Peri Hutan, Cinta, dan Dongeng : II - umisholihahaisha

Lalu terdengar ledakan hebat, entah dari mana yang jelas tidak jauh dari posisi mereka.

...

"Sepertinya keadaan kita tidak terlalu aman saat ini!" seru Gabriel sambil berlari. Ia harus cepat sampai ke tempat tujuan.

"Apakah dunia di dimensi lain, maksudku di luar dimensi manusia sedang tidak aman?" tanya Dania hati-hati.

"Aku rasa begitu. Ada kekacauan besar yang terjadi," jawab Gabriel. Ia benar-benar tidak tahu ada masalah apa di hutan terlarang atau di kerajaan sekitar hutan. "Kita hampir sampai!" Gabriel menunjuk satu tanjakan terakhir. Velove dan Dania bisa melihat air terjun di arah yang ditunjuk Gabriel.

Mereka bergegas menanjaki bukit terakhir. Dan ketika sampai di sana, mereka bertiga seperti seorang musafir yang telah melakukan perjalanan panjang di padang gersang lalu disuguhi sebuah oase yang menyejukkan. Keindahan yang sulit diungkapkan. Dihadapan mereka saat ini ada air terjun yang deras dan sejuk. Batu-batu besar yang membuat hutan perbatasan terlihat asri dan terjaga. Udara segar tanpa polusi, cuitan burung-burung, suara monyet-monyet. Bahkan mereka dapat melihat hamparan pohon-pohon di Evergreen seperti melihat hamparan padi di sawah. Semua terlihat kecil karena mereka berada di puncak ketinggian.

"Apakah itu tanaman Marchantia polymorpha luciferin?" tanya Velove sambil menunjuk tanaman hijau yang terang. Tanaman itu seperti memancarkan cahaya kehijauan yang lembut dan tidak menyakiti mata.

"Iya benar itu. Tapi ...,"

"Tapi apa?"

"Tanaman itu tidak bisa dipetik begitu saja. Tanaman punya nyawa dan mereka bisa berkomunikasi, mereka bisa bicara. Jika kita melakukan kesalahan, tanaman itu bisa layu dan mati atau fakta pahitnya tanaman itu bisa menyerang kita jika merasa terancam."

Untuk sementara Velove dan Dania tercekat, tak mampu berkata apa pun. "Bukankah kamu putra dari ratu peri hutan?" tanya Velove cepat.

"Kan tadi aku sudah bilang, kekuatanku telah dilucuti sebelum aku dikirim ke dunia manusia!" Gabriel berkata dengan penuh penyesalan. Ia menyesal karena tidak bisa membantu banyak.

"Velove," panggil Dania. Kedua tangannya meraih pundak Velove, manik matanya menatap mata Velove tepat di iris matamya yang berwarna biru terang. "Entah kenapa aku yakin kamu bisa melakukan hal ini. Bukankah kamu sering bicara dengan tanaman di rooftop sekolah?" Dania meyakinkan Velove.

Velove mengangguk. Dharma dalam bahaya karena ulahnya, maka ini adalah konsekuensi yang pantas ia terima. Apapun akan Velove lakukan demi Dharma. Demi sahabatnya.

Perlahan Velove menuruni undakan batu. Ia gentar dan karena itu ia jatuh terpeleset lumut yang ada di batu pijakan. Pipinya terantuk batu, membuat Velove meringis. Dengan cepat ia bangkit dan berjalan mendekati tanaman Marchantia polymorpha luciferin.

"Hai, Tia ...," sapa Velove seperti menyapa teman lama, suaranya terdengar lembut meski ada getar di sana. "Hari ini aku membuat masalah, aku membuat temanku nyaris mati karena kebodohanku, dan aku butuh kamu agar temanku dapat diselamatkan. Aku mohon, bantulah aku, bukan demi aku, tapi demi sahabatku. Aku ingin Dharma selamat. Aku masih ingin bersamanya, aku masih ingin bermain, bercanda dan belajar lagi bersamanya. Selama ini aku tidak pernah memiliki sahabat sampai Dania dan Dharma datang menjadi sahabatku dan aku belum siap untuk kehilangan sahabat." Air mata mulai membasahi pipi Velove yang pucat. Bahkan ia tidak sadar pipinya berdarah karena benturan di batu tadi.

Tiba-tiba tangan Velove berubah menjadi hijau terang. Ia takut tapi dari atas Gabriel meyakinkan tidak masalah. "Mereka menerima kamu sebagai sahabat mereka, kamu bisa ambil tanaman itu," terang Gabriel. Velove tersenyum lalu ia mendekatkan tangannya ke tanaman yang menyala lembut dengan warna hijau itu.

"Maafkan aku jika ini menyakitimu," ucap Velove sebelum meraih Marchantia yang menempel di batu berwarna hitam mengkilat. "Terimakasih, semoga kalian bisa terus berkembang semakin banyak." Velove melangkah pergi lalu kembali memanjat menaiki undakan batu. Gabriel dan Dania sigap membantunya.

"Ayo cepat! Kita tidak punya banyak waktu, Dharma butuh kita," ucap Gabriel dan ketiganya berlari cepat untuk kembali ke rumah pohon. Jalan menuruni bukit memang menurun tapi justru membuat neraka harus ekstra hati-hati jika tidak ingin terjatuh atau tergores tanaman berduri uang ada di sekitar jalan setapak.

Dua jam kemudian mereka bertiga telah sampai di rumah pohon, cahaya dari lampu senter semakin redup. "Ayo cepat, sepertinya batrai senter sudah hampir habis.

Dania dan Velove telah masuk ke dalam tembok menuju ruang literatur lab kimia saat tiba-tiba tubuh Gabriel tertarik sulur tanaman, membuat Velove urung masuk ke portal sementara. Ia meraih tangan Gabriel dan mengarahkan tangannya yang seterang pijaran tanaman Marchantia polymorpha luciferin itu ke arah sulur yang membelit kaki Gabriel.

"Ayo cepat sebelum kita terlambat!" tepat ketika Velove dan Gabriel berhasil menembus portal sementara, lampu senter mati. Kompak mereka bertiga memghembuskan napas lega.

"Lalu bagaimana caranya membuat ramuan dari tanaman ini?"

"Kita harus memanaskan air terlebih dahulu sampai panasnya mencapai 114°C. Lalu celupkan Marchantia hanya selama 11 detik tidak lebih dari itu."

Dania menyiapkan burner dan penyanggahnya, juga thermometer digital, Velove mencuci Marchantia dengan aquades. Sedangkan Gabriel menyiapkan air 250 ml dalam tabung destilasi. Mereka bertiga menunggu dengan cemas ketika angka di thermometer menunjukkan angka 110, mereka tidak boleh melakukan kesalahan atau mereka akan menunggu lagi dan mengulang dari awal.

"114!" seru Dania, spontan Gabriel mematikan burner. Velove menyerahkan tanaman Marchantia pada Gabriel, lelaki itu dengan sigap mencelupkan Marchantia ke dalam tabung destilasi dengan pinset panjang.

"9, 10, 11 angkat!" Velove menghitung.

"Akhirnya selesai juga," Dania menghembuskan napas lega.

"Belum. Yang kita butuhkan adalah uap dari air ini, kita harus menunggu uap ini terkumpul sampai 5 mililiter." Gabriel membenarkan. Ia menutup tabung destilasi dengan penutup karet, dan meletakkan tabung erlenmeyer di ujung lengan tabung destilasi tanpa memasang kondensor. Menunggu uap terkumpul hingga 5 ml ternyata membutuhkan waktu cukup lama. Membuat Velove dan Dania menguap lelah.

"Kalian tidur saja, nanti akan kubangunkan jika sudah 5 ml."

"Sungguh? Bagaimana dengan kamu sendiri?" tanya Velove yang sudah menguap lebih dari tiga kali.

"Lupa, ya, kalau aku anak lab kimia?" Gabriel bukan tipe orang yang suka dikhawatirkan.

Namun, jauh dilubuk hatinya dia merasa senang Velove khawatir juga peduli padanya. Senyumnya terukir di wajah kakunya. Velove menatapnya dengan pandangan takjub, sadar dengan hal itu Gabriel mengalihkan pandangannya, lalu berjalan ke sudut ruangan untuk mengambil sesuatu.

"Velove ...," panggil Gabriel pelan, tapi tak ada sahutan.

Akhirnya Gabriel memberanikan diri membersihkan luka di pipi Velove lalu menempelkan plaster di sana. Setelah itu Gabriel beranjak pergi. Dan tanpa setahu Gabriel, Velove tersenyum senang dengan mata sedikit mengintip punggung Gabriel. Sejak tadi, Velove hanya pura-pura tertidur.

Velove hampir tertidur jika saja ia tidak mendengar percakapan Gabriel dengan Mr. Fredy.

"Ada masalah genting di hutan perbatasan, Iceland dan Coalland, ibumu meminta kamu kembali ke hutan perbatasan."

"Tentu, setelah urusan ini selesai saya akan segera kembali ke Evergreen."

Senyum yang tadi tercetak jelas di bibir Velove sirna. Ia telah membayangkan akan menghabiskan sisa waktunya di sekolah dengan Gabriel, Dania juga Dharma, namun sepertinya semesta tidak ingin menuruti keinginannya. Velove menangis dalam diam, ia menggigit bibirnya agar tangisnya tidak pecah.

Pukul dua dini hari, Gabriel membangunkan dua gadis yang tertidur dengan wajah lelah di lab kimia. "Velove, Dania ... bangun! Larutan Marchantia sudah jadi!" Velove mengusap air matanya lalu bangkit berdiri.

Mereka bertiga berjalan menuruni tangga karena lift sudah dimatikan. Sampai di lobi sekolah mereka berjalan ke arah UKS yang ada di sudut ruangan luas itu. Mereka membuka pintu UKS, dilihatnya Dharma yang terus memggigil padahal selimutnya sudah berlapis tiga.

Gabriel menyerahkan larutan Marchantia pada Velove, "Aku akan memegangi tubuhnya. Larutan ini akan menimbulkan reaksi perlawanan pada larutan Purest hydrillamora. Dania kamu bisa bantu mengikat tali pada kaki Dharma?" Dania menggangguk.

Setelah kaki Dharma terikat, Velove menyuapkan larutan itu ke mulut Dharma. Satu detik tak ada reaksi, dua detik tubuh Dharma seperti membeku, tubuhnya kaku. Velove menatap pucat pada Dharma, ia takut Dharma meninggal. Velove kembali menangis, Gabriel menatap Velove yang rapuh, ketika ia ingin menjangkau Velove tubuh Dharma tiba-tiba menggelepar, ia menggigil hebat sampai brankar tempatnya berbaring bergerak. Velove memegangi bahu Dharma agar tidak banyak bergerak. Dania dan Gabriel sama-sama memegangi tangan Dharma di sisi yang berbeda. Kaki Dharma menendang-nendang, untung saja kakinya sudah diikat kuat. Sepuluh detik berikutnya Dharma memuntahkan cairan bening dan sedikit busa. Dengan cekatan Velove membersihkan muntahan Dharma. Setelah itu Dharma tidur dengan tenang.

Dania pulang ke asrama, dia akan menyiapkan keperluan dirinya dan Velove untuk kegiatan belajar hari ini. Velove bersikukuh menunggu Dharma sampai waktu sekolah tiba, sedangkan Gabriel dia kembali ke lab kimia.

Pukul enam pagi, Madam Dewi datang, dia menghampiri Dharma dan memeriksanya.

"Masa kritisnya telah lewat, hari ini dia hanya butuh istirahat dan besok dia sudah bisa kembali bersekolah." Madam Dewi mengabarkan pada Velove membuat gadis itu tersenyum cerah.

"Oh iya, kemarin aku menemukan ini di saku Dharma." Tenggorokan Velove tercekat.

Ia seperti ingin muntah melihat hal itu. Semua ini terjadi karena kebodohannya. Ingin ia membuang atau membakar kalung itu. Tapi Velove ingat, ia berjanji akan mengembalikan kalung itu pada Gabriel.

"Terimakasih Madam," ucap Velove seraya menerima kalung berbandul kunci biru xavier. Velove berlari menaiki tangga, napasnya terengah karena ia harus menaiki tangga empat lantai. Dia takut tidak bisa melihat Gabriel lagi.

"Gabriel!" teriak Velove sambil membuka pintu lab kimia. Gabriel kaget mendapati Velove. Setelah rentetan kejadian ini, tingkahnya masih saja ajaib.

"El, apa kamu benar-benar akan kembali ke Evergreen, ke hutan perbatasan?"

"Aku memang berasal dari sana jika kau lupa." Jawab Gabriel dingin, ia tidak ingin ada perpisahan dengan air mata ataupun luka.

"Kapan?"

"Sebentar lagi."

Velove menatap Gabriel tidak percaya, mereka berdua terdiam cukup lama.

"El, tidakkah ada sesuatu yang ingin kau sampaikan padaku?"

Gabriel mengangkat sebelah alisnya bingung, lalu tersenyum. "Ada."

"Apa?" Seru Velove cepat.

Ia benar-benar tidak ingin kehilangan momen bersama Gabriel. Dua hari ini adalah hati terdekatnya bersama Gabriel selama hampir dua tahun.

"Yakin mau dengar? Aku rasa ini bukan kalimat yang ingin kamu dengar di akhir pertemuan kita."

Velove menggeleng yakin, "Tentu saja aku ingin dengar kalimat dari kamu sebelum kita benar-benar berpisah dalam dimensi jarak dan waktu." erat bagi Velove mengatakan hal itu.

Tetapi ini adalah caranya untuk bisa mendengar suara Gabriel dan sedikit waktu untuk menyimpan aroma terakhir wangi keringat Gabriel. Kali ini aroma tubuhnya berkeringat, seperti Dharma habis latihan pramuka. Hanya saja wangi citrus masih bisa sedikit tercium sel-sel olfaktorinya.

"Velove, aku berharap kamu tidak lagi menjadi manusia yang super kepo dengan urusan orang lain." Velove langsung menggigit bibirnya, merasa tidak enak, tapi apa yang dikatakan Gabriel memang benar.

"Kamu pasti sangat membenciku karena aku suka sangat ingin tahu tentang kamu," simpul Velove.

"Percayalah. Ketika urusan kita dicampuri orang lain, rasanya itu sangat menyebalkan. Dan itu mengganggu sekali, Velove."

"Maafkan aku, El."

"Dan yang terpenting, aku tidak suka melihat kamu dalam bahaya. Aku tidak suka melihat kamu menangis. Aku suka saat mata kamu berbinar semangat saat belajar biologi, dan aku berharap kamu juga selalu bersemangat ketika belajar bidang study yang lain. Aku suka saat kamu memperlakukan apa pun seperti makhluk hidup. Percaya atau tidak, aku sama seperti kamu, aku yakin semua yang ada di dunia ini hidup. Hanya saja kita tidak bisa memahami bahasa makhluk-makhluk yang orang lain bilang itu benda mati. Aku senang saat tahu kamu berusaha menganggapku sebagai sahabat, tapi karena aku tahu aku akan pergi, jadi aku selalu menghindari kamu. Hati kamu terlalu baik Velove. Sejujurnya, kamu adalah anak yang sangat mudah dicintai,"

Velove terperangah. Ini adalah kalimat terpanjang yang ia dengar dari bibir Gabriel. Dan ia tidak menyangka bahwa Gabriel akan mengatakan ini padanya.

"Jika kamu pergi, kamu tidak akan menghapus ingatanku dengan sebuah mantra, 'kan?" tanya Velove dengan nada kikuk.

"Hahaha ... aku hanya peri hutan, Love. Bukan penyihir!"

"Syukurlah, aku takut jika tiba-tiba saja kau menghapus ingatanku. Oh iya, ini punya kamu, aku tak sengaja mendapatkan ini," ucap Velove sedikit jujur, tapi dia tidak berbohong.

"Itu buat kamu saja dan aku punya sesuatu untuk kamu sebagai hadiah."

Gabriel menyerahkan botol kecil bening dengan cairan berwarna biru di dalamnya. Velove mencium botol itu, wangi mint khas Gabriel langsung menerobos hidungnya.

"Terimakasih, El."

"Kenapa tidak dicoba?"

Velove tersenyum polos, rasanya ia ingin menghemat parfum itu selama mungkin. Tetapi karena ini permintaan Gabriel akhirnya gadis itu mengocok botol parfum sebentar lalu menyemprotkan cairan itu ke bajunya. Wangi mint khas Gabriel langsung menguar dan seperti membius Velove. Memberinha ketenangan, kesejukan dan kedamaian.

Ia merasa napasnya menjadi ringan yang tanpa Velove sadari cairan itu selain berisi parfum, juga berisi ramuan untuk mengecilkan kenangan. Jadi Velove tidak akan benar-benar kehilangan memorinya tentang Gabriel dan hutan perbatasan juga tentang duyung sekolah. Hanya saja larutan itu membuat ingatan Velove hanya seperti dongeng anak saja, bukan kejadian yang pernah benar-benar ia alami.

Gabriel memang sejahat itu, tapi ini adalah cara terbaik menurutnya, karena ia tidak ingin ada tangis dalam perpisahan. Ia tidak suka melihat Velove sedih.

"Permisi," ucap Gabriel sebagai salam perpisahan.

Velove menggeleng, dia melihat seseorang yang baru saja lewat di sebelahnya, dia merasa seperti kenal dengan sosok yang baru saja lewat tapi ia tidak begitu yakin. Gadis itu menatap punggung lelaki berambut sedikit gondrong dengan aroma citrus campur keringat dan debu hutan. Akhirnya sosok pemilik punggung itu lenyap di balik pintu.

Velove benar-benar tidak ingat tentang apa saja yang telah dia alami dua hari terakhir.

"Eamng dasar ya, dari tadi aku cariin di seantero sekolah taunya di sini. Mau ngapain anak biologi masuk ke lab anak kimia, nyasar?!" Ketus Dania sambil menyeret Velove keluar dari lab kimia.

"Ih galak banget sih, sebenarnya aku sendiri juga lupa, ngapain aku di sini. Mungkin aku tadi ingin bertemu Mr Elbert atau ... entahlah." Dania memutar bola matanya, dia tidak mau mendengar alasan absurd dari mulut Velove.

"Sekarang kamu mandi, habis itu kita sarapan bareng di UKS lalu sekolah dengan rajin. Oke!" perintah Dania pada gadis pirang dengan wajah polos yang ada di depannya ini.

Semua tidak ada yang ingat dengan kejadian dua hari ini. Karena kepala sekolah telah mengecilkan memori anak-anak yang terlibat dalam kejadian tenggelamnya Dharma di danau sekolah.

[end]

:-:-:-:

Salam,
SR Agent.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top