Diskusi Senja - Mutiara MR
🐾🐾🐾
Langit masih bersinar, walau rona jingga sang mentari perlahan turun dari singasananya. Di rooftop sekolah internasional itu berdiam gadis yang penampilannya tak lagi rapi. Seragam putihnya lusuh dengan wajah yang tak kalah kusut juga. Pipinya basah akan linangan air mata, hidungnya terus mengeluarkan cairan seiring dengan semakin besar rasa dia menyangkal.
Dia menatap langit, melihat keindahan angkasa. Warna ungu, biru, oranye berpadu padan menjadi satu. Hembusan angin sore menerbangkan sedikit rambutnya. Satu tetes air mata meluncur mulus melewati tulang pipi dan terjatuh di ujung dagu. Dia mengusap kasar lelehan air mata. Sudah cukup hari ini dia menangis sendirian. Sudah cukup hari ini dia menahan semua perih sendirian. Sudah cukup dia merasa terbuang.
Tatapannya jatuh pada sepasang sepatu lusuh yang didapatkannya saat kelas sepuluh dulu. Sepatu pemberian orang tuanya ketika mereka masih normal. Keluarga yang normal tepatnya. Sebelum peristiwa menyedihkan menghantam kapal keluarga mereka dan menyebabkan banyak sekali ceceran memori indah hilang.
Kini dia hanya bisa berharap, waktu dapat berputar dan dia bisa kembali seperti dulu.
—DISKUSI SENJA—
Yusuf sedang asik memainkan game dihapenya. Dia meliuk liukkan badan mengikuti motor di layar hape. Kurang sedikit lagi mencapai finish, hapenya mendadak mati.
"Anjir!" teriaknya, "kurang dikit lagi mau menang. Ah, hape kampret, mati di saat yang tidak tepat," cerocos Yusuf.
Untung Yusuf berada di sudut perpustakaan sehingga teriakannya tidak terlalu terdengar. Lalu dia menengok ke samping, ke arah orang yang sedang tiduran. Yusuf mendengkus pelan melihatnya.
Gak di kelas, gak di perpustakaan, tidur mulu. Kayaknya kalo masuk on the spot bakal jadi salah satu nominasi orang paling malas sedunia. Tidur mulu kerjaannya.
"Woi, Pan! Bangun!" Dia menyenggol lengan Panji yang menjadi bantal. "Pan, bangun, Pan."
Beberapa kali Yusuf membangunkan Panji, tetap saja makhluk hidup di sebelahnya tidak mau sedetik pun mengangkat kepala dari lipatan tangan. Heran betul Yusuf dengan temannya ini.
"Woi, Panjol! Bangun! Liat tuh ada cewe cantik lewat." Reaksi Panji tetap sama, tidur, tidak mempedulikan Yusuf yang sudah mengeluarkan jurus paling ampuh membangunkan orang. "Gue guyur air panas, biar tahu rasa lo!"
Yusuf mirip seperti orang gila. Berkata sendiri tanpa ada yang membalas. Dongkol adalah perasaan yang cocok menggambarkan keadaannya saat ini, maka Yusuf menjambak rambut Panji agar bangun.
"Bangun, woi! Panji Panjol, gue laporin lo..." belum selesai dia berbicara, Panji tiba-tiba terbangun. Dan tanpa membalas atau mengucapkan sepatah kata pada Yusuf, laki-laki itu bergegas keluar perpustakaan.
Yusuf hanya bisa melihat arah perginya Panji dengan mulut sedikit terbuka.
Lah, bocah ngapak ya?
"Edan," umpatnya.
Kemudian dia beralih ke arah kanannya. Di sana ada seorang laki-laki kutu buku. Dia, Aqdas, cowo tulen, hidup suka baca buku, ganteng, dan irit ngomong.
"Das, gue pinjem charger dong," kata Yusuf.
Aqdas meliriknya sekilas, lalu melanjutkan membaca buku setebal make-up Asia, yang kalau mau wajah tirus harus minum obat dulu sebotol dan memakai bedak seberat dua kilogram.
"Ada di tas. Tas gue di loker. Lo ambil sendiri sana." jawabnya singkat.
Yusuf lagi-lagi harus memiliki stock kesabaran setinggi Gunung Everest. Punya temen kok sama. Yang satu diemnya freak. Yang satu diemnya cool. Nasib memang.
"Gue minjem bentar ya, Das."
"Hm."
Yusuf berjalan menuju loker, mengambil pengisi daya baterai hape, mencolokkannya ke stop contac dan kembali lagi ke tempat.
Baru saja dia duduk dikursi, seorang siswi menemuinya.
"Yusuf! Astaga akhirnya ketemu sama lo!" teriak seorang siswi dari kejauhan. Tidak tanggung-tanggung suara yang keras dan melengking itu berhasil menyita banyak perhatian. Dia mendapat teguran dari penjaga perpustakaan dan pelototan dari beberapa penunggu di sana.
Tanpa mempedulikan aksinya yang mengundang kericuhan, dia berjalan cepat menuju Yusuf.
"Yusuf, lo harus tahu, gue butuh bantuan lo. Serius, gue butuh bantuan lo. Gue bingung mau minta tolong siapa. Terus waktu gue mikir sambil jalan gue baru inget kalo lo yang bisa bantu gue. Bantu gue ya? Bantu ya? Oke, lo bantu gue." omongnya mengambil jeda bernapas sedetik.
Yusuf berdecak. "Ck, kebiasaan. Duduk dulu baru ngomong."
"Nggak bisa, ini penting. Lo tahu 'kan, penting. P. E. N. T. I. N. G. Penting!"
Yusuf memutar kedua bola matanya. Baru saja dia mau mengambil napas karena menghadapi dua orang temannya yang aneh, sekarang ditambah seorang gadis yang freak-nya melebihi Panji dan Aqdas.
"Sepenting apa sih? Lo nggak bisa nyelesain tugas matematika? Tuh, ada Aqdas."
Gadis itu yang dia kenal dengan nama Nindya, satu-satunya sahabat Arumi, menggeleng cepat. "Bukan itu." Dia mendekat ke Yusuf sembari memelankan suaranya. "Ini masalah Arumi, pacar lo."
Yusuf langsung melebarkan mata, menatap Nindya penuh tanya. Arumi tahu bila laki-laki di depannya penasaran, dia mendekatkan diri ke Yusuf.
"Gue nggak tahu harus mulai dari mana ...," Dia menghela napas. "Tadi, setelah kelas tambahan Mr. Elbert gue dapat telpon dari ibunya Arumi. Dia suruh gue bilangin Arumi buat aktifin hapenya. Dan lo tahu apa yang bakal ibu Arumi omongin? Perceraian. Orang tua Arumi resmi bercerai hari ini." Wajah sendu Nindya perlahan terlihat. "Gue langsung kepirikan gimana hancurnya Arumi. Terus waktu gue cari dia, Arumi nggak ketemu. Makanya gue minta bantuan lo. Cari Arumi. Sialnya, dia nggak bawa hape."
Yusuf terdiam sejenak, mencerna perkataan Nindya. Dia pernah mendengar Arumi bercerita tentang hancurnya rumah tangga kedua orang tua Arumi. Ayahnya memilih dengan selingkuhannya, sedangkan sang ibu sibuk dengan pekerjaannya. Cocok. Dua orang egois memang tidak akan pernah bisa menyatu. Saling menyalahkan dan menuduh adalah satu dari sekian alasan Arumi memilih sekolah di SRHS. Apalagi di sekolah ini ada asrama. Dengan adanya asrama dia bisa menghindari pertengkaran kedua orang tuanya yang tidak pernah berujung.
Yusuf mendengkus kasar, menggaruk rambutnya. "Lo terakhir lihat dia di mana?" tanya Yusuf.
Nindya menggelengkan kepala. "Seharian ini gue nggak ketemu sama dia. Dan ... aduh, habis ini gue masih ada kelompok kerja dari kelas tambahan. Double triple sial nasib gue."
Laki-laki itu tambah pusing mendengar jawaban Nindya. Dia memejamkan mata sejenak, menelusuri memori tempat-tempat favorit Arumi selama dia bersekolah di sini. Membutuhkan waktu sepuluh menit untuk berpikir, tapi Yusuf menemukan jalan buntu. Dia tidak ingat tempat mana saja yang sering Arumi sambangi. Karena memang kegiatan Arumi cuma sekolah-kelas tambahan-asrama. Seperti itu terus.
Disaat pikirannya tidak mendapat titik terang, tiba-tiba Aqdas buka suara, "Tadi kalau nggak salah lihat, Arumi naik ke tangga ke arah rooftop. Sendirian. Wajahnya kusut sih."
Ternyata diam-dian Aqdas menyimak pembicaraan Yusuf dan Nindya. Dewi Fortuna memang berpihak padanya. Jadi, tanpa ba-bi-bu dan setelah berterima kasih pada Aqdas, Yusuf pamit pergi. Langkah kakinya melebar dan cepat seiring keresahan hatinya yang kian membesar.
Tunggu gue, Arumi.
Secepat kilatan petir membelah angkasa, secepat itu Yusuf menemukan Arumi duduk di bangku rooftop. Keadaan di sini benar-benar sepi, cocok sekali untuk merenungkan masalah. Dia mendekati Arumi. Gadis itu tampak acuh dengan kehadiran Yusuf. Dia masih bergulat dengan pemikirannya.
Yusuf harus menyentuh bahu Arumi agar gadis itu sadar bila ada manusia lain selain dirinya di tempat ini. Ketika mata mereka bertatapan, terlihat goresan duka yang besar. Kekecewaan mungkin sudah lama menemani, membalut Arumi dengan pedih akibat kabar perceraian orang tuanya. Mata gadis itu memerah menandakan betapa lama dia mengeluarkan air mata. Baju seragamnya yang biasa rapi menjadi kusut.
Yusuf duduk di samping Arumi. Mengikuti arah pandang gadis itu. Menatap senja yang sebentar lagi akan sirna. Dua insan muda di sana sedang berusaha menyelamatkan satu sama lain. Lebih tepatnya, Yusuf menarik Arumi supaya tidak makin masuk ke dalam lubang penyesalan. Memintanya sedikit bertahan dengan rasa sakit yang menggerogoti.
Arumi menundukkan kepala, memandang jalinan jemari yang mengait. Dia paham kedatangan Yusuf. Dia sedang menyusun kata agar tak terkesan kesusahan mengurusi urusan pribadinya.
"Gue ...."
"Jangan nyangkal lagi deh, Rum. Gue ada di sini. Kalo lo butuh telinga buat mendengarkan cerita lo, telinga gue udah siap. Kalo butuh samsak biar bisa melampiaskan kekesalan lo, badan gue udah siap," kata Yusuf memotong ucapan Arumi.
Lagi-lagi lelehan air mata membasahi pipinya, keluar tanpa izin. Air mata tadi yang belum kering harus ditumpuk dengan air mata kembali. Dia tidak bisa mengendalikan dirinya. Tangisannya kencang, menyanyat hati Yusuf saat mendengar rintihan kesakitan, patah hati, dan putus asa menjadi satu. Bahkan untuk mengambil napas, Arumi sangat kesusahan. Beberapa kali dia mengontrol tangisannya membuat makin tak karuan.
Yusuf hanya diam saja memperhatikan gadis kesayangannya. Hal ini dilakukannya supaya Arumi dapat melepaskan rantai kepedihan yang berhasil memenjara diri gadis itu. Yusuf kemudian mengambil tisu yang dibawa Arumi, mengelap tetesan air mata yang tidak mau berhenti.
Cukup lama Arumi menangis, napasnya mulai teratur artinya Arumi bisa mengontrol dirinya.
Yusuf mengulas senyum manis, menyalurkan kebahagian pada Arumi. Gadis itu akhirnya ikut tersenyum.
"Sudah? Mau cerita?" tawar Yusuf. Dia duduk merapat ke Arumi.
Arumi menganggukkan kepala. "Iya," jawabnya. Terdengar suara khas orang setelah menangis. "Selepas kegiatan sekolah gue dapat telpon dari ayah. Dia ngasih tahu kalau hari ini dia udah resmi pisah sama ibu," kata Arumi. Suaranya tercekat oleh desakan air mata. Dia harus beberapa kali menghapus air mata. "Gue sebenarnya tahu ini bakal berujung pisah. Tapi gue nggak nyangka, kedua orang tua gue beneran pisah. Ayah yang milih selingkuhannya karena ibu nggak bisa full service sama ayah dan ibu yang memilih melarikan diri dari sakit hati dengan kerja terus."
"Dasar orang tua bego! Egois! Mereka nggak pikir apa efeknya sama gue? Mereka lebih pentingin ego masing-masing. Merasa diri paling butuh bantuan dan kasih sayang, padahal mereka sendiri yang miskin kasih sayang. Mereka pikir dengan berpisah akan berakhir bahagia? Nggak! Perpisahan ini jadi pelajaran kalo mereka lebih mementingkan ego masing-masing. Bukan keharmonisan yang tercapai malah kehancuran."
Yusuf membiarkan Arumi mengeluarkan semua racun yang bersemayam dihatinya. Setidaknya ini sedikit meluruhkan rasa sakit Arumi.
"Gue merasa bodoh sebagai anak, Suf. Gue udah pernah pura-pura kasih kado buat mereka dengan alasan yang suruh ayah atau ibu. Tapi tetap aja nggak ada efeknya. Mereka malah tambah perang dingin. Nggak sekali dua kali gue dengar dan lihat mereka cek-cok. Mungkin gue akan terbiasa ya, tapi apa? Gue tambah sakit hati, Suf. Kenapa dua orang yang sangat-sangat gue sayangi bisa berantem? Kenapa hanya dengan masalah seperti ini mereka melanggar janji suci yang pernah diucapin waktu akad nikah?" Air mata Arumi menderas. Tangisannya meledak seketika.
Rasa sesak memenuhi dirinya, melebarkan sayap seolah-olah memerangkap Arumi agar tidak pergi ke mana-mana. Menarik paksa Arumi untuk merasakan lagi lara yang telah terpendam. Gadis itu menenggelamkan wajahnya ke kedua telapak tangan. Menahan gejolak yang mendesak keluar. Dia malu, dia menyesal, dia terus saja menyangkal bila semua ini perwujudan dari ilusi, hanya mimpi buruk disiang bolong. Tetapi, mimpi buruk disiang bolong itu adalah kenyataan.
Yusuf menunggu Arumi menangis. Dia tidak tega melihat Arumi terus terusan mengeluarkan air mata. Yang dibutuhkan Arumi saat ini memang telinga untuk mendengar keluh kesahnya.
Arumi mulai tenang. Dia membersihkan sisa air mata, kemudian memandang ke samping, ke arah Yusuf. Menatap manik mata laki-laki di samping bagaikan mencari ketenangan setelah badai hebat menerjang dirinya. Yusuf memberikan lagi tisu pada Arumi, sesekali membantu gadis itu mengelap air mata.
"Mendingan?" tanya Yusuf lembut.
Arumi tersenyum. "Lumayan," katanya. "Terapi lo lumayan buat gue lega."
Yusuf mengulas senyum. "Gue mau ngomong, boleh nggak?"
Arumi mengangguk.
Yusuf menarik napas sebelum berbicara. "Gue salut sama lo yang kuat menanggung semua masalah ini. Coba kalo gue yang dapat masalah ini, pasti gue akan masuk headline koran. Gue acungin jempol buat lo yang nggak kasih tahu ke banyak orang atau sering nge-post hal-hal sedih yang buat lo galau ke media, lo bisa menyimpannya rapat dan itu hebat. Gue bangga sama lo." Tangan laki-laki itu mengelus bahu Arumi. "Tapi lo harus tahu, Rum. Masalah nggak akan turun kalau nggak bersama penyelesaian. Itu udah sepaket, nggak bisa berdiri sendiri."
"Dan untuk masalah lo ini ... gue nggak bisa kasih solusi yang baik, karena gue emang nggak pernah ngerasain gimana bobroknya rumah tangga, tapi setidaknya solusi gue bisa buat lo tenang." Yusuf menatap lekat netra Arumi. "Mungkin bagi lo perpisahan ayah sama ibu lo adalah gerbang neraka. Tapi, siapa tahu bagi kedua orang tua lo, perpisahan ini adalah jalan keluar dari kekecewaan dan rasa sakit. Apa lo pernah tanya gimana perasaan ayah dan ibu lo selama ini? Mereka sama-sama sakit, Rum. Kalo mereka memaksa tetap bersama yang ada mereka akan saling menyakiti satu sama lain. Ini bukan berarti gue menyetujui perceraian adalah satu-satunya penyelesaian masalah, ya. Mungkin dengan perceraian mereka punya kesempatan baru buat bangkit, buat menata hati lagi yang udah retak sana sini."
Angin sore berhembus pelan, membelai kulit kedua remaja itu. Sinar matahari menyembul malu-malu di ufuk barat, menyisakan garis-garis oranye dari balik awan. Kicauan burung yang kembali ke sarang berperan sebagai back sound obrolan Arumi dan Yusuf. Warna ungu di cakrawala ikut beraksi dengan memamerkan diri di tengah-tengah barisan awan.
"Arumi, coba deh, lihat dari sisi kedua orang tua lo. Dari kacamata ibu lo, apa pernah lo tanya sama beliau gimana kecewa dan sakitnya beliau tahu perselingkuhan suaminya sendiri, saat dia mati-matian kerja keras untuk keluarga? Atau ayah lo yang memang membutuhkan ibu lo, tapi dia malah mendapati ibu lo kerja terus. Gue nggak akan menampik kalo kebahagiaan utama gue mulai pudar gue akan cari kebahagiaan lain. Manusia emang gitu 'kan? Apa yang mereka anggap tidak bisa membuat bahagia, pasti mereka akan mencari kebahagian lain? Gue begitu, Rum. Jadi, gue mohon sama lo. Jangan salahin diri lo sendiri dengan alasan lo anak yang nggak becus. Apalagi menyalahkan kedua orang tua lo. Lo boleh kecewa tapi jangan sampai membuat lo jadi pendendam." Yusuf memegang kedua bahu mungil Arumi sambil meremasnya pelan. Menyalurkan rasa nyaman yang sempat hilang. "Lo anak hebat. Lo udah berusaha membuat keduanya baikan. Tapi kalo takdir nggak mengharuskan mereka tetap bersatu kita bisa apa?"
Arumi menundukkan kepala. Bibirnya kembali bergetar. Berdiskusi dengan Yusuf selalu berakhir seperti ini. Dia diam, memikirkan perkataan Yusuf.
Iya ini emang takdir-Nya. Sekeras apapun gue berusaha menyatukan ibu sama ayah. Gue tetap nggak akan bisa.
Cahaya lembut senja ditambah lampu taman rooftop mejadi latar pemandangan mereka. Suara siswa siswi yang masih menenuhi koridor sekolah menambah semaraknya senja.
"Arumi, lo orang kuat. Lo orang yang hebat. Jangan biarkan kesalahan mengungkung lo jadi orang yang pengecut. Lepasin, Rum. Lepasin apa yang lo rasain. Bebasin. Kayak kata Elsa, let it go. Jangan menumpuk kekesalan sendiri. Ada gue, ada Nindya yang siap jadi telinga kedua dan samsak gratis lo. Lo nggak sendirian, oke?"
Suara Yusuf begitu membelai. Pelan-pelan meruntuhkan kerasnya dinding kebencian yang Arumi bangun untuk kedua orang tuanya.
Dia mengakui bila kehadiran Yusuf adalah obat mujarab dan kompensasi setelah perjalanan panjang melewati lintasan hidup yang menyiksa. Hadirnya Yusuf mungkin telah di-setting oleh yang Maha Kuasa sebagai penerang ditengah kegundahan hati yang terus terusan meraung meminta bantuan. Yusuf, laki-laki yang menawarkan tangan dan berhasil menariknya bangkit saat dia tergelincir di jalan penuh sukar. Dia laki-laki terhebat yang pernah Arumi temui.
Arumi mengangkat wajahnya, terukir senyum puas. Dia mengangguk cepat dan memegang pergelangan tangan Yusuf yang masih bertenger di bahunya. Mengirimkan sinyal jika apa yang dilakukan Yusuf berbuah ketetapan hati yang kuat.
Arumi mengambil napas panjang sembari memejamkan mata. Ya, dia harus melepaskan semua beban di pundaknya. Salah satunya dengan merelakan keluarga normalnya menjadi keluarga yang tak utuh. Merelakan perpisahan ibu dan ayahnya. Merelakan suatu saat nanti dia tidak bisa melihat interaksi hangat layaknya keluarga lain.
Dia harus ikhlas. Dia harus berbesar hati menghadapi persoalan ini.
Semoga gue akan selalu kuat di tengah pusaran masalah ini.
[end]
🐾🐾🐾
Di sini juga ada kisah romansa manis dan persahabatan. Nano nano ya ... rame rasanya ☺️
Salam,
SR Agent.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top