THE SECRET OF BRACELET - CallmeMey_

THE SECRET OF BRACELET

"Aku melihat apa yang tak kalian lihat. Aku merasa apa yang tak kalian rasa. Aku dapat menghentikan waktu, tapi waktu juga dapat menghentikan aku. Aku adalah aku. Tak ingin dikekang. Hanya ingin dikenang."
Samara Geraldine Britya —

✨✨✨

Gelap. Kelam.

Sepanjang mata memandang, hanya pepohonan yang terhampar. Kaki jenjang itu melangkah, sesekali terhuyung lalu tersandung akar pepohonan. Dadanya bergemuruh. Merasakan pekat yang teramat. Meratapi perjodohan sepihak yang dilakoni keluarganya. Menjadikanya sebagai tokoh utama dalam cerita.

Tak pernah terbayangkan di dalam benak Samara, sebagai putri terakhir justru ia yang harus lebih dulu menikah. Dipaksa menikah, tepatnya.

Sejenak Samara berdiam diri. Menengok ke belakang. Memandang istana megah yang berdiri kokoh di belakangnya. Ia mengernyit. Rasanya sudah berjam-jam ia berjalan bahkan berlari. Namun, mengapa Istana Iceland masih begitu jelas terlihat?

Sementara di depannya kini terhampar hutan luas bagai tak bertepi. Hutan perbatasan yang selalu menjadi dongeng sebelum tidurnya. Hutan yang menyimpan beribu misteri di dalamnya. Evergreen.

Ada rasa berdebar di dada. Namun, Samara tak memedulikannya. Keputusan untuk pergi jauh dari istana sudah ia pikirkan masak-masak. Pantang bagi seorang Putri Raja jika menjilat ludahnya lagi. Mengingat sumpah yang telah ia ikrarkan. Takkan menjejakan kaki di Iceland jika belum bertemu cinta sejatinya.

Samara kembali berlari. Memasuki Evergreen yang terasa semakin gelap. Sisa kayu yang terbakar mendominasi penglihatan. Suasana mencekam meremankan kuduk.. Terlebih, karena terdengar suara burung Giant Rush yang berkeliaran mencari mangsa. Burung setinggi 3 kaki itu bisa dengan mudah melahap Samara. Apalagi kepala putri raja adalah santapan favoritnya.

Samara terengah. Seketika bersembunyi di balik pohon berdiameter besar. Berharap, Giant Rush tak dapat mengendusnya. Hampir putus asa. Samara memejam mata, merapal kalimat aneh seperti mantra. Tak jelas terdengar karena hanya sekadar bisikan. Lalu tangan kanannya meninggi, seperti menunjuk langit. Tak berselang lama, awan hitam berkumpul di tengah-tengah, membentuk pusaran bak tornado besar.

Dengan sekali jentikan jari. Awan mematung pada porosnya. Angin berhenti mendesau, suasana mendadak senyap. Tak terdengar lagi gaung sang Giant Rush. Terlihat beberapa ranting pohon yang mengantung di udara karena diterpa kepakan sayap Giant Rush yang mendadak geming.

Melihat itu semua, dengan sisa kekuatan yang ia miliki, Samara bergegas berlari. Memacu kakinya untuk terus melangkah. Membelah Evergreen, menelusuri semak berduri. Beberapa kali ia memekik, sejumput duri kecil dari akar pohon Oleina menjeratnya. Memperlambat langkah yang tak kunjung sampai pada tujuan.

Desauan angin mulai menggelitik telinga. Waktu telah berjalan kembali. Kekuatannya untuk menghentikan waktu tak dapat diandalkan dalam jangka waktu yang lama. Samara mengumpat. Mengutuk diri. Sebagai putri raja, hanya ia yang terlemah. Mengapa? Entahlah. Lagipula, percuma saja bertanya-tanya. Toh, takkan ada yang menjawabnya, bukan?

"Hai ... kau ... Sa-ma-ra? Kau benar-benar Samara. Putri ketujuh Raja Britya!" Suara halus nan lembut cukup mengejutkannya. Beberapa kali bahunya terangkat. Mencoba mengusir desauan angin yang membentuk suara aneh. Terlalu letih berlari sepertinya mulai membangkitkan halusinasinya.

"Hai, aku di sini! Turunkan bahumu! A-aku ... bi-bi-bisa mati terje-jepit nanti!"

Samara meremang. Suara siapa itu? Bukankah ia hanya seorang diri di sini?

"Siapa kau? Tunjukkan wujudmu! Jangan bersembunyi. Ini tidak ... lucu!" ancamnya, tapi tetap saja, getir terpampang jelas di rautnya.

"Ha ha ha. Ini memang tidak lucu! Lagipula, siapa yang bersembunyi dari putri raja yang tak bisa apa-apa sepertimu?" ejek suara itu. Samara meradang. Kesepuluh jemarinya mengepal sempurna.

"Abgradien asparta ...." Tetiba saja, selembar daun melayang tepat di depan mata Samara. Mahkluk kecil seukuran setengah jari kelingking berbaring tepat di atasnya. Gemerlap cahaya mengelilingi tubuh kecil itu. Samara takjub bukan kepalang, baru kali ini ia melihat makhluk asing selain kaumnya.

"Ka-ka-kau?" Samara terbata. Takut itu pasti, tapi penasaran lebih mendominasi. Gadis itu melangkah, mendekatkan diri pada makhluk aneh di hadapannya.

"Bisa tidak, Tuan Putri tak perlu menatapku seperti itu? Aku bukan penjahat!" ucap makhluk itu.

Samara menghentikan langkah. Mematung. Hanya bibirnya saja yang bergerak. Mengatup, terbuka lalu mengatup lagi.

"Ka-kau ... makhluk apa?" tanyanya ragu.

"Huh! Dasar! Apakah pendamping atau pengasuh Tuan Putri di Iceland tak pernah bercerita sedikit pun tentang kaumku? Biarpun ukuran jempol kalian lebih besar dari ukuran tubuh kami, tetap saja ... kami yang memegang kesejahteraan Evergreen," ucapnya menyombongkan diri.

Tatapan Samara datar. Tak tahu harus merespons apa. Kemudian, ia menyandarkan bahunya di sisi pohon yang memiliki ranting menjulang, melipat tangan di depan dada lalu berkata, "Lalu, apa hebatnya semua itu?"

"Ha ha ha." Tawa meledak. Sang Peri Hutan berpindah tempat dengan cepat. Membuat Samara ikut berputar 360 derajat. Kemudian, si empunya tawa terdiam. Menatap Samara dengan tajam. Gadis itu menarik kepala belakang, menghindari makhluk bercahaya yang terus mendekat ke arahnya. "Tuan Putri ... serius tak pernah mendengar apa pun tentang kaumku? Tentang kehebatan kami atau apa pun itu?"

Samara hanya menggeleng sembari menyipitkan mata, menghalau cahaya yang menghunjam netra.

"Hemm, baiklah. Panggil aku Aleron, salah satu peri penjaga Evergreen." Sang Peri Hutan mendengkus pasrah. "Lalu, sedang apa Tuan Putri di sini? Bagaimana jika Giant Rush mengetahui keberadaanmu lalu melahapmu, Tuan Putri? Tanpa mengunyah pastinya. Karena ... memakan tubuh kurus tak bergizi sepertimu tentu sesuatu yang mudah baginya," ejek si Peri Hutan. Samara mendelik, merasa tak terima.

"Enak saja! Sudahlah, aku ingin sendiri. Jangan mengikutiku terus!" hardik Samara sembari melangkah pergi. Namun, makhluk kecil itu terus membuntutinya. Menyelinap di sela helai rambut berwarna biru metalik yang meliuk diterpa angin. Sadar akan sesuatu, Samara menghentikan langkah. Mendongak, menatap langit yang cenderung menjadi pekat. Awan hitam menggumpal, lalu berputar tepat di atasnya. Membuat satu pusaran yang seakan mampu menghisap apa pun. Samara bergidik. Fenomena apa yang sedang terjadi?

Aleron tertawa sinis. "Sepertinya ... Giant Rush mengetahui keberadaanmu dan ia ...."

"Ia apa?" desak Samara, getir.

"Membawa kawanannya juga."

"Ka–kawanannya?" Samara mengernyit, kebingungan.

"Jangan bertingkah konyol! Aku pikir, keturunan Kerajaan Iceland tak begitu bodoh untuk menyimpulkan apa yang kuucap barusan." Aleron terbang ke sisi pohon yang lain. Menyelinap di antara dedaunan, lalu kembali ke hadapan Samara yang masih diam merangkai kata. "Untuk membinasakanmu, Tuan Putri," jawab Aleron, putus asa menanti kesimpulan Samara.

Gadis itu terdiam, menunduk beberapa saat lalu mendongak menatap langit yang semakin kelam. Keringatnya bercucuran, darah hitam nan kental keluar dari lubang hidungnya.

"Tuan Putri ... kau ... berdarah."

Samara tertunduk lemah. Mengapa kekuatannya semakin menghilang? Apa benar yang dikatakan ayahnya? Bahwa, semakin jauh ia meninggalkan Iceland, maka semakin pudar juga kekuatan yang ia miliki.

Samara berusaha bangkit, lalu mencoba berlari kecil mengikuti Aleron yang dengan mudahnya berpindah tempat.

"Tolong aku, Aleron. Aku tidak ingin binasa. Tolong bantu aku keluar dari Evergreen," rintih Samara, hampir putus asa.

"Tidak mungkin. Tidak ada jalan. Jika berjalan terus, Tuan Putri akan sampai di Kerajaan Coalland. Raja Abraham tentu tidak akan senang jika mengetahui keturunan Raja Britya memasuki wilayah kekuasaannya," terang Aleron panjang lebar. Pupus sudah harapan Samara. "Akan tetapi ...," sambung Aleron lagi, membuat secercah harapan timbul di benak Samara.

"Akan tetapi apa?" desak gadis bersurai indah itu.

"Akan tetapi, aku bisa membawamu ke suatu tempat, pengasingan kakakmu. Dania."

"Da–Dania ... jadi, maksudmu Dania masih hidup?" Samara terbelalak. Satu persatu rahasia yang disembunyikan oleh ayahnya terbongkar. Kakak kesayangannya ternyata masih hidup dan diasingkan? Oh, astaga. Apa yang terjadi sebenarnya?

"Tapi, satu yang harus Tuan Putri tahu, tempat itu bukanlah dunia kita. Tempat itu dipenuhi manusia dan kebanyakan dari mereka, tidak dapat dipercaya."

"Maksudmu, pandai berbohong?" Samara penasaran.

Aleron mengangkat bahu kirinya. "Semacam itulah. Jadi, bagaimana? Apakah Tuan Putri bersedia mengasingkan diri ke–"

"Aku bersedia, Aleron. Cepatlah. Bawa aku ke tempat itu!" sergah Samara, tak sabaran.

Tak berlangsung lama, setitik sinar yang menghunjam netra muncul dari balik punggung Aleron. Sebuah gelang bercahaya dengan permata biru dan merah di sekelilingnya. Sungguh, sangat indah. Samara tak berkedip, mengagumi sebuah gelang yang kini telah berpindah ke telempapnya. Perlahan, gelang itu membesar. Kristalnya semakin menyilaukan. Samara mundur beberapa langkah. Kelopaknya menyipit, mengatur cahaya yang masuk ke iris.

"I–ini ... apa?" tanyanya terbata.

"Ini Diamond Bracelet. Kekuatannya dapat membuatmu berpindah dimensi dengan mudah. Tuan Putri ingin bertemu dengan Putri Dania, bukan?" tanya Aleron. Samara hanya merespons dengan anggukan bersemangat.

Aleron tersenyum sinis. "Kalau begitu, pakailah gelang itu, dan lihatlah keajaibannya."

Tak menunggu lama, Samara mengiakan perintah Aleron. Mengenakan gelang itu begitu saja. Cahayanya seakan merasuk ke tubuh Samara. Gelang itu seperti mengikat, tak dapat dilepas. Samara memekik kesakitan. Beberapa kali ia meminta tolong pada Aleron, tapi makhluk itu tetap tak acuh. Bahkan Aleron tertawa terbahak-bahak. Seakan puas dengan apa yang ia lihat. Setelah berhasil menghasut Raja Britya untuk mengasingkan Dania, kini Aleron juga berhasil membujuk Samara, untuk menyusul kakaknya ke dunia fana.

Perlahan, tubuh Samara hanyut terbawa angin. Bagai debu, dengan mudahnya tubuh itu terbang ke segala arah. Lenyap tak berbekas. Aleron masih tertawa. Bahkan lebih keras dari sebelumnya. Usahanya agar Raja Abraham dapat mengambil alih Iceland ternyata sangat mudah. Kehilangan putra-putrinya tentu membuat Raja Britya semakin lemah, dengan begitu Raja Abraham akan mudah mengalahkan dan mengambil kekuasaannya.

***

Menembus dimensi dengan kecepatan jutaan tahun cahaya, membuat kepalanya terasa berputar. Samara terhuyung. Tangan kanannya dengan sigap berpegangan pada kayu penyanggah di sisinya.

"Ini ... di mana?" tanyanya cenderung berbisik. Ada yang aneh. Embusan angin yang keluar dari hidungnya terdengar lebih berisik.

Samara mengendap, memperhatikan sekeliling. Dalam hati ia bertanya, apakah Dania selama ini tinggal di tempat sekacau ini? Mulai penasaran, ia masuk lebih dalam.
Langkahnya sontak terhenti ketika melihat cahaya kehijauan bercampur biru keluar dari sebuah cermin berdebu.

Dengan kaki yang mulai lelah, Samara meringsut. Merapatkan diri ke tembok. Mencoba merapal mantra yang entah mengapa tak bekerja seperti biasanya.

Tak berlangsung lama, dari balik tembok terdengar langkah kaki yang bergema. Samara mengutuk diri. Bodohnya ia percaya begitu saja pada makhluk kecil itu. Mungkin saja, sekarang Samara malah semakin dekat dengan hewan buas pemangsa.

"Akhirnya ... aku menemukanmu, Samara." Suara sehalus beledu menyapa membuat bulu kuduk Samara meremang.

"Ka–ka–kau siapa?" tanya Samara, terbata.

Cahaya dari sorot matanya menyelinap di kegelapan. Kemudian, pemilik suara nan lembut itu tertawa. "Ha ha ha. Ini aku, kamu ngapain di sini?" tanyanya lemah lembut.

"A–aku ... kau, bagaimana kau tahu namaku?" Samara bergidik.

"Oh, ayolah, Samara. Seluruh penghuni sekolah juga tau kamu, tuh, siapa! Sudahlah, ayo cepat keluar. Aku nggak mau lama-lama di gudang gelap kayak gini." Gadis berpakaian abu-abu–putih dengan rok hitam di atas lutut itu pergi meninggalkan Samara yang masih termangu dengan sekelebat tanya. Ada di mana ia sekarang, mengapa makhluk asing yang menyerupai tubuhnya dapat mengenal dirinya, lalu mengapa baju yang ia pakai sama persis dengan yang dikenakan gadis itu? Samara geming.

Sepersekian detik, neuron otaknya memaksa ia mengikuti langkah si gadis. Namun, sepertinya kurang beruntung. Ia kehilangan jejak. Samara mengedarkan pandang, menatap langit luas lalu tersenyum karena melihat awan yang terlihat berkejaran. Ah, indahnya. Rasanya, beberapa saat lalu, ia menyesal mendatangi tempat ini, tapi sekarang sepertinya ia mulai bisa menyesuaikan diri.

"Ka–kamu ... kenapa bisa?" Lagi dan lagi, suara seseorang mengejutkannya. Samara menengok, mendapati seorang lelaki berpakaian hampir sama dengannya, sembari menenteng tas ransel dengan rambut acak-acakan seperti habis bangun tidur.

"Apanya yang bisa. Lagipula, siapa kau?" Samara bertanya, ketus.

"Kamu ... putri ketujuh Raja Britya, 'kan? Kamu ... adik kandung Dania?" tanya lelaki itu.

Samara berbinar. Seperi menemukan keluarga di perjalanan panjangnya. "Bagaimana kau tahu? Sebenarnya, siapa kau?" Samara balik bertanya.

"Perkenalkan, aku Panji, Tuan Putri." Lelaki itu menyeret kaki kirinya ke belakang. Lalu menunduk memberi hormat.

"Sudah, sudah. Tak usah berlebihan. Aku tak ingin ada yang melihatnya. Panggil namaku saja. Tak usah dengan sebutan Tuan Putri atau semacamnya," titah Samara.

"Baiklah, Tuan Put, emmh, maksudku Samara. Oh, ya, bagaimana caranya kamu bisa sampai ke dunia ini?" Panji bertanya.

"Ah, itu." Samara memperlihatkan pergelangan kanannya. Sebuah gelang yang mengeluarkan sinar merah dan biru yang berpendar menyilaukan mata. "Dengan ini," tegas Samara sembari menggoyangkan tangannya.

"Diamond Bracelet?" tanya Panji samar-samar.

Praak

Suara aneh muncul dari balik ruangan. Seperti tempat sampah yang terjatuh karena terlihat beberapa kertas menggumpal yang berceceran. Dengan sigap, Panji menarik lengan Samara. Memasuki ruangan lalu menutup pintu rapat-rapat. Napas Panji terengah, entah apa yang ia pikirkan.

"Kenapa?"

Masih terengah, Panji mencoba mencoba menjawab," Diamond Bracelet. Gelang permata yang dapat mengundang malapetaka. Sebaiknya, kamu segera kembali ke Evergreen. Kubur gelang itu sedalam-dalamnya. Jangan ada yang menemukan apalagi memakainya," terang Panji panjang lebar.

"Kenapa?" Samara menyergah dengan pertanyaan.

"Lama kelamaan, gelang ini akan menghisap nyawamu, Samara. Lalu perlahan merambah saudara dan saudarimu. Setelah itu, kekuatan Raja Britya akan menghilang dan dengan mudah dapat dikalahkan." Panji menjelaskan.

Samara mengangguk. "Lalu, sebaiknya aku apakan gelang ini?"

"Gelang itu akan membawamu kembali ke Evergreen. Lalu, lepaskanlah di sana. Kubur benda terkutuk itu. Hilangkan jejaknya," titah Panji.

Samara mengangguk. Sebenarnya, ia masih ingin berada di sini. Namun, mendengar penjelasan Panji barusan tentu membuatnya tak tenang. Setelah berunding, Panji membawa Samara kembali ke gudang. Ia meletakan telapak tangan gadis itu menghadap cermin. Kilatan cahaya dari gelang seolah menyatu dengan cahaya kehijauan yang dipantul cermin. Menghasilkan suara aneh bak terkena energi sihi yang sangat besar.

Tak berlangsung lama, tubuh Samara menghilang dari pandangan Panji. Seolah terhisap oleh cermin dan akan dibawa entah ke mana. Panji tersenyum kecut. Setidaknya, tugasnya di dunia ini tak bertambah banyak. Syukurlah.

***

Samara benar-benar kehilangan tenaga. Dua kali melewati perpindahan dimensi membuat kekuatannya luruh. Lututnya melemah, ia jatuh terjembab ke tanah yang cenderung keras. Ia meradang. Kenapa jadi sepelik ini? Ia hanya ingin menghindari perjodohan. Lalu, kenapa masalah malah datang bertubi-tubi?

Ia harus kembali ke Evergreen dengan tubuh tak berdaya. Jika ia bertemu dengan Giant Rush lagi, tentu makhluk itu takkan berbaik hati melepaskannya.

Dengan segala kemampuan, ia memacu kakinya untuk terus berjalan. Kembali menelusuri Evergreen yang semakin pekat. Hingga akhirnya, ia melihat setitik cahaya di ujung kegelapan. Cahaya merah berkilau, terpantul ke langit. Membentuk lingkaran bak api yang sedang berkobar.

"Coalland," bisik Samara. Ada keraguan untuk terus melangkah. Namun, rasa ingin tahu juga tak dapat ia enyahkan.

Samara mengintip di celah bebatuan. Memperhatikan keadaan Kerajaan Coalland yang tampak baik-baik saja. Tak ada perang seperti yang sering diceritakan para pengasuhnya. Samara mengumpulkan keberanian, lebih dekat dengan Negeri Api itu. Namun, sayang ... sepertinya pihak Coalland mengetahui keberadaannya dengan cepat. Jebakan tiba-tiba menerjangnya. Membuat Samara jatuh terjerembap, tak dapat berkutik.

"Ha ha ha." Suara lantang memekak telinga. Langit menerima gemanya. "Besar sekali nyalimu memasuki kawasan kami!" Gadis berambut merah itu bersuara.

Samara geming. Giginya bergemeletuk. Berkali-kali merapal mantra, tapi percuma. Tak berfungsi seperti sediakala.

"Mau kita apakan gadis ini, Tuan Putri?" tanya salah satu pengawal dengan baju zirah beserta sebilah pedang dan anakan panah di punggugnya.

"Hamba siap membunuhnya," ucap pengawal yang lain.

Gadis berambut merah tersenyum sinis. Merencanakan sesuatu untuk menyiksa Samara. Ia tahu, putri Kerajaan Iceland tak pernah diajarkan cara berperang. Hanya mengandalkan kekuatan sihir yang bisa hilang.

"Lepaskan jebakan itu," titah si gadis berambut merah. Sepertinya, ia salah satu putri Raja Abraham. Tersiar kabar, gadis itu bertindak sebagai panglima perang. Kemampuannya menggunakan pedang tak dapat diremehkan. "Berikan pedang kalian pada kami. Aku ingin melihat kemampuannya bertarung."

Samara terengah. Memegang pedang saja, ia tidak pernah. Bagaimana mungkin ia bisa mengalihkan seorang petarung walau jenis kelamin mereka sama-sama perempuan.

Secepat kilat, pedang berpindah. Kedua gadis itu saling menatap. Kilatan biru bertumbukkan dengan cahaya merah yang menyilaukan.

"Tuan Putri Athena ..., ada apa ini?" Pengawal lain datang tergopoh-gopoh.

Athena ... jadi, namanya Athena. Putri keempat Raja Abraham yang punya keahlian meliukkan pedang? tanya Samara dalam hati.

"Jangan mendekat, Cortasius. Biarkan ini jadi urusanku!" titah Athena.

Tanpa aba-aba, Athena mengangkat pedang, cahaya merah sepekat darah terpancar dari bilahnya. Lalu mengarah tepat di dada Samara. Aneh, seperti sudah terlatih, Samara menangkis dengan gesit. Berpindah kiri dan kanan. Pedang beradu, berputar pada poros. Saling menyerang lalu menangkis. Bunga api terlihat, beberapa pengawal mundur dari tempatnya.

Samara dan Athena masih beradu pedang. Rambut yang terserak ke mana-mana tak menghambat mereka berdua. Dedauan terbang tak tentu arah bersama debu yang menyesakkan dada.

"Menyerahlah, Samara. Kau tidak akan bisa memenangkan pertarungan ini!" cibir Athena.

Samara mengelap darah kental kehitaman yang keluar dari sudut bibirnya. Tatapan geram terpancar beradu dengan kilatan sinis yang menyeruak dari iris Athena.

"Tak usah banyak bicara. Buktikan saja!" Diamond Bracelet yang dipakai Samara  bersinar. Seakan menyatu dengan kilauan pedang yang ia pegang.

Athena berteriak histeris. Seperti ada suara asing yang mengorek telinganya. Berdesing, menciutkan nyali.

"Kau ... gelang itu?" Athena menunduk, masih menutup telinga lebih rapat dari sebelumnya.

Samara berdiri tegap, bahunya naik turun mengatur napas. Ada apa sebenarnya? tanyanya dalam hati.

Tetiba saja, seseorang menyambar tubuhnya. Menyeret tubuh Samara, berlari kencang tak kasatmata.

Cukup lama, Samara merasa lelah. Ia mengempas tangan itu, memutuskan berhenti dari pelarian.

"Ka–kau ... bagaimana mungkin?" Samara mengernyit, bingung. Karena melihat Panji ada bersamanya sekarang.

"Kenapa kamu begitu ceroboh, malah membawa diri ke Coalland. Bagaimana kalau kamu mati terbunuh?" Panji mendengkus.

"Bukan urusanmu! Lagipula kau yang menyuruhku kembali ke Evergreen," bantah Samara.

Tak berlangsung lama, suara tapak kaki menggema. Spontan kedua pasang mata itu menoleh ke sumber suara. Kepulan debu menghalau penglihatan.

"Gawat! Ayo kita pergi dari sini! Pengawal Coalland masih memburumu!" hardik Panji. Lengan lelaki itu kembali menarik Samara. Berlari entah ke mana tujuannya. Cukup lama, sampai akhirnya mereka tiba di depan sebuah cermin yang memantulkan cahaya indah.

"Ini apa?" Samara terperangah.

"Ini portal yang aku jaga. Terhubung ke dunia manusia. Dunia yang beberapa saat lalu kamu masuki dengan gelang itu." Panji menyunggingkan bibir, menunjuk pergelangan Samara. "Tapi ...." Panji mengantung ucapannya.

"Kamu hanya bisa sekali melewati portal ini. Takdir sudah menulis seperti itu, terlebih ... karena gelang yang kamu gunakan. Cepatlah putuskan, apakah kamu mau kembali ke dunia manusia? Atau menetap di sini menanti ajal?" tanya Panji, membuat bulu kuduk Samara meremang.

Samara termangu. Asanya luruh terbawa angin. Diam di sini sama saja menanti petarungan yang tak mungkin bisa ia menangkan. Terus berlari kembali ke Iceland juga sangat berbahaya. Bisa saja kawanan Giant Rush menantinya. Lalu apakah Samara harus menuruti Panji melewati portal yang hanya bisa sekali membuatnya berpindah tempat? Itu artinya, ia takkan bisa kembali ke keluarganya. Samara mendengkus. Memejam mata, mengepal kedua tangan. Dengan pasrah, ia berjalan mendekati portal cahaya yang berkilauan.

"Cepatlah Samara! Jangan sampai pengawal Coalland melihat portal ini, aku harus menyembunyikannya lagi!" Panji menghardik.

Dua langkah lagi, kaki gadis itu menyentuh ambang portal. Seakan terhisap, ia masuk ke dalamnya. Tergulung terbawa arus. Berputar dalam cahaya warna-warni. Sampai ketika, tubuhnya terasa seringan kapas. Kakinya mendarat ke tempat gelap nan berdebu.

Tempat ini lagi, ucapnya dalam hati.

Panji mengembus napas. Lalu melirik gadis di sisinya.

"Sekarang, kamu bisa sepenuhnya tinggal di sini. Temuilah Dania. Dania juga telah mengorbankan keabadiannya. Sama sepertimu," titah Panji.

Samara mengangguk. "Jadi maksudmu, aku dan Dania sudah tak bisa kembali ke Iceland?" tanyanya khawatir.

Gantian, Panji yang mengangguk. "Tapi, tak menutup kemungkinan jika suatu saat takdir membawamu kembali ke sana. Tunggu saja sampai tiba waktunya." Panji melenggang pergi meninggalkan Samara.

Gadis itu menatap pergelangannya. Tak ada gunanya lagi ia memakai gelang itu. Mungkin saja, malah akan menimbulkan masalah. Ia memutuskan melepas Diamond Bracelet. Lalu meninggalkannya di atas meja bersarang laba-laba.

Bagai magnet, gelang itu menggelinding mengikuti langkah Samara. Hingga akhirnya benda mengilap itu berhenti tepat di hadapan seorang gadis. Bak mendapat tuan baru, kilatan hijaunya semakin terpancar. Membuat si gadis tersenyum bahagia.

Sementara di dimensi lain, kesedihan tampak merundungi Raja Britya. Kehilangan dua anak tentu tidaklah mudah. Ia hanya bisa berharap, Panji dapat menjaga kedua anaknya dengan baik. Semoga saja.

[end]

✨✨✨

— ngopi dulu, yuk, NGObrol PIntar maksudnya.
— Apa yang kalian rasakan setelah membaca The Secret of Samara?
— Apa emoticon kalian untuk cerita ini?
— Apa kritik dan saran yang ingin kalian sampaikan pada penulis?

Terus baca serial Soul Revolusion High School, ya. Dan temukan beragam rahasia di dalamnya.

Sampai ketemu dengan cerita selanjutnya...


Salam,
SR Agent.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top