Lakon - Uci Jaya

"Aku mencintaimu, Ning. Sampai nanti, sampai matahari menelan bumi."
Merdeka Raya

Merdeka Raya, cowok imut yang akrab dipanggil Raya itu sedang fokus mengamati gerak-gerik seorang wanita. Wanita yang sangat menarik perhatiannya kala pertama bertemu, wanita yang mampu membuatnya kagum sehingga ingin mengenalnya lebih dekat, wanita yang mengganggu malam-malamnya, dan wanita yang sekarang menjadi penghuni tetap di hatinya. Widiya Ningsih.

Dengan riang, Ningsih membagikan cupcake gratis kepada teman-teman Raya yang masih tertahan di sekolah karena kegiatan ekstrakurikuler. Semilirnya angin yang berembus, memainkan rambut sebahunya yang lurus. Dia tampak kesusahan, sehingga berhenti sejenak untuk mengikat rambutnya, membuat Raya terpana sesaat.

Raya tersenyum tipis, tak bosan menatap wajah yang terlihat cantik dan menyenangkan itu. Dia memutuskan  menghampiri Ningsih, pusat dunianya.

"Ternyata kamu nggak bakat menghias kue," kata Raya saat melihat cupcake cokelat dengan mata besar dan senyuman sadis.

Ningsih menoleh, sedikit kaget. "Ini ekspresi tertawa. Murid-murid sini suka tertawa. Aku kepikiran untuk menggambar emoji lol di cupcake untuk mereka," jawabnya lugu.

"Lol itu tolol. Kamu anggap murid-murid sini kurang mampu dalam kecerdasan?" kata Raya menyeringai, bermaksud menggoda Ningsih.

"Fitnah! Lol itu ...." Ningsih menggantung kalimatnya. Dia memaksa Raya memegang nampan yang masih menyisakan enam cupcake, lalu mengambil ponsel dan mengutak-atik benda pintar itu. "Kata Pakde Google, lol itu laugh out loud. Aku pernah tahu, cuma lupa," kata Ningsih dengan ekspresi polos.

Raya kembali menyodorkan nampan kepada Ningsih yang langsung menerima, kemudian mengibaskan tangannya seperti mengusir Ningsih dan cowok itu memilih duduk di kursi kayu dekat taman sekolah.

Dalam diam, Raya memandang gerakan Ningsih yang tampak luwes dan anggun di matanya. Dia mengerti tak akan bisa berpaling, seakan-akan Ningsih menjadi gravitasi yang selalu membuatnya jatuh berulang-ulang. Walau ada rasa sakit, tetapi Raya indahkan karena dialah yang menjadi pusat dunia cowok itu.

Lima belas menit berlalu, Ningsih sisakan satu cupcake, kemudian duduk di samping Raya.

"Kurasa kali ini kamu sedang sedih. Jadi, aku gambar emoji marah di cupcake-mu," ucap Ningsih sembari memberi cupcake dengan gambar senyum setan dan dua sungut di atas mata kepada Raya.

"Tahu nggak? Nanti kalau mereka dewasa, mereka akan lupa rasa senang diberi cupcake oleh ibu kantin atau bahkan mereka akan lupa kalau mereka pernah senang melihat emoji lol dan setan di cupcake itu," kata Raya serius, menerima cupcake dari Ningsih.

Ningsih tersenyum lembut kepada Raya, sebelum pandangannya beralih, menatap wajah segerombolan gadis yang sedang memakan cupcake buatannya sambil diselingi tawa. Tampak bahagia sekali.

"Mereka juga akan lupa rasanya mengobrol dengan teman, tertawa dengan teman, duduk bersama dengan teman. Mereka akan lupa. Bagiku, semua kesenangan itu nggak akan abadi, maka bersyukurlah aku pernah berada di sana," kata Ningsih kemudian.

Sunyi sejenak.

"Cukup dengan cupcake. Bagaimana dengan bunga dan cincin? Apa kamu juga bersyukur pernah berada di kesenangan itu?" tanya Raya sedikit ketus.

Ningsih kaget. Wanita itu menatap kejauhan. Menerawang langit dan matahari yang mulai kelelahan.

"Aku selalu bersyukur dengan apa pun yang terjadi," jawab Ningsih pada akhirnya.

"Aku nggak akan tahu kecuali kemarin melihatmu dengan Sir Azka yang tiba-tiba melamarmu pada jam makan siang. Terus ibumu berdoa untuk kebaikanku sebelum aku memilih pergi karena nggak tahan dengan apa yang kulihat," ucap Raya sambil mengepalkan tangan erat, menahan emosi.

Raya mengingat kemarin yang kepayahan membenahi hati dan pikiran, juga kamar asrama yang berantakan. Efek samping karena cowok itu malas-malasan, badmood, dan sensitif akibat patah hati.

"Terus aku harus bagaimana? Kamu pikir aku punya pilihan?" kata Ningsih dengan bibir bergetar.

"Dengan senyum, kamu menerima bunga yang akan layu dan cincin yang pasti terlupa. Betapa kamu suka dengan yang nggak abadi," kata Raya, jeda sejenak untuk cowok itu mengatur napas yang mulai memburu. "Kamu menerima lamaran Sir Azka yang bahkan belum lama kamu kenal? Harusnya aku tertawa, 'kan?" sinis Raya, kesabaran cowok itu habis sudah.

Ningsih menerawang horizon. Hari mulai senja. Kuning keemasan menerpa wajahnya. Matanya berkaca-kaca, ada beban di sana.

"Katakan, Raya, apa aku punya pilihan?" Ningsih menatap Raya, menantang mata cowok itu, beradu getaran. "Bunga katamu? Dia akan layu setelah dipetik, apa dia punya pilihan?"

Tak kuat menahan tangis sedari tadi, kini luruh sudah air mata Ningsih.

"Semua orang punya pilihan, seperti aku yang sangat jelas ditolak keluargamu. Aku masih memilih bertahan. Apa pun resikonya. Dan, kamu? Apa pilihanmu?" tanya Raya pada akhirnya sebelum menunduk. Baru kali ini cowok imut itu tidak mampu melihat orang yang dicintainya.

"Pilihanku ...." Ningsih berhenti berkata. Dia mengusap air mata dengan punggung tangan.

Jantung Raya berdebar penuh antisipasi. Cowok imut itu menoleh sekilas, menatap Ningsih yang kini memejamkan mata.

"Raya ... keluargamu juga pasti menolakku. Menurutmu, nggak?" Ningsih balas bertanya, suaranya lirih.

Raya merasa tak percaya dengan ucapan Ningsih. Mereka belum mencoba, bagaimana akan tahu keluarganya akan menolak atau tidak?

"Aku, wanita yang pernah menikah. Umurku dua puluh tujuh tahun. Aku seorang janda dan kamu? Kamu bahkan masih tujuh belas tahun, meski ada perasaan lain yang menyelinap di hati yang harusnya nggak ada," ucap Ningsih, masih dengan suara lirih.

Raya mengangkat wajah, memberanikan diri menatap Ningsih. "Kita berjuang sama-sama, Ning, sampai lelah enggan menghampiri."

Ningsih menggeleng.

"Ning," panggil Raya ketakutan.

"Kita berhenti saja," kata Ningsih parau, nyaris tak berpikir.

"Nggak!"

"Kita berhenti saja." Ningsih menoleh dan tersenyum tipis kepada Raya. Air mata kembali menganak sungai membasahi pipinya.

Dari caranya menatap Raya, Ningsih seperti bicara, apa pun yang akan kita perjuangkan, akan sia-sia.

Lebur sudah. Ningsih menyerah.

"Tetap bersamaku." Raya meraih tangan Ningsih untuk digenggam erat. "Bila kamu pergi, aku nggak lagi ngerti apa itu fungsi udara. Nggak akan ada yang bisa memisahkan kita. Hanya kematian, senjata paling ampuh yang bisa melakukannya." Raya mengangkat salah satu tangannya, menyentuh pipi Ningsih, menghapus air matanya. "Sumpahku, kita akan terus bersama. Bukan hanya di kehidupan abadi kelak, tapi di sini juga. Begitu seterusnya. Cinta yang terjalin di antara kita itu kekal walau tanpa tanda takdir di garis telapak tangan. Aku mencintaimu, Ning. Sampai nanti, sampai matahari menelan bumi."

"Terima kasih."

"Ning ...."

"Terima kasih sudah pernah berada di sana. Berada di kesenangan itu."

Raya menggeleng.

"Aku akan berusaha mencintainya meski cinta itu tak seluas cintaku padamu." Ningsih mengambil jeda sejenak untuk menghela napas pendek tanpa melihat wajah terluka Raya. "Biar kita tak disatukan sekarang, yakinlah kita akan disatukan di kehidupan berikutnya. Itu sumpahku."

Kemudian Raya melihat senja. Senja sempurna sudah mengalihkan dunia. Senja mempercantik wajahnya sebelum akhirnya gelap dan sepi.

Ningsih beranjak pergi. Meninggalkan Raya yang bergeming di antara keramaian suasana taman sekolah.

"Cut!"

Teriakan Laura membuat Raya dan Ningsih bernapas lega. Keduanya secara bersamaan menghampiri Laura yang tersenyum cerah.

Gadis bule berambut emas itu merasa senang sekaligus tidak menyangka bahwa murid terimut di Soul Revolution High School mau berakting lebay begitu. Pasti karena Ningsih yang menjadi lawan mainnya. Laura tersenyum bangga atas kehebatannya dalam merayu Ningsih agar mau menjadi model videonya.

"Aku menyesal udah menurutimu," kata Raya kemudian.

Ningsih menatap Raya yang balas menatapnya. Keduanya saling menawarkan senyum. Tampak cute sekali.

Laura menaik-turunkan kedua alisnya cepat. "Keren banget gila! Drama banget ini videonya. Bu Ningsih hapal banget dialognya dan sangat menjiwai. Pokoknya mantap abis."

"Boleh liat?" tanya Ningsih kepada Laura.

"Silakan," jawab Laura sambil mengulurkan handycam. "Tinggal pencet ini aja."

"Punya temen kok gini banget. Demi bikin konten di youtube, rela ngorbanin perasaan temen," sindir Raya.

Laura mengibaskan tangan. "Ah, Deva juga rela-rela aja tuh jadi model."

"Deva? Mahindra Sadeva? Si tukang savage itu? Siapa pasangannya?" tanya Raya penasaran.

"Pak Suyatno," jawab Laura singkat.

"Isi kontennya?" tanya Raya lagi.

"Liat aja sendiri. Like dan subscribe channel Laurauwuu. Isi kontennya Deva, kasih sayang seorang bapak kepada anak," jawab Laura.

"Bagus."

"Tentu." Laura mengangguk.

"Kok punyaku jelek?"

Kening Laura mengernyit. "Siapa bilang?"

"Aku."

"Bagus gitu kok dibilang jelek." Laura menghela napas panjang penuh dramatis, lalu mengembuskannya perlahan.

Raya mendengkus.

"Ah ... kalau mau konten penuh cinta, jadian dulu sama Bu--"

"Diem aja punya mulut!" potong Raya seraya menutup mulut Laura dengan tangan kanannya.

Laura mengangguk, Raya melepas tangannya. Gadis berambut emas itu tersenyum janggal sambil menjulingkan mata membuat Raya ingin menjitak kepalanya. Ningsih menyerahkan handycam kepada Laura begitu selesai menonton rekaman dirinya.

"Sudah, Bu?" tanya Laura sopan.

Ningsih mengangguk.

Laura tersenyum. "Bagus banget kan, Bu?"

Wajah Ningsih memerah.

"Ya udah, aku mau ke kelas dulu," kata Laura.

"Sana pergi!" usir Raya kejam.

Laura mencebik. "Cih! Perlu diedit nggak nih?"

"Nggak usah diedit. Nggak usah upload," kata Raya.

"Idih." Laura manyun, lalu menatap Bu Ningsih sambil melambaikan tangan dan berkata, "Dah, Bu Ningsih. Terima kasih Ibu udah mau bantu. Ibu yang terbaik deh."

"Sama-sama," jawab Ningsih, tersenyum tipis.

Laura berjalan cepat, lalu berlari. Ketika merasa sudah aman dari jangkauan Raya, gadis itu berbalik dan berteriak,

"BU NINGSIH ... TEMEN AKU ITU, SI  RAYA, KATANYA CINTA BANGET SAMA IBU. TERIMA NGGAK NIH, BU, CINTANYA? KASIHAN KALAU NGGAK DITERIMA, NANTI NANGIS DARAH!"

Raya melongo untuk beberapa saat. Namun, begitu kesadarannya kembali, amarahnya segera memuncak.

"KURANG ASEM! DASAR KAMBING!" Raya balas berteriak.

Laura cekikikan tanpa dosa, lalu berlari sekuat tenaga. Raya menatap Ningsih yang syok, lalu meringis sebelum akhirnya mengejar Laura untuk melakukan pembalasan.

Soal jodoh, siapa yang tahu? Meski sekarang cinta Raya merupakan cinta dalam diam karena sadar tentang kondisi dirinya saat ini yang belum mampu dari kata 'cukup', tetapi cowok itu sudah merasa bahagia bahwa cinta diamnya adalah cara terindah menyapa Ningsih dalam setiap doanya.

[end]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top