PART SEMBILAN

***
Seperti hari-hari sebelumnya, Galuh Sucitra menghabiskan waktunya untuk berkutat dengan besi-besi tua yang selalu ia tempa satu per satu. Pikiran pemuda itu selalu lurus ke depan, ia tahu bahwa hari pernikahan Roro Sawitri hampir tiba namun apa daya ia tidak memiliki kekuatan lebih untuk merebut kembali pujaaan hatinya. Kuasa Ki Janu Baran lebih  besar dibandingkan dirinya yang hanyalah rakyat biasa.

Suara besi tua yang dipukul bertalu-talu mengiringi sore itu menuju senja yang kelabu. Seperti biasa, Galuh belum selesai dari pekerjaannya ketika Nyai Kapi datang menghampiri dengan seseorang yang Galuh sendiri familiar dengan sosok tersebut.

"Anakku Galuh, ada seseorang yang ingin bertemu denganmu. Berhentilah sejenak dari memandai besi, Anakku," ucap Nyai Kapi di belakang Galuh Sucitra.

Pemuda itu menghentikan aktivitasnya memukul besi, ia menoleh ke arah ibunya dan melihat Simbok Kasih tengah berdiri diantara mereka. Sesaat Galuh mengerti dan bisa menebak akan makna kedatangan abdi kesayangan sang pujaan hati.

"Iya, Biyung. Ada apa? Kenapa ada Simbok Kasih di sini?" tanya Galuh merasa heran. Terakhir pemuda itu melihat wanita tua tersebut beberapa bulan yang lalu.

"Simbok Kasih ingin menyampaikan sesuatu padamu. Biyung tinggalkan kalian berdua ya," ucap Nyai Kapi dengan lembut lalu tersenyum tipis pada putranya. Wanita yang dihormati sebagai pendamping dari Mpu Kapi itu berbalik badan, meninggalkan putranya berdua bersama Simbok Kasih.

Tatapan Galuh Sucitra kini tertuju pada wanita tersebut. Meskipun ia bisa menebak ada keperluan yang penting tapi Galuh tidak mengerti ada keperluan apa yang membuat wanita tua itu nekat datang ke rumahnya di senja yang temaram tanpa seseorang yang mendampinginya.

"Simbok Kasih, ada apa simbok kemari? Roro Sawitri baik-baik saja 'kan?"tanya Galuh dengan rasa penasaran yang begitu tinggi.

Simbok Kasih menganggukkan kepala, ia lalu mengeluarkan selembar kain yang telah dituliskan beberapa kata dari gusti ndoronya, Roro Sawitri untuk Galuh Sucitra.

"Simbok kemari atas permintaan Ndoro Sawitri, Nak Galuh. Beliau ingin Nak Galuh membaca surat permintaannya," jelas Simbok Kasih lantas menyerahkan selembar kain putih yang telah digulung rapi ke hadapan Galuh Sucitra.

Pemuda berkumis tipis itu mengerutkan dahi, ia tidak mengerti keinginan apa lagi yang dibuat Roro Sawitri padanya. Tidakkah ia tahu bahwa terlalu sering menghubungi Galuh justru akan membahayakan kehidupannya?!

Perlahan Galuh membuka gulungan kain tersebut, ia membaca aksara jawa yang telah ditulis dengan rapi oleh Roro Sawitri. Lagi-lagi dahinya berkerut, sejenak ia merasa berat untuk meloloskan keinginan terakhir yang dibuat oleh Roro Sawitri kepadanya.

"Nak Galuh, Ndoro Sawitri hanya ingin melihatmu besok di gerbang perbatasan Bumiwisesa. Beliau mungkin sangat merindukanmu sehingga membuat surat itu dan meminta simbok untuk menyampaikannya padamu," jelas Simbok Kasih dengan wajah terlihat bersungguh-sungguh.

Galuh menggulung kembali kain itu dengan hati-hati, perasaannya campur aduk ketika ia tahu bahwa esok adalah hari pernikahan Roro Sawitri dengan Bagus Samudra. Membayangkan mereka berdua duduk bersandingan, membuat Galuh merasa pusing dan nyaris pingsan di tempat.

"Aku tidak tahu Mbok, apa aku bisa datang atau tidak. Aku tidak ingin berjanji muluk-muluk pada Roro Sawitri. Esok adalah hari pernikahannya, aku mungkin tidak bisa hadir di tengah-tengah perayaan agung miliknya. Bagaimanapun rasanya tidak bijak jika aku datang dan mengacaukan perasaannya," ucap Galuh Sucitra lalu berbalik badan, pemuda itu kembali berkutat dengan besi tua yang baru setengah jadi ia tempa.

"Tapi Roro Sawitri begitu mengharapkan kehadiranmu besok, Nak Galuh. Ia berharap kau mau meluluskan permintaannya yang terakhir," sela Simbok Kasih maju ke depan beberapa langkah, berusaha meyakinkan Galuh Sucitra agar mau meluluskan keinginan ndoro tercintanya.

Galuh menghela napas, ia terdiam cukup lama hingga akhirnya berbalik badan menatap kehadiran Mbok Kasih. Menatap wanita tua itu dengan tatapan penuh, Galuh Sucitra akhirnya menganggukkan kepala tanda setuju.

"Baiklah, aku akan datang besok. Sampaikan pada ndoromu Mbok Kasih, aku akan melihatnya di gerbang perbatasan Bumiwisesa besok pagi," simpul Galuh Sucitra dengan mantap membuat Mbok Kasih tersenyum puas.

"Matur suwun Nak Galuh, saya berterima kasih atas perhatian Nak Galuh terhadap permintaan ndoro Roro Sawitri. Karena hari sudah mulai petang, Simbok ijin pamit pulang dulu. Ndoro Sawitri pasti senang mendengarkan berita ini," ucap Simbok Kasih dengan wajah semringah.

"Iya Mbok, sampaikan salamku kepadanya." Galuh menatap wanita tua itu dengan tatapan penuh hormat. Simbok Kasih tersenyum, ia menganggukkan kepala lalu berbalik badan meninggalkan kediaman Galuh yang penuh dengan besi-besi tua.

Pemuda berkulit bersih itu belum juga beranjak dari posisinya berdiri, terpaku akan kepergian Mbok Kasih, Galuh merasa cemas akan hari esok. Tak lama kemudian Nyai Kapi datang, ia membawa seteko air teh melati untuk Galuh Sucitra.

"Ada apa Ngger cah bagus? Sepertinya ada amanat penting yang disampaikan Mbok Kasih kepadamu," tanya wanita tua bersanggul rapi itu seraya meletakkan teko di atas meja ukiran kayu jati.

Galuh menghela napas, tatapannya mengedar ke seluruh ruangan dimana para pemandai besi sibuk dengan tugasnya masing-masing. Suara bising dari belakang rumah belum juga sirna tatkala senja mulai membayang di tanah Bumiwisesa.

"Beliau menyampaikan surat dari Roro Sawitri, Biyung. Putri Ki Janu Baran itu menginginkan aku untuk datang melihatnya di gerbang perbatasan," jelas Galuh Sucitra dengan wajah lusuh. Pemuda itu berjalan menuju ke perapian, membakar kembali besi warna hitam yang mulai mendingin temperaturnya.

"Bukankah besok adalah hari pernikahannya?" jelas Nyi Kapi memastikan. Galuh terdiam, ia memilih untuk tidak bersuara sedikit pun.

Nyi Kapi kini giliran menghela napas, ia tahu betul perasaan sensitif putranya. Menatap punggung Galuh yang berkilat karena keringat, wanita berparas lumayan ayu itu ingin memastikan jawaban apa yang disampaikannya pada Mbok Kasih.

"Lalu kau menjawab apa, Ngger?" tanya Nyi Kapi ingin tahu, terus menatap lekat pada sosok putranya yang sibuk memanasi besi di hadapannya.

"Apakah kau akan menemuinya besok?" cecar Nyi Kapi beruntun. Berharap putranya segera memberi kepastian.

"Sepertinya tidak, Biyung. Pesanan pisau dan juga alat pertanian sedang menumpuk, mana mungkin aku akan pergi melihatnya. Tugasku jauh lebih penting dibandingkan melihat dirinya menikah dengan orang lain."

*****
Suara ayam jantan berkokok untuk yang pertama kali membuat Roro Sawitri tak lekas tidur malam itu. Matanya masih terjaga, mendengar kokok ayam jantan bersahut-sahutan membuat perasaannya semakin gelisah bukan kepalang. Waktu sudah menandakan subuh, perasaannya semakin tidak karuan ketika ia tahu bahwa hari yang menakutkan itu akhirnya tiba.

Setelah memerintahkan Mbok Kasih untuk datang ke kediaman Galuh Sucitra, Roro Sawitri hanya bisa berharap dalam hati bahwa pujaaan hatinya akan datang melihatnya pagi ini.

Sudah tiga hari dan hari ini adalah hari terakhir bagi Roro Sawitri tinggal Di Bumiwisesa. Ya, Bagus Samudra telah memerintahkan beberapa punggawa kadipaten untuk menjemputnya. Beberapa kereta kencana telah berderet di depan pendopo milik ayahnya. Melihat semua itu perasaan Roro Sawitri semakin pilu.

Andai saja Galuh-nya bisa seperti Rama dalam pewayangan ramayana, andai saja Galuh-nya bisa bersikap seperti Raden Antasena maka ia tidak akan terpenjara seperti ini. Roro Sawitri beringsut bangun dari rebahannya, ia mengelus rambut panjang yang ia miliki dengan hati gundah. Jawaban Galuh Sucitra sungguh membuat hatinya gamang.

Perempuan berlesung pipi itu sama sekali tidak menyalahkan posisi Galuh Sucitra yang terkesan bahkan tidak memperjuangkannya sama sekali. Gadis itu tahu betul bagaimana tabiat Galuh yang sebenarnya. Pemuda yang sudah membuatnya mabuk itu tidak akan pernah bersikap gegabah, ia selalu menghargai keputusan orangtua, andhap asor, berbudi luhur. Roro Sawitri tidak akan menuntut Galuh untuk bertindak srei, kol-kolan atau bahkan bertindak jauh dari bayangannya.

Suara derit pintu memudarkan lamunan Roro Sawitri, ia melihat Mbok Kasih masuk ke peraduannya dengan wajah terlihat sayu karena kurang tidur.

"Loh Ndoro, Anda sudah bangun?" ujar Mbok Kasih lalu menjura ke hadapan Roro Sawitri. Wanita tua itu lalu duduk bersimpuh di lantai dengan tenang.

"Saya tidak bisa tidur, Mbok," aku Roro Sawitri dengan suara mendesah resah. Mbok Kasih mengamati bendoronya dengan seksama, terlihat jelas kesusahan hati Roro Sawitri lewat raut wajahnya.

"Ndoro ndak boleh capek-capek, hari ini akan menjadi hari yang panjang untuk Ndoro. Pernikahan sudah tiba, Ndoro harus fokus dan mulai berbenah diri. Sebentar lagi juru rias kadipaten akan mendandani ndoro sebagai pengantin wanita yang paling cantik," hibur Mbok Kasih seraya menatap Roro Sawitri.

"Saya tidak tertarik Mbok, saya sedih karena harus pergi dari tanah kelahiran. Mbok, simbok pasti tahu perasaan saya saat ini," tutur Roro Sawitri membuang muka, gadis itu menatap seisi ruangan dengan tatapan begitu hampa.

Mbok Kasih terdiam, batinnya turut hanyut dan sedih mendengar penuturan dari majikannya. Beberapa hari yang lalu ia mengajukan permintaan pada ndoro kakung, Ki Janu Baran untuk turut serta pergi ke Balegiri. Meskipun disetujui, perasaan kehilangan akibat bakal tinggal jauh dari tanah kelahiran begitu mendera batinnya yang paling dalam.

"Simbok juga merasakannya tapi simbok harus ikhlas. Sejak Ndoro putri masih kecil, simbok selalu ikhlas merawat ndoro putri, hal itulah yang mendasari simbok selalu berbuat sesuai dengan isi hati. Simbok tahu, bukan karena jauh dari tanah kelahiran saja yang membuat ndoro putri merasa berat namun jauh dari Nak Galuh juga mendasari perasaan Ndoro. Iya apa iya?" ucap Mbok Kasih berusaha berkilah membuat wajah ayu Roro Sawitri memerah seketika.

"Simbok bicara apa? Saya tidak seperti itu," sanggah Roro Sawitri menutupi kebenaran yang muncul di kedua bola matanya yang indah.

Mbok Kasih tersenyum tipis, "Semakin seseorang berusaha menutupi kebohongannya maka kebohongannya akan terlihat jelas di kedua bola matanya. Pandheleng iku ora biso mblenjani roso."

Roro Sawitri terdiam, wajahnya kian memerah ketika mendengar penuturan dari bibir Mbok Kasih yang terasa benar adanya.

Tak lama kemudian beberapa abdi dari kadipaten Balegiri masuk ke dalam peraduan Roro Sawitri. Berjalan jongkok lantas menjura dengan sikap penuh hormat pada calon sesembahannya, Roro Sawitri.

"Ndoro putri, sebelumnya perkenalkan nama saya Kamini, dan ini adik saya Roro Lastri. Kami abdi dari Kadipaten Balegiri diutus Kanjeng akuwu Bagus Samudra untuk datang kemari untuk merias panjenengan gusti," ucap seorang wanita muda bertahi lalat di dahi dengan wajah penuh hormat.

Roro Sawitri terdiam, ia merasa malas ketika mendengar hendak didandani layaknya seorang pengantin jawa. Namun Mbok Kasih lantas berseru kepadanya, "Ndoro putri, jika Ndoro tidak bergegas maka kita akan berangkat kesiangan. Cuaca di Bumiwisesa akhir-akhir ini mulai panas, dedaunan jati jatuh gumleyang, tanah mulai retak. Musim kemarau sudah datang, Ndoro."

Gadis berlesung pipi akhirnya turun dari ranjang, bergegas keluar dari peraduan dengan wajah yang sangat murung. Sekarang sudah tak ada lagi harapan untuk menghindar dari pernikahan. Cepat atau lambat ia akan tetap ditakdirkan untuk bertemu dengan Bagus Samudra di Balegiri.

"Nimas, aku menunggumu di Balegiri."

Ah, kenapa suara Bagus Samudra selalu terngiang di otaknya. Kenapa ia harus menerima jodoh sebajingan Bagus Samudra? Kenapa Gusti?

****////********
Jangan lupa untuk di VOTE ya.

Makasih.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top