ILUSI - KavyanaKav

ILUSI
[seperti cermin, aku berbagi dengan ilusi]

***

Di bawah mega mendung, angin semilir menggoda semesta. Namun, godaan yang paling fatal untuk Dharma adalah mata perempuan itu. Manik mata beraksen abu dengan pupil hitam arang. Bukan. Bukan lantaran warna Dharma tergoda, tapi, pancarannya yang tidak pernah gagal memenjarakan kepala dan hatinya.

"Kavita ...." Suara Dharma tersekat. Selain nama itu, tidak ada yang keluar dari mulutnya yang bergerak.

"Dharma." Lembut dan lirih, suara itu mendengung di udara. Bulu-bulu di tubuh Dharma meremang.

Perempuan di depannya itu mendekat. Ia meraih kedua pundak Dharma dengan kedua tangannya. Dharma membeku. Satu senyum terulas di bibir tipis Kavita sebelum mendekat ke telinga Dharma, berbisik.

Sontak seluruh tubuh Dharma menggigil.

Tangan Kavita turun ke lengan Dharma, terus turun, berakhir di telapak tangan Dharma yang dingin. Tanpa melepas fokus matanya dari Dharma, ia menuntun pemuda itu melangkah mundur.

Satu langkah. Dua langkah. Dharma berhenti menghitung karena linglung.

Tepat ketika godaannya itu menutup, Dharma sadar tubuh mereka telah meluncur bebas. Langit di atasnya terasa semakin jauh. Gelagapan, Dharma mencoba mencari pegangan, Tangannya menggapai-gapai segala arah. Sepersekian detik kemudian  tubuhnya tersentak, punggungnya menabrak permukaan keras.

"Akh!"

Ujung runcing pensil arang Deva patah.

"Sial! Dharma!" serunya menggeram kesal.

Dharma yang masih terengah-engah di atas kasurnya kehilangan suara. Matanya masih membelalak ngeri. Sekujur tubuhnya masih gemetar terkejut.

"Mimpi buruk?" Deva meraut pensilnya, "Syukurlah kau masih hidup."

Dengan sisa tenaganya, Dharma melempar bantal ke arah Deva.

Deva mendesis, menggeleng-geleng prihatin. Tentu saja karena lemparan Dharma jauh meleset dari sasaran.

Sembari memegang kepalanya yang terasa berputar, Dharma bangkit dari tidurnya. Duduk menurunkan kaki di pinggir ranjang. "Kavita lagi," desahnya.

Lagi, Deva menggeram. Terlihat jelas, ia bosan mendengar nama itu. "Bro, plis, move on! Incaranmu itu sudah pindah lebih dari sebulan yang lalu. Just ... just find another lah!"

Terus terang. Kalimat Deva itu terdengar menyebalkan di telinga Dharma. Nada mau pun kosakatanya—yang memang sering tercampur asal seperti itu.

"Tapi anehnya, bisikannya tidak pernah terdengar lebih dari desiran angin. Apa karena aku melupakan sesuatu di hari ia pamit dulu?"

Deva mengedikkan bahu tidak acuh. Ia kembali melanjutkan sketsanya.

"Ah! Kau pernah dengar cerita tentang danau depan sekolah?" Deva berceletuk setelah beberapa saat hening menggantungi mereka.

Dharma menaikkan alis, "Kenapa? Tiba-tiba."

"Pernah dengar tidak?" cecar Deva memaksa.

"Yah ... Siren, duyung, dunia lain, ikan raksasa, hutan bawah air ...."

"Tepat!" potong Deva cepat. Ia menurunkan kertas sketsanya dan memberikan perhatian sepenuhnya pada Dharma, "Dari Maya, aku tahu bahwa itu tidak sepenuhnya mitos. Siren, duyung, dan segala macam itu memang ada di kedalaman danau sekolah."

Dharma tidak menanggapi. Ia berpikir ada yang tidak beres dengan kepala Deva. Ia sudah tahu sahabatnya ini memang bodoh, tapi  sejauh yang ia tahu kepala bodoh Deva tidak pernah percaya pada mitos dan Maya Hanasita—mantan kekasih yang ia nobatkan sebagai cenayang sekolah.

"Aku tahu yang kau pikirkan, Sobat. Tapi kali ini, aku akui Maya punya bukti. Dan, yang paling penting aku rasa ini bisa membuatmu berhenti menggangguku dengan teriakan dan mimpi burukmu."

__________

Maya sedang bersedekap, duduk di mejanya ketika Dharma dan Deva masuk ke kelasnya.

"Aku tahu apa yang membawa kalian kemari," sambutnya dengan nada rendah yang terkesan berbahaya, "Terutama kau, Dev." Lirikan matanya tajam mengarah ke Deva. Senyumnya terulas miring.

Deva tertawa keras. Jenis tawa sarkas yang meremehkan. "Aku tidak ke sini untuk mengajakmu kembali, May. Jangan terlalu percaya diri."

Untuk beberapa detik, Deva dan Maya saling menatap tepat di mata. Dharma mundur. Konyolnya, ia merasa telah menjadi pengganggu di antara pasangan itu.

Tanpa diduga, Maya tertawa. Lumayan lama sampai ia terbatuk-batuk. "Dengan atau tanpa diriku, ternyata kau sama bodohnya, Dev." Mata Maya kembali menajam, kali ini beralih pada Dharma. "Kavita kan? Perempuan incaran Randu, pemilik mata paling memukau."

Dharma terkesiap.

"Tidak seperti kalian yang mengetahui dengan penglihatan dan pengamatan, aku mengetahuinya dari bisikan."

Deva memutar bola mata malas. Ia membalik bangku di belakangnya dan duduk menghadap Maya. "Hey, aku baru saja berpikir mungkin Dharma,"

"Randu!" potong Maya. Untuk alasan yang tidak pernah Dharma dan Deva tahu, Maya menolak memanggil Dharma dengan nama belakangnya.

"Okey! Randu," Deva memejamkan mata menahan kesal, "Randu tidak perlu bertemu Siren untuk tahu apa yang dilupakannya dari bisikan Kavita, jika kau benar-benar bisa tahu sesuatu dari bisikan-bisikan."

Maya menggeleng. "Kuberitahu kalian. Kavi bukan manusia biasa. Dia ...." Menerawang cukup lama, Maya berakhir dengan menggaruk rambutnya frustrasi, "Pokoknya aku tidak tahu tentang dia. Tapi jika tentang Siren dan danau sekolah, kalian datang ke orang yang tepat."

Danau di depan sekolah SRHS yang dimaksudkan mereka memang bukan danau biasa. Sudah jadi rahasia umum seantero sekolah ... bahwa danau itu dikelilingi cerita-cerita mistis. Konon, airnya yang berwarna hijau pekat itu adalah refleksi dari hutan belantara di dalamnya yang menjadi portal menuju dunia sihir. Kabarnya, danau itu juga tidak memiliki dasar. Di dalamnya hidup bermacam-macam makhluk mistis, dari duyung pemikat, Siren peniru, sampai roh-roh hewan yang menunggu reinkarnasi—tidak ada yang tahu. Siren, tepatnya yang dicari Dharma dan Deva, diyakini bisa memberitahu apapun yang ingin kau tahu. Makhluk ini mereka ulang kejadian yang ingin kau alami serta meniru dengan sempurna orang-orang yang ingin kau temui, fisik dan psikis. Namun, menceburkan diri ke danau ini sama saja dengan bunuh diri. Sudah lebih dari lusinan cerita kematian datang dari permukaannya. Dan faktanya, memang tidak ada orang yang bisa bertahan lebih dari tiga puluh tiga detik sejak menyelaminya. Well, tentu saja itu jika kau manusia biasa atau ... tanpa ramuan atau sihir.

"Ramuan? Sihir?" ulang Dharma.

Maya mengangguk. "Polihydra dengan Jamur Murmur. Seumur hidup aku baru melihatnya sekali."

"Di?"desak Deva.

Maya mendengus. "Tidak penting di mana, yang jelas aku tahu siapa yang bisa membuatnya. Tapi syarat paling utama adalah tidak boleh ada ragu sedikit pun di hati dan kepalamu."

Saling berpandangan, Dharma dan Deva mengikuti gerakan tiba-tiba Maya. Mereka keluar kelas. Berjalan lurus menuju tangga turun. Maya berbalik di anak tangga pertama. Rambut hitam panjangnya mengenai wajah kedua pemuda itu. "Sanggup?" tanyanya.

Deva mundur gelagapan. Posisinya cukup dekat dengan Maya. "Dharma yang punya urusan. Jadi,"

"Randu!"

"Ya! Randu," Deva mengulang penuh penekanan, "Kenapa sih kau iritasi sekali dengan Dharma." 

Maya berdecak. Perhatiannya beralih ke Dharma dengan mata memicing.

Dharma berpikir sejenak. "Aku tidak tertarik bunuh diri." Santai ia membalik badannya, berterima kasih pada logikanya yang berhasil memenangkan hatinya.

"Randu!/Dharma!" Maya dan Deva berteriak di belakang punggungnya.

__________

Nyatanya Dharma berubah pikiran sehari setelahnya. Setelah semalaman tidak tidur sekejap pun.

Panji, kenalan Maya yang katanya bisa membuat ramuan Polihydra dengan Jamur Murmur, memimpin jalan ke danau sekolah. Waktu menunjukkan pukul sepuluh malam. Dharma, Deva, dan Maya mengekor, mengikuti langkah malas Panji.

"Kenapa dia ikut?" bisik Dharma pada Deva.

"Aku dengar!" desis Maya berbahaya.

Mereka sampai di anjungan danau. Gelap. Penerangan mereka hanya dari senter yang mereka bawa. Panji mengeluarkan botol kecil dan sebuah plastik dari tas selempangnya. Maya seketika berbinar terpesona. Berbanding terbalik dengan Dharma dan Deva yang memekik tertahan. Panji memutar bola mata. 'Dasar manusia,' batinnya.

"Serius, Ji. Aku sudah berkeliling radius satu kilometer dari sekolah. Masuk ke hutan yang bisa kumasuki, tapi tidak pernah berhasil menemukan jamur peri ini." Jamur Murmur dikenal juga dengan sebutan Jamur Peri.

Mereka kini duduk melingkar di anjungan. Mata Maya masih sama berbinarnya. Panji menegeluarkan jamur itu dari plastik. Seketika cahaya ungu, hijau, kuning, dan merah yang menguar dari tanaman itu makin berkilau. Maya bersumpah ia juga mendengar bunyi gemersing di tiap kelipnya.

"Berhenti mencari. Kau tidak akan pernah menemukannya," kata Panji. Ia membuka tutup botol kecil berisi larutan putih bening yang tadi dikeluarkannya.

Dharma dan Deva senyap memandang hal ajaib itu. Sobekan jamur yang dimasukkan Panji ke dalam larutan itu mengubah warna larutan sama persis dengan warna jamur, berikut kelipannya. Ditambah, aroma asam yang tiba-tiba tercium di udara.

"Panji, boleh aku minta sedikit saja Jamur itu?"

Tanpa menjawab, Panji memasukkan kembali Jamur Murmur ke dalam tasnya membuat Maya merengut cemberut.

Botol kecil itu sudah berpindah ke tangan Dharma.

"Waktumu hanya satu jam. Tidak lebih tidak kurang. Dan ingat pesanku," Panji mendekatkan wajahnya ke telinga Dharma, "Perhatikan kalau-kalau ada cermin di sekeliling para Siren."

Dharma mematika logikanya dan meminum larutan itu sekali teguk. Ekspresinya seketika berubah masam.

''Kupikir Ningsih tidak akan pernah mau memasak jamur ini." Deva memperhatikan wajah Dharma yang sedikit membiru.

Tanpa aba-aba, Panji mendorong Dharma jatuh ke danau.

Dharma yang belum siap mengayun-ayunkan kaki dan tangannya berusaha meraih permukaan. Namun, beberapa saat kemudian, ketika ia sadar pernapasannya tidak terganggu sama sekali, ia segera mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Tidak seperti dugaannya, danau itu terang benderang. Dengan cekatan, Dharma berenang makin dalam. Semakin lama, sulur-sulur hijau tumbuh semakin rapat. Lalu, samar-samar Dharma mendengar suara. Lembut, merdu.

Suara kami adalah tanda,
bagi manusia nelangsa
Datanglah ke balik tirai lebat sulur,
karena cahaya membuat kami tertidur
Kemari~~~
kami memiliki semua yang kau cari

Dharma menyibak sulur itu. Remang menyambutnya. Tubuh manusia setengah ikan berenang kesana kemari. Seluruh tubuh mereka berwarna hijau pucat pekat. Dharma membeku. Ia bahkan tidak sempat melihat cermin yang disebut Panji berada satu meter dari posisinya,

Dalam waktu yang Dharma tidak tahu seberapa lama, pemandangan itu berubah menjadi lantai atap sekolah di hari mendung. Tiba-tiba saja, Kavita, dengan matanya yang menggoda, ada di depannya, tersenyum memegang pundaknya.

"Dharma, jangan mencariku! Karena, seperti cermin aku berbagi dengan ilusi."

Tangan di pundaknya beralih ke telapak tangannya. Langkah mereka mundur. Tepat ketika Dharma sadar bahwa kejadian ini persis dengan mimpinya, seseorang menjulurkan jari telunjuk dan jari tengahnya dari balik sulur. Bibirnya menggumam, "Mega-lunary," yang seketika membuat seluruh danau itu tersiram sinar menyilaukan.

"Akh!" Dharma memekik kencang.

Ujung runcing pensil arang Deva patah.

"Sial! Dharma!" serunya menggeram kesal.

Dharma yang masih terengah-engah di atas kasurnya kehilangan suara. Matanya masih membelalak ngeri. Sekujur tubuhnya masih gemetar terkejut.

"Mimpi buruk?" Deva meraut pensilnya, "Syukurlah kau masih hidup."

Dengan sisa tenaganya, Dharma melempar bantal ke arah Deva. "Kavita lagi," desahnya.

"Bro, plis, move on! ...."

__________

Tanpa mereka tahu, Panji mengintip dari balik celah pintu kamar itu. Ia mendesah lega. "Jadi para Siren itu juga memilikinya. Pantas saja," gumamnya sambil berlalu. Tidak lupa, ia membawa tubuh pingsan Maya di pundaknya.

[end]

***

**Terima kasih sudah membaca sampai bagian ini. Kritik dan saran selalu ditunggu. I L U!

Salam,
SR Agent.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top