PART SATU
Hallo semuanya, sekadar info ya bahwa kisah berjudul Sotya //Permata// ini bergenre fantasy-romance ala isekai dalam negeri, dimana kisah cinta diambil dengan latar kisah gadis jawa di era tahun 1880.
Semuanya murni dari pemikiran penulis, jika ada kesamaan nama tokoh, tempat, dan kisah latar belakang semua itu hanya kebetulan semata.
Semoga kalian bisa menikmati cerita ini, yang dulunya diikutkan lomba tapi tidak lolos hehehe....
Selamat membaca, Dear!
***
Suara tabuhan gamelan terdengar bertalu-talu dari arah pendopo sisih wetan dimana di sana telah diselenggarakan sebuah perayaan agung setiap tiga bulan sekali. Tarian indah yang dibawakan oleh Roro Sawitri sukses mencuri perhatian para pejabat dan juga rakyat biasa di tlatah Bumiwisesa.
Tarian sakral itu dilaksanakan tiga bulan sekali tepatnya di dusun Bumiwisesa. Tari gambyong yang diawali dengan gendhing pangkur sanggup mencuri perhatian warga di area kademangan tersebut. Seperti yang dipercaya oleh leluhur Bumiwisesa, jika hasil bumi melimpah maka mereka wajib mengadakan pagelaran tayub sehari semalam demi menghormati Dewi Sri, Dewinya pangan dan kemakmuran.
Roro Sawitri dengan beberapa anak gadis lain terlihat menari dengan luwes. Jari-jari lentik bergerak gemulai selaras dengan iringan tabuh gamelan. Sesekali gadis berlesung pipi itu melirik ke arah sang wiyaga, tersenyum manis lalu kembali melayangkan sampurnya dengan luwes.
Galuh Sucitra, pemuda tampan dengan kulit bersih dan kumis tipis membalas senyum Roro Sawitri. Sembari terus menabuh gamelan, bola mata berwarna kelam itu tak pernah habis dalam menikmati setiap gerakan luwes yang disajikan Roro Sawitri pada khalayak umum.
Sorak- sorai warga desa Bumiwisesa terdengar begitu ramai. Beberapa diantara mereka terlihat ikut menari bersama para penari. Ada juga yang terlihat sekadar menggerakkan kepala mengikuti setiap tabuhan gamelan yang diciptakan oleh sang wiyaga.
Siang yang terik beranjak menuju sore, namun tarian demi tarian tak pernah habis ditarikan. Roro Sawitri terus menari dengan indah, seakan tak pernah lelah, tabuhan gamelan menjadi penyemangatnya hari itu.
Dibalik riuhnya warga Bumiwisesa yang menyaksikan pagelaran tayub dengan gembira, terlihat satu pemuda yang terus saja memperhatikan gerak-gerik Roro Sawitri. Pemuda itu tetap tinggal di posisinya bersama sang rama. Sesekali tersenyum tipis ketika melihat sosok Roro Sawitri tengah mengoyang pinggulnya dan menggelengkan kepala dengan manja.
Berdesir hati Bagus Samudra melihat senyum Roro Sawitri kembali terkembang. Gadis ayu putri dari Ki Janu Baran memang terkenal manis dan memiliki tubuh yang aduhai. Entah sudah berapa lama ia mengagumi sosok Roro Sawitri, hingga tanpa sadar ada niat dalam hatinya untuk memiliki kembang desa di Bumiwisesa.
"Anakku hari sudah malam, kita harus berpamitan dan pulang." Suara sang rama membuyarkan lamunan-lamunan indah Bagus Samudra tentang Roro Sawitri.
Pemuda berparah elok melirik rama-nya sejenak. Kedua bola mata kelam milik Bagus Samudra kembali menjelajah ke postur tubuh Roro Sawitri yang terlihat sintal dengan balutan kain berwarna kuning dan hijau.
"Saya masih ingin di sini, Rama. Tolong katakan pada Ki demang Janu Baran kalau kita menginap di sini semalam," jawab Bagus Samudra tanpa menatap wajah sang ayah yang duduk di sampingnya.
Sang ayah manggut-manggut, ia mengerti akan kehendak putra semata wayangnya. Sebagai seorang akuwu, Ki Sula begitu menyayangi putranya terlebih Bagus Samudra akan dilantik menggantikan dirinya sebagai akuwu di Balegiri.
Sore itu tarian indah dari Roro Sawitri telah berakhir. Tarian dengan gerakan gemulai nan indah berganti dengan tarian tayub. Beberapa penari tayub terlihat begitu riang gembira menari di pendopo wetan milik kademangan Bumiwisesa.
Tak ingin kehilangan kesempatan, Bagus Samudra beranjak berdiri dari kursi jati yang ia duduki sedari siang. Melihat Roro Sawitri turut menari, gairahnya untuk mendekati muncul begitu saja. Tak banyak bicara, Bagus Samudra hadir tepat di hadapan gadis itu.
Roro Sawitri terlihat kaget akan keberadaan pria asing yang kini mendekatinya dan turut mengajaknya menari. Wajah semringah di wajahnya perlahan lenyap. Namun demikian, tanpa mengurangi rasa hormat terhadap tamu ayahnya, Roro Sawitri terus saja menari dan melayani ajakan menari dari Bagus Samudra.
"Sawitri, kau cantik sekali." Bagus Samudra berbisik, sengaja mendekatkan bibirnya ke telinga Roro Sawitri.
Gadis itu terbelalak, ia mundur beberapa langkah guna membuat jarak. Kendati terus menari, Roro Sawitri berusaha untuk tidak melayani obrolan sang pria asing.
"Aku akan melamarmu secepatnya," bisik Bagus Samudra sekali lagi lalu menyeringai. Pemuda itu tidak tahan untuk tidak menyentuh kulit Roro Sawitri. Gadis manis putri tunggal Ki demang Janu Baran terhenyak ketika tangannya disentuh oleh pria asing nan kurang ajar tersebut.
Wajah Roro Sawitri memerah ketika melihat pemuda itu tersenyum lebar ke arahnya. Ada perasaan takut yang kini menghantui hatinya. Tak ingin meneruskan tarian, Roro Sawitri beranjak mundur lalu pergi meninggalkan pendopo wetan.
Bagus Samudra kembali tersenyum ketika melihat wajah Roro Sawitri begitu ketakutan tatkala melihatnya. Rasa gemas dan naluri ingin memiliki dalam hatinya tak kunjung reda. Ya, malam ini juga ia akan melayangkan lamaran pada sang gadis pujaan.
"Roro Sawitri tunggu aku. Aku pasti akan melamarmu dan memilikimu, Cah Ayu."
***
Hingga malam suara iringan tayub sayup-sayup masih terdengar dari arah pendopo wetan namun beberapa tamu undangan sudah berpamitan untuk pulang ke daerahnya masing-masing. Ki demang Janu Baran dengan ramah mempersilakan beberapa tamu yang hendak tinggal hingga besok pagi termasuk sang akuwu, Ki Sula beserta putra tunggalnya, Bagus Samudra.
"Saya selaku demang di Bumiwisesa sangat terharu dan berterima kasih sekali ketika Ki Sula dan Nak Bagus Samudra mau menginap di pendopo kami yang sederhana ini," ucap Ki Janu Baran berbasa-basi seraya duduk di kursi jati pendopo tengah. Pria tua dengan kumis lebat tersebut tersenyum menampakkan keramahannya pada sang akuwu dan putranya.
Ki Sula balas tersenyum, ia menatap Ki Janu Baran dengan tatapan tenang namun tetap waspada.
"Jika bukan karena permintaan putraku maka aku sudah berpamitan sedari tadi, Adhi Janu." Ki Sula terkekeh seraya memegangi jenggotnya yang tumbuh subur.
Bagus Samudra tersenyum tipis, pandangannya mengedar ke seluruh pendopo tengah. Pemuda perkasa itu berharap bisa menemukan sosok cantik yang sudah ia dekati sejak sore tadi.
"Nak Mas, saya beruntung sekali bisa memberi pelayanan terbaik untuk Nak Mas Bagus Samudra." Ki Janu kembali berucap dengan ramah, berusaha membuat tamunya betah dan mau tinggal lebih lama di kademangan Bumiwisesa.
"Paman, sebenarnya aku tengah jatuh cinta pada salah satu gadis kelahiran tanah Bumiwisesa. Mungkinkah Paman bisa memberikannya padaku?" pinta Bagus Samudra tanpa basa-basi membuat kedua pria dewasa yang tinggal di sampingnya terpaku sejenak lalu terkekeh secara bersamaan.
"Nak Mas pasti bercanda, Nak Mas orangnya ganteng mana mungkin bisa jatuh cinta pada gadis di desa ini," canda Ki Janu Baran diikuti tawa dari Ki Sula, ayah dari Bagus Samudra.
Pemuda itu mengernyitkan dahi, merasa diremehkan dan dianggap tengah bercanda. Walau merasa tidak suka, Bagus Samudra menahan perasaannya untuk tidak memaki calon mertuanya.
"Paman Janu ..., Rama ..., aku menyukai Roro Sawitri. Entah kenapa sejak pertemuan tadi aku begitu ingin memilikinya. Paman Janu ijinkan aku menjadi menantumu," pinta Bagus Samudra dengan mimik serius.
Tawa dari kedua orang tua tersebut terhenti seketika. Perlahan tawa yang menghiasi pendopo tengah lenyap dan berubah menjadi sunyi mencekam. Mimik wajah Ki Janu Baran berubah masam. Entah harus bagaimana ia menjelaskan posisi ini.
"Bagaimana Paman? Aku serius dengan niatku mempersunting Roro Sawitri. Aku benar-benar jatuh cinta dari dalam lubuk hatiku. Jika Paman menerimaku maka jangan khawatir desa ini akan kubuat tambah makmur dengan segala macam bantuan dari kadipaten Kadaya," janji Bagus Samudra dengan wajah bersungguh-sungguh.
Ki Janu Baran belum juga menjawab, wajahnya terlihat semakin masam. Ki Sula yang sedari tadi diam kini mulai angkat bicara dan mulai menengahi pembicaraan mereka.
"Bagaimana Adi Janu? Aku rasa kau tidak menolak tawaran putraku. Selain kau mendapatkan keuntungan dengan kemakmuran desamu, putrimu juga akan hidup mewah di Balegiri." Ki Sula turut mengiming-imingi Ki Janu Baran.
"Sebenarnya begini Nak Mas Bagus, Roro Sawitri itu sudah peningsetan sama Mpu Galuh Sucitra bulan lalu. Hari pernikahannya hanya tinggal beberapa hari jadi saya juga bingung harus bagaimana menjawabnya," jelas Ki Janu Baran sambil menggeleng-gelengkan kepala. Pria tua itu tertunduk sedih tatkala tatapan Bagus Samudra kini menghunjam ke arahnya.
"Siapa Galuh Sucitra?" tanya Bagus Samudra seraya menyipitkan mata. Perlahan tanpa disadari oleh siapapun, pemuda itu mencengkeram lututnya dengan kuat hingga kain jarik warna cokelat bermotif parang itu terlihat sangat lusuh.
"Dia putra dari Mpu Kapi, pandai besi terkenal dari dusun ini. Kami sudah lama berteman jadi kami menjodohkan anak kami beberapa bulan lalu. Roro Sawitri pun menyukai Mpu Galuh sehingga kami sepakat untuk mengadakan peningsetan. Nak Mas Bagus, maafkan orang tua ini karena tidak bisa memenuhi permintaan Nak Mas Bagus," sesal Ki Janu Baran seraya membungkukkan badan pada pemuda calon Akuwu Balegiri.
Bagus Samudra merasa tersinggung, napasnya yang tenang kini memburu penuh amarah. Pria berparas elok perlahan menampakkan wajah iblisnya, ia sama sekali tidak suka jika Roro Sawitri-gadis yang ia idam-idamkan- harus jatuh ke pelukan pria orang lain.
Melihat gelagat anaknya yang buruk, Ki Sula tidak bisa tinggal diam. Sekali lagi pria paruh baya yang memakai beskap warna cokelat tua itu menenangkan putranya.
" Ngger Bagus Samudra, jangan marah ya Ngger ya?! Masih banyak gadis cantik yang mau menikah denganmu. Sebaiknya jangan kau pikirkan lagi Roro Sawitri. Gadis itu sudah berpemilik yo, Ngger. Ndak bagus kalau kamu merusak pager ayu," hibur Ki Sula seraya mengelus-elus bahu putranya dengan lembut.
"Tidak Rama, aku tidak mau!" tegas Bagus Samudra sambil bangkit dari duduknya. Pemuda itu mencuramkan alis, matanya melotot ke arah Ki Janu Baran.
"Paman, serahkan putrimu padaku! Jika tidak maka tidak menunggu satu minggu, desa tercintamu ini akan porak poranda." Bagus Samudra berteriak lantang membuat semua orang yang hadir di pendopo tengah tertegun kaku.
"Ngger Bagus," Ki Sula berseru pelan. Pria paruh baya itu bangkit dari duduknya, berusaha menenangkan putranya yang mulai kesetanan.
"Tapi Nak Bagus, saya tidak bisa membatalkan beberapa seserahan yang sudah kadung saya terima dari Mpu Kapi," seru Ki Janu Baran tak kalah panik dan takut.
"Terserah Paman mau bersikap apa, yang penting serahkan Roro Sawitri padaku. Jika tidak maka jangan tanya padaku apa dosamu! Malam ini aku akan kembali ke Balegiri, besok pagi aku akan mengutus seseorang datang kemari untuk menerima jawaban. Ingat Paman, aku tidak butuh penolakan!" pongah Bagus Samudra dengan nada kasar.
Pemuda bertubuh perkasa itu memalingkan wajah, ia berbalik badan lalu meninggalkan pendopo tengah dengan kemarahan yang begitu hebat. Ki Sula terlihat bingung, ia merasa sungkan pada Ki Janu Baran.
"Adhi Janu, aku mohon pamit dulu. Maafkan kelakuan putraku yang tidak sopan. Aku sendiri bingung ketika harus menghadapi sikapnya yang buruk. Adhi Janu, aku harap kau memeprtimbangkan lagi ucapan Bagus Samudra. Putraku tidak pernah main-main dengan ucapannya, aku takut kau akan kehilangan wibawa setelah kejadian malam ini." Ki Sula memberi peringatan pada Ki Janu Baran dengan mimik wajah menyesal.
Sebagai ayah, Ki Sula sama sekali tidak bisa mengendalikan sifat buruk yang terdapat pada Bagus Samudra. Pria paruh baya itu hanya bisa pasrah ketika putra semata wayangnya tiba-tiba marah dan mengamuk luar biasa.
Malam itu pendopo tengah mulai sepi tapi sayup-sayup suara gamelan dari pagelaran di pendopo wetan belum juga usai. Wajah Ki Janu Baran terlihat bingung, ia bahkan tidak bisa memutuskan sikap apa yang sebaiknya ia lakukan.
"Rama, ada apa?" tanya Roro Sawitri di balik pintu pendopo dengan wajah tak kalah gusar. Teriakan tamu kurang ajar itu membuat tubuh Roro Sawitri tak kunjung berhenti bergetar.
"Sawitri ... " Ki Janu mendesah pelan seraya menatap putri manisnya. Wajah pria itu terlihat sedih, ia sama sekali tidak bisa membayangkan bagaimana wajah Roro Sawitri tatkala ia mengatakan hal yang sesungguhnya.
"Rama, ada apa sebenarnya? Kenapa Rama terlihat sedih? Kenapa tamu itu berteriak begitu mengerikan?" tanya Roro Sawitri seraya mendekat ke arah ayahnya.
Ki Janu Baran terdiam sedikit lama. Peluh mengucur deras dari dahinya yang mulai keriput. Menghela napas, Ki Janu mengusap peluhnya dengan susah payah.
"Sawitri, putuskan hubunganmu dengan Galuh Sucitra. Setelah itu, menikahlah dengan Bagus Samudra. Pemuda itu ..., pemuda itu lebih pantas untuk dirimu dan juga masa depanmu."
******************************************
<<Kira-kira apa jawaban Roro Sawitri ya?
Jangan lupa untuk vote cerita ini jika menurutmu cerita ini bagus dan pantas untuk dibaca.
Terima kasih. >>
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top