KUSUT - Umika06
Tawamu, mungkin karenaku. Namun bahagiamu, bukan bersamaku.
—Clevo.
:-:-:-:
Ayahku adalah penjaga. Dia merupakan salah satu abdi yang ditugaskan menjaga keharmonisan dua dunia, Iceland dan Coalland. Tempat kami hidup ini disebut Evergreen, semacam hutan yang letaknya di perbatasan.
Kami tinggal di goa lima elemen. Ayah, ibu, aku, dan saudariku Cleva menguasai lima elemen, yakni air, api, udara, tanah, dan es. Tugas kami cukup mulia bukan? Memastikan keberlangsungan hidup di dua dunia itu berjalan dengan baik. Derajat keluarga kami cukup tinggi, karena peran kami yang cukup penting.
"Hey kera!" Suara parau itu terdengar kesal.
"Di sini, ayah," sahutku. Percayalah apa yang telah kuceritakan tentang keluargaku, fakta bahwa keluarga kami memiliki derajat cukup tinggi itu benar. Kami bukan berasal dari keluarga kera. Hanya saja beberapa tahun terakhir aku menjalani hukuman.
Mereka yang mengaku berkuasa dengan seenaknya mengutukku menjadi kera, hanya karena aku meniupkan udara hangat ke Iceland. Padahal niatku baik, aku hanya ingin menghangatkan mereka yang terlihat beku sepanjang tahun. Keparat! Berani-beraninya mereka mengubahku menjadi monyet hanya karena candaan seperti itu.
"Kau kemanakan hwacura kita?!" tanya ayah setengah membentak.
"Kau bertanya kepadaku? Aku bahkan belum menyentuhnya seharian ini," sahutku asal.
"Bercandamu tak lucu, kau mau ku adukan pada mereka lagi? Kau sudah bosan menjadi kera? Mau mencoba menjadi tikus?" omelnya. Aish si tua ini, selalu aku yang dijadikan tersangka.
"Aku berkata jujur, ayah. Bukan aku." Aku menurunkan nada bicaraku. Dan mencoba memperlihatkan bahwa sungguh, bukan aku pelakunya.
"Kau bosan menjadi kera atau bosan hidup?!" teriak ayah diiringi gelegar petir. Sial, si tua ini marah lagi. Aku hanya menunduk, bukan karena merasa bersalah. Namun nyaliku ciut berhadapan dengannya.
"Hwacura itu bukan mainanmu. Jika kipas itu hilang, jabatan ayah juga akan hilang."
Amarah di suara ayah mulai mereda. Aku tak berani menjawab, namun aku berani bersumpah. Kali ini bukan candaanku.
Aku mengerti mengapa hwacura sangat penting bagi ayah, aku paham bagaimana cara kerja kipas itu. Tanpa hwacura, ayah tak bisa meniupkan angin sejuk ke Iceland dan angin hangat ke Coalland. Namun benar-benar bukan aku kali ini.
"Jika kau tak ingin menambah hukumanmu, pergi temukan hwacura di dunia manusia dan bawa kembali hwacura itu. Secepatnya!" Ayah berjalan menjauh, meninggalkanku yang kesulitan menahan emosi.
"Sial!" umpatku.
Evergreen ini adalah tempat yang tenang, semua penghuninya damai beriringan. Namun sepertinya kata tenang dan damai tak berlaku untuk aku dan ayahku. Aku sering melihat manusia dan penghuni Souland keluar masuk portal itu, namun membayangkan diriku mendekati portal itu saja aku tak pernah. Ah hwacura sialan!
Aku segera berjalan mendekati cermin itu, mencoba menelisik apa yang ada dibaliknya. Namun nihil, tak ada hal apapun yang dapat kulihat. Tanpa pikir panjang aku menembus cermin itu, berharap hwacura sialan itu cepat kutemukan. Bau aneh menyeruak kedalam lubang hidungku.
Ternyata bau hutan jauh lebih enak daripada bau di dunia makhluk lemah ini. Aku melihat sekeliling, kuhampiri Panji yang sedang tertidur pulas dengan tali putih menggantung di kedua telinganya.
"Hazel," panggilku membangunkannya. Beberapa saat ia mengerjap dan menggeliat. Lalu kutangkap dari matanya bahwa ia terkejut saat mendapatiku di sini.
"Hey monyet! Mengapa kau disini? Sejak kapan?"
"Bukankah kau yang mencuri hwacura keluargaku?!" tanyaku setengah menuduh.
"Untuk apa aku mencuri kipas jelek itu?" Ujarnya remeh.
"Dasar manusia jadi-jadian! Kau tak tau kipas busuk itu senilai dengan nyawaku?" gerutuku kesal. Kedua matanya menatapku, seolah sedang bertanya 'maksudmu?'
"Kau tau, ayahku sangat marah saat kipas itu lenyap. Padahal bukan aku yang menyembunyikannya, meminjamnya, atau memainkannya. Dengan keputusan sepihak dia mengirimku ke dunia makhluk lemah ini dan jika aku tak menemukannya, maka aku harus menyerahkan nyawaku. Yang benar saja?"
"Hahaha, dunia makhluk lemah katamu?"
"Benar bukan? Manusia itu lemah," remehku, dia mengangguk. Kurasa sependapat denganku.
"Silahkan menjelajahi dunia makhluk lemah. Pesanku satu, hati-hati menjaga hati," tuturnya dengan senyum yang sulit ku artikan.
"Baiklah." Aku berjalan meninggalkannya.
"Hey monyet!" panggilnya saat aku baru berjalan beberapa langkah, "Kau yakin akan berkeliaran dengan baju itu?"
Aku mengangguk, "Kenapa tidak? Ini baju yang keren, tak semua penduduk Souland bisa mendapatkannya dari raja Chritone."
"Hahaha, itu di Souland. Tidak berlaku disini, kau tak sadar seberapa kunonya baju itu?"
Aku menunduk, mengamati pakaianku. Setelan berwarna cokelat yang terbuat dari kulit hewan tebal, dengan rajutan bulu domba yang dikerjakan oleh tangan kerajaan, dan juga baju ini tahan di segala cuaca. Bukankah ini keren? Hanya keluargaku pemilik setelan ini di penjuru Souland.
"Baiklah, beri aku baju yang bagus," pintaku. Dan entah mantra apa yang diucapkan Panji, namun kini pakaianku berubah. Menjadi setelan kotak-kotak aneh yang sangat tipis.
"Terima kasih," ujarku sambil melangkah menjauhi Panji.
"Monyet, ingat pesanku! Hati-hati menjaga hati!" teriaknya yang tak ku hiraukan. Menjaga hati? Hahaha yang benar saja. Makhluk sepertiku mana punya sesuatu bernama hati?
Aku mengamati keadaan sekitar. Aneh, tak banyak pohon disini, tak ada sungai, bahkan tak ada kera. Aish, dunia macam apa ini. Aku beberapa kali berpaspasan dengan penduduk lokal dan aku menyadari satu hal, bahwa pakaian yang diberikan Panji kepadaku sama dengan semua manusia itu.
Dasar! Manusia jadi-jadian itu memang kurang ajar, padahal aku sudah meminta untuk memberikan pakaian yang bagus. Tapi mengapa dia memberiku pakaian yang digunakan semua manusia di sini? Sialan, dia menipuku.
"Hey kau!" teriak seorang gadis yang baru saja berpapasan denganku. Suara nyaringnya membuatku menoleh. Untuk beberapa saat, mata kami beradu. Hening menyelimuti kami.
"Hey kau?" tanyaku mengikuti logatnya. Berani sekali manusia sepertinya berbicara lancang kepadaku. Tanpa sepatah kata apapun gadis itu menarik tanganku dan memaksaku mengikutinya masuk ke salah satu ruang. Dia melepas genggamamnya dan berbalik menghadap ke arahku, matanya menatapku penuh selidik.
Deg!
Aku terkejut dan sedikit menjauh dari gadis itu. Refleks tanganku tergerak dan menyentuh dadaku. Apa ini? Jantungku berdegup? Wah, sihir apa yang dimilikinya? Apa dia juga manusia jadi-jadian seperti Panji? Tapi mengapa aku tak mengenalinya?
"Kamu murid sini? Kelas berapa?" tanyanya.
Murid? Kelas? Apa itu? Aku mengangguk tanpa tau arti kata itu.
"Kamu yakin? Jangan berbohong, aku tahu bahwa kamu bukan manusia," ujarnya. Sudah kuduga, bahwa dia bukan sekedar manusia.
"Kamu hantu ya?" Dia kembali bertanya, ada sedikit keraguan di pertanyaannya kali ini.
"Kau menyebutku roh jahat rendahan itu? Yang benar saja." Aku tersenyum masam.
"Bukan ya? Lalu kamu ini apa?"
"Aku monyet," sahutku enteng.
"HAHAHAHAHAHAHA ...." Dia tertawa nyaring sekali, matanya nyaris hilang. Menyisakan sebuah garis lengkung yang tampak indah untuk wajahnya.
Deg!
Lagi? Jantungku kembali berdegup? Ada apa ini? Apa ayah sedang menghukumku?
"Kamu bercanda?" ujarnya setelah menyelesaikan tawa itu.
"Sungguh, aku monyet. Kau tau kera kan?" Aku meyakinkannya.
"Gila!" Dia kembali tertawa, sepertinya puas sekali. "Kamu benar-benar murid sini? Kelas berapa?" Dia kembali menyebut kata kelas. Apa itu kelas? Mungkinkah derajat? Aish, seharusnya tadi aku bertanya kepada Panji tentang mantra, simbol, dan kode aneh di dunia manusia.
"Eum, sama sepertimu."
"Dua belas?" tanyanya lagi. Aku mengangguk.
"Perkenalkan, namaku Zee." Dia mengulurkan tangannya yang tak tau harus ku apakan tangan itu. Apakah begini cara manusia bertukar energi? Sejenak aku memperhatikan tangan yang ia ulurkan kepadaku itu. Aku hendak menyentuhnya, namun aku ragu. Bagaimana jika manusia ini beracun? Lalu aku mati disini, dan tak dapat kembali ke Souland.
"Baiklah, Zee," sahutku sambil terus memandangi tangan yang menggantung di udara itu. Beberapa saat kemudian, dia menurunkan tangan yang sedari tadi diulurkan itu. Tampak raut kesal di wajahnya.
"Jadi, siapa namamu?"
"Clevo."
"Clevo? Hahaha, nama macam apa itu? Namamu mirip produk susu kotak!" Lagi-lagi dia tertawa.
"Hahaha ...." Aku memutuskan ikut tertawa, walau tak tau hal apa yang lucu.
"Umurmu berapa?" Ia kembali mengajukan pertanyaan. Dasar manusia! Kapasitas otakmu tak sebaik itu, mengapa kau selalu ingin tau.
"Entahlah, aku berhenti menghitungnya saat memasuki usia ke 1034 tahun,"
"HAHAHAHAHA, GILA!" Dia memukul pundakku cukup keras.
Bukankah kau yang saat ini sedang gila? Main pukul tubuh orang?! Eh tapi aku kan monyet, bukan orang.
"Kalau umurmu berapa?" Aku balik bertanya.
"Aku? Aku tujuh belas tahun," sahutnya sambil berusaha menghentikan tawanya sendiri.
"Umur kita sama."
"Ya, aku tau. Itu sudah jelas, mana mungkin umurmu 1034 tahun. Yang benar saja!"
Benar. Mana mungkin umurku 1034 tahun, bukankah sudah kuberitau bahwa aku berhenti menghitungnya saat memasuki usia 1034 tahun. Dasar manusia. Batinku.
"Hey," panggilku.
"Apa?"
"Apakah kebetulan kau pernah melihat seseorang membawa kipas berkeliaran ditempat ini?" tanyaku. Jika dia manusia, berarti dia tinggal di sini. Dan jika hwacura memang dibawa ke dunia makhluk lemah ini. Berarti ada kemungkinan dia melihat seseorang membawa hwacura.
"Maksudmu yang seperti ini?" Dia menunjukan suatu benda berbentuk bulat dan sedang berputar menghasilkan hembusan angin, memiliki tangkai, dan berwarna merah jambu.
"Itu kipas?" tanyaku yang heran karena dia menyebut benda itu adalah kipas.
"Iya bodoh! Jelas-jelas ini kipas." Dia memaju mundurkan benda itu tepat di wajahku. Hembusan anginnya membuat mataku sulit terbuka. Kurang ajar!
"Kamu benar-benar manusia kan? Bukan hantu?" tanyanya sambil menyentuh dadaku.
Deg!
Aku kembali terkejut dan mundur selangkah. Menjauhi gadis aneh yang membuat jantungku juga berdegup aneh. Apakah ini berarti jantungku melemah?
"Permisi," ucapku dan langsung berlari cepat untuk menemui Panji. Aku sedikit melirik gadis itu, dia terdiam sambil menatap penuh tanda tanya kepergianku. Saat ini juga aku ingin segera menanyakan perihal jantung yang terus berdegup aneh ini kepada Panji. Apakah aku saat ini sedang sekarat? Aish! Semua ini karena si tua itu.
Bukk!
"ANJIR! PUNYA MATA GAK LO!" Seru seorang pria yang bertubrukan denganku. Kami berdua terpental dan mendarat mulus di ubin. Aku langsung bangkit dan kembali berlari untuk mencari Panji. Bagaimana jika jantungku yang berdegup aneh ini menandakan jantungku semakin melemah?
"Woy, anjing! Minta maaf kek!" teriak pria itu.
"Maaf! Tapi aku monyet, bukan anjing!" seruku sambil terus berlari dan menoleh kepadanya yang masih terduduk di lantai.
Setelah berkeliling mencari Panji, akhirnya aku menemukan makhluk jadi-jadian itu. Tertidur lenyap di tempat yang penuh buku, sepertinya ini tempat penyimpanan buku. Aku heran melihatnya yang selalu tertidur. Dia ini hidup untuk tidur, atau tidur untuk hidup ya?
"Hazel bangun!"Aku menggoyangkan tubuhnya. Karena tak kunjung bangun akhirnya kugunakan manna-ku untuk membakar ujung buku yang saat ini dipakainya untuk bantal. Benar saja, sebelum api itu merambat ke wajahnya, dia bangun dan mulai panik. Aku mematikan api itu lagi-lagi dengan manna yang kupunya.
Panji menatapku dengan luapan emosi, "Kau ini bodoh! Di sini banyak manusia, mengapa kau dengan gampang menunjukan manna-mu?!" omelnya.
"Aku membangunkanmu, tapi kau tak kunjungi bangun." Aku membela diri.
Panji bangkit dari duduknya, "Ku minta raja Chritone mengubahmu menjadi tikus!"
"Hey!" seruku sambil memegangi lengannya.
"Oke, lenyapkan buku ini. Tapi jangan gunakan api. Jika penjaga perpustakaan tau aku merusak buku di sini, maka aku akan dihukum." Panji berbisik kepadaku, sedangkan aku terkejut mendengar alasannya. Hanya karena takut dihukum penjaga di sini, dia berniat merubahku menjadi tikus? Wah, sialan.
"Mengapa kau menemuiku lagi? Hwacura sudah kau temukan?"
"Belum. Tapi aku mau bertanya."
"Ah, oke. Silahkan bertanya tuan monyet," ejeknya.
"Apakah saat ini jantungku sedang lemah? Apakah aku sekarat? Mengapa jantungku berdegup aneh?"
"Kau bertemu siapa saat jantungmu berdegup aneh?"
"Seorang gadis. Namanya Zee."
"Bukankah sudah kuperingatkan? Hati-hati menjaga hati."
"Maksudmu? Aku jatuh hati?"
"Ya siapa yang tau. Itu kan hatimu." Panji kembali duduk.
"Tapi dia tak cantik, bukan gadis sepertinya yang kucari."
"Tapi kau ini monyet, bukan monyet sepertimu yang dicari Zee."
"Sialan!" Umpatku.
"Terkadang garis takdir memang digambarkan tak sesuai dengan apa yang kau inginkan, tapi lebih kepada apa yang kau butuhkan." tutur Panji.
"Maksudmu? Aku membutuhkan gadis berwajah normal itu?"
"Ya mana ku tau. Kan bukan aku penggambar garis takdir."
"Oiya, lo itu apa?" tanyaku lagi.
"Gue? Penjaga portal," jawab Panji. Aku terdiam dan berusaha mencerna pembicaraan ini. Gue?
Jika di bandingkan Cleva saudariku, otakku memang tak ada apa-apanya. Di Souland pun, kecerdasanku adalah yang terburuk. Namun menjadi monyet bodoh bukan hal buruk, kan? Itulah mengapa aku cukup bangga menerima hukumanku menjadi monyet saat ini. Aku tak perlu berpikir keras membantu pekerjaan ayah. Dan hanya perlu menjadi monyet tampan yang bodoh.
"Ah! Lo 'kan monyet kampung." Panji kembali buka suara.
"Maksudmu?"
"Lo gue itu bahasa manusia. Lo berarti kamu dan gue berarti aku," jelasnya. Aku kembali memikirkan pria yang menyebutku anjing tadi.
"Oke, gue pergi dulu." Aku berjalan meninggalkan Panji yang tampak tak terima karena tidurnya ku ganggu. Kembali mencari hwacura yang menjadi alasan utamaku masuk ke dunia ini.
Aku mengelilingi bangunan ini, menelisik ke setiap ruang berharap menemukan hwacura. Namun nihil, ruang-ruang itu hanya dipenuhi oleh penduduk lokal. Ternyata jumlah manusia sangatlah banyak, dan mereka semua mengenakan pakaian yang sama dengan apa yang diberikan Panji kepadaku. Kini aku tau mengapa Panji memberikan pakaian ini.
Setelah beberapa waktu berlalu, mataku menangkap sosok gadis aneh yang sempat menuduhku hantu. Dan entah mengapa langkahku terhenti. Aku berdiri dan terus memperhatikan setiap bagian dari tubuhnya, ekspresi wajahnya dan gerakan-gerakan kecil yang dilakukannya. Tiba-tiba gadis itu menoleh dan memergoki aku yang sedang memperhatikannya. Sial! Spontan aku berbalik badan.
"Clevo!" panggilnya.
"Gue?" Aku memastikan bahwa yang dipanggilnya adalah aku. Bodoh bukan?
Dia tertawa, "Iyalah elo. Tadi di dekat gudang, gue pikir lo itu cowok kikuk. Kok sekarang nggak aku-kamuan lagi?"
"Tidak boleh, ya?"
"Boleh kok. Ngomong sama gue tuh santai aja, biar makin dekat." Dia tersenyum, masih dengan mata yang menyisakan garis lengkung.
Deg!
Lagi. Jantungku selalu begini saat senyumnya tertangkap oleh mataku.
"Lo sendirian?" Dia kembali buka suara. Aku mengangguk.
"Mau ke kantin?" tanyanya lagi. Dan aku mengangguk lagi.
"Ayo!" Dia menarikku setengah berlari.
Saat ini mungkin aku bisa mengalami serangan jantung. Karena detaknya luar biasa cepat, ini di luar ritme. Dan anehnya, mataku tak bisa lepas dari sosok gadis ini. Walau pemandangan yang ku tangkap hanyalah rambutnya yang tergerai dan melambai dengan bebas.
Mungkinkah gadis ini adalah garis takdir yang digambarkan sesuai kebutuhanku seperti kata Panji? Nyatanya dia mampu membuat diriku seperti ini. Namun dengan jantung yang terus berdegup, dan perasaan aneh yang sulit tuk dijelaskan ini, jujur aku merasa hidup. Haruskah aku menetap disisinya?
Beribu-ribu tahun aku hidup sebagai sosok tanpa hati. Entah apa yang membuatku menjadi seperti itu. Namun belas kasih tak pernah kumiliki, menyangai tak pernah kulakukan, jatuh hati tak pernah kurasakan. Begitulah sosokku. Yang membunuh tanpa ragu, dan siap memberontak rajaku sendiri jika perlu. Namun kini hatiku jauh lebih hidup setelah bertemu dengannya. Bahkan aku bisa merasakan degupnya.
"Lo mau makan apa?" Dia duduk.
"Di sini hanya ada makanan manusia ya?" Aku ikut duduk.
Lagi-lagi dia tertawa, "Menurut lo kantin di sini jual makanan kucing gitu?"
"Gue gak makan."
"Dih! Tadi katanya mau ke kantin," sungutnya.
"Woy elo yang duduk di depan Zee!" seru seseorang dari kejauhan. Aku menoleh dan dia segera mendekat ke arah kami. Dia, si pria yang memanggilku anjing.
"Anjing ya lo. Setelah nabrak gue main kabur gitu aja. Minta maaf kek, traktir gue kek, uang kompensasi kek, sujud kek, rukuk kek, salam kek," celetuknya. Lagi-lagi dia memanggilku anjing.
"Lo kata salat apa?!" Zee memukul ringan pundak pria itu.
"Lo itu bodoh atau apa ?! Gue monyet, bukan anjing!" sahut gue.
"Dih? Sakit jiwa lo?"
"Berisik! Lo gak ada kerjaan, Zo?" gerutu gadis di depanku.
"Kok lo sewot, Zee? Gebetan baru?" pria itu ikut duduk di bangku kami, "Nama lo siapa?" tanyanya padaku.
"Clevo,"
"Clevo? Bentar-bentar, gue mikir dulu," dia memandangiku dan Zee bergantian, "Zee susu bubuk, Clevo susu kotak. Lo berdua PDKT karena bisnis keluarga ya?
"Asal jeplak itu bibir! Weekend nanti jangan refill kebodohan lagi ya, Zo. Soalnya bodohnya elo tuh unlimited," ucap Zee.
Pria itu menatap kesal ke arah Zee, lalu beralih ke arahku, "Kenalin, gue Kenzo. Paling tampan diantara semua saudara kandung gue. Dan gue satu bersaudara."
"Tuh kan begonya murni!" seru Zee. Dan entah hal apa yang terjadi, tapi mereka berdua justru ribut dihadapanku. Aku terabaikan, aku terlupakan, aku tak dianggap, aku terbuang dan aku kesepian.
Hingga terdengar suara gaib yang menggema di semua bangunan, namun aku tak tau asal suara itu. Saat suara itu terdengar mereka secara otomatis berhenti adu mulut dan berdiri dari bangku.
"Gue balik ke kelas dulu ya, Clev!" seru Zee.
"Gue juga, boy!" sambung pria bernama Kenzo.
Aku mengangguk singkat, lalu menyaksikan kepergian mereka berdua yang tampak terburu-buru. Seperti tengah memburu sesuatu. Dan entah ada kejadian apa, namun semua manusia yang tadinya berkeliaran dan memenuhi tempat ini pergi begitu saja. Mereka memilih masuk ke dalam ruangan yang berbeda-beda. Apakah mereka sembunyi dari pemangsa? Dan suara gaib yang muncul tadi adalah peringatan dari kerajaan mereka?
Akhirnya aku memutuskan untuk meninggalkan tempat bernama kantin ini dan mencari hwacura. Kali ini aku akan mencoba mencari ke akar-akar pohon, tempat menyembunyikan sesuatu paling aman di Evergreen. Jika pencurinya adalah penghuni Evergreen, pasti dia akan menyembunyikan hwacura di akar pohon.
Ternyata di tempat seperti ini juga ada danau. Lengkap dengan makhluk-makhluk anehnya, bahkan tadi di sekitar danau aku melihat goblin. Apakah para manusia itu tau bahwa mereka hidup berdampingan dengan makhluk yang spesiesnya aneh ini?
Kakiku terus melangkah untuk menemukan keberadaan hwacura. Namun, aku menemukan pohon aneh di sini. Dari segi fisik, warna daun, dan ukurannya mirip dengan sebagian besar pohon di Evergreen. Namun yang aneh adalah pohon ini tumbuh membentuk labirin. Padahal di Evergreen labirin terbuat dari batu.
Kakiku melangkah memasuki labirin ini. Beberapa saat menjelajahinya, aku mulai bingung. Sepertinya aku mulai tersesat, namun percuma juga kembali. Dan akhirnya aku memutuskan untuk masuk lebih dalam lagi.
Hingga mataku menangkap punggung yang tak asing. Dan punggung yang tak asing itu sedang berjalan bersama punggung lain yang asing bagiku. Itu Zee, masih dengan rambut tergerainya. Berjalan bersama dengan seseorang berbahu lebar yang jauh lebih tinggi dari Zee.
Dia tersenyum manis, masih dengan mata melengkung seindah sabit. Mendekap erat lengan pria dengan bahu lebar di sampingnya, bertukar cerita yang tak lucu namun mereka tetap tertawa.
Dan lagi-lagi jantungku berdegup. Degupnya sedikit aneh, tak semenyenangkan tadi. Yang kini lebih menyesakkan. Pun juga muncul perasaan aneh saat ini, saat aku melihat dia bersama pria bahu lebar itu. Namun perasaan ini berbeda dari yang tadi, perasaan ini tidak manis, ini lebih ke miris.
Anehnya, dengan semua degup yang menyesakkan dan perasaan miris yang kudapat. Kakiku dengan bodohnya masih melangkah mengantarkan mata tuk melihat sesuatu yang menyedihkan. Dasar tubuh bodoh!
"Bagaimana Clevo? Apa kau cukup senang dengan hadiahku?" tanya seseorang yang tiba-tiba berdiri di sampingku. Aku menatapnya dan tersenyum masam.
"Hatimu yang mati itu perlu dihidupkan lagi. Kau harus memiliki perasaan jika kau ingin disebut makhluk hidup." Dia menepuk-nepuk pundakku.
"Terima kasih atas semua hukuman dan hadiah sialmu, Raja Chritone." Aku sedikit membungkuk. Bukan menunjukan rasa hormatku, namun lebih ke menjalankan tradisi yang ada.
"Hahaha, aku suka kau, nyalimu, dan sikap kasarmu yang seperti ini." Dia membuang napas panjang, "Untuk saat ini, tinggalah di dunia manusia dan mulailah menyusun hati. Aku yakin kau akan menjadi yang terhebat di Souland jika memiliki sedikit saja hati dan perasaan, bahkan mungkin akan sama hebatnya denganku," lanjutnya.
Aku tersenyum masam mendengar celotehannya, "Ya, benar. Mungkin aku akan sama hebatnya dengan kau yang membunuh sepasang suami istri dan membuang dua bayi mereka ke Evergreen?!"
"Perhatikan suaramu, monyet!"
"Raja ini ingin aku menjadi sosok sehebat dirimu atau yang bangsat sepertimu?" gumamku.
Dia tersenyum singkat, "Bertahanlah semampumu." Dia menepuk pundakku dan menghilang begitu saja. Setelah dibuang dari kerajaan, kini dia berusaha membuangku dari Evergreen? Dia membuangku ke dunia manusia? Hahaha, bedebah itu memang luar biasa.
Aku kembali menapat Zee. Yang masih berjalan berdampingan dengan si pria tinggi, yang masih saling menatap, yang masih saling mendekap, yang masih saling tersenyum, yang berbahagia bersama.
Mungkin kita hanyalah apa-apa yang hampir dan sekedar mampir. Mungkin kau kebetulan bernama takdir yang membuatku merasa hidup. Dan mungkin aku hanyalah menjadi penikmat senyummu, bukan menjadi pencipta dari senyummu. Ya, sebatas itu.
[end]
:-:-:-:
*) hwacura : semacam kipas yang digunakan untuk menjaga keberlangsungan hidup dua dunia yaitu dengan meniupkan angin sejuk ke Iceland dan angin hangat ke Coalland.
**) manna : kekuatan sihir
The Casts :
Terima kasih kepada seluruh makhluk humanoid yang sudah menyempatkan hadir walau hanya sekedar mampir namun saya percaya itu adalah takdir. Happy reading!
Salam,
SR Agent.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top