10. Gadis Pemurung
Buntut dari aksi Odette yang menginjak rem mendadak adalah terkaparnya Fanny di brankar klinik terdekat. Kening kesayangannya terluka dan harus mendapatkan tiga jahitan akibat terbentur besi jok. Saat ini, gadis tomboy itu tengah ditangani oleh dokter.
Kini Fanny terduduk setelah lukanya selesai ditangani. Silvanna berdiri dan menghampiri Fanny yang masih berbincang sedikit dengan dokter.
"Lukamu akan segera pulih," ujar sang dokter dengan ramah. "Asalkan, kau telaten merawatnya." Seulas senyum tersungging di bibir glossy dokter muda itu.
"Terima kasih banyak, Dok," ucap Silvanna sebelum dokter dan satu perawat—yang selesai membereskan peralatan medis—meninggalkan ruangan itu.
Sepeninggal dokter itu, Silvanna mengusap bahu Fanny. "Lo pasti cepet sembuh," ucap Silvanna memberikan banyak harapan positif pada si tomboy itu.
Tak lama kemudian, Odette yang baru kembali dari ruang administrasi langsung masuk ruang penanganan klinik itu seraya membawa beberapa obat yang baru ditebusnya di apotek.
"Sorry, gue nggak liat ada orang lewat tadi," kata Odette seraya menyerahkan sekantung kecil obat-obatan untuk Fanny—yang segera diterima oleh gadis tomboy itu.
"Jidat kesayangan gue," keluh Fanny sambil memegang perban yang membalut lukanya.
"Bentar lagi juga sembuh!" sahut Odette gemas melihat tingkah manja Fanny.
"Bentar lagi juga 'obat' lo dateng," kini Silvanna yang bicara. Kedua temannya menengok heran. Perasaan, Odette baru saja memberikan obat pada Fanny.
"Fann!" sahut seseorang yang langsung masuk dan menghampiri Fanny ke brankar. Cowok spiky itu terlihat begitu gusar. "Jidat lo nggak ilang, kan?" tanya cowok itu sesampainya di depan Fanny sambil memegang area perban cewek tomboy itu.
"Luka, sakiiittt..." sahut Fanny manja. Matanya berkaca-kaca saat Claude menatapnya.
Merasa geli pada tatapan kekasihnya, Claude mengerlingkan matatanya. "Nggak usah gitu liatinnya deh. Lo kalo manja aneh tau."
Seketika itu, mata Fanny redup disusul dengusan kasar dari hidungnya. "Heh! Cewek lo lagi begini, bisa nggak sih lo pengertian? Lembut sedikit? Atau kasih perhatian? Masih aja sok dingin. Dasar pawang monyet!" amuk Fanny yang sudah tak bisa menahan panas di hatinya. Kedatangan Claude bukan membuatnya tenang, malahan cowok itu membuatnya semakin berapi-api
"Berisiikkk!!" Odette yang tak tahan mendengar perdebatan keduanya langsung melerai seraya berkacak pinggang di antara keduanya. "Ini klinik, bukan hutan! Bikin pasien lain pusing aja!"
"DIA DULUAN!" ucap Fanny dan Claude berbarengan sambil saling tunjuk. Odette semakin dibuat gregetan.
"Pusing gue di sini!" kata Odette yang hampir menggaruk kepalanya sendiri. "Silv, kita temuin gadis itu aja. Dia nunggu di depan, kan?" tanya Odette sambil bersiap meninggalkan ruangan itu.
"Dia ada di luar, masih keliatan shock. Tapi, kata dokter dia nggak kenapa-kenapa," sahut Silvanna sambil menyusul Odette.
Claude memastikan kalau dua gadis itu tidak ada di ruangan lagi. Saat ia merasa aman, ia lantas menatap Fanny.
"Apa?! Pergi lo sana! Lo di sini cuma bikin gue em..." Fanny menggantung kalimatnya karena saat itu juga bibirnya dibungkam oleh bibir Claude. Ciuman tak terduga itu meredamkan api di hati Fanny.
Gadis tomboy itu menatap kekasihnya dengan mata yang berbinar saat ciuman itu berakhir. Lidahnya terasa kelu, terlalu berat untuk mengutarakan sebuah kata.
"Perhatian gue cuma buat lo, bukan buat konsumsi publik," tutur Claude dengan nada yang pelan sambil mengusap lembut perban yang menghiasi kening Fanny. Memang, di kala sepi atau hanya berdua dengan Fanny, dia bisa bersikap selembut itu. Seketika itu pandangan mereka bertemu. Tak terlalu lama namun cukup menggetarkan.
"Gue mau balik kerja. Lo pulang sekarang, gue anterin," ajak Claude sedetik setelah mengalihkan pandangannya ke arah lain.
***
Seorang gadis yang duduk di kursi tunggu terlihat begitu gusar. Kedua telapak tangannya diremas satu sama lain, begitu juga dengan sepasang kaki bersepatu pantofel yang tak mau diam di tempat yang sama.
Kepalanya sontak mendongkak saat Silvanna dan Odette duduk di kedua sisinya.
"It's ok!" tutur Odette lembut. "Kamu baik-baik aja, kan?" tanyanya.
Tak ada kata yang terucap dari bibir mungil gadis itu. Ia menjawab pertanyaan Odette dengan anggukan.
"Kamu nggak perlu takut, nggak ada sesuatu yang serius terjadi pada Fanny," kini Silvanna yang bicara.
"Ini salah aku, Kak." Suara gadis itu terdengar bergetar. Bisa jadi ia tengah menahan ketakutan dan beban kesalahannya barusan yang menyeberang tanpa memperhatikan rambu.
"Nama kamu siapa?" tanya Silvanna.
"Nana," sahut gadis itu pelan.
"Nana, berhenti nyalahin diri sendiri. Karena yang terpenting, kita semua selamat," kata Silvanna berusaha menenangkan gadis itu.
"Baiklah, kami antar kamu pulang sekarang, ya," ajak Odette.
Gadis itu sontak menggeleng, "Aku nggak mau pulang ke rumah, Kak." Ia masih tampak ketakutan.
"Ke-kenapa?" tanya Silvanna yang mulai heran dengan tingkah gadis SMA ini.
"A-aku nggak mau pulang," ulang gadis itu bersama separuh isaknya.
"Oke, sekarang kita makan dulu aja kali ya," sahut Silvanna seraya menunggu persetujuan Odette.
Gadis berparas cantik itu hanya diam sambil menggigit bibir bawahnya sebelum menyetujui ajakan Silvanna. "Untuk makan siang ini, sebenernya gue udah ada janji sama Lance," ungkap Odette secara jujur membuat Silvanna berpikir ulang. "Ta-tapi kalau kalian ikut gabung nggak masalah buat kita," lanjut Odette kemudian.
Silvanna sontak menggeleng, "Nggak apa-apa, lo pergi aja sama Lance. Biar gue yang nemenin Nana makan. Lagian, kalo lo lagi berduaan sama si bocah keriting itu, pasti kita berdua bakal jadi obat nyamuk. Jadi mending, kita nggak ikut," kata Silvanna diiringi senyum nakal.
"Oke kalo gitu, gue anterin kalian ke tempat makan dulu. Kalian mau di mana?" tanya Odette seraya mencari kunci mobilnya di tas.
"Kita mau makan deket-deket sini aja. Biar lo nggak telat ketemu co—calon cowok lo," kata Silvanna sedikit meralat. "Gue titip ransel aja, ya. Nanti gue ambil di tempat lo."
"Baiklah," Odette bangkit. "Gue tinggal dulu," pamitnya diiringi senyum ramah pada kedua gadis yang ditinggalkannya.
"Ayo Na, kita cari tempat makan," ajak Silvanna yang sudah bersiap untuk bangkit.
"Tapi kakak yang satunya gimana?" gadis itu teringat pada Fanny yang masih berada di ruang penanganan sambil menunjuk ke arah pintu kaca itu.
Silvanna menyapu telapak tangannya di udara, "Udah ada yang nemenin, kita pergi aja."
Kali ini Nana menurut. Ia melangkah sejajar dengan Silvanna menuju pintu keluar klinik tersebut. Meskipun dengan langkah yang ragu, Nana yakin kalau SIlvanna bukan orang jahat.
***
Baru saja mereka menghabiskan menu masakan Jepang pesanan keduanya.
"Apa kamu lagi kurang enak badan?" tanya Silvanna pada Nana yang masih saja diam sampai mereka menyelesaikan suapan terakhirnya di restoran Jepang itu. "Kamu keliatan nggak bersemangat."
Nana menunduk selepas menaruh gelas minumnya. Ia menggeleng kemudian.
"Lalu kenapa? Ada masalah dengan keluargamu?"
Kini Nana diam bak memikirkan sesuatu di otaknya yang tak mau orang lain tahu. Beberapa detik kemudian ia kembali menggeleng.
Silvanna heran dibuatnya. Gadis SMA ini lebih pendiam daripada yang ia kira sebelumnya. "Nggak mungkin kalau kamu nggak ada masalah," Silvanna seakan yakin dengan dugaannya. "Pertama, kamu pakai seragam sekolah tapi kamu malah keluyuran di jalan saat jam sekolah. Kedua, kamu lagi nggak fokus sampai-sampai kamu hampir celaka. Dan ketiga, kamu keliatan murung sejak tadi."
Nana mendongkak, menatap mata Silvanna yang memancarkan kekhawatiran padanya. "Aku cuma ingin menenangkan diri, Kak." Akhirnya, sepenggal kalimat itu keluar dari bibir mungilnya.
"Menenangkan diri boleh aja, tapi kamu keluar pas jam sekolah. Atau kamu lagi ada masalah sama temen-temen atau guru kamu?"
"Bukan karena mereka, Kak," lirih Nana. "A-aku cuma mau menenangkan diri."
"Baiklah," Silvanna seakan menyerah untuk mengajak gadis SMA ini ngobrol. "Kalau begitu sekarang kakak anterin kamu pulang, lalu bicara sama orang tua kamu kalau kamu bolos sekolah hari ini!" kata Silvanna seraya meletakkan beberapa lembar uang sebagai tip untuk pramusaji di sana. Ia mengambil tas kecilnya lalu bergegas bangkit.
Nana terlihat begitu gusar saat melihat Silvanna yang spontan ingin mengantarnya pulang. "E-enggak usah, Kak. Aku bisa pulang sendiri," tolaknya dengan nada ketakutan.
"Nggak, orang tua kamu harus tau kalau kamu bolos hari ini. Sekaligus, Kakak mau meminta maaf pada keluargamu atas kejadian tadi." Sepertinya, keinginan Silvanna sudah tidak bisa ditawar lagi.
Nana semakin pasrah dengan keputusan Silvanna. Hati dan otaknya masih bekerja sama untuk menemukan suatu cara agar Silvanna tak jadi mengantarnya. Sayangnya, hingga mereka tiba di halte terdekat, Nana belum juga menemukan alasan agar Silvanna mengurungkan niatnya untuk mengantar Nana.
Saat keduanya tengah berdiri menunggu bus di halte, seseorang menghampiri Silvanna sambil membawa kertas kecil.
"Permisi, Nak. Apa kau tau alamat ini?" tanya wanita separuh baya yang ternyata hendak menanyakan sebuah alamat pada Silvanna.
Silvanna mengamati kertas itu dan membaca alamatnya dengan teliti. Tak butuh waktu lama, Silvanna langsung menjelaskan detail alamat yang dimaksud wanita tadi. Hampir tiga tahun tinggal di Celestial, membuatnya sudah tahu sebagian besar wilayah kota itu. "Oh, untuk lebih cepatnya, Anda bisa naik bus dari halte ini. Nanti, Anda bisa turun di halte kedua. Kebetulan, saya juga akan pergi ke arah sana," jawab Silvanna ramah membuat wanita paruh baya itu bernapas lega dan menyimpan harapan pada Silvanna.
"Terima kasih, Nak," ucap wanita itu.
Saat sebuah bus berhenti di halte itu, Silvanna menengok ke arah yang lain untuk mengajak Nana naik ke bus yang sama. Namun, Silvanna tak menemukan Nana lagi di sana. Gadis SMA itu hilang entah ke mana. Matanya ke sana ke mari untuk mencari keberadaan Nana. Sayangnya, sosok Nana seakan menghilang dari bumi saat itu juga.
"Ayo, Nak."
Silvanna tersadar saat wanita itu memanggilnya dari pintu masuk bus. Ia juga baru sadar kalau semua penumpang yang menunggu bus di halte tersebut sudah naik semua ke dalam bus. Mau tak mau, Silvanna naik ke bus, melupakan Nana yang pergi entah ke mana.
***
Pukul sembilan lebih sedikit, Silvanna baru sampai di apartemennya. Ia memutuskan untuk membantu Odette di salonnya selepas makan siang tadi. Setelah meletakkan barang-barangnya, Silvanna merebahkan diri di tempat tidur.
Lamunannya terbang seraya menatap langit-langit tempat tinggalnya berpuluh-puluh bulan lamanya. Usai menenangkan diri di Moniyan dan menceritakan semua masalahnya hanya pada Dyrroth, hati Silvanna sedikit tenang. Namun hingga saat ini ia belum juga berkomunikasi lagi dengan Granger. Bukannya cowok itu tidak menghubunginya, Silvanna sengaja tak mengangkat telepon atau membalas pesan dari Granger. Ia mengepalkan jarinya lalu menepuk keningnya sendiri.
Saat ada satu niatan untuk menghubungi Granger kembali, Silvanna baru ingat kalau ia tidak memegang handphone sejak menghubungi Claude di klinik tadi. Matanya membulat, ia segera bangkiat dan menyambar tas kecilnya yang menggantung di hanger kamarnya.
Benar saja, begitu ia membuka layar kunci handphonenya, begitu banyak pesan singkat dan panggilan tak terjawab yang masuk. Jangan tanya siapa orang yang banyak mengirim pesan padanya. Namun, ada beberapa panggilan tak terjawab juga dari nomor mamanya. Ketika Silvanna akan menelepon mamanya, sebuah panggilan masuk ke handphonenya.
"Iya, Ma." Secepat kilat Silvanna mengangkatnya.
"Kamu sudah sampai apartemen? Dari tadi Mama hubungi, kamu nggak angkat," kata wanita yang dipanggil "Mama" oleh Silvanna.
"Maaf, Ma. Tadi aku bantu Odette di salonnya sampai aku nggak ngecek hp. Ada apa, Ma?"
"Granger tadi ke sini."
Kalimat itu membuat Silvanna membulatkan mata seraya menegakkan punggungnya.
"Dia sudah bicara semua masalah kalian pada Mama dan Papa. Kenapa kamu nggak cerita ke Mama soal ini? Pernikahan kalian harus tertunda, kan?"
Silvanna terdiam, masih bingung mau menjawab apa.
"Silvanna!" panggil mamanya di seberang sambungan telepon sana kala tak mendengar jawaban apapun dari Silvanna.
"Ma-maaf, Ma. Aku belum berani cerita kemarin," akhirnya Silvanna berkata jujur.
"Lalu bagaimana ini? Mama sudah terlanjur bilang pada teman-teman Mama kalau kamu akan menikah sebentar lagi dengan seorang anak pengusaha kaya. Kalau mereka sampai tau, mau ditaruh di mana muka Mama?" dari nada bicaranya, Silvanna tahu kalau mamanya sedang kesal.
"Ma, ini kan cuma ditunda. Lagi pula, aku belum ngobrol lagi sama Granger."
"Kalian berantem karena masalah ini, kan? Ayolah Silvanna, kamu harus bisa menekan Granger. Beri dia pilihan, dia mau melanjutkan kontrak kerja itu atau memilih untuk menikah denganmu. Kalau belum ada kejelasan sampai akhir bulan ini, lebih baik kamu tinggalkan dia!"
"Nggak bisa begitu, Ma. Masalah ini kan bisa kita selesaikan dengan ..."
"Sudahlah Silvanna, pokoknya kamu harus bisa menekan Granger. Kalau dia serius sama kamu, dia pasti akan memilih kamu daripada pekerjaannya itu!"
Tak lama setelahnya, sambungan telepon itu terputus.
Silvanna melempar asal handphonenya ke tempat tidur. Ia menepuk keningnya lalu menjambak separuh rambutnya, frustrasi. "Kenapa bisa jadi begini?"
Bersambung...
Holla, ada yang kangen sama cerita ini?
Nggak ada?
Yaudah huhuhu... :'(
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top