Looking For - VanKwok

"Kita tidak akan terpisahkan oleh apa pun, kecuali maut dan kehendak Tuhan."
—Kenzo.

:-:-:-:

Hari ini tepat hari ke sepuluh untuk Cleva berada di Jakarta. Dan ia belum juga menemukan keberadaan kakaknya, Clevo. Semua itu karena seorang laki-laki yang mengaku sebagai sahabat Clevo dan tidak mau memberitahu keberadaan kakaknya jika Cleva belum membongkar rahasia terbesarnya, yaitu bagaimana cara ia masuk ke dalam Soul Revolution High School.

Di dalam hutan yang tak jauh dari sekolah terdapat pohon yang lumayan besar. Di dalam batang pohon itulah Cleva tinggal. Dengan kekuatannya ia bisa membuat pohon itu layaknya sebuah rumah. Walaupun Cleva harus menunduk saat masuk, ia tak perlu membungkuk lagi saat sudah berada di dalam karena ukuran tubuhnya otomatis mengecil. Mustahil memang, tapi itu yang terjadi.

Cleva keluar dari dalam pohon lalu merenggangkan tubuhnya. Ia segera mengucir rambutnya gaya ekor kuda dengan ikatan dari akar gantung yang dihiasi bunga. Setelah itu ia menjentikkan jarinya. Tiba-tiba dedaunan menyerbu tubuh Cleva dan bajunya berubah menjadi seragam.

Ia pun mulai menyapukan jari-jari tangan ke kaki. Seketika daun dan ranting menarik tubuh Cleva, membantunya agar lebih cepat sampai di sekolah. Tak lama tubuhnya sudah berhenti di pinggir jalan. Tinggal menyebrang dan sampai. Misi Cleva detik ini, tidak boleh membuat semua orang tau tentang kekuatan anehnya supaya tidak dijauhi, termasuk orang yang mulai disayanginya belakangan ini.

"Mau berangkat sekolah, Neng?" Suara berat itu membuat Cleva terperanjat dan refleks mundur beberapa langkah hingga hampir terjatuh.

Untung lelaki di depan Cleva sigap menarik tangan hingga kepalanya membentur badan tegap laki-laki, yang sering menjahilinya. Matanya membelalak sempurna melihat Kenzo tersenyum di hadapannya. Ia berharap Kenzo tidak melihat bagaimana caranya menuju ke sekolah.

"Lo ngapain di sini, Ken? D-dari tad-tadi?" tanya Cleva seraya mengusap keningnya.

"Nungguin lo, belum lama kok. Ayo, masuk bareng," ajak Kenzo lalu menarik tangan Cleva. "Tenang, gue bakal kasih tau di mana Clevo."

Mata Cleva berbinar. "Di mana?"

"Mau tau banget, ya?"

Cleva mengangguk beberapa kali. Ia sangat berharap kali ini Kenzo memberitahunya tentang keberadaan sang Kakak. Sudah terlalu lama ia di dunia manusia, seharusnya ia sudah harus balik lusa.

Kenzo melipat kedua tangannya. Mengurungkan niatnya untuk menyebrang jalan. "Kasih tau dulu rahasia lo. Siapa lo sebenarnya? Kenapa lo bisa tiba-tiba ada di sini? Dari mana asal lo? Dan gimana caranya kita udah dijodohkan oleh Tuhan?"

Alis Cleva naik satu. "Pertanyaan terakhir lo ngaco, ya?"

Kenzo hanya nyengir dan mengelus tengkuknya. "Kita barter aja, Va."

"Apaan? Jangan aneh-aneh."

"Lo kasih tau gue rahasia lo, gue kasih tau di mana Clevo."

Cleva menelan salivanya susah payah. Ini yang dia takutkan. Kira-kira, jika Cleva sudah bocorkan rahasia terbesarnya, apakah Kenzo tidak akan meninggalkannya? Atau Kenzo ingin membocorkan rahasianya? Cleva masih tidak bisa jika harus memberitahu yang sebenarnya. Ia belum rela jika nanti Kenzo akan pergi dari kehidupannya. "Ada barter yang lain? Nggak sanggup kalau itu. Rahasia gue nggak boleh terbongkar karena bisa mencelakai banyak orang."

Kenzo bergeming, mencoba untuk berpikir. "Ada," ucap Kenzo dengan senyum lebar. "Lo jadi pacar gue selamanya sampe nikah, gue kasih tau di mana Clevo."

"Enak di lo!" Cleva menjitak kepala Kenzo lalu melipat kedua tangannya.

Seketika Kenzo menarik tangan Cleva untuk menyebrang. Selama berjalan menuju koridor, Cleva selalu berteriak minta tolong membuat beberapa siswa menonton adegan Cleva dan Kenzo, yang tidak bisa tenang di area sekolah.

Helaan napas keluar dari bibir Cleva. Ia mulai berpikir. Jika ia tidak segera menemukan kakaknya, maka ia tidak bisa kembali ke Souland. Dan satu-satunya jalan mengetahui keberadaan kakaknya adalah lewat Kenzo, si Cowok Tengil itu. Mau tidak mau Cleva harus memilih. Menjadi pacar Kenzo atau membocorkan semua rahasianya.

"Lo mau tau, siapa gue?" celetuk Cleva membuat Kenzo memberhentikan langkah dan membalikkan badan.

Tanpa kata-kata, Kenzo mengangguk. Ia sudah tidak sabar untuk mengetahui jati diri Cleva. Ia berpikir bahwa Cleva itu bidadari atau vampire atau mungkin seorang penyihir.

Cleva melirik ke arah tangannya yang masih digenggam oleh Kenzo. "Lepasin dulu. Ntar, lo suka gue nggak mau tanggung jawab."

"Udah suka kali. Lo aja yang nggak peka," timpal Kenzo membuat Cleva bungkam dengan wajah memerah seperti tomat.

Cleva bergeming sesaat. Ia memejamkan mata, guna menormalkan detak jantungnya. Gadis itu sudah siap menerima resiko dijauhi oleh Kenzo. Itu demi mengetahui keberadaan kakaknya. Ia menghela napas berat kemudian membuka mata. Dehaman kecil terdengar dari Cleva. "Gue bukan manusia." Baru satu kalimat itu yang keluar dari mulut Cleva dan sudah bisa membuat Kenzo terdiam dengan kerutan di dahi, mulai memperhatikan betul.

"Melainkan bidadari," sahut Kenzo yang langsung mendapat pelototan dari Cleva. Dengkusan pelan terdengar dari bibir Cleva.

"Apa lo yakin masih mau sama gue kalau udah dengar semua cerita gue?" Tiba-tiba saja Cleva ingin bertanya seperti itu. Dan ada rasa takut kehilangan di secuil hatinya. Walaupun kadang ia jengkel dengan kelakuan jahil Kenzo, tetap ada rasa nyaman dan senang saat di dekat laki-laki itu. Seolah ia tidak bisa jika harus keluar dari kehidupan Kenzo dengan cara tidak damai.

"Iyalah. Kan mimpi gue bisa jadi suami lo."

"Kenzo, serius!"

"Iya, aku juga serius sama kamu."

"Oke, bye." Cleva langsung melenggang pergi dari sana karena sudah jengah dengan sikap Kenzo yang selalu seperti itu.

Terdengar teriakan Kenzo beberapa kali memanggil nama Cleva. Namun, Cleva enggan untuk menoleh. Hingga akhirnya bahu Cleva terasa ditarik dari belakang. Seketika Kenzo terpental jauh seperti tertiup angin keras. Ya, itu adalah perlindungan tubuh Cleva secara otomatis. Gadis itu membulatkan matanya seraya membalikkan badan. Ia lupa untuk mematikan kekuatan perlindungan tubuh.

Wajah Kenzo langsung menunjukkan keterkejutan. Ia bingung dengan apa yang barusan terjadi. Dengan segera Kenzo bangkit untuk mendekati Cleva. Namun, gadis itu lebih dulu berlari. Setiap Kenzo ingin mendekat, ada bunga yang jatuh. Dan ia tak tahu dari mana asalnya. Yang jelas, bunga itu jatuh mengikuti langkah Cleva.

Cleva beruntung. Kejadian aneh ini tidak dilihat oleh siapa pun, kecuali Kenzo. Untung koridor masih sepi. Sehingga tidak banyak orang yang curiga. Baiklah, rencananya berubah. Ia akan membongkar semua rahasianya pada Kenzo. Tidak apa-apa jika Kenzo akan meninggalkannya, yang penting kakaknya kembali. Ya, walaupun ia akan merasa kehilangan dan tidak rela jika Kenzo pergi meninggalkannya.

***

Suasana kantin sangat ramai. Dengan susah payah Cleva mencari batang hidung Kenzo yang biasanya ke kantin saat istirahat pertama. Tak lama, ia pun mendengar suara Kenzo yang berteriak agak kencang.

"Bu Widi, nasgor satu, ya!"

Cleva pun segera berjalan ke arah suara Kenzo. Benar saja. Di sana ada Kenzo yang sedang menikmati es jeruk seraya bermain ponsel. Tanpa basa-basi, Cleva duduk di hadapan Kenzo. Laki-laki itu langsung mendongak dengan wajah terkejut.

"Bisa bicara sebentar?" tanya Cleva dengan senyum manis. Ia mencoba untuk bersikap biasa saja meski hatinya sedari tadi berdetak kencang, tak seperti biasanya.

Kenzo mendesah berat. Jika Cleva sudah tersenyum manis begini, bagaimana caranya Kenzo bisa menolak. Ia pun mengangguk lalu beranjak dari kursi.

"Nasgornya nggak jadi, Bu Widi. Nanti aja. Udah dijemput pacar, nih!" teriak Kenzo yang dijawab acungan jempol oleh Bu Widiya, penjaga kantin paling terkenal di sekolah ini.

Kali ini Cleva mengulum senyum seraya ikut beranjak dari kursi. Ia seakan tidak mau protes saat kalimat terakhir dari Kenzo itu terlontar begitu saja walaupun sempat kaget juga awalnya.

Tujuan mereka sekarang adalah keluar sekolah lewat pintu belakang. Kenzo sempat dibuat bingung, tapi akhirnya menurut juga setelah Cleva memberitahu alasannya. Dalam perjalanan menuju hutan, mereka diselimuti keheningan.

Mereka sampai di tengah hutan. Cleva menghela napas. "Janji untuk tutup mulut, Ken. Kalau lo tidak bisa jaga rahasia ...." Cleva menggantungkan kalimatnya membuat Kenzo berkerut kening. "Gue terpaksa untuk bunuh lo. Maaf."

Kenzo menelan salivanya lalu mengangguk paham. Itu membuat Cleva tersenyum lalu menarik tangan Kenzo. Ia menunjukkan pohon besar yang selama di dunia ini disebut rumah.

"Gue bukan manusia biasa." Cleva menatap manik mata Kenzo lekat. Laki-laki itu menatapnya datar. Apakah ini tanda jika Kenzo akan benar-benar meninggalkannya? Ah, ia tidak tahu.

Kenzo mengangguk. "Gue rasa."

"Di sini selama ini gue tinggal." Cleva menunjuk ke arah pohon lalu kembali berujar, "gue bukan dari dunia manusia, dunia lo ini. Gue masuk ke sini lewat sesuatu di dalam gudang sekolah, yang mungkin hanya ada beberapa orang yang tahu. Dan lo nggak perlu tahu benda itu karena itu benar-benar sangat privacy. Jadi, gue mohon pengertiannya."

Kenzo masih diam, berusaha mencerna kalimat panjang Cleva. Rasa terkejut dan tidak percaya mulai menyelimutinya. Namun, ia harus mencoba tetap tenang.

Cleva menarik napas panjang dengan kedua tangan sedikit terangkat. Pohon-pohon meliuk ke arah Cleva, seakan menjadi payung agar tidak terkena panas. Mata Cleva terbuka dan tersenyum melihat Kenzo yang terkejut. Ia bebas mengekspresikan siapa dirinya. Rasa percayanya terlalu besar pada Kenzo.

Gelengan kepala Kenzo membuat Cleva menoleh. Gadis itu mulai diam. Kekuatannya pun tiba-tiba hilang sehingga pohon tak lagi menjadi payung. Ya, memang masih terlihat meliuk, itu adalah bentuk dari suasana hati Cleva sekarang. Ia membayangkan detik-detik Kenzo akan meninggalkannya. Daun-daun pun mulai berguguran, seakan ikut merasakan bagaimana pikiran Cleva yang tidak .

"Calon pacar gue hebat," celetuk Kenzo membuat Cleva terbengong dan refleks melepas kekuatan hingga pohon tadi kembali menjulang tegak.

"Apa lo bilang?" tanya Cleva mendekati Kenzo. "Ken, ini asli. Gue bukan manusia normal. Ini bukan mimpi!"

Kenzo tersenyum lalu menepuk puncak kepala Cleva. "Gue tahu. Kenapa lo nyembunyiin ini semua? " tanya Kenzo. "Sebenarnya gue masih nggak percaya, kaget, dan takut juga. Tapi, rasa sayang gue lebih besar kayaknya."

"Itu nggak penting. Gue udah kasih tau. Sekarang, di mana Clevo?" Tangan Cleva mencoba menepis tangan Kenzo yang bertengger di puncak kepalanya. Pertanyaan yang ia ajukan ini sebenarnya untuk mengalihkan pembicaraan agar tidak terlalu terlihat bahwa Cleva begitu senang mendengar kalimat Kenzo.

Bukan jawaban yang Cleva dengar, melainkan buangan napas secara berat. Seketika Kenzo duduk di rerumputan sambil bermain batu. Sikap lesu Kenzo dadakan itu membuat kening Cleva berkerut. Ia tak tahu apa lagi yang salah.

"Sebenarnya, gue udah lama nggak ketemu Clevo. Dia udah lama ini ngilang tanpa kabar. Gue berusaha cari lewat tanda-tanda Kepala Sekolah yang mencurigakan. Tapi, nihil. Gue nggak berhasil," terang Kenzo lalu melirik ke arah Cleva yang berjongkok di sebelahnya. Ia sudah menduga jika Cleva akan marah. Mungkin karena sudah berbohong pada perempuan yang ia sayangi.

"Jadi, selama ini lo bohong sama gue kalau lo tau tentang keberadaan Clevo?" pekik Cleva dengan mata nyalang dan seketika ada angin berhembus kencang dan berputar.

"Va! Kenapa lo nggak bilang tentang rahasia ini sejak awal? Gue kan bisa cari Clevo dengan tanda-tanda hutan ini, kekuatan itu, dan semua hal mustahil di luar pikiran gue! Mana pernah gue berpikir kalo ternyata Clevo juga bukan manusia. Kalo udah tau tentang lo gini kan gue jadi bisa tambahin dugaan kalo Clevo hilang di hutan karena adventure atau apa gitu kayak lo." Kenzo berdiri lalu menatap Cleva lekat.

"Satu-satunya alasan gue merahasiakan ini semua karena gue takut lo ninggalin gue!" sentak Cleva akhirnya. Ah, rasa yang ia pendam selama ini akhirnya tersampaikan juga. Rasa malu karena pernyataan itu seperti menguap. Cleva sudah tak peduli lagi anggapan Kenzo. Yang jelas, ia hanya ingin Kenzo tahu tentang perasaannya selama ini.

Hening sebentar. Tidak ada yang mengeluarkan suara. Hanya ada Cleva yang tersentak karena tiba-tiba Kenzo memeluknya erat. Dengan segera, Cleva mendorong dada bidang Kenzo.

"Aku juga takut kehilangan kamu. Makanya, kita cari Clevo bareng-bareng aja. Aku bantu," cetus Kenzo dengan senyum lalu menggenggam tangan Cleva.

Air mata Cleva tidak jadi keluar. Ia sudah menyekanya lebih dulu. Sehingga tidak ada air mata yang keluar dengan deras. Dari Kenzo ia tahu bahwa perbedaan tidak selalu bekerja menjadi alat pemecah suatu hubungan.

Kini rasa sedihnya berganti dengan bahagia sementara. Bahagia karena Kenzo begitu baiknya telah menerima Cleva apa adanya. Bahkan, ingin membantunya mencari Clevo. Namun, bahagianya masih belum utuh karena belum bisa menemukan Clevo sampai sekarang.

Mulai hari itu dan hari-hari berikutnya, mereka berdua selalu bersama mencari Clevo. Hingga akhirnya rasa yang ada di antara mereka semakin besar. Itu membuat Kenzo langsung memperjelas hubungan mereka.

"Kita nggak akan terpisahkan oleh apa pun, kecuali maut dan kehendak Tuhan," ujar Kenzo seraya mempererat genggamannya pada Cleva.

"Tapi, akan ada saatnya kita berpisah. Aku juga harus kembali ke Souland, Ken. Karena sejatinya aku bukan berasal dari dunia manusia kayak kamu."

"Kalau gitu, aku ikut," tukas Kenzo dengan senyum lalu mengelus puncak kepala Cleva.

Mulai saat itu, Cleva dan Kenzo sudah resmi memiliki hubungan yang jelas. Saling mencintai walau tanpa status. Berusaha untuk saling menjaga hati satu sama lain. Cleva pun masih sangat bersyukur karena memiliki Kenzo yang tak terlalu mempermasalahkan perbedaan. Intinya, ia sudah nyaman.

[end]

:-:-:-:

Salam,
SR Agent.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top