SC - 2
Jangan bersikap seolah kamu paling menderita. Karena... ada seseorang yang dibuat kesakitan olehmu, tapi memilih diam agar hatimu tetap terjaga.
Selamat membaca
Jangan lupa taburan bintangnya dan comment
Lemuel mencondongkan badan ke depan dan mengecup keningku dengan sangat lembut. "Aku pulang dulu."
Aku telentang dengan kepala dan bahu setengah bersandar ke kepala ranjang. Jemari Lemuel membelai naik turun wajahku dan tatapan pria itu menjelaskan dia pun berat hati meninggalkanku.
"Kamu tahu kan, aku mau menghabiskan sisa malam ini sama kamu, tapi... aku nggak bisa." Lemuel meraih ujung daguku dan membuatku membalas tatapannya. "Aku nggak bisa merubah jam jaga seenaknya..."
Aku meraih tangan Lemuel supaya dia berhenti bicara, lalu menariknya ke arahku, dan membalas kecupan singkat tadi di pipinya. Berharap cara itu bisa membujuknya untuk tinggal beberapa menit lagi. Aku tahu dia punya pekerjaan, ada pasien yang mungkin sedang perjalanan untuk ditolong olehnya, tapi... aku juga masih membutuhkannya. Aku masih kacau. Dua jam pertemuan kami belum mampu memperbaiki suasana hatiku yang buruk.
Lemuel tersenyum sambil menggeleng-geleng. Dia mencium bibirku, singkat saja, lalu kembali menciptakan jarak. Dia menegakkan posisi berdirinya, berusaha memasukkan kancing kemeja ke tempatnya, tapi sebelum dia berhasil memasang kancing kedua, aku meraih tangannya dan mempertegas keberatanku kalau dia pergi. Aku berlutut di ranjang, lalu menunjuk dadanya yang bidang.
"Aku..." Aku mendekatkan wajah untuk mengecup puncak hidungnya. "Aku masih mau cerita sama kamu."
"Aku nggak bisa izin tiba-tiba, Tev. Ada tiga koas yang harus aku dampingi."
Aku mencengkeram kedua bahu Lemuel, setelah itu menekankan bibirku ke bibirnya. Aku tahu Lemuel tidak akan tinggal, dia tidak akan merubah keputusan soal waktu jaganya ini. Selama empat jalan lima bulan kami berhubungan, dia tidak pernah bolos dari pekerjaan meskipun aku merengek. Memang seperti itu harusnya. Aku tidak punya hak untuk menahannya. Aku tidak punya hak untuk kesal, tapi tetap saja kubiarkan rasa itu berkecamuk di dadaku. Aku egois. Aku tahu itu. Namun, dia morfinku. Dan saat ini aku sedang butuh dia.
"Pergilah. Aku tahu posisiku nggak sepenting pasien-pasien kamu." Aku menyingkirkan tanganku dan bergerak mundur ke posisiku semula.
Dia mengembuskan napas pelan dan membungkuk untuk mendekatiku lagi. "Tev, jangan mulai—"
Aku menahan, lalu mendorong badannya menjauhi ranjang. "Pergi saja."
"Besok pagi aku datang lagi, oke?" Lemuel berdiri di ambang pintu dengan kondisi siap pergi setelah berhasil mengancingkan kemejanya dengan sempurna. "Kamu harus berhenti marah pada diri sendiri, Tev. Nggak ada salahnya menjadi fashion designer. Nggak ada salahnya mempunyai sedikit kekurangan di antara setumpuk kelebihan kamu. Nggak ada satu pun manusia yang bisa 100% sempurna. Kamu ataupun aku, kita memiliki kekurangan."
Lemuel tersenyum tipis dan berjalan mundur keluar kamar. Aku mengerang begitu pintu tertutup, Lemuel berusaha membuatku berpikiran positif dengan menyinggung soal kesulitanku menerima kenyataan, tapi aku tidak bisa tidak tertekan karenanya. Aku tidak tahu apakah ini karena memang kesedihanku saja atau karena Mama terlalu berharap pada karir modelku.
Aku meringkuk dan tenggelam di bawah selimut.
Mama.
Model...
Waktu usiaku delapa tahun, Mama mengajakku menonton fashion show di New York dan itu salah satu perjalanan paling menyenangkan dalam hidupku. Sebelum itu Mama memang selalu mencekokiku tentang banyak hal yang berhubungan dengan dunia model. Tapi aku baru setelah melihat fashion show itu aku sadar bahwa aku harus menjadi model. Aku tidak pernah mempunyai kesempatan untuk mencintai dunia lain karena Mama selalu mendikte dan menjejali otakku bahwa kesempurnaan fisik yang kumiliki ditakdirkan untuk menjadi model. Tidak ada profesi lain yang pantas untukku selain itu. Dan sudah lima tahun ini aku tidak lagi menjadi model. Aku tidak berani melepaskan dunia yang kucintai, jadi aku mengambil keputusan untuk belajar design. Keputusan yang kuambil di tengah keputusasaan sejak kebakaran itu.
"Tevy, dengar... Mama tahu kamu tidak bisa melepaskan dunia model begitu saja, tapi pernah nggak sih kamu berpikir untuk berhenti memaksakan diri di dunia ini. Mencoba melihat pilihan lain yang di luar dunia modeling. Jujur. Rancangan yang kamu buat semua biasa saja. Jangan membuang waktu. Ini bukan bakatmu."
Kalimat Mama tadi siang menggema dalam kepala dan sekali lagi, aku melihat bagaimana terpukulnya Mama saat tahu ada luka yang tidak bisa hilang di kakiku. Aku memejamkan mata rapat-rapat, berusaha menepis kenangan itu, tetapi aku terlalu lelah untuk melawan. Penggalan kejadian yang mengerikan itu kubiarkan menghantam ketenangan jiwaku, juga kejadian-kejadian buruk setelahnya—saat kontrak-kontrak penting berlalu di depan mataku, pria yang mengaku menerima diriku apa adanya pergi, dan... hal-hal lainnya.
Aku bergidik ngeri saat mendapati diriku kembali terjerembab ke dalam lubang hitam yang sempit dan tanpa udara. Lupakan, perintahku pada diri ini. Seperti sungai di luar kehidupan akan mengalir dengan sendirinya, dan suatu hari, aku pasti dapat melupakan kenangan tersebut. Pasti.
Handphoneku bergetar, dengan malas aku meraihnya dan menemukan ada pesan singkat masuk dari Amara dan itu membuat perasaanku semakin buruk.
Amara : Sudah bisa menggambar? Dua hari lagi lo ada janji sama dua klien sekaligus buat membahas pesanan baju mereka.
Kata Mama gambarku biasa saja, tapi aku beruntung mempunyai koneksi dan kenalan yang banyak selama menjadi model, dan rata-rata orang yang memesan baju padaku hanya iba.
Aku berbaring telentang dan meletakkan handphone di sisi kiriku. Haruskah aku berhenti saja?
Getaran kembali terasa, dan Amara mengirim pesan singkat lagi.
Amara : Kalau udah dibaca, dibales! Whatsapp gue bukan koran.
Aku : Oke.
Amara : Oke apa?
Aku : Buat rancangannya.
Amara : Masih sama Lemuel?
Aku : Nggak. Dia punya pasien beneran yang mesti diurus. Gue kan bukan pasien dia.
Amara : lo kan juga pasien dia.
Aku : Pasien yang nggak bayar biasanya bukan pioritas utama, dapat obat seadanya, penanganan ala kadarnya.
Amara : Lo marah ke dia?
Aku : Nggak.
Amara : Mungkin lo harus berhenti main dokter-pasien sama Lemuel, atau kalau lo mau tetap main—bayar dia pakai status jelas buat hubungan kalian. Pacar. Calon pasangan hidup. Apa lo nggak pernah kepikiran buat jadiin dia pendamping?
Aku : Nggak minat sama cowok aneh.
Amara : Nggak minat, tapi dicariin mulu.
Aku : Fuck!
Amara : Jangan judes-judes, nanti kalau si Lemuel capek ngadepin sikap lo yang nyebelin, dia bisa pergi loh.
Aku : Terserah.
Lalu, aku matikan handphone sebelum Amara terlalu dalam membahas Lemuel dan kemungkinan pria itu pergi.
Aku memandangi nanar langit-langit kamar. Hatiku kian terganggu dengan kata-kata Amara. Kalau Lemuel mau pergi, ya pergi saja. Aku tidak masalah. Aku biasa ditinggalkan. Aku sudah terbiasa sendiri. Hidupku ini memang semenyedihkan itu.
Aku melompat turun dari ranjang, lalu berjalan ke teras setelah memakai baju yang lebih tertutup kaus dan celana panjang tidur. Angin sepoi-sepoi menerpa wajahku dan berusaha membuat rambutku keluar dari ikatan, beruntung matahari telah tenggelam sejak satu jam yang lalu, jadi aku bisa menjernihkan pikiran tanpa perlu kepanasan.
Dentingan gitar merambat melewati tembok yang membatasi antara teras apartemenku dan tetangga sebelah.
Apa yang harus aku katakan?
Darimana aku harus mulai?
Kamu selalu yakin padaku
Tapi aku tidak...
Ini hubungan yang aneh.
Aku belum pernah mendengar lagu itu sebelumnya, tapi aku seperti tersihir oleh petikan gitar, lirik, dan suara si tetangga sebelah nyayikan.
Aku menyandarkan badanku di tembok sambil bersedekap, memejamkan mata dan meresapi kata demi kata.
Semua ini...
Tidak akan berhasil, sayang.
Pandanganmu selalu tertuju padaku.
Tapi aku tidak...
Di saat mataku terpejam wajah Lemuel muncul begitu saja.
Terima kasih sudah membaca
Udah part 2, bagaimana menurut kalian naskah ini?
Pertama kalinya dong buat lirik lagu... wkwkwkwkw... semoga kalian suka
Jgn lupa follow ig
Flaradeviana
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top