06. Gala Dinner

Silvanna turun dari taksi di depan gerbang "Swan Beauty and Salon" milik Odette. Di dalam taksi itu masih ada Granger yang harus segera berangkat ke kantor. Sebelum menutup pintu penumpang, Silvanna sempat berpamitan pada cowok bersurai hitam itu.

"Hati-hati, ya. Nanti kamu ke sini aja sehabis pulang kerja," kata Silvanna.

"Oke, dan tolong bilangin Odette suruh dandanin kamu yang cantik!"

Bukannya menjawab, Silvanna malah memutar bola matanya seraya menutup pintu penumpang. Kemudian, ia membalas lambaian tangan Granger yang kembali melanjutkan perjalanan dengan taksi itu. Setelah Silvanna tak melihat taksi tadi, ia segera masuk ke dalam salon sahabatnya itu.

Odette menamakan Swan Salon karena ia terinspirasi dari salah satu danau cantik yang ada di kota Celestial ini. Selain itu, di sana menjadi tempat bersejarah bagi Odette karena di situlah tempat kencan pertama Odette dengan Lancelot berlangsung satu setengah tahun yang lalu. Semenjak pertemuan mereka di lokasi syuting film pendek, mereka jadi sering berkomunikasi dan akhirnya dekat.

Mendekati pintu masuk, Silvanna berpapasan dengan seorang cowok yang tampak rapi dengan setelan tuksedo yang melekat di tubuhnya. Mereka bertemu tatap dalam beberapa detik.

"Mau ke mana, lo? rapi amat?" tanya Silvanna saat melihat penampilan Claude yang jauh lebih rapi dari biasanya.

"Mau kondangan ke sodaranya!" Bukan Claude yang menjawab melainkan seorang gadis berambut pendek—yang juga sudah rapi dengan gaun selutut—yang tiba-tiba muncul di belakangnya dengan langkah hati-hati. Sesekali gadis itu mengutuk kecil mengenai betapa sulitnya berjalan di atas highheels. Dengan sigap, Fanny meraih tangan Claude untuk menyeimbangkan dirinya yang hampir terjatuh.

Silvanna ngeri sendiri melihat Fanny yang sepertinya bersusah payah merias diri dengan penampilan seperti itu. Fanny benar-benar butuh perjuangan.

"Kalian hati-hati, deh. Lo jagain cewek lo. Jalan aja kesusahan dia!" sahut Silvanna diiringi senyum nakal sebelum masuk ke salon itu.

Sesampainya di ruang rias, gadis bermata keabuan itu melihat Odette, sahabatnya, tengah membereskan peralatan makeup. Ia berasumsi kalau peralatan tempur itu bekas digunakan untuk mendandani Fanny barusan.

"Sibuk ya, Dette?" tanya Silvanna saat menghampiri Odette.

Odette berbalik badan dan menyambut kedatangan sahabatnya itu dengan senyuman. "Abis dandanin cewek tomboy. Ternyata lebih susah dari yang gue kira," candanya sembari menyimpan boks makeup-nya di lemari khusus. "Perwakilan wedding organizer-nya ke sini satu jam lagi. Kita sarapan dulu, yuk!" ajak Odette.

"Gue udah sarapan di apartemen sama Granger. Lo aja yang sarapan, gue temenin,"

Odette mengerutkan dahi, "Tumben Granger di apartemen lo pagi-pagi?" tanya Odette.

"Dia nginep di apartemen. Kasian kalo gue suruh pulang. Keliatan capek banget abis jemput gue ke Moniyan."

Odette membulatkan bibirnya. "Jadi lo mau konsep yang mana?" tanya Odette kala ia bergabung duduk dengan Silvanna di sofa ruangan itu.

"Kemaren gue nunjukin email dari lo. Kata dia, terserah sama gue konsepnya mau gimana, yang jelas jangan yang konsep Garden. Dia trauma sama kejadian itu," kata Silvanna sambil menahan tawa, begitu juga dengan Odette yang mengingat pernikahan pura-pura itu. "Tapi gue suka sama konsep yang outdoor wood."

"Oh yang itu," Odette sepertinya hafal dengan konsep yang disebutkan Silvanna. "Gue juga suka tuh. Di samping konsepnya menyatu sama alam, tamu undangan juga nggak bakal boring."

Ada jeda sebelum mereka mengalihkan pembicaraan ke topik yang lain.

"Oh, ya. Sorry, Silv. Gue mau nanya, apa lo serius mau nikah secepat ini?" tanya Odette yang mengundang perhatian Silvanna. "Maksud gue, usia lo masih muda banget dan juga masih menempuh pendidikan, kan? Apa ini nggak ngerepotin lo?" Odette memperjelas pertanyaannya untuk mencegah kesalahpahaman Silvanna.

Silvanna menghela napas, "Gue udah siap, Dette. Nyokap gue juga udah sering nanya itu ke gue dan ngasih masukan ke gue. Cuma, gue lebih nurutin apa kata hati. Lagi pula, usia Granger udah cukup matang buat menikah."

"Kalian beda umur berapa, sih?" tanya Odette.

"Dia lebih tua lima tahun dari gue," jawab Silvanna.

"Pas, lah." Odette mengangguk-angguk. "Semoga dia orang yang tepat buat lo," harap Odette kemudian.

"Oh, ya. Nanti sorean lo dandanin gue, ya. Gue mau ke acara kantornya Granger," pinta Silvanna.

"Kayaknya mau sekalian dikenalin ke temen-temennya," duga Odette. "Dandanin lo udah jadi bagian dari tugas gue."

Lima menit berselang, salah satu karyawan Odette mengetuk pintu dan masuk, memberi tahu bahwa ada tamu dari wedding organizer. Keduanya menyambut hangat perwakilan WO tersebut dan langsung membicarakan inti dari diskusi mereka pagi ini mengenai konsep dan waktu pernikahan Silvanna dan Granger.

❤❤❤

Claude mendaratkan Fanny di sofa ruangan Odette yang dipakai untuk meriasnya tadi pagi. Terlihat jelas ada luka memar di area kaki Fanny akibat kecerobohannya dalam berjalan, alhasil ia terjatuh. Untungnya tidak banyak orang yang melihat insiden itu. Untungnya, Claude langsung menggendong Fanny dengan gentel-nya ke mobil miliknya. Bukannya tidak menyadari, hanya saja Claude tidak peduli dengan berbagai tatapan yang ditampakkan oleh orang-orang yang ditemuinya saat menggendong Fanny menuju parkiran.

"Lain kali kalo lo nggak bisa, nggak usah dipaksa," ucap Claude setelah Fanny terduduk di sofa sambil memegangi area memarnya. "Jadi gini, kan?" Claude kembali mengecek kaki Fanny.

"Ya lo mikir lah, mana mau gue tampil sembrono di depan sodara lo!" seru Fanny sambil menahan rasa sakitnya. "Gue begini demi lo. Dasar pawang monyet bebal!"

"Kenapa, sih?" tanya Silvanna yang tahu-tahu muncul bersama Odette dari belakang.

"Ini lho—" Claude kembali menggantungkan kalimatnya saat melihat Silvanna yang sudah didandani cantik oleh Odette. Dibalut gaun pesta berwarna Cream dengan rambut yang sudah disulap oleh hairstylist, memang membuat Silvanna terlihat beda dari biasanya.

"Silv," lagi-lagi ulah ala playboy Claude kembali muncul. "Gila, sih. Lo kayak bidadari yang baru terjun dari langit," pujinya membuat Fanny mendelik ganas.

"Heh, itu cewek lo kenapa? Bisa luka gitu?" tanya Silvanna dengan tampang galaknya sambil menunjuk Fanny yang masih meringis.

"Jalan nggak hati-hati. Udah tau pake hak tinggi," sahut Claude.

"Gara-gara lo, bego! Lo jalan kecepetan!" sahut Fanny tak terima.

"Berisik! Biar gue bawain kompresan buat lo." Odette langsung keluar ruangan itu untuk mengambilkan air kompresan guna mengobati luka Fanny.

"Kalo gue tau lo mau dandan juga, tadi gue ajak lo aja ke nikahan saudara gue," kata Claude dengan wajah tanpa dosanya sambil menggoda Silvanna.

"Yang punya nggak bakal ngasih izin!" Tahu-tahu, ada yang menarik kerah tuksedo Claude dari belakang.

Saat Claude menoleh dan mendapati Granger dengan tampang dingin seperti biasanya, Claude langsung nyengir. Fanny mencibir dari tempatnya.

Saat iris hitam Granger menemukan Silvanna yang sudah rapi dengan gaunnya, ia seakan kehilangan kata-kata. Kamus bahasanya mendadak hilang dari otaknya. Terakhir ia melihat Silvanna dandan seperti ini saat pertunangan mereka.

Dalam hatinya, Silvanna tahu kalau Granger terdiam sambil mengagumi hasil riasan Odette yang menempel di wajahnya. Pandangan mereka bertemu, seakan tak ada orang lain di ruangan itu selain mereka berdua.

Saat tersadar, Granger mengusap keringat di dahi dan lehernya yang entah muncul dari kapan. "Ayo berangkat," ajak pria yang mengenakan setelan tuksedo berwarna hitam yang membalut kemeja putih di dalamnya. Cowok itu mengulurkan tangannya.

Silvanna meraih tangan Granger lalu menggandengnya. "Gue pergi dulu, guys," pamit Silvanna pada Claude dan Fanny. Terdengar jawaban dari Fanny dan Claude saat Silvanna keluar ruangan itu bersama Granger.

"Calon penganten bikin ngiri aja!" celoteh Claude yang langsung dihantam sisir oleh Fanny dari belakang.

❤❤❤

Suasana ruangan itu terkesan glamor dengan konsep mewah yang dipilih untuk acara gala dinner ini. Sejauh pandangan matanya, Silvanna bisa melihat bahwa yang datang ke acara ini bukanlah orang-orang sembarangan.

Satu tangan Silvanna menggandeng tangan Granger sepanjang mereka melewati karpet merah menuju tengah ruangan. Sesekali Granger menyapa dan mengobrol singkat dengan teman-teman kerja yang ia lewati. Tak lupa, Granger juga mengenalkan Silvanna pada mereka, begitu juga dengan pasangan mereka yang ikut serta dalam acara tersebut.

"Kamu udah kayak yang lama kerja di sini, tau nggak?" ucap Silvanna ketika mereka berdiri hanya berdua di dekat sebuah meja hidangan. Mereka baru saja pamit undur diri dari sebuah perkumpulan kecil dengan teman-teman kerja Granger.

"Aku kayak yang nyaman aja kerja di sini," responsnya singkat. "Bukan karena aku nggak nyaman kerja di tempat Papa Roger sama Alucard, tapi aku lebih ngerasa nemuin jati diri aku sendiri di sini."

"Itu udah jadi bagian dari proses hidup, Gran. Ada saatnya kita ngerasa nyaman dan ada waktunya juga kita buat keluar dari zona nyaman."

Granger tersenyum miring mendengar kata-kata yang barusan keluar dari mulut Silvanna. "Lama-lama kamu cocok jadi motivator, tau nggak?" komentar Granger diiringi tawa tipis dari Silvanna.

Tak lama berselang, hadir seorang perempuan berusia akhir empat pulihan di antara mereka. Wanita itu terlihat glamor dan berkelas dengan gaun merah yang membalut tubuh rampingnya. Ditemani gadis berkuncir dua—yang sepertinya sang asisten pribadi—menyapa Granger di sana.

"Malam, Granger..." sapa wanita itu ramah diiringi senyum di bibir merah meronanya. "Saya kira kamu tidak akan datang malam ini karena kejadian sore tadi," lanjutnya membuat Silvanna memikirkan sesuatu.

"Selamat malam Mrs. Alice, saya memutuskan untuk datang pada akhirnya," sahut Granger. Ia melirik ke samping, menemukan wajah penasaran Silvanna tentang kehadiran wanita paruh baya itu. "Oh iya, Silv, ini Mrs. Alice, atasanku di sini." Granger mengenalkan Alice pada Silvanna.

Tak perlu waktu lama, Silvanna langsung mengulurkan tangan pada wanita itu. "Silvanna," Ia menyebutkan nama kala Alice menerima uluran tangan itu.

"Silvanna tunangan saya, Mrs," ujar Granger seraya merangkul bahu Silvanna.

Alice menampakkan wajah penuh senyumnya, "Wah, terima kasih banyak Silvanna, kamu sudah menyempatkan diri datang ke acara ini," ucap Alice. "Baiklah, selamat menikmati acaranya," lanjut Alice sebelum pamit undur diri dari hadapan keduanya.

Langkah lugas Alice diikuti langkah kecil dari gadis berkuncir dua yang sedari tadi bersamanya. Bukannya tidak melihat, Silvanna dari tadi memperhatikan gadis yang bersama Alice dalam diam. Gadis itu terlihat gugup ketika Granger bersalaman dengannya. Begitu juga saat gadis berkuncir dua itu membuntuti Alice, ia masih sempat-sempatnya menengok ke belakang. Mungkin ke arah Granger.

Silvanna mendongkak, menatap Granger yang berekspresi datar. "Gadis tadi siapa?" tanya Silvanna dengan nada biasa.

"Oh itu Layla, asisten pribadinya Mrs. Alice. Kenapa?" tanya Granger heran.

"Dia nggak nyebutin nama tadi," sahut Silvanna kembali memperhatikan Layla dari belakang hingga gadis itu tenggelam bersama arus manusia yang lalu lalang di ruangan itu.

Granger menatap selidik Silvanna yang sepertinya masih memperhatikan Layla dari belakang.

"Oh iya, aku mau tanya sesuatu. Tadi Mrs. Alice bilang ada sesuatu yang terjadi sama kamu tadi sore. Sebenernya apa yang terjadi, Gran? Apa itu membahayakan kamu?" tanya Silvanna yang kini terlihat cemas.

Granger mendadak mengalihkan pandangan dari Silvanna. Cowok itu masih berpikir keras untuk mencari bagaimana cara menyampaikannya pada Silvanna. Sungguh, perkataan Alice tadi membuatnya kehilangan konsentrasi.

"Gran? Ada masalah?" suara Silvanna itu menyadarkan lamunan Granger. Buru-buru cowok itu menatap Silvanna dan bertingkah seolah tak terjadi apa-apa.

"Umm, aku nggak apa-apa," sahut Granger.

Lain dengan yang disampaikan Granger, Silvanna malah memiliki firasat yang tidak mengenakan mengenai Granger. "Hun, kalo punya masalah baiknya kamu cerita. Siapa tau, kita bisa cari solusinya sama-sama," kata Silvanna dengan lembut sambil memegang lengan Granger.

Granger memegang kedua bahu Silvanna, "Aku nggak apa-apa, Hun."

"Bohong!" sahut Silvanna yang masih menampakkan wajah khawatirnya.

Granger menghela napas ringan, seraya menebarkan pandangan ke sekitar. Pandangannya jatuh ke sebuah band yang tengah menyanyikan sebuah lagu lembut. Seketika, Granger punya rencana untuk meyakinkan Silvanna kalau tak terjadi apa-apa padanya.

"Kamu mau bukti?"

Tanpa berlama-lama, Granger maju ke panggung dan meraih standing mic yang sudah disediakan panitia. "Selamat malam, para tamu undangan," sapa Granger yang mendadak jadi pusat perhatian. "Di malam yang indah ini, saya akan mempersembahkan sebuah lagu. Apa Anda semua tidak keberatan?" tanya Granger yang langsung disambut positif oleh para tamu undangan. "Baiklah, satu lagu khusus untuk tunangan saya yang duduk di meja sana." Granger menunjuk ke arah keberadaan Silvanna sehingga membuat gadis itu menjadi pusat perhatian sementara.

Di tempatnya, Silvanna merasa malu sekaligus gemas dengan tingkah Granger. Namun, jauh di lubuk hati terdalamnya, Silvanna merasa tersanjung karena Granger tak segan-segan mengenalkannya sebagai calon pasangan hidupnya.

Setelah Granger duduk di sebuah kursi bersama Gitar yang siap ia mainkan, ia mulai memetik dawai itu membentuk sebuah nada yang lembut.

Saat Granger mulai menyanyikan lagu, hati Silvanna menghangat. Baru kali ini ia mendengar Granger menyanyikan lagu dengan penuh perasaan di depan semua orang. Biasanya, cowok itu selalu menolak saat diminta untuk menyanyi. Sebagai keturunan sang legenda musik, tentu saja suara dan permainan gitar dari Granger tak usah diragukan lagi.

https://youtu.be/V3i0eOfchxg

Cause you're all I want,You're all I need,You're everything, everything.
You're all I want,You're all I need,You're everything, everything.


Bersambung...


Wattpad sekarang kok sepi, ya?

Apa perasaanku aja? Hehehe

Gimana chapter yang ini? Masalah udah mulai muncul, lho...

Jangan lupa komentar ya...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top