PART SEPULUH
****
Butuh beberapa jam untuk Roro Sawitri berdandan ala pengantin jawa. Wajah ayunya dipoles sedemikian rupa, sebuah paes ageng dibuat di dahi, cundhuk penthul terlihat memantul-mantul indah di sela sanggul rambut yang dikenakan oleh Roro Sawitri. Kemben warna hijau tua terlihat semakin anggun ketika dipadupadankan dengan dodot warna keemasan. Tak lupa juga jarik bermotif sidomukti telah berbalut indah di pinggang sang ratu sehari.
Wajah yang memancarkan kecantikan tiada tara itu terlihat menegang, wajah muramnya tak kunjung sirna. Sesekali gadis itu meremas lututnya dengan gelisah. Roro Sawitri resah bukan karena pernikahannya dengan Bagus, namun ia gelisah dikarenakan janji yang sudah ia buat bersama Galuh Sucitra kemarin sore. Ia hanya ingin melihat Galuh, selebihnya tidak ada lagi harapan yang tersemat di dadanya.
Kamini, sang juru rias dari Kadipaten Balegiri terlihat begitu hati-hati ketika memoles wajah calon junjungannya. Beberapa bedak terlihat ia padu padankan dengan wajah sang ndoro putri. Sedangkan Roro Lastri, adik wanita itu sedang memakaikan beberapa gelang lengan yang terbuat dari emas ke masing-masing lengan Roro Sawitri. Sesekali gadis belia itu menata sanggul dan reroncean bunga melati segar yang tersemat indah disela sanggul sang ndoro putri.
Semuanya terlihat begitu indah, sayangnya Roro Sawitri tak menikmati acara tersebut karena ia tahu kecantikan yang seharusnya ia suguhkan untuk Galuh Sucitra kini hampa seketika tatkala peningsetan itu dibatalkan secara sepihak oleh ramanya.
"Gusti ndoro, Anda terlihat cantik sekali. Junjungan kami pasti terkesima akan kecantikan Anda," puji Kamini ketika usai mendandani Roro Sawitri.
Wanita itu tersenyum tipis, ia lantas mengambil kaca benggala dari sisi meja. Dengan senang hati Kamini menunjukkan kaca besar itu ke hadapan Roro Sawitri, berharap sang pengantin wanita berbinar bahagia dan sedikit memuji keahliannya.
Roro Sawitri menatap pantulan wajahnya di kaca, tak ada senyum yang tersembul di wajahnya. Hal ini membuat Kamini sedikit merasa kecewa.
"Gusti Ndoro, apakah Anda merasa tidak puas dengan cara kerja hamba? Jika Ya, tolong katakan pada hamba kesalahan yang mana atau riasan mana yang membuat Anda tidak senang? Jika Kanjeng Akuwu tahu Anda tidak puas maka nyawa hamba dan pekerjaan hamba menjadi taruhannya," sembah Kamini dengan wajah memelas.
Roro Sawitri menghela napas, ia meletakkan kaca benggala di meja dengan hati-hati. Gadis itu menatap Kamini dan Roro Lastri bersimpuh di hadapannya, wajah mereka terlihat begitu takut kalau-kalau Roro Sawitri mengadu pada Bagus mengenai kinerja mereka berdua.
Merasa iba, Roro Sawitri lantas menyentuh pundak Kamini dengan lembut. Ia tersenyum tipis, berharap kedua abdi yang tulus hati itu tidak salah paham dengan situasi saat ini.
"Tidak Kamini, saya merasa puas dengan pekerjaanmu. Kau merias dengan sangat baik, kau melayani saya hingga secantik Dewi Kuthi. Terima kasih untuk kinerja kalian," ucap Roro Sawitri berusaha menghibur wanita yang berjongkok di hadapannya.
"Benarkah Gusti Ndoro? Terima kasih untuk pujiannya, hamba merasa terharu." Kamini kembali menyembah, ia menjura kedua tangannya beberapa kali di hadapan Roro Sawitri.
"Tentu saja, saya akan merekomendasikan kalian pada Kangmas Bagus nanti." Roro Sawitri berjanji membuat kedua bersaudara itu berbinar bahagia lalu bersujud di hadapan Roro Sawitri.
"Terima kasih sekali Ndoro putri," sembah mereka berkali-kali hingga membuat Roro Sawitri merasa tidak enak hati ketika kedua wanita itu begitu mengagung-agungkan dirinya.
Tak lama kemudian Ki Janu Baran masuk ke pendopo barat dimana Roro Sawitri didandani, berpakaian adat, dan melakukan ritual pengantin wanita. Pria paruh baya berkumis lebat mengamati kecantikan putrinya lalu mengangguk-anggukkan kepala tanda puas.
"Kau sangat cantik Ngger cah ayu, rama puas dengan dandananmu saat ini. Nak mas Bagus pasti tidak akan berkedip ketika melihatmu," ujar Ki Janu Baran seraya memelintir kumisnya yang lebat lalu terbahak tertawa.
Roro Sawitri tak menyahut ucapan sang rama, hatinya begitu sedih ketika mendengar tawa bahagia dari sang rama. Seperti inikah suasana hati ayahandanya tatkala putri semata wayangnya akan pergi jauh ke tanah orang? Kenapa Roro Sawitri merasa seolah dirinya tengah dijual oleh ayahnya sendiri.
"Jika telah selesai maka segeralah pergi dan masuk ke dalam kereta. Kita harus berangkat sepagi mungkin untuk menghindari cuaca panas nanti siang. Ngger cah ayu, rama menantimu di depan pendopo." Ki Janu Baran menatap lekat pada putri semata wayangnya lalu berbalik badan meninggalkan Roro Sawitri bersama dua abdi yang melayani.
Tak ada suara dari bibir merah Roro Sawitri. Kekacauan yang tercipta dalam hati gadis itu mengalahkan segala keinginannya untuk berontak sekali lagi. Untuk apa? Untuk apa ia harus berontak sedangkan untuk bicara saja ia tidak diperkenankan.
"Ndoro putri, apakah Anda sudah siap?" Kamini menyadarkan lamunan Roro Sawitri. Gadis itu sedikit tersentak tatkala tangan Kamini menyentuh tangannya dengan perlahan. Mengembuskan napas panjang, Roro Sawitri menganggukkan kepala. Pasrah, gadis itu sekarang hanya bisa pasrah seperti kuthuk marani sundhuk. Entah sampai kapan Gusti Murbeng Dumadi akan mengombang-ambingkan nasibnya seperti ini.
****
Perjalanan yang panjang membuat Roro Sawitri merasa jenuh, suara kuda yang meringkik kelelahan membuat gadis itu merasa sedih tak berkesudahan. Perjalanan panjang membuat hatinya bergemuruh hebat, tidakkah orang-orang disana merasakan kesedihan yang ia rasakan?
Gerbang perbatasan Bumiwisesa telah nampak, beberapa umbul-umbul terlihat berkibar dengan gagah perkasa. Sekarang ia hendak meninggalkan tanah kelahirannya, sedih tentu saja. Tapi nasib sudah tertulis di dalam kitab, ia tidak bisa melewatkannya begitu saja.
Menyibak tirai jendela di dalam kereta, Roro Sawitri menatap kerumunan orang-orang yang turut menyaksikan kepergiannya. Satu dari semua orang, Roro Sawitri mencari keberadaan sang pemuda yang sore kemarin telah berjanji melalui Mbok Kasih untuk berjumpa dengannya yang terakhir kali. Hati Roro Sawitri berdebar hebat, ia mencengkeram tirai dengan perasaan tak menentu. Dimanakah pemuda itu berdiri? Atau jangan-jangan ia mulai berani mengingkari janji.
Langkah kereta kuda semakin jauh dari gerbang, hati Roro Sawitri melesak jauh ke dasar bumi. Ia sama sekali tak menjumpai Galuh Sucitra di sana. Sedih, marah, kesal, semuanya menyatu dalam pikiran Roro Sawitri. Ada apa? Kenapa Galuh harus mengingkari janjinya padahal kali ini adalah permintaan terakhir dari Roro Sawitri? Apakah cinta suci yang mereka gadang-gadang mulai lenyap dari permukaan bumi dan berganti dengan penghianatan dan kebohongan?
Air mata Roro Sawitri perlahan menitik, ia tak peduli dengan dandanan yang telah susah payah dibuat oleh Kamini dan Roro Lastri. Hatinya kali ini benar-benar remuk, bahkan jauh lebih remuk dari kemarin tatkala sang rama menariknya dengan paksa untuk pulang ke pendopo.
"Kangmas Galuh, inikah caramu untuk membuatku membencimu seumur hidup? Inikah caramu untuk melupakanku dan mengacaukan perasaanku?" suara Roro Sawitri terdengar lirih, ia merintih dalam tangisan yang tertahan begitu dalam.
Jemarinya perlahan meraba dadanya yang terasa begitu sesak, tangis gadis itu semakin tak bisa ditahan. "Sakit! Sakit, Kangmas!"
******
Galuh Sucitra menatap kereta kuda itu berlalu dari balik lebatnya pohon jati. Angin yang berdesir dari arah selatan membuat beberapa daun kering jatuh dari pohon jati yang mulai meranggas. Jantung Galuh seakan dipukul dengan palu besar ketika ia tahu Roro Sawitri tengah mencari-cari keberadaannya melalui celah jendela. Hanya saja Galuh memilih bersembunyi dan tak menampakkan diri.
Menghela napas, perasaan berat mulai mengelayut dalam hati dan pikiran Galuh Sucitra. Perlahan pria itu membenarkan udeng yang ia pakai dan berbalik badan dengan wajah kusut. Bersamaan dengan itu, Galuh Sucitra terperanjat kaget ketika menemui sosok yang familiar tengah berdiri di hadapannya.
"Biyung?" gumam Galuh Sucitra tak habis pikir ketika ibundanya nekat membuntutinya sampai ke gerbang perbatasan.
"Ngger, netramu ora biso selak karo bathinmu. Aku ini biyungmu, tahu apa yang tersembunyi di dalam bola matamu. Kemarin apa yang kaukatakan padaku? Dan sekarang, apa yang tengah kamu lakukan di hadapanku, Ngger?" cecar Nyi Kapi dengan wajah menatap seksama ke arah Galuh Sucitra.
"Biyung, aku ...." Galuh merasa kesulitan mencari alasan. Pemuda itu memilih menunduk dalam-dalam menyadari kebohongan yang telah ia lakukan di hadapan biyungnya sendiri.
Nyi Kapi menggeleng tak mengerti, ia terlalu tua untuk mencampuri urusan anak muda tapi soal perasaan Galuh Sucitra, wanita itu selalu berusaha untuk tidak menyepelekan. Anaknya memang pendiam tapi emosi Galuh terkadang tidak stabil dan membuat pemuda itu sering meledak tanpa alasan. Nyi Kapi hanya merasa takut jika Galuh akan berbuat diluar kendalinya.
"Sekarang apa kau sudah mendapatkan apa yang aku inginkan, Ngger cah bagus?" tanya Nyi Kapi dengan lembut.
Galuh Sucitra membungkam, ia masih menunduk dalam. Namun tak lama kemudian, ia perlahan menghapus air mata yang merembes dari pelupuk matanya.
"Apa kau tak menjumpainya?" tanya Nyi Kapi sekali lagi, kali ini bernada ingin tahu. Wanita tua itu tak menyangka jika reaksi Galuh bakal seperti itu. Pemuda itu lagi-lagi menangis karena rasa cintanya yang begitu besar terhadap Roro Sawitri.
"Biyung sudah pernah bilang padamu Ngger, jika kamu tidak kuat jangan dipaksa. Roro Sawitri itu bukanlah jodohmu, jangan paksakan kehendak Gusti Murbeng Dumadi. Nanti kamu kualat Ngger," tutur Nyi Kapi dengan suara lembut.
Galuh Sucitra lantas bersimpuh di hadapan biyungnya, merasa telah mengecewakan hati kedua orangtua, Galuh bercucuran air mata.
"Maafkan aku, Biyung. Maafkan putramu yang tidak pantas ini. Seharusnya aku melepaskan Roro Sawitri sedari dulu tapi hatiku merasa tidak berdaya ketika mengingatnya kembali. Biyung, putramu ini tidak pantas hidup, kenapa aku harus menyandang perasaan cinta tak terbalas sedemikian berat. Apa dosaku di masa lalu? Kenapa Gusti begitu senang memberiku cobaan? Biyung, biarkan aku mati saja. Biarkan aku mati."
******/////*****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top