SC - 1
Mereka bilang, aku hidup dalam kesunyian. Salah. Sunyi adalah teman. Tapi aku hidup dalam masa lalu.
Selamat membaca
Jangan lupa taburan bintang dan commetnya...
Sibuk menggambar, mengalihkanku dari pikiran-pikiran gila yang bersemayam dan berakar di otakku. Satu-satunya hal yang kusukai dari pekerjaanku sebagai fashion desainer. Sisanya, memuakkan. Aku seorang model, dulu. Aku mengikuti ajang gadis sampul, menang. Aku begitu mencintai diriku saat berlenggok di catwalk, atau beraksi di depan kamera.
Mimpiku, menjadi model internasional. Ada wajahku terpampang di sampul-sampul majalah fashion Internasiol—seperti cosmopolitan, Elle, InStyle. Atau berlenggok di fashion week Paris, memakai rancangan kelas dunia.
Mimpi yang membuat sesak, setiap kali melihat guratan merah yang memanjang dari pinggang sampai ujung kaki kiriku. Tidak ada lagi kaki indah. Tidak bisa lagi jadi model. Berakhir menjadi fashion desainer, agar aku bisa tetap melihat mimpiku dari dekat. Agar aku bisa tetap hidup, meskipun sesak melihat bukan aku yang menjadi model.
Aku memutar kursiku menghadap ke jendela ruang. Mengamati langit gelap ibu kota yang berhiaskan lampu-lampu gedung yang menjulang tinggi, dan juga deretan mobil—motor yang nampak kecil dari lantai 9 ini.
Lamunanku buyar saat seseorang mengetuk pintu kaca ruanganku. Sontak, aku terperanjat dan menengok ke sumber suara. Lemuel, berdiri di ujung sana dengan satu alis terangkat. Kedua lengan kemeja hitamnya tergulung hingga ke siku, memamerkan urat-urat hasil kerja kerasnya meluangkan tiga kali seminggu ke gym, di sela-sela jadwal parkteknya.
"Lagi mikirin aku?" guraunya. Klasik.
Aku memutar kursi ke arahnya, menyipitkan mata, berpura-pura terganggu dengan kehadirannya. "Kamu tahu kan aku terlalu sibuk buat mikiran cowok aneh kayak kamu." Bagiku, dia masih tetap aneh.
Sejak adegan mencium tanpa permisi empat bulan lalu, dia semakin aneh—selalu berada di sekitarku. Dia tahu nomor whatsapp-ku, hasil merengek pada Amara. Rajin mengunjungiku ke kantor, lagi—dengan bantuan Amara. Menyebalkan dan mengganggu, tapi tidak bisa kutolak.
"Makan?" katanya sambil mengangkat kantung plastik putih entah yang berisi apa. "Kata Ara; kamu lembur lagi... jadi aku inisiatif bawain kamu makan."
"Kok Ara bisa kasih tahu kamu?"
Butuh lima langkah dengan kaki panjangnya, untuk Lemuel sampai di ujung meja kerjaku. "Kamu nggak balas whatsapp aku. Ditelpon juga nggak diangkat, jadi—"
"Kamu hubungin Amara buat memastikan aku masih bernapas?" tanyaku skeptis. Ini yang juga membuatku semakin yakin dia aneh. Dia terlalu menjagaku. Dia tidak punya kewajiban untuk itu. Berlebihan.
"Tev, aku cuman—" Dia terdiam sebentar, menggigit bibir bawahnya lalu mengalihkan pandangan ke mejaku yang dipenuhi kertas. "Kita rapikan ini," katanya sambil menunjuk kertas. "Terus makan. Aku bawain sushi terenak se-Jakarta, favorit kamu."
Mengalihkan pembicaraan. Belum aku mengiyakan usulannya, tangannya sudah bergerak cepat merapikan kertas—memberikan ruang kosong untuk sushi yang dia bawakan. Masih tanpa suara, dia meletakkan satu kotak penuh sushi di depanku bahkan menyiapkan sumpit.
"Kamu nggak perlu melakukan semua ini," ucapku saat mengambil sumpit dari tangannya.
"Aku suka melakukannya."
"Kenapa?"
"Karena, aku tahu kamu pasti suka sushi itu. Sudah. Makan dulu sana, tuh, sushinya udah manggil; Tevy, please eat us!"
Aku mengangguk pelan dan mengambil satu sushi, sebelum melahap, aku bertanya, "kamu nggak makan?"
Lemuel tersenyum tipis dan menggeleng kecil. "Aku nggak suka sushi. Sudah jangan banyak omong lagi, ayo—makan yang banyak, dihabiskan."
Diam-diam aku merasa istimewa sekaligus terbebani oleh sikap Lemul. Dia terlalu... berlebihan dalam segala hal. Ketika aku hampir menghabiskan sushi yang dia bawa, Lemuel meraih satu tanganku yang kosong dan mengelus punggung tanganku dengan lembut. Gesturnya terlalu lembut sehingga mmbuatku salah tingkah.
"Aku senang, sekarang kamu terlihat segar—tambah cantik. Apalagi itu pipi kamu mulai lucu."
"Chubby maksud kamu?"
"Nggak kok."
"Bohong. Kamu sih bawain aku makan malam terus, jadinya ngembang gini deh aku."
Dia tertawa kecil. "Kelihatan lebih bagus kok. Banyak makan, asupan gizi kamu tercukupi, badannya lebih terisi—lebih segar." Dia mengeratkan genggamannya di tanganku. "Tambah cantik."
"Maaf hari ini aku lagi nggak kesepian atau butuh obat penenang, jadi rayuannya nggak mempan." Ya, dia masih jadi obat penenang paling ampuh saat otakku menggila. Bukan lagi sekadar ciuman. Lebih dari itu. Kegiatan yang dia tawarkan membuatku lupa sejenak pada kesakitan. Aneh. Salah. Tapi seperti yang aku katakan, itu ampuh.
Tawanya semakin kencang. "Kita harus coba makan malam di luar, restoran gitu. Masa kamu nggak bosan kegiatan kita cuman keliling di tiga tempat: ruangan ini, apartemenku, atau apartemenmu."
"Memang kamu mau bawa aku ke mana?"
"Restoran mewah dengan pemandangan indah."
"Uhh... so romantic." Aku meletakkan sumpit ke dalam kotak kosong. "Mau sampai kapan kamu seperti ini sama aku?" tanyaku. "Kamu tahu kan aku ini nggak bisa balas semua yang udah kamu kasih? Aku—sikapmu membuatku merasa jadi wanita jahat yang memafaatkan pria sebaik kamu."
"Aku rela dimanfaatkan selamanya, asal—kamu tetap seperti ini. Nggak melukai dirimu sendiri. Menjalani hari-hari, tanpa pikiran keluar masuk UGD." Aku menatapnya penuh tanya, lalu dia melanjutkan. "Aku ingin mengobati kamu secara perlahan, untuk sekarang aku puas menjadi obat penahan sakitmu. Tapi nanti, aku akan mengobati setiap luka dalam dirimu."
"Tapi, kamu juga harus mikirin diri kamu sendiri. Aku emang butuh kamu, tapi aku nggak bisa nahan kamu selamanya di sini—di sisi aku. Kamu perlu merangkai masa depan, atau tujuan hidupmu yang lain. Bukan terus berusaha mengobati aku...."
"Apa yang harus aku rangkai? Kamu tujuan hidupku."
"Aku selalu kagum sama kamu. Kamu nggak pernah putus asa. Kamu selalu di sisiku, walaupun sikapku terkadang menyebalkan. Kamu tahu, aku nggak akan bisa memberikan masa depan. Tapi, kamu terus berkata; aku tujuan hidupmu." Sekilas senyum kecut muncul di wajah tampan Lembul. "Kenapa? Ada yang salah dari omonganku?"
"Nggak. Aku terkejut aja kamu bilang kagum. Biasanya kamu bilang aku ini cowok aneh. Mengganggu. Berlebihan.
"Kalau aku bilang, nanti kamu makin aneh."
"Emang kalau aku sayang sama kamu itu masuk kategori aneh?"
Aku mengangguk. Dan dia mengembuskan napas kasar.
"Kalau sudah selesai makan, ayo pulang." Lemuel berdiri dan merapikan bekas makananku. Dia tersenyum sambil meraih tas dan menggandeng tanganku membuatku tidak memiliki pilihan selain mengikutinya.
"Le, kamu tahu kan apa pun perasaanmu itu—aku nggak akan pernah bisa membalasnya?" bisikku saat kami berjalan beriringan keluar dari ruanganku.
"I know... jangan pusingkan itu. Aku akan menyembuhkan hatimu dulu sebelum menuntut balasan," jawabanya dengan lembut.
Meskipun sudah melakukan banyak hal dengannya, sentuhan fisik atau hal lain yang dilakukan pasangan. Aku belum tahu siapa dia di dalam hidupku.
Sahabat? Ciuman, rangkulan, saling bertukaran embusan napas. Apa itu wajar dilakukan sahabat?
Pasangan? Hubungan kami tanpa ikatan. Tidak bernama. Aku sering menyuruhnya berkencan dengan wanita lain, daripada menghabiskan waktu di sekitarku.
Apa yang terjadi di antara kami adalah ikatan yang aneh.
Sebelum aku turun dari mobilnya, Lemuel kembali menggenggam erat tanganku, membawa tanganku mendekati bibirnya. Sebelum bibirnya menyentuh punggung tanganku, aku menarik tanganku dan terlihat jelas kekecewaan yang tersirat dalam senyumnya. Saat aku sudah berada di luar mobil Lemuel, dia tidak mengatakan apa pun. Hanya melambaikan tangan sebelum berlalu dengan mobilnya, menyatu dalam kegelapan malam. Lampu mobilnya hilang di tikungan.
Di langit, terangnya bulan seakan sedang mengejekku. Seolah mengingatkanku bahwa langit gelap akan terlihat menyedihkan tanpa sinar bulan. Sama denganku. Aku akan tetap menyedihkan tanpa kehadiran Lemuel.
Terima kasih sudah membaca
Jangan lupa follow ig
Flaradeviana
Love, Fla
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top