11. What's Wrong With Me?
Usai perkuliahan siang itu, Silvanna yang ditemani tiga sahabatnya memutuskan untuk makan siang di sebuah restoran cepat saji di sekitar kampus. Jam makan siang membuat keempatnya kesulitan mencari tempat di dalam. Mereka memutuskan mengambil meja di balkon lantai dua di restoran itu.
Saat keempatnya meletakkan nampan pesanan masing-masing di atas meja, Karina membelalakkan mata kala melihat menu yang dipesan Silvanna. Gadis itu memesan makanan lebih banyak dari biasanya.
"Sumpah, lo abis makan segitu, Silv?" tanya Karina memastikan Silvanna. Khawatir kalau makanan itu akan sia-sia pada akhirnya.
"Ya, gue laper banget," sahut Silvanna sebelum mulai menyantap menu pertamanya.
"Dari awal kuliah sama lo, baru kali ini gue liat lo makan sebanyak ini," kata Karina setelah menyedot lemon tea di gelasnya.
"Lo lagi banyak duit ya, Silv?" celetuk Hayabusa disusul tepakan kecil dari Karina. Hayabusa meringis.
"Lagi laper!" Karina membela Silvanna.
"Halah, kalo makanan dia nggak abis, lo juga siap nampung, kan?" celetuk Lancelot kemudian dan membuat Hayabusa nyengir lebar.
"Dasar Ninja!" gerutu Karina.
"Kalian tumben sempet makan bareng sama gue?" tanya Silvanna yang hampir menghabiskan menu pertamanya.
"Odette lagi sibuk. Dia lagi ngadepin client rewel buat acara lamaran," jawab Lancelot.
"Kagura lagi pusing sama kuis dadakan di kampus siang ini," timpal Hayabusa.
"Kak Estes lagi sibuk shift di rumah sakit," jawab Karina.
"Cowok lo ke mana?" tanya Hayabusa sesaat setelah melahap kentang gorengnya.
"Cowok gue sibuk," jawabnya singkat.
Sebenarnya, ketiga sahabatnya ini belum tahu soal pernikahan Silvanna yang tertunda. Namun mengingat Lancelot sedang dekat dengan Odette, Silvanna tidak yakin kalau Lancelot tidak tahu. Ia belum siap untuk menceritakan ini pada mereka. Ia tak mau banyak orang yang tahu tentang masalah yang tengah dihadapinya. Cukup Odette, Fanny, Miya, dan keluarganya yang tahu tentang hubungannya dengan Granger yang hampir retak.
Kini, Silvanna memulai untuk menyantap menu keduanya. Seporsi spageti itu ia tambahkan dengan banyak saus yang ada di hadapannya.
Karina yang melihat tingkah Silvanna itu, langsung menghentikan Silvanna yang sudah banyak menumpahkan saus di atas spagetinya. "Silv, lo jangan gila. Mulut lo kebakar baru tau rasa!" omel Karina setelah menutup kembali botol saus itu.
"Gue lagi stres, Rin. Gue mau makan pedes yang banyak!" keluh Silvanna akhirnya.
Tak hanya Karina, Hayabusa dan Lancelot pun jadi tertarik dengan kalimat yang baru saja Silvanna lontarkan.
"Stress kenapa?" tanya Hayabusa penasaran.
Silvanna kembali terdiam, barusan ia keceplosan. Harusnya, ia tak boleh bicara tentang keadaannya yang sedikit stres. Ini akibat dari ancaman mamanya di telepon beberapa hari yang lalu. Silvanna jadi kepikiran.
"Sedikit pusing aja," elak Silvanna lalu mulai menyantap makanannya.
"Silv, lo kalo ada apa-apa cerita sama gue," kata Karina yang ternyata tengah memperhatikannya.
"Gue nggak apa-apa, Rin," jawab Silvanna tanpa menoleh sambil menyantap spageti pedasnya.
Karina bengong di buatnya. "Sumpah, pasti lo lagi punya masalah," duga Karina. Insting seorang sahabat memang hampir selalu benar. "Beberapa hari ini setelah lo liburan mandiri di Moniyan, lo jadi kurang fokus kuliah, lo sering telat nyampe kelas, jarang maksimal ngerjain tugas, dihubungi susah. Sebenernya ada apa sih, Silv?" Karina menjabarkan apa yang ia perhatikan dari Silvanna beberapa hari terakhir.
"Gue nggak—"
"Silv!" baru saja Silvanna akan mengelak, Karina langsung menekannya. "Sebaiknya lo ngomong sama gue. Lo kenapa?"
"Gue nggak apa-apa, Rin." Silvanna masih betah dengan kebohongannya.
"Gue tau lo bohong," Karina masih teguh pada keyakinannya.
Mendadak, Silvanna merasakan pusing di kepalanya. "Stop, Rin! Gue nggak kenapa-kenapa!"
Karina merasa, Silvanna banyak berubah. Ia terdiam, membiarkan apa reaksi Silvanna selanjutnya.
"Gue balik duluan," kata Silvanna merasa tidak enak. "Sorry, gue emang lagi kurang mood hari ini," lanjutnya setelah menyambar ranselnya dan pergi meninggalkan meja itu.
Karina menyandarkan sikutnya di meja, lalu menopang kepalanya dengan telapak tangan. "Dia nggak pernah kayak gini sebelumnya. Gue yakin dia pasti lagi ada masalah!" kata Karina yang yakin pada perasaannya.
***
Ruang tamu unit apartemen itu terlihat mirip kapal pecah. Berbagai bungkus snack dan makanan berserakan di mana-mana. Snack dan beberapa makanan berat lainnya Silvanna beli saat hendak pulang tadi.
Silvanna yang baru sadar kalau ia ketiduran di sofa, menengok jam dinding. Sudah pukul tujuh malam lebih. Ia mengusap wajah dengan kedua telapak tangannya. Samar-samar ia mendengar suara bel unit apartemennya berbunyi. Ia langsung bangun untuk membuka pintu meski nyawanya belum terkumpul semua.
Karina adalah sosok di balik pintu itu. "Sorry, soal debat kita tadi siang," kata Karina setelah Silvanna membukakan pintu. Ada sebuah paper bag dari toko roti yang dibawanya saat ini. "Gue ke sini mau minta maaf dan ngelurusin semuanya sama lo."
Silvanna mendesah pelan lalu menyuruh Karina masuk ke unit apartemennya.
"Ya ampun, ini ruang tamu atau kap—" Karina menghentikan perkataannya kala Silvanna mendelik galak padanya. "Oke, nanti gue bantu beresin," katanya kemudian.
"Sebenernya lo nggak perlu begini, Rin. Besok juga gue udah baikan," kata Silvanna saat duduk di sofa bersama Karina. "Gue kurang mood aja hari ini."
"Ya, semua orang pasti punya titik jenuh masing-masing. Tapi gue khawatir sama lo, Silv. Lo banyak berubah, sementara lo nggak pernah cerita apa-apa sama gue. Gue cuma mau tau keadaan sahabat gue sendiri." Karina menyampaikan alasan kedatangannya.
"Thanks, lo udah peduli banget sama gue. Tapi gue rasa, masalah gue sekarang masih bisa gue handle."
"Oke, dan sekarang gue mau nginep di sini. Siapa tau tengah malam atau lebih cepat dari itu lo berubah pikiran dan mau ceritain semua masalah lo," kata Karina. "Oh iya, sekalian kita ngerjain bareng tugas Mr. Gord yang terhormat. Gue nggak mau lo dapet C lagi kayak kemaren!"
Sungguh, Silvanna tak bisa menolak permintaan sahabat sekelasnya itu. Karina akan tetap memaksa meskipun berulang kali Silvanna menolaknya. Karina selalu memiliki cara untuk mencairkan suasana.
***
Pagi itu, Silvanna tengah menyiapkan peralatan masak untuk sarapannya dengan Karina. Mungkin mereka akan membuat sandwich atau pancake sebagai menu sarapan yang simple karena memang mereka bangun kesiangan setelah mengerjakan tugas Mr. Gord sampai tengah malam lebih.
Saat sedang memotong keju, Silvanna merasa perutnya mual. Rasa mual itu terus menonjok perut, ulu hati, hingga tenggorokannya. Ada sesuatu yang ingin menyeruak keluar.
"Uekkk!!" (Suara orang muntah gimana sih? Wkwkwk)
Silvanna langsung berderap menuju washtafel dan menundukkan kepalanya. Rasa mual itu semakin menjadi dan terus mengoyak perut dan tenggorokannya.
Karina yang tengah menata roti tawar di meja, langsung menghampiri Silvanna dengan gusar. Ia mengelus punggung Silvanna dan membantu sahabatnya yang tengah muntah-muntah. Ada ide, ia langsung mencari minyak aroma terapi sedapatnya. Karina mengoleskan minyak aroma terapi itu di sekitar leher hingga pelipis Silvanna guna meredakan rasa mual.
"Lo kenapa?" tanya Karina heran.
Silvanna belum bisa menjawab. Rasa mual itu membungkam mulutnya.
Karina yang terlihat panik, langsung mengambilkan segelas air hangat untuk sahabatnya.
"Silv, minum dulu," Karina menyodorkan segelas air hangat pada Silvanna yang terlihat kewalahan akibat rasa mual itu.
Sayangnya, sebelum gelas itu diterimanya, Silvanna kembali merasa mual. Semakin dipaksa keluar, semakin rasa itu menyiksa dirinya.
"Silv," desis Karina khawatir. "Kak Estes!" Karina berusaha mencari ponselnya untuk menghubungi Estes. Ia berharap, Estes segera mengangkat panggilannya.
"Rin," desis Silvanna.
Karina kembali menghampiri Silvanna yang memanggilnya dan menutup panggilan pada Estes yang belum juga terjawab. Ia kembali meraih gelas air hangat lalu membantu meminumkannya pada Silvanna.
"Masih mual?" tanya Karina.
Silvanna menggeleng. Terlihat jelas kalau wajahnya begitu pucat disertai keringat yang merembes di area hidung dan dahinya. Silvanna memegang perutnya yang merupakan sumber rasa mual yang ia rasakan pagi ini.
"Kita ke dokter, ya!" ajak Karina halus.
Silvanna kembali menggeleng, "Mual biasa, Rin. Bentar lagi juga baikan." Setelah mengatakan itu, Silvanna kembali merasakan mual. Kini, mual itu disertai pusing di seluruh bagian kepalanya. Semakin berat dan tak tertahankan. Entah kenapa, Silvanna tak bisa melihat apa-apa. Semuanya menghitam dan tubuhnya terasa melayang.
Karina menopang tubuh Silvanna yang hampir ambruk. "Silv!" serunya panik.
***
Granger tak sengaja bertabrakan dengan seorang gadis yang tengah membawa segelas air di atas nampan. Hingga gelas itu terpental dari tempatnya dan pecah berserakan di lantai.
Granger berhenti dan bermaksud ingin membantu gadis berkuncir dua itu untuk membereskan serpihan gelas itu.
"Maaf, Layla. Saya jalan buru-buru sampai nggak ngeliat ada kamu," ucap Granger. "Biar saya bantu."
"Nggak apa-apa, Tuan Granger. Ini salah saya juga yang terburu-buru. Biarkan Office boy saja yang membereskan," kata Layla yang kemudian memanggil seorang petugas.
Granger memandang serpihan gelas itu. Ia mengenali gelas itu sebagai gelas kopi yang biasanya dipesan Alice, sang atasan. Atasannya itu memang terbiasa dibuatkan kopi oleh Layla yang notabennya adalah asisten pribadi Alice. Alice tidak pernah mau meminum kopi selain buatan Layla.
"Kopi untuk Bu Alice?" tanya Granger.
"Ya, begitulah. Setiap jam sembilan, beliau selalu minta dibuatkan kopi," sahut Layla dengan nada yang lembut.
"Sekali lagi, saya minta maaf,"
"It's ok, Tuan."
Tak lama kemudian, hanphone Granger berdering dari saku jasnya. Ia melihat layar ponselnya yang menampilkan nomor tak dikenal.
"Halo—" Granger mengangkat.
"Halo Kak Granger, aku Karina. Silvanna masuk IGD!"
Suara yang lembut dan pelan, namun mengantarkan kejut untuk Granger. "A-apa?"
"Aku minta Kakak segera ke sini. Kami di rumah sakit pusat kota!" desak Karina di telepon itu.
"Ya, aku ke sana sekarang," Granger segera menutup sambungan telepon itu dan bergegas pamit pada Layla.
"Layla, saya pamit sebentar ke rumah sakit. Tolong sampaikan permohonan maaf saya pada Alice karena tidak sempat izin padanya," kata Granger.
"Siapa yang sakit, Tuan?"
"Tunangan saya," jawab Granger.
Ada perubahan dari raut wajah Layla. Yang semula ia terlihat tenang dan berseri, kini terlihat sedikit pudar. "Baik, Tuan. Saya akan sampaikan pada Bu Alice. Semoga tunangan Anda baik-baik saja," harap Layla.
"Terima kasih, Layla. Saya pamit dulu." Granger meninggalkannya dengan buru-buru.
Layla sempat menatap Granger yang menjauh darinya. Sesaat kemudian ia tersadar, ia baru melihat ada bintang yang mustahil ia gapai.
***
Tak butuh waktu lama untuk Granger sampai di rumah sakit yang ada di pusat kota itu. Kondisi jalan yang lenggang dan kecepatan pacuan mobilnya membuatnya tak sampai sepuluh menit menempuh perjalanan. Padahal, jika di tempuh dengan kecepatan normal, perjalanan dari kantor Granger menuju rumah sakit memakan waktu sekitar tiga puluh menit.
Granger menyeruak masuk ke ruang IGD yang kebetulan sedang sepi. Ia menemukan Silvanna yang tengah duduk di brankar ditemani Karina di sampingnya.
Melihat kedatangan Granger, ada sedikit getaran di tubuhnya saat itu. Dua minggu lebih tak bertemu dengannya, membuat Silvanna kembali merasakan detak jantung yang tak biasa. Sementara Karina undur diri dan memberikan waktu untuk mereka berdua.
"Gimana keadaan kamu?" tanya Granger setelah jaraknya dengan Silvanna hanya beberapa inci.
Silvanna menunduk, menyembunyikan muka pucatnya. "Kamu tau aku di sini?"
"Aku tau dari Karina," jawab Granger.
Silvanna belum menjawab pertanyaan Granger sebelumnya.
"Honey, kamu baik-baik aja?" harap Granger cemas.
Kini Silvanna menatap Granger. Ini pertama kalinya setelah sekian lama mereka tak saling berkomunikasi. Ada genangan air mata yang terpancar di kedua matanya.
"Honey, please. Jangan bikin aku khawatir," ucap Granger saat mata mereka bertemu.
Silvanna tak menjawab apa-apa, tapi tangannya berangsur memegang perutnya sendiri.
Melihat tingkah itu, Granger membulatkan mata. "Hon?" Granger tajam menatap Silvanna. Ia berusaha membaca sebuah pesan yang ingin disampaikannya lewat tatapan mata. Satu kata yang menghantui pikirannya saat ini. Namun, ia ingin mendengar penjelasan lebih, tak hanya dari tatapan mata kekasihnya.
Bersambung...
Dan akhirnya, author membuatkan langsung dua chapter buat pembaca setia. Sekaligus permohonan maaf author yang udah lama nggak update, hehe
selamat membaca :)) Jangan lupa Vote dan Coment..
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top