelum Silvanna mengambil kesimpulan sendiri.

"Jadi, di minuman aku udah kamu kasih obat—" Silvanna sudah menunjukkan tanda-tanda mulai berapi-api. Gerakan tangan Silvanna sudah mulai tak karuan.

"Dengerin dulu, aku ngelakuin itu karena aku nggak mau kehilangan kamu," kata Granger seraya menahan tangan Silvanna yang hendak menepuk bahunya. "Aku tau kalau tiga tahun itu nggak sebentar, Silv. Aku takut kamu nggak sabar dan nggak mau nunggu aku. Aku cuma takut kamu pergi."

"Jadi kamu pakai berbagai cara buat tujuanmu itu?" Silvanna mulai berapi-api.

"Silv, please jangan marah lagi," mohon Granger. "Aku cuma nggak mau kamu pergi."

"Tapi nggak gitu juga caranya, Gran! Itu sama aja kamu nganggep aku cewek gampangan!" kini Silvanna berdiri, tak peduli dengan rasa mual yang mendadak muncul lagi.

"Bukan itu maksud aku, Silv." Granger mengangkat tangan Silvanna yang kemudian langsung ditepis oleh gadis itu.

"Aku mempertahankan itu juga buat kamu, Gran. Biar di hari pernikahan kita nanti jadi kejutan buat kamu," kini mata Silvanna berkaca-kaca. "Aku nggak bakal ninggalin kamu, cuma karena kontrak kerja itu. Aku bisa nunggu sambil nyelesaiin kuliah aku. Tapi, dengan cara kamu jebak aku pake obat itu, udah bikin aku kecewa sama kamu!" setetes air mata Silvanna jatuh ke permukaan lantai marmer unit apartemennya.

Granger terdiam seraya menunduk. Ketakutannya akan kehilangan Silvanna sudah membutakannya.

"Lebih baik kamu sekarang balik ke kantor, aku mau istirahat di kamar aja," pamit Silvanna dingin seraya membawa sendiri bantal dan selimutnya. Ia menolak saat Granger akan mengambil alih perlengkapan tidurnya.

***

Granger sampai di kantornya sepuluh menit sebelum waktu istirahat berakhir. Ia lantas mengisi form izin yang sudah ditagih oleh resepsionis sebelum masuk ke area inti kantornya. Setelah semua pertanyaan terisi, ia kembali menyerahkan bolpoin dan form tersebut pada sang resepsionis.

Di lorong di antara kubikel menuju ke ruangannya, Granger berpapasan dengan Alice yang tampaknya juga menuju ke ruangannya.

"Oh, kebetulan saya ketemu kamu di sini, Granger. Ada sesuatu yang ingin saya bicarakan," ucap Alice setelah berdiri beberapa inci di depannya.

"Mengenai apa, Bu?" tanya Granger.

"Mari ke ruangan saya," ajak Alice lalu berjalan memimpin Granger menuju ruangan direktur utama.

Granger dipersilakan duduk oleh Alice setelah menutup pintu ruangannya. Granger menurut perintah sang atasan.

"Sayang," panggil Alice ke arah seseorang yang duduk di balik sebuah kursi yang membelakanginya.

Tak lama kemudian, kursi itu berputar dan menampakkan seorang gadis muda bersurai pirang panjang. Gadis itu menatap ke arah Granger setelahnya.

"Granger, dia Freya anakku. Mulai hari ini, dia akan membantu tugasku di perusahaan ini," jelas Alice seraya menghampiri meja kerjanya.

Gadis bernama Freya itu bangkit lalu mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan Granger.

Granger ikut bangkit dan menyambut uluran tangan itu.

"Freya," gadis itu menyebut namanya setelah Granger menyambut tangannya.

"Granger."

Setelahnya, mereka sama-sama duduk di tempatnya.

"Granger, mulai sekarang, divisi perencanaan konstruksi akan dipimpin oleh Freya. Saya harap, kalian bisa cepat akrab mengingat akan ada banyak proyek yang akan kalian jalankan bersama."

"Baik, Bu. Saya akan berusaha sebaik mungkin untuk bekerja sama dengan Nona Freya," sahut Granger.

"Baguslah," Alice bernapas lega. "Memang harusnya seperti itu." Setelah menorehkan senyum pada Granger, wajahnya beralih pada Freya. "Kamu tenang saja, Granger sudah berpengalaman dan profesional. Kamu bisa belajar banyak dari dia," kata Alice kemudian.

"Ya, Mom. Aku sudah bisa menduga itu," sahut Freya.

"Baiklah, Granger. Terima kasih atas waktumu dan kamu boleh melanjutkan waktu istirahatmu," kata Alice seraya mempersilakan Granger keluar ruangannya.

Setelah menorehkan senyum pamit, Granger beranjak dari ruangan itu.

"Bagaimana?" tanya Alice setelah yakin kalau Granger tak ada lagi di ruangan itu.

"Menarik!" sahut Freya yang sepertinya tertarik pada sosok Granger.

***

Sudah beberapa kali Granger menghubungi Silvanna malam itu, namun tak pernah mendapatkan respons. Lagi-lagi Silvanna ngambek. Sampai pada akhirnya Granger mengetikkan sebuah pesan pada kekasihnya

"Please, Hon. Ini Bunda mau ngomong"

Itu pesan singkat yang dikirimkan Granger.

Sempat mengerutkan kening karena keheranan. Tak biasanya Natalia ingin mengobrol dengannya. Pasti, Granger sudah mengadu yang macam-macam pada Bunda tersayangnya itu.

Sebuah panggilan video masuk ke ponsel Silvanna. Setelah tahu itu dari Granger, ia meletakkan pensil dan tugas gambarnya untuk mengangkat panggilan itu.

Lebih cepat dari hitungan detik, wajah Granger muncul di layar ponselnya. "Hmm," sahut Silvanna datar.

"Hay," sahut Granger yang tampaknya berjalan di suatu tempat.

"Kamu di mana? Katanya Bunda mau ngomong?" tanya Silvanna yang penasaran tentang keberadaan Granger. Cowok itu belum mengganti pakaian kerjanya meskipun waktu sudah menunjukkan pukul setengah sembilan malam.

"Aku lagi nganter Bunda sama Papa Roger ke Bandara. Mereka mau berangkat ke Amsterdam malam ini," jawab Granger. "Kamu udah minum obat belum?" tanya Granger.

"Belum. Nanggung tugasnya sebentar lagi selesai." Nada ketus masih terdengar dari mulutnya.

"Heh, kamu lagi sakit, masih aja bikin tugas. Tunda dulu lah sampe kamu sehat lagi!"

"Sayangnya, Mr. Gord yang terhormat tidak peduli dengan itu," kata Silvanna sedikit mendeskripsikan dosen killernya.

"Oh iya, aku kasih ke Bunda," Granger kemudian menyerahkan ponselnya pada sang Bunda.

Silvanna bisa melihat wajah Natalia di layar ponselnya. Wanita itu tersenyum ramah pada Silvanna. "Halo, Silva. Bunda dengar kalau kamu lagi sakit."

"Cuma sedikit, Bunda. Sekarang sudah lebih baik, kok."

"Syukurlah. Maaf ya, Bunda belum sempat jenguk kamu. Bunda juga baru tau dari Granger barusan pas dia nganter ke Bandara. Makannya, Bunda langsung minta Granger telepon kamu."

"Nggak apa-apa, Bunda. Sebentar lagi aku juga sembuh."

Natalia terlihat menghela napas lega. "Kamu baik-baik, ya. Tolong jagain Granger karena Bunda agak lama di Amsterdam."

"Siap, Bund. Kalau perlu, Granger aku rante di sini," canda Silvanna disusul tawa keduanya. "Bunda sama Papa hati-hati, ya. Kabari kami kalau sudah sampai Amsterdam."

"Oke, sayang. Kalau gitu Bunda pergi dulu, ya. Bunda kasih ke Granger lagi."

"Udah dulu, ya. Kamu juga butuh istirahat. Jangan lupa minum obatnya," pesan Granger sebelum akhir pembicaraan mereka.

"Oke. Kamu langsung pulang, kan, setelah dari bandara?" tanya Silvanna.

"Ya, aku nanti langsung pulang. Bye, Honey!" satu kedipan mata dari Granger menjadi akhir pembicaraan mereka di telepon.

Mengingat pesan dari Granger barusan, Silvanna meninggalkan meja belajarnya dan keluar dari kamarnya untuk makan malam dan meminum obatnya.

Beruntung, alasan karena Natalia sukses membuat Silvanna mengangkat telepon dari Granger. Setidaknya, cowok itu tahu keadaan kekasihnya malam itu. Dan sepertinya, Silvanna nggambek tidak akan lama.

Bersambung...


Tuh ada jawaban mengenai nasib Silvanna yang selama ini kalian cari hehehe...

Mulai-mulai ada konflik, nih..

Tunggu kelanjutannya yak :))

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top