PART TUJUH
*****
Pengakuan yang dilontarkan Roro Sawitri bak bunga kecubung yang meracun ke dalam aliran darah sang pemuda. Pria itu tak bergerak dari posisi semula, berdiri terpaku sembari menatap sang pujaan tengah menangis sedih.
Antara ingin menghibur dan takut, Galuh Samudra hanya bisa mengutuk dalam hati karena ketidakmampuannya menenangkan sang kekasih. Pria berkumis tipis hanya bisa menggenggam erat-erat kedua jarinya. Merasa tak mampu, Galuh turut merasa hancur akan ketidakberdayaannya sebagai rakyat kecil.
"Nimas, maafkan ketidakberdayaan saya. Saya tidak mampu memperjuangkan kamu dalam hidup saya. Pria ini tidak pantas disebut lelaki," ujar Galuh Sucitra dengan sisa ketegaran dalam dada. Pria itu perlahan menyeka air mata yang menetes dari pelupuk mata.
Roro Sawitri menghentikan tangis, menyeka air mata yang turun dari pipi dengan selendang yang ia pakai. Hati Roro Sawitri tak sepenuhnya menyalahkan kondisi Galuh yang miskin dan tak memiliki kuasa. Perlahan ia meraih tangan Galuh, menentramkan pria itu agar tak menangis dan kehilangan jiwa lelaki dalam dirinya.
"Kangmas, tiga hari lagi Kangmas Bagus datang menjemput saya. Ijinkan saya tinggal di sini bersamamu, lindungi saya. Saya tidak pergi dari Bumiwisesa," rengek Roro Sawitri dengan wajah memohon. Berharap sang pria pujaan mau mengabulkan keinginannya.
Galuh Sucitra menatap sayu ke arah Roro Sawitri, bisa ia lihat kobaran api cinta mereka yang tak kunjung padam. Sejauh apapun mereka berlari, Ki Janu Baran tidak mungkin akan melepaskan mereka.
"Nimas, akan menjadi sebuah kejahatan jika saya menampungmu ataupun melindungi di sini. Bukan karena aku tak mencintaimu atau ingin membuangmu, saat ini di mata ayahmu, aku bukanlah siapa-siapa lagi. Di mata ayahmu, Bagus Samudra-lah calon suamimu yang sebenarnya. Nimas, maafkan saya, orang desa ini tidak bisa menyandingmu seperti dulu." Galuh Sucitra berkata dengan menahan getir dalam dada.
Perlahan pria itu berjongkok, menjura-kan kedua tangan di dada dengan wajah khidmat. "Sekarang pria ini adalah rakyat kecil, hamba tidak pantas menyanding Anda, Ndoro Putri."
"Kangmas, apa yang kaulakukan? Hentikan! Saya tidak menginginkan semua ini. Berhentilah berpura-pura menjadi seseorang yang bukan dirimu. Kangmas Galuh, jangan berubah. Percayalah saya begitu mencintaimu," tangis Roro Sawitri kembali meledak. Gadis itu turut berjongkok, menangkis tangan Galuh merasa tak suka dengan sikap sang kekasih.
"Nimas, pulanglah! Malam akan menjelang, tidurlah dengan nyenyak dan lupakan saya sepenuhnya. Saya akan mendoakan kebahagiaanmu siang dan malam," tutur Galuh Sucitra menunduk. Pria itu memalingkan wajah dari hadapan Roro Sawitri, menahan sesak dalam dada.
Roro Sawitri terus menangis, ia tak menyangka jika Galuh akan mengatakan hal demikian. Keinginannya untuk meminta perlindungan dari pria ini harus sirna terhembus sang bayu.
"Pulanglah Roro Sawitri, lupakan saya dan jangan pernah lagi menginjakkan kaki ke gubuk saya. Saya bukan lagi calon suamimu," tandas Galuh Sucitra dengan hati gemetar hebat.
Pria berparas tampan segera bangkit dari jongkok, berbalik badan memunggungi Roro Sawitri.
Ia terpaksa melakukannya agar Roro Sawitri mundur dan pergi meninggalkannya. Dengan rasa remuk, Galuh Sucitra berharap kekasarannya kali ini bisa memberi batas pada Roro Sawitri agar ia tak lagi meninggalkan kademangan hanya untuk menjumpainya.
"Kangmas, apa kau sudah tak mencintaiku lagi? Kenapa kau memunggungiku? Kenapa kau tak ingin menolongku? Apakah harta ramaku telah membungkam semuanya? Kangmas bisakah kau bantu saya dengan menjawabnya?" tanya Roro Sawitri dengan suara serak.
Galuh membungkam mulut, tak berniat berbicara sedikit pun. Para pandai besi perlahan menyingkir, memberi waktu pada mereka berdua untuk saling berbincang. Suasana tempat pemandaian besi yang semula ramai kini perlahan sepi dan tak ada suara tempaan lagi.
"Kangmas, jawab saya!" mohon Roro Sawitri dengan mata memerah. Galuh terus membungkam mulut, ia justru kembali menghampiri besi yang sedari tadi terbakar sempurna di perapian hingga berubah menjadi merah menyala.
Roro Sawitri menghela napas, ia tidak bisa diabaikan pria itu terlalu lama. Dengan cepat ia menghampiri Galuh Sucitra yang hendak mengambil besi dengan capitan besi. Perasaan gadis itu kacau balau, remuk menjadi bubuk.
"Saya akan buktikan bahwa saya tidak pernah main-main dalam mencintai Anda, Kangmas," seru Roro Sawitri dengan pandangan gelap. Dengan sadar gadis itu berjongkok, memasukkan tangannya guna mengambil besi panas berwarna merah. Secepat kilat Galuh menampik tangan Roro Sawitri yang memegang besi panas. Matanya melotot marah ketika melihat tangan Roro Sawitri terbakar karena menyentuh besi panas.
"Apa yang Nimas lakukan? Jangan lakukan hal bodoh!" teriak Galuh panik ketika melihat tangan Roro Sawitri memerah dan bergetar keras menahan sakit.
Galuh Sucitra berlari menuju ke gentong kecil berisi air, pemuda itu membawanya ke hadapan Roro Sawitri dengan panik. Meletakkan gentong kecil di hadapannya, Galuh segera meraih tangan Roro Sawitri dan merendam tangan itu di dalam air.
Mereka terdiam cukup lama, tangis Roro Sawitri terhenti. Ia menatap wajah manis sang pemuda dengan hati tersayat pilu. Sang gadis terus memperhatikan bagaimana Galuh memperlakukan tangannya yang terbakar, sungguh begitu perhatian dan sangat lembut.
"Saya tahu, kau adalah calon suami yang saya butuhkan. Kangmas, saya tahu, jauh di dalam lubuk hatimu, kau masih mencintaiku. Jangan berpura-pura lagi," bisik Roro Sawitri membuat Galuh Sucitra mengalihkan perhatiannya dari tangan Roro Sawitri yang ia genggam dan rendam dalam air dingin.
"Kangmas, saya tidak akan menuntutmu untuk melindungi saya lagi. Melihatmu seperti ini, saya tahu bagaimana cara saya akan berjuang kelak. Dengarkan ucapan terakhir saya, saya tidak akan melupakanmu sampai kapanpun. Bagi saya, kau adalah pria terbaik yang saya kenal." Roro Sawitri berkata lirih, menatap dalam ke arah mata Galuh Sucitra.
Perlahan Roro Sawitri mendekatkan wajahnya, gadis berlesung pipi itu memberanikan diri untuk melayangkan sebuah ciuman di pipi Galuh Sucitra. Ciuman lembut yang pertama sekaligus yang terakhir untuk Galuh Sucitra.
"Sawitri!" hardikan itu mengagetkan keduanya.
Roro sawitri dan Galuh Sucitra menatap sosok pria yang tidak asing lagi bagi mereka. Pria itu menatap penuh amarah dengan tangan berkacak pinggang di hadapan keduanya. Si kumis lebat tak menyangka jika putrinya yang penurut berani melarikan diri dari rumah hanya untuk menemui pria busuk ini.
"Apa yang kaulakukan di sini?! Ayo pulang!" teriak Ki Janu Baran murka. Pria itu menarik tangan Roro Sawitri yang terbakar dengan rasa tak peduli. Ia menyeret Roro Sawitri menjauh dari samping sang empu muda.
"Rama ...," tangis Roro Sawitri ketika ia dipaksa menjauh dari Galuh Sucitra.
"Sawitri, tak peduli sebesar apa cintamu pada Galuh, kenyataan bahwa Nak Mas Bagus adalah pria calon suamimu tidak bisa kauelakkan lagi! Sekarang pulang! Nak Mas Bagus akan bertamu malam ini," tegas Ki Janu Baran dengan alis bertaut marah.
"Rama, saya hanya mencintai Kangmas Galuh dan bukan Kangmas Bagus. Mengertilah saya, Rama!" tangis Roro Sawitri tak berdaya.
"Mau membangkang kamu?!" Ki Janu Baran mengangkat tangan hendak memukul Roro Sawitri, namun tangan tegap itu segera ditahan oleh Galuh Sucitra.
"Apa kau?! Kau membawa pengaruh buruk pada putriku. Cukup perjodohan kalian! Berhentilah mengganggu putriku. Mulai sekarang, kuputuskan tali pertemanan keluarga kita! Jangan sekali-kali muncul di hadapan putriku atau tempat pemandaian besi ini akan kuhancurkan!" Ki Janu Baran mengancam dengan mata melotot nyaris keluar.
Ki Janu Baran mengempaskan tangan Galuh Sucitra. Ia kembali menyeret tubuh Roro Sawitri untuk pulang ke kademangan menggunakan kereta kuda yang dibawa oleh Ki Janu Baran.
Galuh terdiam, dadanya gemuruh hebat ketika semua orang di rumahnya mengetahui hinaan itu terlontar ke arahnya. Perlahan Nyi Kapi menghampiri Galuh ketika pria itu terlihat begitu terpukul oleh hinaan sang demang.
"Maju tatu-mundur ajur, Anakku. Ikhlaskan semuanya sama Hyang Widhi, jika kalian adalah jodoh maka masa itu akan tetap tiba untuk kalian."
******
Roro Sawitri terpaksa pulang dengan menggunakan kereta kuda yang dibawa oleh sang ayahanda. Masih terngiang di telinganya bagaimana beliau menggertak kekasihnya dengan suara begitu lantang. Roro Sawitri merasa takut sekaligus hancur. Gadis berambut panjang itu sama sekali tak menyangka jika rama-nya bakal berubah secepat itu pada Galuh Sucitra. Memang benar, harta berbicara dalam hidup sang ayahanda.
Sepanjang perjalanan, Roro Sawitri hanya bisa menitikkan air mata. Sesekali ia menatap telapak tangannya yang memerah karena telah nekat menggenggam bara api. Sepertinya perjuangan yang ia lakukan sama sekali tak bernilai di hadapan sang rama. Semua itu terbukti bagaimana beliau memperlakukan dirinya dan juga Galuh. Duh, Gusti, dimana hilangnya keadilan itu?
Kereta kuda yang ditarik oleh dua ekor kuda kesayangan Ki Janu Baran bergerak cepat meninggalkan suasana pedesaan yang makin sepi menjelang malam. Menembus hutan pohon jati, kedua ekor kuda tersebut berlari dengan begitu kencang. Tak ingin Bagus Samudra datang terlebih dahulu, Ki Janu Baran memerintahkan agar sang kusir mengemudi dengan begitu cepat.
Malam yang dingin menyisakan kesedihan begitu dalam pada diri Roro Sawitri. Cintanya yang besar sama sekali tak menemui jalan. Semua buntu dan ia harus menerima kenyataan pahit yang sebentar lagi akan menerjang hidupnya. Ya, ia harus mengakhiri cintanya dan memulai hidup baru dengan pria yang sama sekali tidak ia kenal dan cintai.
Pahit, sungguh pahit.
Roro Sawitri menatap ke luar jendela dengan deraian air mata. Ia menatap rembulan malam dengan perasaan tak berdaya. Sungguh, jika dikabulkan maka ia lebih memilih mati masuk ke dalam jurang daripada harus menikah dengan orang asing.
Gadis berlesung pipi menelan ludah dengan dada terasa begitu nyeri, terbayang bagaimana senyum Bagus Samudra kala itu saat berada di hadapannya. Bergidik, bulu kuduk Roro Sawitri meremang. Senyuman Bagus Samudra terlihat begitu mengerikan dan hal itulah yang membuat gadis 18 tahun itu merasa takut luar biasa.
Menghela napas, Roro Sawitri menyandarkan kepalanya di dalam kereta. Perasaannya pilu bukan kepalang. Jika Galuh Sucitra bukanlah jodohnya maka ..., Gusti, cabutlah nyawanya segera.
*******
Jangan lupa vote dan komentar mengenai kisah ini ya. Aku tunggu, Dear.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top