Her Wounds - Sahrial Pratama

Her Wounds
–Sahrial Pratama–

***

Meski darah mulai menodai pakaian dan sakit mencengkeram tubuh, aku tetap tidak menyesal. Aku tetap berdiri di depannya, memasang senyum lebar untuk meyakinkannya kalau aku baik-baik saja.

Namun, sepertinya yang kulakukan sia-sia. Kulihat air matanya menetes ketika melihat kondisiku sekarang. Dan, perlahan dia menghampiriku.

"Sudah kukatakan berapa kali, jangan ikut campur dengan urusanku," ucapnya dengan tangan bergetar. "Ini semua demi kebaikanmu. Lihat! Apa yang terjadi sekarang?"

Aku kembali tersenyum. "Alera, kamu tahu bagaimana aku, bukan? Aku pernah bilang kalau tidak akan membiarkanmu terluka. Kamu masih ingat dengan janjiku itu?"

"Dan, kamu masih ingat juga dengan apa yang kukatakan saat itu, 'kan?" Alera tidak mau kalah. "Bersahabat denganku sama saja dengan mengundang maut untukmu."

Tentu saja aku tidak lupa dengan kalimat itu. Kalimat yang selalu membuatku bertanya di setiap waktu, maut seperti apa yang akan datang jika aku nekad. Namun, gadis bermata biru di depanku tetap tidak menjawab pertanyaanku dengan jelas hingga hari ini tiba. Hari di mana dua orang pria muncul di taman dan menarikku ke belakang sekolah. Meski aku berusaha meronta, kekuatan kedua pria itu jauh lebih besar dariku. Anehnya, ketika aku berteriak, tidak ada yang mendengar sama sekali. Hingga akhirnya kuketahui kalau mereka bukan manusia biasa. Mereka adalah penyihir dari Negeri Coaland.

"Dafa, aku tahu kamu peduli padaku, tapi demi kebaikanmu. Pergi dari sini. Aku sudah membuka dinding sihir yang menghalangimu." Alera memutarbalikkan lalu mendorong tubuhku sampai menjauh. "Pergilah, demi aku!"

Aku menarik napas panjang, menahan desah frustrasi karena sikap Alera. Ingin aku mendekat kembali. Namun, gelenganAlera berhasil menghentikan langkahku.

Rambut panjang berwarna keperakan milik Alera melambai tertiup angin. Gadis itu tersenyum, tapi wajahnya menunjukkan kesedihan. Melihatnya, hatiku benar-benar sakit.

Entah sejak kapan aku mulai sangat peduli dengan Alera. Gadis pendiam yang selalu duduk di sudut belakang kelas.

Sama seperti orang-orang yang tidak mengenalnya, aku menganggap Alera adalah mayat hidup. Bahkan, aku pernah berkata pada teman sekelasku, "Tidak akan kamu temukan tanda-tanda kehidupan padanya. Dari ekspresi, suara, dan gerakannya. Dia benar-benar mayat hidup." Itulah pendapatku sebelum mengenalnya.

Yang paling menarik perhatianku dari Alera adalah rambut keperakan dan bola mata biru miliknya. Itu sama sekali bukan milik manusia biasa. Dan, dugaanku benar. Alera bukan manusia biasa. Dia juga adalah seorang penyihir dari Negeri Coaland.

Semua berawal ketika aku hendak mengambil foto di atap gedung sekolah. Aku melihat dia duduk di tepi atap sambil bersenandung.

"Apa kamu tidak takut jatuh?" sapaku saat itu.

Alera menoleh sejenak dan mengabaikan pertanyaanku.

"Apa kamu tidak mendengarku?" ujarku kesal. Kudekati Alera yang masih asyik menikmati pemandangan. Namun, dia masih bersikap tak acuh hingga membuatku semakin kesal.

"Gadis Aneh! Apa kamu ...," ucapanku terhenti. Tubuhku terhuyung dan kedua kakiku tidak bisa kukendalikan. Tanganku menggapai angin, tapi jelas itu sia-sia.

Detik selanjutnya, kupejamkan mata. Aku sudah pasrah jika aku akan jatuh. Namun, aku tidak merasakan apa-apa. Saat kubuka mata, kusadari aku tengah melayang di udara dan bergerak naik ke atap.

Tanpa sadar aku menelan ludah. Bagaimana aku bisa terbang, sedangkan aku tidak punya sayap? Jawabannya adalah Alera. Aku mendongak, bertatapan dengan gadis itu. Tangannya terulur padaku, seolah yang menahankanku agar tidak jatuh.

"Lain kali, ikat tali sepatumu dengan benar," ujarnya setelah kakiku menapak tanah. Kemudian, dia pergi begitu saja setelah berhasil membuatku terkejut setengah mati.

Mulai saat itu, aku berusaha mendekati Alera untuk mencari tahu siapa dia sebenarnya. Misalnya, ketika guru membuat kelompok diskusi. Aku sengaja memilih Alera untuk menjadi anggota kelompokku dengan harapan bisa mengobrol dengannya. Namun, mendengar suara Alera jauh lebih sulit daripada mengerjakan seratus soal matematika. Dia hanya diam sepanjang proses diskusi dengan tatapan mata yang kosong.

"Apa kamu ada masalah?" tanyaku keesokan harinya.

Tidak ada jawaban yang kudengar. Tatapan Alera masih tertuju pada pohon di pinggir taman.

"Kamu bisa cerita padaku. Sekarang, kita adalah teman."

Tetap tidak ada respons, membuatku ingin berbuat lebih jauh. Dengan segenap keberanian, kuraih tangannya. "Apa ...."

"Apa kamu mau mati?"

Aku langsung melepas tangannya. Tidak kusangka kalimat pertama yang kudengar dari Alera adalah kalimat ancaman.

"Aku akan mati kalau kamu tidak mau berbicara padaku," gurauku.

Alera menoleh padaku. "Kalau begitu, mati saja sekarang," ucapnya ketus.

Perlahan, aku mulai merasa tenggorakanku kering, detik selanjutnya seperti terbakar dari dalam. Kuraba leherku, berdeham keras ingin membuang apa yang menimbulkan rasa yang menyakitkan itu. Akan tetapi, tidak ada apa-apa di sana.

"A-ku ...." Suaraku tertahan. Rasa sakit itu pun semakin hebat. Tidak kusangka mendekati Alera akan membuatku hampir menemui maut.

"Jangan berani menggangguku," geram Alera, bersamaan dengan lenyapnya rasa sakit di tenggorokanku.

Aku menarik napas panjang dengan telapak tangan masih di leher. Kejadian itu sungguh menakutkan. Jauh lebih menakutkan daripada saat aku hampir jatuh dari atap gedung sekolah.

"Terima kasih," ujarku, menghentikan langkahnya. "Aku hanya ingin mengucapkan itu."

Tanpa menjawab, Alera kemudian lanjut melangkah.

Sejak hari itu, aku tidak melihat Alera selama dua hari. Dia tidak ada kabar sama sekali. Teman satu asramanya juga tidak tahu ke mana dia pergi.

Sampai akhirnya, dia masuk sekolah kembali dengan kondisi yang memprihatinkan. Wajahnya dipenuhi memar dan jalannya pincang. Ingin kubertanya dari mana dia mendapatkan semua luka itu, tapi akhirnya aku hanya berani menatapnya.

Dua minggu kemudian, kejadian itu terulang lagi. Alera tidak masuk kelas. Lalu, dua hari kemudian dia kembali dengan luka memar dan langkah terseok-seok. Saat seorang guru bertanya, Alera menjawab kalau ia mengalami kecelakaan ketika keluar dari area sekolah untuk membeli sesuatu. Dan, selama ini dia menginap di rumah saudaranya.

Melihat kondisi Alera, aku tidak bisa menahan diri. Kuhampiri dia ketika jam istirahat. "Apa yang terjadi?" tanyaku tanpa basa-basi, membuatnya terkejut. Tatapannya langsung beralih padaku, kemudian kembali pada bungan di taman tempat kami duduk sekarang.

"Bukan urusanmu," ketusnya.

"Aku sama sekali tidak ingin mengganggumu. Kamu tahu itu, 'kan? Jadi, kumohon jangan terluka seperti ini. Karena melihatmu kesakitan, membuatku tidak bisa tenang."

"Apa hubungannya denganmu?"

"Jangan banyak tanya. Aku hanya meminta satu hal itu padamu. Kalau kamu tidak ingin aku terus mengganggumu, maka jangan pernah terluka lagi."

"Kamu memang orang yang aneh."

Aku tersenyum. "Ya, begitulah," jawabku sambil membuka kotak P3K.

"Apa kamu tidak melihat kalau lukaku sudah diobati?"

Aku kembali tersenyum. "Ya. Aku melihatnya. Aku hanya ingin menunjukkan isi kotak ini padamu. Karena sepertinya, kamu tidak akan mendengarkan kata-kataku. Kamu pasti terluka lagi."

"Kenapa kamu bersikap baik padaku?" Alera menatapku lekat. Bola matanya yang biru mulai memerah.

"Aku ingin kita bersahabat."

Alera menarik napas, jemarinya langsung mengepal erat. Ia menunduk, lalu mendongak. "Aku adalah anak dari seorang pembunuh. Setiap hari, aku hanya menunggu orang-orang yang ingin balas dendam karena keluarga mereka dibunuh orang tuaku."

Aku tertawa, berpikir kalau ucapan Alera adalah gurauan. "Oke. Anggap saja aku percaya kalau kamu adalah anak dari seorang pembunuh. Tapi, bagaimana bisa mereka yang ingin balas dendam masuk ke sekolah ini?"

"Apa kamu anggap membuatmu melayang di udara adalah hal yang wajar?" Alera balik bertanya.

Aku terdiam mendengar pertanyaannya. "Kalau orang tuamu adalah pembunuh, belum tentu kamu pembunuh, 'kan? Tidak selamanya pribahasa 'buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya' itu benar. Aku yakin kamu adalah gadis yang baik."

"Kenapa kamu bisa seyakin itu? Kamu saja baru bicara padaku setelah kejadian di atap."

Senyumanku mengembang. "Aku sudah lama memperhatikanmu. Setiap hari kamu tidak banyak bergaul dengan teman-teman yang lain. Kamu lebih suka menyendiri. Tapi, aku tidak pernah mendengar kalau kamu berbuat sesuatu yang jahat. Dan, setelah mendengar apa yang kamu katakan baru saja, aku semakin yakin kalau kamu orang yang baik."

Alera menatapku lekat. Mungkin hatinya mulai terbuka untukku.

"Seseorang yang menceritakan sesuatu yang buruk tentang dirinya itu jarang, lho. Dan, aku yakin kamu jujur dengan ucapanmu."

"Dari mana kamu tahu?"

"Feeling."

"Aku berasal dari sebuah negeri bernama Coaland. Di sana, sihir dan hal-hal mustahil bagi manusia bisa terjadi. Salah satunya membuatmu melayang." Alera memulai kembali cerita tentang dirinya.

"Dan, membunuh tanpa menyentuh korbannya," tambahku, mengingat kejadian ketika ternggorokanku terasa dibakar.

"Ya."

Aku menarik napas panjang, lalu membuangnya perlahan. Negeri Coaland, sihir, dan orang-orang yang ingin balas dendam? Bukankah semua itu terlalu berbahaya untuk seorang remaja?

"Seperti yang kukatakan tadi, banyak orang yang mengincar nyawaku. Dan, ketika mereka menemukanku di sini, aku harus memancing mereka kembali ke Coaland karena aku tidak bisa mengacaukan sekolah ini."

"Mengacaukan sekolah ini?"

"Sebagai anak dari seorang pembunuh, ayah dan ibuku sudah melatihku dari kecil. Mereka mengajariku sihir-sihir yang menakutkan. Karena itu, aku bisa bertahan sampai sekarang. Di sini aku sengaja tidak mengeluarkan semua kekuatanku agar sekolah tidak hancur. Tetapi, setelah berhasil membawa mereka ke Coaland, aku membuat mereka menyesal karena berani mengincar nyawaku."

Aku menelan ludah. Bayangan bagaimana sihir Alera membunuh orang-orang mengincar nyawanya berkelebat di kepalaku. Namun, tiba-tiba kulihat air mata Alera terjatuh. Air mata itu terus mengalir meski Alera sudah mengusapnya.

"Aku tidak ingin menjadi pembunuh. Aku tidak ingin menjadi seperti orang tuaku. Aku hanya ingin hidup normal seperti teman-teman lainnya. Tapi, kenapa mereka tidak bisa membiarkanku hidup tenang? Kenapa mereka memaksaku untuk membunuh mereka?"

Untuk beberapa saat, aku terdiam. Kubiarkan Alera meluapkan semua yang tertahan di hatinya selama ini. Lalu, setelah kulihat dia sudah merasa tenang, aku berkata, "Aku semakin ingin bersahabat denganmu. Tidak akan kubiarkan kamu terluka."

"Selain aneh, kamu juga bodoh. Bersahabat denganku sama saja dengan mengundang maut untukmu. Lagi pula, jangan sok bersikap pahlawan."

"Aku tidak peduli," ujarku sambil berdiri.

"Dafa, dengarkan aku!" tegas Alera.

Mendengar Alera menyebut namaku untuk pertama kali, aku merasa kebahagiaan membuncah di dada. Sudut bibirku bergerak dengan sendirinya membentuk senyuman. Bahkan, aku tidak tahu caranya untuk menghilangkan senyuman itu saat berbalik. Aku ingin mengobrol dengannya lebih lama lagi. Akan tetapi, bel masuk kelas menghalangi niatku itu.

Aku mendekat padanya. "Alera, terima kasih sudah mau mengingat namaku," ucapku, lalu menarik tangannya menuju kelas.

"Argh!"

Teriakan Alera kembali menyadarkanku. Kedua pria yang berniat membunuh Alera sedang membaca mantra. Perlahan, kulihat tubuh Alera menjadi kaku. Tangan dan kakinya sama sekali tidak bisa bergerak.

"Dafa, pergi dari sini! Aku bisa mengatasi ini," kata Alera di tengah pergerakannya yang terkunci.

Tanpa belas kasihan, salah seorang pria itu menendang kaki Alera. Kemudian, ditariknya rambut keperakan gadis itu. "Ayo, kita kembali ke Coaland. Akan kutunjukkan wajah keturunan pembunuh sialan ini pada semua rakyat Coaland."

"Alera!" seruku ketika kedua pria itu menyeret tubuh Alera. Kakiku hendak melangkah membantu Alera, tapi akhirnya aku memutuskan untuk berhenti.

Aku tidak tahu bagaimana, tapi kudengar jelas suara Alera di telingaku. "Aku bisa mengatasi ini, Dafa. Ingat dengan apa yang pernah kukatakan? Aku tidak bisa mengeluarkan semua kekuatanku di sini. Tapi, di Coaland aku akan menunjukkan siapa yang mereka hadapi sekarang. Aku pasti kembali meski dengan tubuh penuh luka. Kuharap sikapmu tidak akanpernah berubah, Dafa. Meski orang tuaku adalah pembunuh, tapi tidak denganku. Aku ingin memilih jalanku sendiri. Dan, kebaikanmu padaku adalah salah satu kunci agar aku tidak goyah."

Aku mengangguk. "Alera, aku akan menunggumu di sini. Meski tidak bisa melindungimu agar tidak terluka. Tapi, aku ingin membuatmu tetap kuat untuk menghadapi ini. Aku akan menunggumu."

[end]

***

Terima kasih sudah membaca :)

Salam,
SR Agent.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top