PART TIGA BELAS
Jangan lupa putar media ya.
****
Malam yang sunyi, Galuh Sucitra memilih duduk di halaman rumah beralaskan tanah kering berwarna merah gelap. Menatap langit hitam yang ditaburi bintang-bintang, Galuh mulai merasa hidupnya meredup dan sepi. Pria berkumis tipis menyadari akan sesuatu yang perlahan hilang dalam hidupnya. Ya, senyum Roro Sawitri yang selama ini menjadi cahaya hidupnya kini hilang dari pandangan mata.
Merasa begitu sepi, Galuh Sucitra mengisi malam itu dengan cerutu tembakau yang ia buat sendiri. Menghisap pelan, Galuh Sucitra batuk terpingkal-pingkal. Dadanya sakit akibat asap tembakau yang tebal menyapa isi dadanya yang masih suci akan asap rokok cerutu. Pria itu menyeka air mata yang merembes di sudut mata, bukan sedih melainkan asap yang begitu menyiksa dadanya.
Rasa sakit yang ia rasa tidak sesakit ketika ia membayangkan Sawitri-nya tengah bergumul dengan pria lain di atas ranjang berisi kapas pohon randhu, empuk lagi lebar. Galuh menggeleng, ia sakit namun memilih diam dalam kesendirian.
Menghela napas, Galuh Sucitra melanjutkan aktivitasnya menghisap cerutu untuk yang pertama kali. Kata sesepuh, Wong lanang urung ketok lanange yen urung tau ngrasakne udut. Ya, Galuh ingin membuktikan hal itu.
Dari dalam rumah joglo sederhana, Nyi Kapi memperhatikan putranya dengan wajah sedih. Hati ibu mana yang tidak hancur ketika menyaksikan buah hatinya bertindak demikian. Rasa sepi yang menggerogoti hati putranya, membuat Nyi Kapi memilih memanjatkan doa di tengah malam yang begitu sunyi. Gusti, mohon cabut semua duka ini.
"Nyi, apa yang kau sedihkan? Putramu sudah dewasa, dia bukan lagi bocah lima tahun yang masih harus kamu pegangi karena takut terjatuh," ucap Mpu Kapi menghampiri istrinya yang berdiri bersandar pada tiang rumah dengan mimik teramat sedih.
Nyi Kapi menoleh, raut wajahnya yang keriput semakin terlihat kusut tatkala ia merasa sedih karena memikirkan putra semata wayangnya.
"Kau lihat sendiri Ki, seperti apa putramu sekarang. Ia lebih sering melamun daripada memandai besi, tiap malam duduk di halaman rumah sambil menghisap cerutu. Ki, seumur-umur aku hidup, Galuh tidak pernah sedikitpun menyentuh cerutu." Wajah Nyi Kapi ditekuk, ia menatap suaminya yang hanya berwajah datar dan mulai merasa kesal.
Suara dengkusan dari hidung Mpu Kapi terdengar berat menandakan bahwa pria itu diam-diam juga memikirkan Galuh, putra yang ia gadang-gadang di usianya yang sudah senja.
"Aku tahu apa yang dirasakan Galuh saat ini. Sebagai seorang laki-laki, kami punya prinsip dan pemikiran sendiri. Saranku Nyi, jangan ganggu apapun yang dilakukan putramu. Saat ini Galuh tengah mengalami tekanan batin, biarkan saja ia menghisap cerutu, mungkin itu wujud pelampiasan dirinya akan nasib yang tengah mengujinya. Nyi, malam semakin larut, mari kita masuk. Biarkan Galuh sendiri, ia butuh waktu lebih banyak daripada kita."
******
Di tempat yang berbeda, Roro Laksmi membulatkan tekad untuk pergi keluar dari kadipaten untuk menemui kakak angkatnya, Lokapati. Sudah lama sejak ia menikah, Roro Laksmi tidak berkunjung ke Watugeni. Lokapati adalah kakak angkatnya, meskipun terlahir di Pasirsemi, pria bertubuh kekar dan memiliki wajah tak kalah rupawan dengan Kangmas Bagus itu memilih tinggal di pinggiran desa Watugeni, sebuah desa yang terletak di bagian selatan Balegiri.
Watugeni sendiri adalah sebuah kelurahan yang berbatasan langsung dengan hutan larangan yang bernama hutan Lesung. Kenapa dinamakan hutan Lesung? Konon setiap malam bulan purnama, dari dalam hutan terdengar suara lesung yang dipukul beramai-ramai layaknya orang desa tengah menumbuk padi. Meskipun terdengar jelas, tak ada satupun warga desa yang berani masuk dan memastikan kehidupan di dalam hutan. Jika mereka berani maka mereka takkan pernah kembali lagi ke desa.
Malam itu, Roro Laksmi dengan ditemani Roro Lastri pergi ke Watugeni menaiki kereta kuda yang dikusiri oleh seorang pelayan pria yang sudah ia bayar sebelumnya. Menembus malam yang gelap, Roro Laksmi sama sekali tak merasa takut apalagi gentar.
Suara burung luwuk dan dares yang bersahutan menambah aura mencekam ketika kereta kuda itu memasuki area wilayah Watugeni yang memang terkesan sedikit angker dan wingit. Roro Laksmi terlihat tenang, seakan sudah terbiasa dengan kondisi tersebut, wanita itu memilih duduk tenang di dalam kereta. Sesekali pikiran wanita itu melayang jauh ke kadipaten Balegiri. Sedang apakah Kangmas-nya saat ini? Huh, sudah dipastikan bahwa pria pujaan hatinya tengah memadu cinta dengan madunya. Membayangkannya saja Roro Laksmi kesal bukan main. Hem, untuk apa ia tinggal di sana malam ini jika hanya disuruh untuk mendengarkan desahan serta jeritan tak beraturan dari kamar sebelah. Sungguh, menyebalkan sekali.
Setelah berkereta cukup jauh, terlihat sebuah gubuk sederhana di ujung desa Watugeni. Itulah gubuk milik Lokapati, gubuk terbuat dari bambu dengan atap jemari kering.
Menghela napas, Roro Laksmi bersiap keluar dari kereta ketika kuda yang menariknya telah berhenti tepat di halaman rumah tersebut. Turun dengan hati-hati, pandangan Roro Laksmi mengedar ke segala arah. Wanita itu merasa kesal dengan kakak angkatnya, meskipun sudah hidup enak di Pasirsemi tapi nyatanya pria itu memilih hidup sederhana di pinggir hutan hanya demi menuruti ambisi liarnya.
Melangkah masuk ke dalam gubuk, Roro Laksmi melihat beberapa obor kecil telah dinyalakan di halaman rumah. Mata wanita itu terus awas, suara daun yang bergemerisik menambah suasana mistik malam itu.
Suara derit pintu memecah kesunyian malam, pandangan Roro Laksmi tertuju pada pria yang duduk di serban warna cokelat terbuat dari bilahan bambu yang ditata dengan rapi. Pria itu tidak terkejut dengan kehadiran Roro Laksmi, ia bahkan sibuk mengasah parang yang ia punya dengan batu ungkal di tangannya.
"Kangmas ...." sapa Roro Laksmi pelan, tak ingin mengejutkan siapapun di ruangan yang begitu temaram dan hanya dibantu dengan penerangan sang lampu templok.
"Laksmi, ada keperluan apa hingga kau datang kemari semalam ini?" tanya pria itu dengan dingin. Perhatiannya belum juga teralih dari parang dan batu ungkal di hadapannya.
Roro Laksmi belum juga menjawab, tapi wanita itu memilih mengeluarkan sekantong koin emas penuh dan melemparkannya ke hadapan sang kakak. Suara gaduh dari koin-koin emas yang beradu membuat Lokapati menghentikan aktivitasnya mengasah parang. Pria tampan itu menatap adiknya dengan tatapan heran.
"Aku punya tugas untukmu, Kangmas." Roro Laksmi terdengar begitu serius, membuat Lokapati harus meletakkan parang di meja dan menyimak setiap ucapan dari sang adik.
"Tugas? Tugas apa?" tanya Lokapati penasaran. Sudah lama Roro Laksmi tak berkunjung dan malam ini ia datang lalu tiba-tiba meminta bantuannya. Ada apa sebenarnya?
"Menyingkirkan seorang wanita dari kehidupan Kangmas Bagus, Kangmas," jelas Roro Laksmi lalu bersedekap di depan dada.
Lokapati terbungkam cukup lama, ia menatap adiknya tak mengerti. Perlahan pria itu menggeleng, ia merasa wanita bukanlah tandingannya.
"Kamu sedang melucu, Nimas? Aku memang seorang begal tapi aku tidak pernah menyerang seorang wanita," tolak Lokapati lalu kembali meraih parangnya di meja.
"Tapi uang itu bisa mencukupi wargamu yang miskin selama sebulan penuh. Apa kau akan menolak uang itu, Kangmas Loka? Sebanyak apapun penghasilanmu menjadi begal, uang itu jauh lebih dari cukup," tandas Roro Laksmi bersikeras seraya memukul meja. Wanita itu memang memiliki tabiat buruk, apapun yang ia inginkan maka ia harus segera mendapatkan.
Lokapati menggeleng,"Tapi tidak dengan melawan wanita. Apa kau sudah gila, Nimas? Aku ini seorang begal, wanita itu bukan tandinganku."
Roro Laksmi terdiam sejenak, ia menghela napas. Memandang sekeliling ruangan yang terlihat kosong , ia hanya menjumpai sebuah kendi berisi air dan beberapa ubi singkong yang sudah direbus sedari pagi.
"Pekerjaanmu sangat kotor, kau membegal setiap saudagar kaya yang lewat di hutan larangan demi mencukupi tiga puluh warga renta dan miskin di desamu. Kau ingin menjadi pahlawan tapi caramu begitu salah," komentar Roro Laksmi seraya tersenyum sarkas.
"Apa maksud ucapanmu?" tegas Lokapati mulai merasa tidak nyaman dengan sindiran sang adik yang begitu menyebalkan.
Roro Laksmi tersenyum, merasa menang karena sang kakak mulai termakan oleh ucapannya yang terasa begitu menyakitkan.
"Jika kamu tidak ingin rama tahu apa pekerjaanmu dan Kangmas Bagus menyelidikimu, maka penuhi dulu permintaanku. Aku berjanji Kangmas, aku tidak akan membocorkan rahasiamu." Roro Laksmi berkata dengan mimik wajah serius. Kali ini Lokapati tak punya pilihan selain menuruti keinginan Roro Laksmi.
Selama ini ia menjauh dari Pasirsemi dan memilih tinggal di Watugeni karena profesinya yang begitu buruk. Menjadi begal bukanlah keinginan lahir dari seorang Lokapati. Pria itu menjadi begal dikarenakan tak betah dengan sistem pemerintahan kadipaten Balegiri. Kendati adiknya sudah menjadi istri sang akuwu, Lokapati memilih memperjuangkan kesejahteraan rakyatnya walau dengan cara yang salah.
"Katakan padaku, apa yang harus aku lakukan pada wanita itu?" ucap Lokapati menyerah dengan suara pelan lagi menyesal.
Roro Laksmi kembali tersenyum, ia benar-benar menang malam ini. Kedatangannya ke Watugeni ternyata membuahkan hasil, tak sia-sia ia datang menaiki kuda di tengah malam yang sepi bertemankan burung malam yang menakutkan.
"Singkirkan Roro Sawitri dari sisi Kangmas Bagus. Aku tidak menyukai wanita itu karena ia adalah maduku. Bagaimanapun Kangmas Bagus hanya untukku dan bukan untuk yang lain," ambisi Roro Laksmi mencuramkan alis dengan tajam.
"Hanya itu?"
"Kangmas Loka sangat pandai dalam membunuh. Aku akan senang sekali jika kau berhasil membunuh dan melenyapkannya dari muka bumi. Bagaimanapun, wanita yang sudah merenggut kebahagiaanku dia pantas membayarnya dengan kematian. Menurutmu, apa aku salah? Dan sebagai gantinya, jika kau berhasil melaksanakan misi ini maka aku akan memasok uang lebih banyak lagi ke desa ini tanpa harus Kangmas bersusah payah membegal para pedagang yang lewat. Kangmas, lakukan hal ini dengan baik atau aku akan membongkar kedokmu di depan rama dan Kangmas Bagus. Ingat Kangmas, hidup dan matimu ada di kedua tanganku."
******
Jangan lupa vote sayank.
Terima kasih.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top