AQMARA - Hunpeach
AQMARA
[See Something From Another Side]
🍁🍁🍁
"Kita ini dilahirkan sebagai makhluk yang sempurna.
Diberikan akal agar kita bisa berpikir.
Dan untuk hal-hal yang tak bisa kamu pikirkan,
lepaskan. Karena kalau kamu paksakan,
gila adalah akibat yang akan kamu dapatkan."
—Alamanda Asensiorekta.
Gadis berkerudung itu memperhatikan sekitarnya. Suasana kelas 11F yang ricuh, teman-temannya sibuk mengeluarkan buku tugas fisika mereka dengan bising yang tak terhindarkan. Terkadang ia heran, mengerjakan tugas bukankah seharusnya dengan tangan? Mengapa mereka malah sibuk berteriak bahkan sampai bertengkar? Lagipula tugas fisika ini sudah diberikan sejak beberapa hari yang lalu. Mereka kemana saja sampai-sampai tugas semudah itu pun tidak mampu diselesaikan di asrama? Membuatnya menggeleng tak mengerti.
Baru saja mengalihkan tatapannya ke luar jendela. Mejanya bergeser karena seseorang yang sengaja mengejutkannya. Sosok itu menyengir lebar, menggaruk kepala yang gadis itu yakini sama sekali tak gatal.
"Manda, nyontek, dong!" pinta pemuda bernama Deeka itu seenaknya.
Alamanda Asensiorekta –gadis yang sejak tadi memperhatikan suasana kelasnya yang rusuh, menaikkan sebelah alisnya. "Kamu tau 'kan, kalau minta contekan ke aku itu sama aja sia-sia?" ujarnya tajam.
Deeka mendengkus sebal mendengarnya. Baru saja akan berbalik, Manda menarik kerah belakang baju seragamnya, membuat pemuda itu kembali menoleh. Rautnya berubah riang karena mengira Manda akan berubah pikiran.
"Mau nyontekin, ya?" tanya Deeka.
Dilihatnya Alamanda berdiri lalu mencibir pelan. "Benerin mejaku!" suruh gadis itu.
Kemudian Manda berlalu dan meninggalkan Deeka yang hanya mampu melongo di tempatnya. Alamanda tak terlalu peduli dengan keadaan disekitarnya. Gadis itu berjalan keluar kelas, menunggu Aura Ophelia –si gadis lamlod yang sudah menyandang gelar sebagai sahabatnya sejak kelas 10. Juga Aqdas Lazuardy –si tampan 11F yang pagi ini masih belum menunjukkan batang hidungnya.
Manda memilih duduk di kursi kayu depan kelas. Netra gelap itu meneliti setiap sudut lantai empat yang sudah mulai ramai. Hingga kemunculan dua orang yang ditunggunya, membuat gadis itu menyembunyikan senyum tipisnya.
"Mandaaaaaa!" teriakan Aura terdengar di koridor sehingga mendapatkan perhatian dari beberapa orang di sana.
Aqdas yang berjalan di belakangnya hanya menggeleng melihat tingkah sahabatnya. Mereka berdua menuju Alamanda yang masih memusatkan perhatian pada keduanya. Sebelum Aura mengambil tempat di sebelah Manda dan mulai mengomel tentang apa pun yang gadis itu temui pagi ini.
"Tugas fisika sudah?" tanya Manda setelah beberapa menit Aura mengeluh akan Aqdas yang semakin hari fans-nya di SRHS semakin bertambah. Karena menurut yang Manda dengar tadi, Aura baru saja mendapatkan tatapan sinis dari beberapa adik kelas mereka, yang Aura dan Aqdas temui di dekat ruang pramuka.
"Ahh ... Da, lo gak seru banget, sih! Ini gue lagi cerita seru malah bahas tugas," gerutu gadis berambut sebahu itu tak suka.
"Justru Manda nanya lo itu karena dia sayang sama lo, lola! Tugas fisika bakal dikumpul di jam pertama. Lo sudah ngerjain belum?" Aqdas yang sejak tadi menyimak di samping mereka akhirnya bersuara.
Aura mendongak menatap Aqdas. Gadis itu mengerjap pelan sebelum secepat kilat berdiri. "TUGAS FISIKA YANG MANA?" pekik Aura, membuat dua sahabatnya itu menutup telinga.
Sampai satu toyoran berhasil disematkan Aqdas karena kesal pada si gadis cerewet itu. "Masuk sono! Kerjain sama yang lain. Lo pasti tidur atau gak baca novel mulu 'kan, di asrama?" omel Aqdas yang bisa mendadak cerewet jika berhadapan dengan Manda dan Aura.
"Ish! Gue gak tau. Manda juga gak bilang," sanggah Aura.
"Kok, salah aku? Aku udah nanyain semalem ke kamu padahal," protes Manda tak setuju.
Aura berdecak pelan, "Gue 'kan, semalem itu lagi nungguin update-an Jurnal Risa, Da. Makanya gak akan denger, lah! Harus fokus!" ujar Aura sebelum berjalan meninggalkan Manda dan Aqdas yang menggeleng tak percaya. Sahabat mereka itu memang sedikit tidak waras jika berhadapan dengan tugas. Aura selalu saja memiliki ribuan alasan untuk mengelak.
"Gue ambil buku lo, ya, Da!" teriaknya ketika sampai di ambang pintu tanpa menoleh.
Manda berdecih mendengarnya. Tetapi tak melarang karena ia juga tidak akan membiarkan Aura mendapat hukuman. Biar nanti di asrama saja Alamanda menegur kembali kesalahan kecil yang sering dibiasakan sahabatnya itu.
"Das," panggil Manda seraya mendongak pada Aqdas yang masih berdiri di posisi semula.
"Ya?"
"Aku kekurangan info, bisa tambahin penjelasan mengenai white dwarf star?" pinta gadis itu. Diskusi pagi seperti ini sudah menjadi makanan mereka berdua sehari-hari. Sejak bertemu di kelas 10 kemudian menjadi sahabat hingga saat ini. Baik Alamanda maupun Aqdas sering kali berdiskusi mengenai astronomi. Karena memiliki kesamaan itu pulalah yang menjadikan keduanya partner diskusi terbaik di kelas mereka.
"Sudah tahu sampai mana?" tanya Aqdas seraya menatap ke arah mentari pagi yang menyapa. Menyanggahkan kedua lengannya pada pembatas balkon kelas mereka.
"Aku baru baca di Wikipedia aja, sih. Tapi kepanjangan jadinya malah pusing. Jelasin secara singkat dan padat, please ...."
Aqdas terkekeh pelan, mengangguk dan mulai menjawab. "White dwarf star biasa kita sebut bintang katai putih, Da. Dikenali pada tahun 1910 oleh Henry Norris Russel ...,"
"Edward Charles Pickering dan Williamina Fleming. Sedangkan nama katai putih atau white dwarf digunakan oleh Willem Luyten di tahun 1922," potong Alamanda cepat, "aku tahu kalau itu," sambungnya.
"Terus maunya yang gimana lagi, Da?"
"Fakta lainnya?"
"Katai putih bisa supernova, bisa menjadi bintang katai hitam, satu sendok teh bintang katai putih juga bisa seberat 5.5 ton, dan matahari akan menjadi bintang katai putih," jawab Aqdas santai seraya berbalik dan menyandar pada pembatas balkon. "Tapi sebelum penjelasan lainnya, kamu tahu 'kan, apa itu bintang katai putih?" tanya pemuda itu sambil bersedekap.
Manda memutar bola matanya malas ketika mendengar pertanyaan Aqdas. "Aku gak akan nanya ke kamu kalau aku sendiri gak tahu apa itu white dwarf, Aqdas!" tukasnya.
"So, what's that?"
Gadis itu berdiri, balas bersedekap di depan Aqdas dengan percaya diri. "Bintang kecil yang sudah tidak lagi bersinar!" jawabnya cepat.
Aqdas mengangguk setuju, bibir pemuda itu terlipat menyembunyikan senyumnya. Lalu menatap pada Manda yang masih mencibir kesal ke arahnya, karena pertanyaan Aqdas tadi seolah tak memercayai gadis itu. Aqdas terkekeh pelan, memindahkan topi hitam yang ia pakai ke atas kepala Manda dan menepuk pucuk kepala yang tertutup hijab putih itu pelan.
"Good, little star," katanya kemudian berjalan melewati Alamanda. "But Alamanda, you will always be shine," sambung Aqdas seraya meninggalkan gadis itu terdiam sendiri di tempatnya. Bel masuk sudah berbunyi.
Kafetaria lantai empat akan selalu ramai ketika jam istirahat. Membuat semua murid menantikan waktu dimana mereka bisa berada di tempat paling menyenangkan itu secepatnya. Begitu pula dengan lima orang di sudut kafetaria. Tempat favorit mereka sejak menjadi murid kelas 11.
Dua orang dari mereka sedang terlibat pembicaraan seru, sedangkan dua lainnya memilih untuk menjadi pendengar, serta satu orang lagi merebahkan kepalanya di atas meja. Aura masih meributkan masalah mitos sekolah bersama satu pemuda di hadapannya. Yusuf –teman mereka yang berada di kelas 11B bersama Panji –pemuda yang sejak tadi tidur di sebelah Aqdas.
"Katanya tuh, ya, kemarin ada kejadian aneh di danau belakang sekolah. Lo denger gak gosip itu, Suf?" Aura masih penasaran. Karena partner-nya yang mau menanggapi mitos atau kejadian di sekolah hanya Yusuf maka dari itu Aura membahasnya sekarang. Masa bodohlah dengan ketiga temannya yang lain. Mereka juga sudah tahu betapa besar tingkat keingintahuan Aura tentang mitos sekolah mereka itu.
"Iya, bener. Gue denger juga, tuh. Katanya sampai ada yang pingsan gak, sih?" sambut Yusuf antusias.
"Pingsan? Wah ... jadi beneran ada yang nyemplung ke dalam danau?"
"Kayaknya sih, iya. Tapi infonya gak terlalu jelas. Jadi, gue juga gak tahu banget siapa yang pingsan."
Aura menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Heran deh sama sekolah kita. Banyak banget kayaknya kejadian di sini, ya. Waktu itu masalah si pianis, terus kejadian nyemplung di danau. Itu orang mau atraksi apa gimana, dah? Segala masuk ke danau. Udah tau banyak mitos di sana. Ini sekolah kita memang beneran ngoleksi makhluk gaib apa gimana, sih," ujarnya sembari mengunyah mi ayam yang telah ia beli.
Yusuf mengendikkan bahunya, tanda ia juga tidak terlalu mengerti. Memperhatikan dua temannya yang masih fokus dengan makanan mereka masing-masing, juga satu orang yang sama sekali tak terganggu dengan sekitar.
Hal yang sama juga dilakukan oleh Aura karena tak mendengar suara apa pun dari ketiga temannya. Entah mereka terlalu fokus pada makanan atau memang tak tertarik untuk ikut menyumbangkan suara.
"Eh, miss realistis!" panggil Yusuf pada Alamanda yang duduk tepat di depan Aqdas. Gadis yang ia panggil itu mendongak dan menggerakkan dagunya, bertanya tanpa suara. "Lo ... gak ada komentar gitu sama kejadian aneh di sekolah kita?" tanyanya.
Aura ikut mengangguk mendengarnya. "Iya, Da. Menurut lo, mitos atau keberadaan makhluk gaib di sekolah kita ini beneran ada atau enggak?" sambungnya.
Aqdas sendiri menghentikan suapannya ketika mendengar pertanyaan dari Yusuf dan Aura. Memilih ikut menatap Alamanda untuk menunggu jawaban gadis itu.
"Al-ladziina yu'minuuna bil-ghaib." Alamanda menatap ketiga temannya. Hanya Aqdas yang mengangguk mengerti jawaban dari gadis itu.
"Artinya?" Aura seolah tahu hal yang membuat Yusuf tak bersuara. Karena dirinya sendiri pun merasakannya. Mereka berdua tak mengerti apa yang baru saja Alamanda katakan.
"(Yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib." Aqdas yang mengartikan.
"Artinya aku percaya sama hal gaib. Karena dalam rukun iman memang seperti itulah yang agama kita ajarkan," sambung Manda.
Aura dan Yusuf bertatapan dan menyengir. Keduanya mengangguk mengerti apa yang baru saja mereka dengar. Tidak mengelak sedikit pun karena apa yang Manda katakan memang benar adanya.
"Tapi untuk mitos, aku gak peduli. Itu bukan urusanku. Mau mereka ada atau tidak, itu urusan mereka. Untuk apa kita mengurusi hal-hal yang bukan menjadi kepentingan kita?" tanya Manda sebelum kembali melanjutkan makannya.
"Iya, sih. Tapi kan ...,"
"Kalau sudah ngerti. Harusnya gak ada tapi, Ra," potong Manda membuat tawa Aqdas dan Yusuf tercipta.
"Ish! Aku 'kan, penasaran tau. Banyak banget orang yang ngomongin masalah ini. Kesannya kayak trending topic sekolah kita tuh, gak jauh-jauh dari mitos lagi, mitos lagi, mitos lagi. Gitu aja terus sampai rambutnya Mr. Fredy botak," cerocos Aura sebal.
"Awas kedengaran orang loh, Ra! Kalau ketahuan nanti kamu kena hukuman karena ngatain kepsek," ujar Yusuf.
Aura mendengkus pelan, "Biarin! Abis sebel banget. Aku tuh, dibuat penasaran akut. Kepo nih, jadinya!"
"Gak usah dicari tahu kalau memang bikin kamu sakit kepala." Pesan Manda lagi. "Kita ini dilahirkan sebagai makhluk yang sempurna. Diberikan akal agar kita bisa berpikir. Dan untuk hal-hal yang tak bisa kamu pikirkan, lepaskan. Karena kalau kamu paksakan, gila adalah akibat yang akan kamu dapatkan," sambungnya.
"Ketjam!" ucap Aura dan Yusuf bersamaan.
Aqdas sendiri tertawa kecil mendengar nada berlebihan kedua temannya. Aura dan Yusuf itu kombinasi paling tepat diantara dirinya dan Manda yang selalu serius. Sedangkan si tukang tidur di sebelahnya tak masuk kategori. Karena Panji suka menghilang sendiri.
"Kalau gak kejam, bukan Manda yang ngomong." Tambah Aqdas.
Manda mendelik kearah pemuda itu. "Lagian kalian sih, ngomongin makhluk gaib. Kayak gak ada bahasan lain aja. Bahas makhluk gaib itu sama aja kayak kalian mempertanyakan, is Allah exist in this world? Or malaikat, hari kiamat, dan yang lainnya. Itu semua 'kan, hal gaib," ujar gadis berkerudung itu santai.
"Tapi Man, ini 'kan hal gaib, ya. Nah, kalau mitos yang kayak vampirlah, drakulalah, atau putri duyung, makhluk di alam lain, gitu? Kamu percaya?" Yusuf kembali bertanya. Karena sepertinya dia juga belum puas dengan jawaban Alamanda. Apalagi Aura ikut mengangguk seolah setuju dengan pertanyaannya.
Alamanda mengendikkan bahunya pelan. "Wallahu a'lam. Bukan kapasitasku untuk membicarakan hal-hal yang kayak gitu. Yang aku percayai sebagai hamba yang beriman adalah hal atau makhluk gaibnya. Untuk hal-hal di luar logika lainnya, aku gak terlalu memikirkan. Karena percuma, bikin sakit kepala. Makanya aku gak suka metafisika," jawabnya seraya melirik pada Aura yang mencebik pada Manda.
"Ish! Aku 'kan, suka filsafatnya aja, Da," protes Aura.
"Aku gak bilang itu kamu, kok," bantah Manda tetapi tetap saja senyum di bibir gadis manis itu adalah jawaban jujurnya. Membuat Aura mengerucutkan bibirnya sebal karena digoda Manda.
Aqdas sendiri menepuk pundak Yusuf yang terlihat diam ketika mendengar ucapan Manda. "Gimana? Masih ada yang bikin penasaran?" tanyanya lagi.
Yusuf menggeleng, "Ngerti, kok," katanya.
Mendengar itu Alamanda mengangguk dan tersenyum kecil. "Pesanku, sebagai teman kalian, banyak-banyak baca Al-Qur'an dan terjemahannya. Karena semua pertanyaan-pertanyaan kalian itu, ada di sana jawabannya. Bahkan tentang makhluk gaib sekali pun. Selebihnya, kembalikan pada Yang Maha Menciptakan. Entah semua mitos dan kejadian di sekolah itu benar atau tidak, ada yang lebih berhak menilainya daripada kita. So, the choice is yours. Mau percaya atau tidak, itu pilihan kalian," ucap gadis itu mengakhiri.
"Jadi ... mereka itu sebenarnya ada atau enggak, ya?" Aura kembali bersuara.
Kali ini Manda menghela napas panjang. Tanda ia menyerah pada sahabatnya. Sedangkan Aqdas dan Yusuf terkekeh geli melihatnya.
"Gini deh, kita sama-sama sepakati dulu. Gaib menurut kalian itu apa?" tanya Aqdas menengahi.
"Gak bisa diliat?"
"Didengar?"
Aura dan Yusuf yang menjawab. Sedangkan Alamanda memilih bungkam karena sudah menyerah membahas hal ini.
"Sesuatu yang tak bisa ditangkap pancaindera." Suara itu membuat mereka menoleh dan menemukan Panji menyanggah kepalanya dengan tangan kanan. Sebelah alis pemuda itu naik ketika ditatap bingung oleh teman-temannya. "Aku ikut ditanya, 'kan?" tanyanya. Mendengar itu, semuanya mengangguk kecuali Manda.
"Jadi, sepakat, ya. Makhluk gaib itu seperti yang kalian sebutkan tadi. Juga penjelasan menurut Syekh al-Thahir bin 'Asyur mendefinisikan gaib itu ma la yudriku al-hiss, yaitu sesuatu yang tidak dapat diakses/ditangkap pancaindera," ucap Aqdas, "atau menurut Imam Fakhruddin al-Razi yang juga berpendapat bahwa gaib adalah ma ghaba 'an al-hissiy; sesuatu yang tersembunyi dari indera," sambungnya seraya menatap teman-temannya satu per satu.
Semuanya mengangguk mengerti. Membuat Aqdas kembali melanjutkan penjelasannya. "Sedangkan arti mitos yang kamu katakan itu adalah cerita-cerita bohong mengenai suatu kejadian, tempat, atau apa pun, Ra. Dan semua desas-desus yang terjadi di sekolah kita ini, kita tidak tahu kebenarannya. Termasuk mitos atau bukan? Apakah mereka ada atau tidak? We still don't know about it. Karena kita manusia biasa, tidak memiliki kelebihan apa pun untuk memberikan justifikasi akan hal itu," jelas Aqdas lugas, "So Aura, Yusuf, sebagai peringatan untuk diriku sendiri juga. Al-haqqu mirrobbika fala takuunanna minalmumtariin. Kebenaran itu adalah milik Rabb-mu, sebab itu janganlah sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu. Pilihannya tetap dikembalikan pada kalian. Seperti yang Alamanda katakan tadi, the choice is yours. Mau percaya atau tidak, mau lanjut penasaran atau berhenti, itu terserah kalian. Tetapi menurutku, pikirkan saja hal-hal yang memiliki manfaat untuk kalian. Tidak perlu turut campur untuk hal-hal yang ada di luar batas pemikiran." Akhirnya dengan tegas yang disambut anggukan mengerti dari dua temannya.
Sedangkan Manda tersenyum kecil ketika melihat Aura dan Yusuf mengangguk antusias. Aqdas pun ikut terkekeh karenanya. Lalu mereka menoleh pada Panji yang sejak tadi memilih diam untuk mendengarkan. Sampai sebuah senyum tipis itu hadir dari pemuda yang sangat jarang terlihat beramah-tamah dengan orang-orang. Tak ada judging, tak ada kata-kata menyakitkan. Adalah sebuah pemahaman yang Panji dapatkan dari teman-temannya ini.
"Glad to hear that." Panji berujar sebelum berdiri dan meninggalkan mereka berempat. Mereka semua biasa saja. Sudah terlalu paham dengan sifat Panji yang selalu pergi tiba-tiba. Namun, satu kalimat dari Panji tadi sudah membuat keempatnya mengerti. Panji tak pernah terganggu berteman dengan mereka.
"Suf! Lo dicari cewek lo, tuh!" Sampai suara lain terdengar. Membuat Yusuf menoleh dan mengangguk mengiyakan.
"Thanks! Untuk diskusi sehat kali ini. Kalian buat gue melihat sesuatu dari sudut pandang yang lain, tanpa harus memberikan judge buruk pada hal yang lain pula," ucap Yusuf, "gue duluan, ya!" pamitnya kemudian.
Aqdas, Alamanda, Aura hanya mengangguk sebagai jawaban. Ketiganya masih duduk di posisi masing-masing, saling menatap, lalu tertawa. Entah untuk alasan apa, ketiganya seolah mengerti. Terkadang, cobalah untuk memandang sesuatu dari sudut pandang lain yang telah diikrarkan. Untuk segenap kejadian yang ada di bentala, keputusan mutlak dan benar tetaplah apa yang telah DIA tetapkan. Tidak perlu dipertanyakan. Tidak perlu diragukan. Karena ilmuNya tak akan pernah mampu kita kalahkan.
[end]
🍁🍁🍁
Happy Reading 🙈
Hopefully, you will like that.
But, don't forget to read Al-Qur'an first.
Jazakumullah khayran katsiran.
Salam,
SR Agent.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top