07. Spend the Night
Perhatian ya gaiss...
Pembaca di bawah umur tolong skip aja chapter ini karena mengandung konten dewasa.
Author sengaja langsung up dua chapter hari ini biar kalian bisa langsung baca chapter selanjutnya...
Mobil sport itu masuk ke halaman setelah melalui pagar otomatis kediaman Hunter dan berhenti di garasi. Melihat ke samping, hanya ada mobil Alucard yang terparkir di sana. Granger bergegas turun dan membukakan pintu mobil untuk Silvanna.
"Alay banget, sih!" komen Silvanna sambil terkekeh saat Granger membukakan pintu mobil dan mengulurkan tangannya. Pada akhirnya, Silvanna menerima uluran tangan itu.
"Udah terlalu malam kalau sampai aku nganter kamu ke apartemen, jadi lebih baik kamu nginep di sini," kata Granger seraya menggandeng Silvanna masuk ke area teras yang luas.
"Emang nggak apa-apa?" tanya Silvanna.
"Masalahnya apa? Kamu bakal jadi bagian dari keluarga ini. Jadi, nggak masalah," sahut Granger. "Lagi pula, malam ini cuma ada Alucard dan Miya. Bunda sama Papa Roger lagi ada urusan ke luar kota."
Keduanya mengobrol ringan hingga mereka menginjakkan kaki di depan kamar tamu. "Eudora!" panggil Granger.
Tak lama kemudian, muncul seorang perempuan muda yang menjadi asisten rumah tangga di keluarga itu. "Ada yang perlu saya bantu, Tuan?"
"Tolong siapkan baju tidur dan minuman hangat untuk Silvanna. Dia akan menginap di sini malam ini," perintah Granger pada Eudora.
Eudora mengangguk sopan, "Baik, Tuan." Ia bergegas pergi untuk melaksanakan perintah sang majikan.
"Ya udah, kamu istirahat aja di dalem. Kalau ada perlu apa-apa bilang Eudora atau aku," kata Granger seraya membukakan pintu kamar untuk Silvanna.
Silvanna menorehkan senyum seraya mengangguk. "Jangan lupa mandi sebelum tidur," Silvanna mengingatkan.
Setelah meletakkan barang-barangnya, Silvanna bergegas ke kamar mandi untuk mencuci muka sekaligus menunggu baju tidur yang sedang disiapkan Eudora. Saat berkaca di kamar mandi mewah itu, pikirannya melayang, memikirkan hal yang masih ia tak sangka. Ia akan menjadi bagian dari keluarga tajir ini. Meskipun setelah ia dan Granger menikah, Silvanna tak berharap banyak. Asal dengan Granger, ia akan bahagia.
Tiga puluh menit kemudian, Silvanna baru selesai membersihkan diri. Ia keluar kamar mandi seraya mengeringkan rambut basahnya menggunakan handuk. Baju tidur pemberian Eudora sudah dikenakannya selepas mandi tadi. Kini, gadis dua puluh dua tahun itu tengah mematut diri di depan cermin sambil memanaskan hair dryer.
Sensasi hangat dirasakannya di seluruh bagian kepala ketika hair dryer menyapu-nyapu rambut cream panjangnya. Silvanna sudah biasa menghabiskan waktu lebih dari lima belas menit untuk mengeringkan rambut panjang tebalnya.
Beberapa saat kemudian, suara ketukan pintu membuat Silvanna mengalihkan pandangan dari cermin. Sesosok pemuda bertubuh tinggi masuk sambil membawa segelas susu dan air mineral atas nampan.
"Kamu udah mandi?" tanya Silvanna yang kembali mengeringkan rambutnya.
Granger meletakkan nampan itu di atas meja rias. "Kamu nggak liat aku lebih ganteng sekarang?" Pertanyaan dari Granger sekaligus membuat Silvanna tersenyum geli.
Granger mendekat dan mengambil alih hairdryer dari tangan Silvanna. Dia ingin membantu mengeringkan rambut kekasihnya itu. "Kamu lebih cantik kalau tanpa make-up," kata Granger yang mengagumi wajah polos Silvanna yang memantul di cermin.
"Gombal!"
Granger tersenyum miring. "Kamu minum dulu aja susunya biar tidur kamu nyenyak."
Silvanna mengambil gelas susunya lalu meneguknya perlahan. Setelah dirasa cukup, ia meletakkan kembali gelas itu ke tempat semula.
"Makasih, Honey," ucap Silvanna kemudian. "Kamu kenapa nggak langsung tidur? Kegiatanmu hari ini padat, lho."
Granger tak langsung menjawab. Ia masih fokus pada rambut Silvanna yang menguarkan aroma shampo yang amat wangi. Dari rasa lembut dan bersihnya rambut itu, Granger bisa menebak kalau Silvanna sangat telaten dalam menjaga mahkotanya.
"Aku masih kangen sama kamu," kata Granger sambil meletakkan hair dryer karena rambut Silvanna sudah mengering. Dipeluknya Silvanna dari belakang.
Dari pantulan cermin, Silvanna bisa melihat betapa rindunya Granger padanya, ia mengusap tangan kekar yang memeluknya sambil memperhatikan cowok itu yang kini tenggelam di ceruk lehernya. Dalam dua detik, gadis itu berdiri berhadapan dengan kekasihnya.
"Tadi kan kita udah seneng-seneng di acara kantor baru kamu," kata Silvanna lembut saat mereka berhadapan. "Kamu harus istirahat. Besok kita pergi berdua lagi ke mana pun kamu mau, ya." Silvanna mengusap pipi kiri Granger.
Respon Granger berbeda, ia malah menarik pinggang Silvanna agar tubuh mereka merapat. "Nggak ada besok-besok!"
Silvanna sempat tersentak saat Granger menarik pinggangnya ke pelukan. Mulutnya seakan bungkam, terkunci rapat saat ia menemukan iris hitam yang menatapnya tajam. Tatapan itu yang membuat otaknya kehilangan kata-kata dalam sekejap.
Granger mengusap rambut Silvanna, berangsur turun ke pipi, mengutus ibu jari untuk menyusuri tulang pipi hingga bibir. Saat jemarinya menyisip ke belakang telinga, ia menarik kepala gadis itu untuk menyatukan bibir mereka. Tak ada penolakan sedikit pun dari Silvanna karena memang mereka sudah terbiasa berciuman.
Lumatan berujung kuluman menciptakan sensasi tersendiri untuk pasangan yang dimabuk asmara itu. Meski mata keduanya terpejam, mereka seakan hafal dan mengerti apa yang pasangannya butuhkan. Ciuman mereka semakin dalam dan memabukkan. Silvanna yang seakan diajak melayang langsung melingkarkan tangannya di leher kekasihnya.
Saking dimabukkan oleh ciuman itu, Silvanna tak sadar kalau punggungnya kini bersandar di tembok. Ia hanya menikmati tiap kuluman dan lumatan yang diberikan Granger padanya. Desah halus lolos dari mulut Silvanna saat jeda ciuman panas mereka. Ia menatap sayu Granger yang menatapnya. Dalam hitungan detik, bibir mereka kembali menyatu.
Granger lebih agresif dan mendominasi ciuman mereka hingga tangannya bermain-main di leher jenjang kekasihnya. Tak hanya tangan, bibirnya pun berangsur turun untuk mengecup leher kekasihnya dan bermain di situ. Baginya, aroma tubuh Silvanna selepas mandi seribu persen lebih membuatnya betah berlama-lama.
Pelukan Silvanna pada leher Granger semakin mengencang. Hal itu menandakan bahwa ia sudah terlena dengan permainan bibir Granger di sekitar lehernya. Ia pun terlihat pasrah saat Granger menggendong tubuhnya ala bridal dan mendaratkannya di kasur king size empuk berseprei cokelat cerah.
Tanpa ragu, Granger memperdalam ciumannya hingga gadis yang ditindihnya menggeliat tak karuan. Desahan halus kembali lolos dari bibir ranum gadis itu.
Tak hanya sampai di situ, jemarinya bergerak sesuai dengan kehendak nafsunya. Butir demi butir kancing piyama yang dikenakan Silvanna, perlahan dilepasnya. Namun, baru beberapa butir terlepas, tangan Silvanna menahannya.
"Apa ini udah waktunya, Granger?" tanya Silvanna yang sepertinya ingin mempertahankan akal sehatnya.
Granger menatap wajah Silvanna dari atas, mengusap rambut panjangnya. "Kamu percaya sama aku, kan?" tanya Granger halus. Tanpa menunggu Silvanna berkata lagi, Granger kembali memagut bibir rekah kekasihnya seraya melanjutkan aksinya. Granger tak bisa—tak mau—berpikir lagi. Silvanna harus menjadi miliknya malam ini, seutuhnya.
Satu desahan lolos dari mulut Silvanna saat tangan Granger berhasil menyentuh bagian sensitifnya. Silvanna semakin erat memeluk kekasihnya, meremas punggung bertato itu untuk menahan kenikmatannya.
Sebelah kaki Granger mencoba meraih ujung selimut yang ada di sisi bawah ranjang, ia menariknya dan menyibakkan selimut itu untuk menutupi tubuh keduanya. Bukan hanya selimut tebal, kini tubuh mereka dikelilingi kabut kerinduan serta kobaran nafsu yang tak mudah surut dalam waktu singkat.
"Aku mencintai kamu, Silvanna," bisik Granger lembut langsung ke telinga Silvanna sambil melakukan sesuatu di bawah sana.
Wajah Silvanna yang semula tenang perlahan berubah. Matanya mengerut seraya mengeluarkan erangan halus pertanda ada rasa sakit yang hadir saat itu. Napasnya memburu sambil mempererat pelukan pada kekasihnya sambil mencengkeram punggung dan rambut Granger secara bergantian.
"Ohh~..." Silvanna menggigit bibir bawahnya untuk meminimalisir rasa perih yang ia rasakan saat itu. Air matanya berlinang saat menatap Granger. Seperti ada rasa yang selama ini dipendamnya dan baru kali ini ia utarakan.
"Kamu baik-baik aja?" tanya Granger lembut selembut belaian tangan di rambut krem Silvanna.
"I'm fine," lirih Silvanna pelan berusaha menyembunyikan rasa perihnya.
"Aku mulai, Honey." Granger mulai bergerak sambil menahan desah saat melihat Silvanna sudah tidak kesakitan. Ia menatap gadis yang ditindihnya sudah mulai menikmati permainannya.
Desahan Silvanna tak terbendung kala benda asing itu mengoyak satu bagian dari tubuhnya. Tak ada yang bisa ia lakukan kecuali mengikuti ritme pergerakan dari Granger. Sesekali, cowok itu juga membalas suara lembut itu dengan lumatan kecil karena saking gemasnya sambil mempercepat gerakannya.
Tak puas bermain di bibir ranum gadis itu, lumatan Granger berangsur turun ke bawah, menggigit kecil leher jenjang gadisnya hingga meninggalkan jejak merah di sana.
"Gran..." Silvanna menegang di balik selimut, mengeratkan kaki yang melingkar di pinggang kekasihnya menyusul erangan panjang yang keluar dari mulutnya.
Silvanna terengah, bak dikejar zombie yang hendak memangsanya. Saat jeda, ia menghirup udara sebanyak-banyaknya seraya menatap pasrah pada Granger. Baru saja ia melepaskan satu momen yang asing baginya, momen kali pertamanya dengan Granger.
Tak lama kemudian, Granger kembali bergerak serta menciptakan erangan dari mulut Silvanna yang sepertinya belum siap. Perlahan-lahan, dengan lembut dan tidak terburu-buru. Hingga akhirnya pergerakan itu berangsur cepat saat Silvanna mulai menikmatinya kembali.
Mereka seakan lupa batasan yang harusnya mereka jaga. Tidak ada yang menghalangi keduanya saat itu. Maksimalnya kerinduan yang bertumpuk dalam benak mereka, tak cukup ditebus oleh sebuah pelukan atau ciuman. Kerinduan yang menggunung itu harus dibayar lebih.
Keduanya terjerembab dalam tempo yang seakan lama bergerak, hanyut dalam buaian asa yang tak pernah berhenti mengalir, dan tenggelam dalam palung nafsu yang langsung menelan habis akal sehat keduanya.
Semuanya sudah terlambat, terlanjur terjadi.
Kini saatnya mereka bekerja sama, mencapai satu tujuan yang tengah mereka pijak. Sebuah puncak yang membuat mereka semakin erat dalam engah.
❤❤❤
Pagi kian benderang, saat Silvanna berbalik untuk menghadap ke arah yang lain. Hangat helaan napas terasa di sekitar wajahnya yang membuat matanya perlahan terbuka. Wajah pulas Granger yang tidur menyamping ke arahnya adalah pemandangan pertama yang dilihatnya pagi ini.
Seketika ia tersentak kaget karena mendapati Granger tidur di sampingnya. Namun, kepingan ingatannya perlahan muncul tiap kali napasnya terembus. Silvanna ingat. Menyadari. Malam itu sudah terjadi.
Silvanna meraih pipi kekasihnya, mengusapnya lembut. Dari matanya, terpancar sebuah pesan pengharapan yang amat lebih pada pemuda itu. Belum pernah ia mencintai seorang pemuda seperti ia mencintai Granger. Banyak yang sudah ia korbankan, termasuk hal yang seharusnya ia jaga.
Silvanna mendekatkan kepalanya ke kepala Granger yang masih tertidur. Dalam pejam, ia mengecup bibir kekasihnya itu untuk beberapa detik. Anggap saja, itu kecupan selamat pagi untuk orang tercintanya.
Kecupan itu membangunkan Granger. Ekspresinya kurang lebih sama, terkejut seperti halnya Silvanna tadi. Saat melihat senyum tulus dari Silvanna pagi itu, wajah Granger menenang, begitu juga dengan ingatannya yang muncul tentang kejadian tadi malam.
Beberapa lama mereka bertatapan, Granger menarik Silvanna untuk mendekat ke pelukannya. Dikecupnya bibir gadis itu untuk sesaat sebelum ia mengistirahatkan dagunya di puncak kepala Silvanna. Kedua tangannya mendekap sang kekasih bak tak ingin dia pergi, mengelus rambut panjang gadis itu dengan penuh kasih sayang.
"Kita udah ngelakuinnya, Gran," kata Silvanna pelan saat ia tenggelam di dada bidang kekasihnya. Ia terlalu nyaman berada di situ. Aroma tubuh Granger bak tak berkurang sedikit pun, tak ada bedanya dengan semalam.
"Aku tau," responnya singkat seraya merapatkan tubuh mereka. "Maaf, aku nggak bisa ngendaliin diri semalam, sampai semuanya harus terjadi."
"Aku juga nggak bisa cegah kamu semalam," kata Silvanna pelan lalu menggeliat—bak anak kucing yang mencari tempat ternyaman—di dada kekasihnya.
Silvanna terlalu betah berada di pelukan Granger. Namun, cowok itu tampak memikirkan sesuatu yang membebani pikirannya. Sejak kemarin sore, tepatnya sebelum gala dinner dimulai, Granger harus berhadapan dengan satu pilihan yang sulit. Pilihan antara rencananya masa kini dan karir yang diprediksi akan membesarkan namanya dalam waktu dekat.
Namun, pikirannya menuntunnya pada satu pilihan. Mungkin, pilihannya ini harus segera ia bicarakan pada kekasihnya mengingat hal tersebut sangat berpengaruh pada rencana pernikahan mereka.
"Silv, apa kamu nggak nyesel ngasih semuanya ke aku sekarang?" tanya Granger setelah pembicaraan mereka terjeda.
"Awalnya, aku khawatir, Gran. Aku takut kamu ninggalin aku," sahut Silvanna dengan suara pelan. "Tapi, kita kan sebentar lagi nikah. Aku rasa, kekhawatiran aku bisa berkurang."
Mendengar jawaban itu, Granger jadi semakin bingung. Bagaimana cara untuk membicarakan masalahnya pada Silvanna. Apakah pagi ini adalah waktu yang tepat? Namun, jika hal ini terus ditunda-tunda, ia takut Silvanna akan lebih merasa kecewa, apalagi kalau gadis itu harus tahu dari orang lain.
"Silv, kamu percaya, kan, kalau aku benar-benar sayang sama kamu?" tanya Granger saat mengatupkan tangannya di rahang Silvanna.
Mata tegas itu membuat Silvanna khawatir. "Kalau aku nggak percaya, aku nggak bakal terima lamaran kamu dan melakukan semua ini sekarang, Gran," jawab Silvanna, namun Granger hanya diam.
Wajah khawatir yang ditampakkan Granger, membuat Silvanna menatapnya serius. Sesekali, iris keabuannya seakan menembus tiap lapisan mata kekasihnya untuk menemukan sesuatu yang disembunyikannya melalui ekspresi tak terbaca itu.
"Ada masalah?" tanya Silvanna lembut, berusaha mengontrol kekhawatiran dalam hatinya.
Granger bergumam, menatap mata kekasihnya yang penuh ketakutan. "Aku bingung mau ngomong ke kamu masalah ini. Karena ini menyangkut pernikahan kita," jawab Granger hati-hati.
Kening Silvanna mengerut seiring satu napas berat yang baru diembusnya. "Ke-kenapa dengan pernikahan kita?" tanya Silvanna terbata. "Semuanya baik-baik aja, kan?"
Granger kembali terdiam untuk sesaat. Dengan sejuta kesiapan di dada, ia memutuskan membicarakannya hari ini. "Sayang, maaf. Pernikahan kita harus ditunda."
Hati gadis itu bak dihantam petir jutaan watt. Membuatnya kaku, kelu, hancur berkeping-keping. "Ke—kenapa?" tanya Silvanna sambil menahan tangisnya.
"Kemarin aku tanda tangan kontrak kerja. Di sana tertulis, aku tidak boleh menikah selama tiga tahun." Akhirnya Granger berkata jujur.
Tangis Silvanna bucat saat itu juga. Perasaan marah, kecewa, sedih langsung berkecamuk di dadanya di waktu yang sama. "Kenapa kamu nggak bilang dari awal, Gran!" sahut Silvanna bersama kekecewaannya yang ditumpahkan melalui tangisan. Kepalan kedua tangannya menghantam Granger, kemudian ia mendorong Granger menjauh darinya. "Kita udah ngelakuinnya! Kalau terjadi apa-apa sama aku gimana?!"
Granger yang tak bisa melihat kekasihnya meledak-ledak, langsung memeluknya meskipun gadis itu masih berontak. "Silv, kalaupun terjadi apa-apa, aku siap bertanggung jawab! Kamu nggak perlu khawatir soal itu." Granger semakin erat memeluk Silvanna.
Gadis itu menggeleng-geleng, tidak percaya kalau Granger memutuskan satu keputusan yang penting tanpa mendiskusikannya dengan Silvanna.
Gadis itu masih berontak, berusaha melepaskan pelukan Granger di tubuhnya. "Lepasin!" geramnya. "Kenapa kamu nggak bilang dari kemarin? Kalau aja kamu bilang, kita nggak bakal ngelakuin itu sekarang!"
"Ini salah aku!" Granger dengan gentel-nya mengakui kesalahannya.
Dengan satu hentakkan, Silvanna lolos dari pelukan Granger. Ia berdiri dan melangkah menuju lemari tempatnya menyimpan baju pesta semalam.
"Silv, kita bisa ngomong baik-baik." Granger masih mencoba menahan gadis itu. "Aku nggak bakal lepasin tanggung jawab aku."
Setelah semua pakaiannya utuh, Silvanna menguncir rambutnya asal, namun masih terlihat rapi. Dari belakang, Granger kembali mencekal lengannya agar tidak pergi.
"Silv!"
Silvanna mengempas tangan Granger, "Tolong, biarin aku sendiri dulu buat nyari ketenangan. Jangan hubungi aku dulu," lirih Silvanna seraya melempar kekecewaan yang amat dalam melalui tatapan matanya. Silvanna keluar kamar, meninggalkan Granger yang terduduk pasrah di bibir ranjang.
Baru saja Silvanna menutup pintu, Miya memanggilnya dari meja makan.
"Silva, kamu nginep di sini?" tanya Miya ramah setelah menyiapkan piring roti untuk Alucard. "Mari sarapan bareng."
Silvanna berusaha bersikap senormal mungkin, menganggap tak ada yang terjadi sebelumnya. "Terima kasih tawarannya, Miya. Sayangnya, aku ada kelas pagi ini jadi harus buru-buru ke kampus. Mungkin lain waktu," tolak Silvanna secara halus. Entah, Miya bisa mendengar suara gemetarnya atau melewatkannya begitu saja. "Aku pulang dulu, Miya, Alu. Permisi." Silvanna buru-buru keluar rumah megah itu.
Miya yang masih memandang punggung Silvanna merasa heran. Ia lantas menatap suaminya yang sama-sama memasang wajah penasaran. "Granger ke mana? Apa mereka—?" Buru-buru Miya menepis pikiran negatifnya. "Coba kamu cek ke kamar."
Mendengar itu, Alucard bangkit dan berderap ke arah kamar yang ditempati Silvanna sebelumnya. Saat sampai di depan pintu, matanya terbelalak saat melihat Granger yang bertelanjang dada duduk di bibir ranjang sambil menjambaki rambutnya sendiri.
Melihat keadaan tempat tidur yang berantakan disertai noda kecil, Alucard menyimpulkan sesuatu dalam pikirannya. "Lo—serius?" tanya Alucard saat berdiri di depan Granger.
Granger malas menjawab dengan kata. Ia hanya menyahut dengan bahasa tubuh yang dimengerti Alucard. Intinya, Granger menjawab 'ya'.
"Apa dia udah tau perjanjian kontrak kerja lo?"
"Dia baru tau, makannya dia ngamuk," sahut Granger sambil mengenakan kaos hitam panjangnya.
"Lo harus bener-bener selesaiin masalah ini. Jangan anggap sepele!" peringat Alucard sebelum saudara tirinya itu meninggalkan kamar itu.
Bersambung...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top