05. Coffee and Our Story

Kedua sejoli itu menghambur masuk ke unit apartemen yang ditempati Silvanna setelah gadis itu menempelkan sidik jarinya pada fingerprint pintu unitnya. Masih di tempat yang sama sejak dua tahun yang lalu saat Silvanna terakhir pindah dari Orchid 2. Bedanya, sekarang Miya sudah lulus dan meninggalkan Silvanna sendiri di unit apartemen itu.

Butiran air menetes malu-malu dari ujung pakaian mereka. Keduanya terbasuh hujan saat berlari dari halte apartemen menuju pintu masuk. Mereka harus beralih transportasi saat perjalanan pulang menuju Victory Apartemen karena taksi yang ditumpangi mereka dari stasiun mengalami masalah di tengah perjalanan. Alhasil, mereka yang melanjutkan perjalanan menggunakan bus harus berlari dari halte karena hujan mendadak turun, dan untungnya hujan menderas saat mereka memijakkan kaki di lobi apartemen.

Silvanna langsung beranjak ke kamar mandi dan segera kembali sambil membawakan handuk untuk Granger. Pemuda itu menerima handuk tersebut setelah membereskan koper dan barang bawaan mereka, lalu mengelap rambutnya yang cukup basah.

Di saat sibuk mengeringkan rambut, ada sepasang iris keabuan yang memperhatikan Granger. Mata itu tak berkedip selama memandang pemandangan yang tak biasa. Kenapa bisa begini? Granger lebih terlihat tampan saat rambutnya basah. Bibir Silvanna tak mau berhenti tersenyum, makannya ia menutupi hidung dan mulutnya dengan handuk, tak mau Granger tahu kalau ia sedang mengagumi salah satu makhluk terbaik ciptaan Tuhan. Biarkan mata telanjangnya yang menyorot langsung ke arah cowok itu.

"Kenapa?"

Kepala yang menyembul di antara kedua ujung handuk membuatnya berkedip seketika. Granger tahu kalau Silvanna sedari tadi memperhatikannya.

"Umm... I—itu—" Silvanna tergagap.

"Apa?" Granger mulai memasang muka nakal.

Mata Silvanna menyipit, lalu memukul ringan lengan Granger setelah mengalungkan handuknya di leher. "Mandi dulu sana! Aku mau beresin barang-barangku dulu," suruh Silvanna sembari melangkah ke koper-kopernya untuk dibawa ke kamarnya. Untungnya, koper itu terselamatkan dari hantaman hujan dadakan tadi.

Granger tersenyum miring sambil memperhatikan Silvanna yang hendak menuju kamar. "Aku ganteng, ya?" bisiknya iseng di telinga Silvanna.

Refleks Silvanna mencubit perut cowok itu hingga terlonjak dan meringis kesakitan. "Rasaiin!" sepertinya, Silvanna sudah mulai jengah dengan ke-PD-an tunangannya itu.

Granger mengayun bola matanya ke atas, mungkin mengalah adalah jalan terbaiknya saat ini. Selama berjalan ke kamar mandi, ia memikirkan berbagai hal menarik yang bisa mereka lakukan di sini selama menunggu hujan reda. Bisa minum kopi bareng, makan bareng, atau .......

Baca buku yang asyik bareng.

Pokoknya, sudah banyak rencana menyenangkan yang Granger pikirkan untuk membunuh waktu sore ini.

.

Hujan masih menyiram Kota Celestial dengan derasnya saat sepasang sejoli itu selesai memakan makanan yang mereka pesan dari jasa restoran online terdekat. Mereka cukup malas keluar kamar, apalagi cuaca sedang tidak mendukung serta udara dingin yang kian menusuk.

Setelah membereskan semua peralatan bekas makan mereka, Silvanna memutuskan untuk membereskan barang-barangnya di kamar. Setelahnya, mungkin ia akan membereskan unit apartemen yang sudah ditinggalkan selama enam bulan itu. Meskipun sudah ada fasilitas service yang disediakan dari manajemen apartemen selama kepergiannya, Silvanna tetap merasa tidak puas dengan hasil kerja cleaning service-nya. Baginya, merapikan tempat tinggal akan jauh lebih rapi bila dikerjakan diri sendiri.

Saat hendak membereskan ruang tv, Silvanna mendapati Granger tengah tertidur begitu pulas di sofa dengan tv yang menyala. Ia pikir, Granger ketiduran saat menunggunya membereskan kamar tadi. Gadis itu berlutut untuk membangunkannya.

"Honey, bangun. Tidurnya di kamar aja, gih," kata Silvanna sambil menepuk bahu kekasihnya.

Saking nyenyaknya, pemuda itu tak terusik sedikit pun.

Silvanna memandang wajah tidur pemuda yang tengkurap di sofa itu. Sangat terlihat nyenyak dalam kelelahannya. Silvanna menghela napas dan membiarkan Granger tidur di situ. Ia beranjak ke kamar untuk mengambilkan bantal dan selimut untuk tunangannya.

Silvanna mengangkat sedikit kepala Granger untuk menaruh bantal, lalu memakaikan selimut ke sekujur tubuh Granger. Dengan begitu, ia berharap Granger bisa tidur lebih nyaman. Saat merapatkan selimut ke leher pemuda itu, ia berhenti sejenak untuk kembali memandangi wajah tidur itu. Entah apa yang dipikirkannya, yang jelas ada senyum tertahan yang tersungging dari bibirnya. Kala tersadar, ia kembali melanjutkan pekerjaannya sebelum malam menyambang.

❤❤❤

Hujan tak kunjung berhenti hingga menjelang malam itu. Ditemani secangkir kopi hangat, Silvanna duduk di window seat kamarnya sambil memandangi tirai hujan yang belum berujung. Saat itu, ia memutuskan untuk rehat sejenak di tengah aktivitasnya merapikan berkas-berkas magang untuk diserahkan ke pihak kampus secepatnya.

Granger mungkin masih tidur. Mungkin jika hujan tak kunjung reda juga, cowok itu akan menginap di sini. Tak tega juga Silvanna kalau harus menyuruhnya pulang dalam keadaan kelelahan serta iringan hujan. Kebetulan, kamar bekas Miya masih kosong dan memungkinkan untuk Granger tidur di sana malam ini.

Pintu kamarnya terbuka bersamaan dengan munculnya seorang pemuda bersurai hitam yang langsung melangkah masuk.

"Aku cariin," kata Granger seraya menghampiri Silvanna yang sudah menatapnya.

"Tadi aku abis rapiin jurnal, tapi mendadak hilang mood," sahut Silvanna. "Kamu mau kopi? Biar aku bikinin."

Granger tampak berpikir sebentar. "Boleh deh. Kepalaku lagi agak pusing soalnya," ucap Granger yang langsung disambut anggukan oleh Silvanna. Gadis itu beranjak ke dapur untuk membuatkan kopi.

Tak butuh waktu lama, Silvanna kembali ke kamarnya. Sepertinya, Granger sudah mengambil alih tempat favoritnya. Setelah menyerahkan kopi hangat itu, Silvanna menggeser kursi belajar ke dekat jendela agar ia masih bisa menikmati pemandangan di kala hujan.

Granger menoleh ke arah Silvanna setelah menyesap kopi hangatnya. "Kenapa di situ?" tanya Granger mengundang tampang penasaran Silvanna untuk muncul ke permukaan. "Sini duduk di depan aku," pintanya sambil menyiapkan tempat untuk Silvanna.

Silvanna kembali naik ke window seat. Bedanya, kini ia bersandar ke dada Granger yang duduk di belakangnya. Suhu tubuhnya menghangat kala pemuda itu melingkarkan satu tangannya di perut Silvanna hingga gadis itu merasa lebih nyaman ada di sana.

"Jarang banget kita begini," kata Granger yang menyandarkan dagunya di ceruk leher Silvanna.

"Iya, lah. Baru aja ketemu dua hari," sahut gadis itu seraya mencari posisi ternyaman dalam duduknya.

"Kamu tau nggak siapa yang aku ajak cerita selama kamu sibuk magang?" tanya Granger tiba-tiba.

"Alucard? Claude? X-Borg?" Silvanna menyebut nama teman-teman terdekat Granger saat ini.

"Hujan!"

"Kenapa hujan? Emang di sini hujan setiap hari?" tanya Silvanna heran.

Granger menghela napas ringan. "Nggak setiap hari hujan turun di Celestial. Lain halnya sama hati aku," ucap Granger. "Di sini, hujan tiap hari," lanjut Granger sambil menunjuk hatinya.

Silvanna merasa geli pada kalimat yang barusan Granger utarakan. "Apa, sih?" kata Silvanna. "Kalo nggak bisa ngegombal, ngomong apa adanya aja. Geli tau dengernya!"

Granger mendecak, ia merasa kalau dirinya tak memiliki bakat untuk menggombal. Namun, sanjungan yang selama ini ia utarakan pada Silvanna, adalah buah dari perasaannya, bukan dari otaknya.

"Fine, mulai sekarang aku nggak mau nge-gombal lagi!" ujar Granger diiringi tawa renyah dari Silvanna.

"Lebih baik kalimat sederhana yang datang dari hati, daripada gombalan puitis yang nggak pernah terbukti," ucap Silvanna dengan nada yang sederhana. "Kecuali, kamu punya bakat berpuisi."

"Yeah, aku emang nggak punya bakat merangkai kata. Soalnya, cita-cita aku bukan jadi penulis puisi, melainkan menjadi kepala di keluarga kita nanti."

Satu ketukan lembut mendarat di puncak kepala Granger. "Mulai lagi sok berpuisi!"

"Kalimat terakhir bukan gombalan, Hun!" kata Granger di saat Silvanna tersenyum kecil sembari menyandar di dadanya. "Katanya kamu mau cerita," tagih Granger sekaligus membangun topik baru di percakapan mereka.

Silvanna diam sejenak sambil memandangi cangkir kopinya. "Banyak sih yang mau aku ceritain. Aku sampe bingung mulai dari mana," kata Silvanna seraya memikirkan awal ceritanya. Beberapa saat kemudian, ia ingat akan satu topik yang ingin diceritakannya pada Granger.

"Oh iya, Odette udah kirim email ke aku soal konsep dan dekorasi buat pernikahan kita. Kamu mau liat?" tanya Silvanna.

"Boleh."

Silvanna mau beranjak dari tempat duduknya untuk mengambil ponselnya yang ada di meja belajar, namun ditahan oleh Granger. "Pake HP aku aja." Granger merogoh sakunya untuk mengambil dan menyerahkan ponselnya pada Silvanna.

Gadis itu login ke email-nya di ponsel kekasihnya. Lalu membuka email yang dikirim Odette yang berisi katalog yang didapatkannya dari berbagai wedding organizer.

"Yang garden kayaknya bagus," usul Granger saat melihat satu foto dekorasi pernikahan outdoor.

"Kamu suka?" tanya Silvanna yang tengah mengoperasikan ponsel Granger.

Tiba-tiba, terbesit di pikiran Granger mengenai konsep pernikahan itu. Ia teringat saat Silvanna mengerjainya dengan pernikahan settingan yang terjadi dua tahun yang lalu. Sejak saat itu Granger jadi lebih sensitif jika melihat dekorasi pernikahan berkonsep garden itu.

"Nggak jadi, deh. Ada pengalaman nggak mengenakan soal itu," sahut Granger.

Silvanna tersenyum miring seraya berasumsi kalau Granger sedang mengingat saat Silvanna melaksanakan pernikahan bohongan dua tahun yang lalu. Gadis itu kembali membuka foto-foto lain yang menampilkan konsep-konsep menarik lainnya.

"Kalo yang ini gimana?" Silvanna menunjuk satu foto berkonsep outdoor wood, di mana pernikahan itu dilaksanakan outdoor di sebuah area kebun pinus. "Nggak jauh beda, sih sama yang garden. Cuma beda lokasi sama warna keseluruhan dekorasinya."

"Kamu suka?" tanya Granger.

"Kalo kamu setuju, aku mau yang ini."

"Oke, asal nggak yang konsep garden tadi," pinta Granger.

"Ya udah, besok aku mau ketemu Odette buat ngomongin lebih lanjut. Kamu bisa, kan, ke salon Odette sebentar?" tanya Silvanna.

"Kalau besok kayaknya aku nggak bisa karena harus segera sampe ke kantor, ada briefing soalnya. Maklum lah, karyawan baru. Aku harus rajin di awal-awal," jawab Granger membuat Silvanna berpikir sejenak.

"Terus gimana? Kalau kamu nggak ikut, nanti ada detail yang kamu nggak suka gimana?"

"Kalau soal itu, aku terserah sama kamu aja. Kalau kamu suka, aku juga suka. Bagi aku yang paling penting itu inti acaranya di mana hari itu adalah langkah awal aku memiliki kamu dan bertanggung jawab atas kamu seutuhnya." Granger merapatkan pelukannya.

Silvanna menghirup udara yang menguarkan aroma kopi dan parfum Granger yang tak pernah bosan ia sesap seberapa pun seringnya. Dua aroma itu yang mampu membuatnya tenang, terbuai irama hujan yang malu-malu masuk ke indera pendengarannya.

"Oh iya, besok malam kalau kamu nggak capek, aku mau ajak kamu ke acara Gala Dinner kantor aku. Sekalian aku mau kenalin kamu ke temen-temenku di sana."

"Serius?" tanya Silvanna antusias seraya menegakkan punggungnya seraya menatap Granger.

Diiringi senyum, Granger mengangguk. Setelahnya, ia membiarkan Silvanna kembali menyandar ke dadanya.

"Berarti, nanti kamu jemput aku di salonnya Odette aja," pinta Silvanna.

"Oke, sepulang kerja aku langsung ke sana." Granger menyanggupi permintaan calon istrinya itu.

Setelah sempat ribut sedikit mengenai obrolan absurd tadi, mereka mengalihkan pembicaraan ke cerita yang lebih seru. Mengenai aktivitas mereka sekarang dan rencana masa depan yang akan mereka tempuh dalam waktu dekat.

Ternyata, hujan yang turun sangat awet hingga malam hari, menahan Granger untuk tidak pulang dari unit apartemen itu.

Bersambung...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top