PART LIMA BELAS

***
Beberapa bilah pisau nan tajam tiba-tiba bertaburan di lantai, pisau tersebut nyaris melukai kaki Galuh yang telanjang tanpa alas kaki. Pikiran pria 22 tahun itu mendadak melayang pada sosok Roro Sawitri. Darah pemuda itu berdesir, firasat buruk menghinggapi otaknya. Ada apa dengan Sawitri?

Menepis pikiran buruk yang bermain di memori otaknya, Galuh melanjutkan aktivitasnya dalam berkemas. Hari masih terlalu pagi, tidak terlambat baginya untuk pergi ke pasar guna menyerahkan beberapa alat pertanian dan pisau-pisau pesanan para pedagang di pasar raya Balegiri. Pria itu melapisi barang kreasinya dengan kain mori putih yang bersih, membalutnya hingga menjadi sebuah buntalan besar.

Nyi Kapi yang berjalan seraya membawa sekendi air putih dan talas rebus hanya bisa melirik kesibukan Galuh dalam berkemas. Hati kecil sang ibu merasa bersyukur karena perlahan putranya mulai melupakan sosok gadis yang hidup dalam sanubarinya. Kesibukan demi kesibukan pemuda itu menjadi penawar rasa marah yang membara dalam dada Galuh Sucitra.

"Ngger, cah Bagus, apa kamu jadi pergi ke pasar hari ini?" tanya Nyi Kapi lalu meletakkan nampan dari kayu itu di atas meja bundar terbuat dari kayu jati.

Galuh Sucitra masih sibuk, ia memasukkan buntalan kain itu ke dalam karung goni yang besar. Merapikan barangnya, Galuh beranjak bangun dan menatap biyungnya sambil tersenyum simpul.

"Iya, Biyung. Sudah hampir satu bulan aku tidak ke pasar, beberapa langgananku pasti mengeluh karena stok barang mereka semakin menipis." Galuh berjalan menghampiri Nyi Kapi lalu duduk di atas serban dari bilah bambu.

"Iya, Biyung tahu. Pergilah ke pasar, belilah apa yang kau mau. Aku dengar di pasar Balegiri terkenal dengan gathot-nya yang enak. Bisa tidak nanti jika kau pulang bawakan biyungmu gathot dan juga puli juruh yang legit," pinta Nyi Kapi seraya menepuk bahu Galuh Sucitra dengan senyum khasnya.

Galuh kembali tersenyum, "Biyung minta berapa pincuk? Nanti Galuh belikan, atau biyung mau aku bawakan pedagang sama bakulnya sekalian?" goda Galuh membuat Nyi Kapi terkekeh lucu. Wanita tua berjarik cokelat itu menepuk-nepuk bahu Galuh dengan sedikit keras.

"Tidak usah, biyung hanya minta satu pincuk saja. Tak usah kau bawa pedagangnya sekalian kemari. Kau tahu, jika kau membawanya kemari, kau harus turut serta memberinya nasi setiap hari," ucap Nyi Kapi lalu kembali terkekeh.

Wanita tua itu terpingkal, begitupun dengan Galuh Sucitra. Mereka terlihat akrab satu sama lain, pagi itu menjadi indah dengan candaan alami yang mereka lontarkan satu sama lain.

"Ngger, sebelum berangkat makanlah dulu talas rebus ini. Kemarin bapamu pergi ke timur sawah, beliau pulang membawa talas ini. Lumayan bisa buat sarapan pagi untuk kita," ucap Nyi Kapi setelah berhenti tertawa. Wanita berwajah tulus itu menyodorkan sepiring talas rebus ke hadapan Galuh.

"Talas rebus memang bisa membuat kenyang, biyung. Ohya dimana bapa sekarang?" tanya Galuh seraya meraih talas rebus yang ditawarkan biyungnya.

"Bapamu sudah pergi ke sawah, masih ada sisa air dari pinggir lepen. Sepertinya cukup buat kita menanam kedelai tahun ini," ucap sang biyung turut serta mengambil talas dari atas piring yang terbuat dari tanah liat.

Mereka terdiam, menikmati gurihnya talas rebus yang baru saja mereka cabut dari pematang sawah. Galuh mengunyah makanannya dengan hati gusar, bagaimanapun setelah kejadian pisau yang tiba-tiba terjatuh tadi, ia tak bisa melepaskan bayangan Roro Sawitri dari dalam otaknya.

Apa yang harus ia lakukan kali ini? Kenapa ia begitu ingin segera sampai ke kadipaten Balegiri?

Galuh Sucitra mempercepat kunyahannya, ia menelan dengan sangat terpaksa. Menyambar kendi berisi air putih nan sejuk, Galuh menenggak dengan beberapa kali tenggak.

"Biyung, aku harus segera ke pasar, hari sudah siang atau aku akan kehilangan pelangganku. Ohya Biyung, sampaikan sama bapa bahwa masih ada beberapa bilah besi tua yang kupanaskan di perapian. Biarkan saja, nanti jika aku sudah pulang aku yang akan memandainya karena besi itu sangat tua," pesan Galuh lalu beranjak bangun dan menyambar karung goni yang sudah ia persiapkan sedari tadi.

"Hati-hati ya, Ngger. Supono sudah menunggumu dengan keretanya di depan," ujar Nyi Kapi turut berdiri.

Galuh menganggukkan kepala, ia menghampiri biyungnya lalu membungkuk seraya mencium tangan sang biyung. Wanita itu mengusap punggung putranya dengan sayang, ia terpaku ketika melihat langkah Galuh tengah memanggul karung pergi meninggalkannya. Dalam hati wanita tua itu ia turut berdoa semoga jalan putranya dimudahkan, rejekinya ditambahkan dan selamat sampai tujuan.

****
Roro Sawitri menggigil, peluhnya bercucuran begitu hebat ketika ia harus bertarung dengan obat tumbuk yang kini menempel menutupi luka di leher sebelah kirinya. Gadis itu masih terpejam, sesekali ia menggigil dan merintih tidak jelas.

Bagus Samudra memandang gadis itu dengan tajam, ia duduk di samping ranjang seraya memegang tangan Roro Sawitri dengan begitu erat. Sesekali ia mencuramkan alis, menggertak para mantri yang berusaha untuk menyelamatkan nyawa sang istri.

Pria-pria berusia sepuh itu hanya sesekali mengangguk, ia berusaha menabahkan hati sang calon akuwu yang begitu meradang. Anak muda memang terkenal akan grusa-grusunya, mereka inginnya yang instan tapi mereka lupa bahwa setiap hasil selalu ada proses yang menyertainya.

Ki Sula, ayahanda Bagus Samudra pun turut menjenguk Roro Sawitri di kediaman Bagus. Kejadian pagi ini benar-benar membuat suasana kadipaten menjadi panas dan kacau. Kasak-kusuk mengenai percobaan bunuh diri yang dilakukan Roro Sawitri berembus dengan cepat keluar kadipaten. Dalam sekejap, seluruh rakyat kadipaten Balegiri mengetahui kejadian besar tersebut.

"Cepat Mantri! Aku tidak ingin hasil yang buruk. Kalian terlalu tua untuk menjadi seorang mantri," tegas Bagus Samudra menggertak, pria itu tidak sabaran ketika salah satu matri terlihat lamban dalam mengolah obat.

Ki Sula menghela napas, ia menepuk bahu putranya berusaha agar sang anak jauh lebih bersabar.

"Ngger, cah Bagus, jangan seperti itu. Mereka adalah mantri terbaik di kadipaten, merekalah yang merawat kesehatan keluarga kita berpuluh-puluh tahun lamanya," celetuk Ki Sula mengingatkan putranya.

Bagus Samudra mendengkus kesal, wajah pria itu ditekuk bagai kain lap kering. Tak ada suara lagi dari bibir sang calon akuwu tapi mata pria itu terus saja mengawasi sang mantri dalam memberi obat.

Mbok Kasih menangis di pinggir pintu, ia tidak menyangka jika tekanan batin yang dialami Roro Sawitri semenjak berada di Bumiwisesa akan ia bawa sampai ke Balegiri. Roro Sawitri mungkin sudah tidak kuat hingga akhirnya memutuskan dan berusaha mengakhiri hidupnya seperti ini. Sang pelayan semakin deras dalam menangis ketika ia ingat akan janjinya pada mendiang biyungnya Roro Sawitri. Merasa lalai dalam tugas, Mbok Kasih merasa tidak pantas meminta maaf pada ibunda gadis tersebut.

Berbeda dengan Mbok Kasih yang menangis sedih atau Bagus yang uring-uringan karena sang mantri dianggap begitu lambat, Roro Laksmi justru merasakan sakit hati yang paling dalam. Wanita itu merasa kecewa terhadap perlakuan Bagus pada Roro Sawitri. Di matanya, Roro Sawitri hanyalah gadis perusak pager ayu antara dirinya dengan Bagus. Sakit hatinya semakin menggigit ketika melihat perhatian dan rasa khawatir Bagus Samudra semakin menjadi pada gadis itu. Sungguh, Roro Laksmi ingin segera melihat gadis itu mati.

Tak tahan melihat kejadian itu, Roro Laksmi berbalik badan dan meninggalkan kamar Roro Sawitri. Ia ingin murka tapi tidak bisa melampiaskannya begitu saja. Berlari ke arah kamarnya, Roro Laksmi memendam rasa dendam yang begitu hebat.

"Kamu harus mati, Sawitri. Harus!" gumam Roro Laksmi seraya menggebrak meja di dalam kamarnya. Napas wanita itu memburu, matanya memerah seperti kesetanan.

Sepertinya malam ini ia harus menyuruh seseorang untuk datang kembali ke Watugeni guna meminta bantuan sang kakak. Jika ia tidak segera menyingkirkan Sawitri maka ia bersumpah, ia tidak akan pernah bahagia hidup di dunia ini.

"Lastri! Lastri!" teriak Roro Laksmi memanggil pelayan setianya dengan sangat keras.

Roro Lastri berlari memasuki kamar, ia berjongkok lalu menjura pada junjungannya. "Iya Ndoro putri."

"Kirimkan orang menuju ke Watugeni malam ini, aku ingin Kangmas Lokapati datang esok pagi. Mau tak mau ia harus datang. Katakan padanya, jika ia tidak ingin kehilangan adiknya maka ia harus datang tanpa ada alasan apapun."

"Sendiko dawuh, Ndoro putri. Saya akan meminta seseorang untuk datang ke Watugeni dan mengabarkan pesan Ndoro putri." Roro Lastri lalu menjura, ia berbalik badan lalu meninggalkan Roro Laksmi seorang diri di kamar.

Menghela napas, sang istri tua berjalan menuju ke arah jendela. Ia menatap mawar putih kesayangannya tengah bermekaran, bunga-bunga itu memantul-mantul karena tertiup angin. Tersenyum licik, Roro Laksmi lantas bergumam pelan pada dirinya.

"Tidak ada satu bunga pun yang boleh menandingi mawar putihku, sampai kapanpun. Jika kau berani maka kau telah menantang kuasa dari Roro Laksmi.
Sawitri, ingat akan batasanmu atau kau akan mati sia-sia di tanganku."

****

Jangan lupa klik Vote ya dan juga follow ya.
Buat kalian yang punya akun di fizzo mampir juga ke akunku disana dengan nama pena sama  ya.

Terima kasih banyak.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top