PART LIMA
****
Dengan menahan rasa perih, Galuh Sucitra datang menghampiri Paman Supaka. Ia tahu pria paruh baya itu datang ke kediamannya karena diutus oleh Ki Janu Baran. Melihat semua barang bawaan yang begitu banyak membuat hati Galuh mendidih tak karuan. Apa sebenarnya niat Ki Janu Baran hingga ia harus memindahkan sebagian harta karunnya ke kediaman kecil miliknya?
"Nak Galuh," sapa Ki Supaka dengan nada sungkan. Ia membungkuk memberi rasa hormat dengan kedua tangan saling bertumpu di depan perut.
Galuh tak menjawab, ia balas membungkuk pada pria yang berlaku sopan padanya. Bola mata hitam milik Galuh menelusuri setiap kotak peti yang dibawa pria paruh baya itu dengan tatapan kurang suka.
Melihat kemana arah pandangan Galuh, Ki Supaka tahu apa yang kini tengah dipikirkan sang pemuda tampan nan tangkas dalam membuat senjata tersebut.
"Nak Galuh, kedatangan saya kemari karena saya diutus oleh Ki Janu Baran untuk membawa beberapa denda karena beliau telah membatalkan pertunangan kalian. Saya harap Nak Galuh dan juga Mpu Kapi mau menerima semua pemberian ini dengan hati lapang," ujar Ki Supaka dengan hati-hati dan berkata santun.
Galuh Sucitra menghela napas, ia menatap Ki Supaka dengan tatapan seksama. Jauh di dalam mata hitam kelam itu, ada perasaan terluka yang tak bisa dirasakan oleh yang lainnya.
"Paman aku tahu bahwa kau diutus oleh Ki Janu Baran kemari untuk membawa banyak barang demi menebus denda atas batalnya pertunangan kemarin. Tapi Paman, aku sama sekali tak membutuhkannya. Bawa kembali barang-barang itu atau jika kau takut akan kuasa Ki Janu Baran, bagikan saja kantong-kantong beras, jagung, dan gandum itu pada orang yang kurang mampu yang kau temui di jalan."
Semua terperangah ketika mendengar jawaban Galuh Sucitra. Mpu Kapi beserta istrinya saling pandang tak mengerti tapi memang seperti itu sifat Galuh, pemuda itu tak bisa sedikit saja tersentuh hatinya.
"Nak Galuh, semua ini untuk Anda tapi kenapa ...."
"Tapi saya tidak membutuhkan jadi bawa kembali barang ini dan sampaikan pada Ki Janu Baran bahwa tidak usah merasa sungkan pada rakyat kecil seperti saya. Bukankah sudah wajar jika orang berada seperti beliau berlaku semena-mena pada rakyat kecil seperti saya. Satu lagi ...," Galuh Sucitra menjeda ucapannya. Ada rasa berat yang begitu susah untuk ia ucapkan. "Katakan pada beliau, tolong bahagiakan Roro Sawitri dan jangan membuatnya menangis. Hanya itu, hanya itu penebusan denda yang paling tepat."
Semua orang terdiam dalam sepi. Mpu Kapi dan Nyi Kapi kembali berpandangan, tanpa mereka sadari kedua tangan mereka saling bertaut. Jujur saja jika Galuh Sucitra terusik hatinya, mereka takut akan timbul keributan yang tak diinginkan.
Ki Supaka kini giliran mengembuskan napas berat, ia tertunduk dengan khidmat seakan tahu bagaimana maksud pemuda 25 tahun tersebut.
"Baiklah Nak Galuh, saya tidak bisa memaksa. Saya akan kembali ke kademangan dan menyampaikan pesan Nak Galuh," ujar Ki Supaka pelan. Pria paruh baya itu lalu berbalik badan, memerintahkan anak buah yang mengikutinya untuk kembali menutup peti dan membawanya kembali.
Salah satu anak buah Ki Supaka datang menghampiri, membisikkan sesuatu di telinga pria itu dengan serius. Beberapa detik kemudian, pria bertubuh gemuk itu menganggukkan kepala lalu kembali menatap Galuh dengan perasaan sedih.
"Nak Galuh, kau sudah menolak semua peti berisi bahan pangan tapi apakah kau juga akan menolak sekotak emas ini? Ki Janu sangat perhatian padamu, ia juga membawakan beberapa emas terbaik di kademangan untukmu." Ki Supaka berkata pelan seraya menunjukkan sekotak emas berisi gelang, kalung, dan beberapa batang emas.
Galuh Sucitra hanya bergeming, pria itu hanya menatap biasa pada mewahnya emas yang ditunjukkan di hadapannya.
"Jika Ki Janu Baran perhatian padaku maka ia akan memberikan putrinya padaku. Sudah, bawa kembali emas itu beserta peti bahan pangan. Kami benar-benar tidak membutuhkannya. Aku akan kembali bekerja," ucap Galuh Sucitra tak berminat lalu berbalik badan kembali ke tempat kerjanya di belakang rumah.
Ki Supaka terdiam, ia merasa heran pada pemuda yang ia jumpai kali ini. Lantas bagaimana ia menjelaskannya pada Ki Janu Baran mengenai penolakan ini?
Melihat wajah bingung Ki Supaka, Mpu Kapi maju ke depan memberi penjelasan pada salah satu abdi kademangan tersebut.
"Ki Supaka, maafkan kelakuan putraku yang tidak berkenan. Maaf jika ia berlaku tidak sopan, ia hanya merasa sedih dan kesepian. Tolong sampaikan maaf kami pada Ki Janu Baran karena kami tidak membutuhkan peti-peti itu. Bagi Galuh, kebahagiaan Roro Sawitri lebih penting dari apapun. Jadi, jika Ki Janu Baran bisa membuat Sawitri bahagia maka Galuh sudah pasti akan senang."
Ki Supaka mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti. Bagaimanapun, bagi dirinya yang telah banyak makan garam sudah tahu betul bagaimana perasaan Galuh saat ini. Dirinya juga rakyat kecil, sudah tahu betul bagaimana rasanya diperlakukan semena-mena oleh para pejabat.
"Baik Mpu Kapi, saya mohon undur diri." Ki Supaka akhirnya pamit dan pergi dari kediaman mungil Galuh Sucitra.
Mpu Kapi menghela napas, menatap rombongan Ki Supaka yang meninggalkan rumahnya dengan berbondong-bondong.
"Ki, aku takut penolakan ini membuat Ki Janu Baran marah pada kita," ucap Nyi Kapi mengungkapkan kecemasannya. Wanita berambut putih berdiri di samping Mpu Kapi.
Suara besi kembali ditimpa membuat kedua sesepuh itu melirik sekilas ke arah pintu belakang. Tampaknya Galuh kembali membantai besi-besi panas untuk dijadikan senjata.
"Marah itu sudah pasti, hanya saja aku berharap Ki Janu Baran tidak akan mempermasalahkannya secara berlarut-larut. Semoga hidup kita kembali tentram seperti semula."
****
Sementara Ki Supaka kembali dengan tangan kosong, Ki Loka berhasil sampai di Kadipaten Balegiri dengan beberapa anak buah yang menemani. Kedatangannya ke kadipaten disambut dengan hangat terlebih oleh Bagus Samudra.
Kedatangan Ki Loka langsung berhadapan dengan Bagus Samudra. Pemuda yang sudah beristri tersebut tersenyum manis ketika membaca surat yang telah ditulis oleh Ki Janu Baran lengkap dengan stempel kademangan Bumiwisesa.
Seperti daun yang tertiup angin semilir dari barat, Bagus Samudra seakan hidup diatas awang-awang tatkala permintaannya langsung disetujui oleh Ki Janu Baran beserta keluarga. Seakan tak percaya, pemuda itu bahkan membacanya berulang-ulang kali.
"Katakan pada Ki Janu Baran bahwa aku sudah menerima suratnya dan membacanya. Sampaikan pesanku bahwa tiga hari lagi aku akan mengirim rombongan guna menjemput Roro Sawitri," titah Bagus Samudra tanpa lupa menebar senyum bahagia.
Terbayang di benak pria itu wajah Roro Sawitri yang tengah tersenyum padanya. Duh, sangat manis hingga manisnya gula aren pun tiada sebanding dengan manisnya senyum Roro Sawitri.
Ki Loka membungkukkan badan, ia bersikap hormat pada sang calon akuwu muda di Kadipaten Balegiri. Bagus Samudra lalu melipat surat itu dengan hati-hati, ia melangkah ke meja kerjanya di pendopo lalu mengambil sekantung koin emas yang sudah ia persiapkan dengan teliti.
"Karena kau sudah datang tepat waktu dan menyenangkan hatiku maka terimalah beberapa koin emas ini. Bagilah bersama kawanmu, bersenang-senanglah dan jangan lupa sampaikan pesanku pada Ki Janu Baran," ucap Bagus Samudra lalu melempar sekantung koin emas ke hadapan Ki Loka.
Dengan sigap pria paruh baya menangkap kantung itu. Membungkukkan badan, Ki Loka merasa bahagia dengan apa yang ia terima.
"Terima kasih Ndoro Gusti, kalau begitu saya dan kawan-kawan ijin pamit untuk kembali menyampaikan pesan Anda pada Ki Janu Baran," ucap Ki Loka lalu menjura di hadapan Bagus Samudra.
"Ya, pergilah!"
Ki Loka lantas beranjak pergi dari hadapan Bagus Samudra. Pemuda itu kembali tersenyum, membuka kembali surat tersebut, tak bosan-bosannya ia membaca berulang isi surat tersebut.
Roro Laksmi datang membawa sepoci teh hitam ke meja kerja Bagus Samudra. Wajah nan ayu dengan pakaian mewah yang bertengger di tubuh sintal Roro Laksmi tak membuat perhatian Bagus Samudra teralihkan.
"Kangmas, aku sudah membuatkanmu minum. Mari diminum dulu Kangmas selagi masih hangat dan ada beberapa roti sagu yang aku ...."
"Roro Laksmi ...."
"Ya, Kangmas."
"Bersiaplah untuk tiga hari kedepan."
"Memangnya ada apa Kangmas?" tanya Roro Laksmi dengan dahi mengerut, merasa tak mengerti dengan arah pembicaraan suaminya.
Bagus Samudra kembali tersenyum, ia melipat surat itu dan memasukkannya ke dalam bambu. Meletakkan surat itu dengan hati-hati, sang pemuda menatap Roro Laksmi penuh binar bahagia.
"Aku akan mengirim rombongan untuk menjemput Roro Sawitri. Sebagai istri siapkan kamar terbaik untuk selirku," titah Bagus Samudra dengan suara pelan.
Wajah Roro Laksmi menegang, ia bahkan belum mengungkapkan bagaimana perasaannya saat ini. Bagus Samudra kembali tersenyum, ia melangkah dan duduk di atas kursi kerjanya dengan tenang.
"Untuk kedepannya kamu harus akur dengan Roro Sawitri, jangan sampai aku mendengar kau mengusik dirinya karena kau merasa tidak nyaman tinggal bersamanya. Roro Laksmi, aku akan memiliki istri baru."
Darah Roro Laksmi perlahan mendidih, kedua jari tangannya saling meremas dengan perasaan campur aduk. Kedua bola matanya memanas, ia ingin menangis guna mengungkapkan rasa kekecewaannya.
"Kangmas, kenapa kau begitu nekat? Apa kekuranganku hingga kau berniat untuk mencari istri baru? Aku begitu tulus mencintaimu, aku selalu setia mendukungmu namun kau ...."
"Ketulusan dan kesetiaan itu tidak berlaku dalam hidupku Roro Laksmi. Yang aku tahu, selama aku senang maka aku harus mendapatkannya."
"Lalu, apa Kangmas yakin jika Roro Sawitri juga menyukaimu?"
"Apa pentingnya dia suka padaku atau tidak, yang aku tahu, aku harus mendapatkannya. Sama seperti dirimu, ketika aku jatuh cinta padamu, aku harus mendapatkanmu. Dan itu jiga berlaku ketika aku bertemu Roro Sawitri."
"Kangmas ...."
"Keberatanmu aku tolak. Di dunia ini tak ada pria segagah Bagus Samudra, apapun yang Bagus inginkan maka Bagus harus dapatkan. Apa kau mengerti Roro Laksmi? Jika kau tetap tak bisa menerima maka pergilah! Keputusan hanya ada dua pilihan. Menerima dan bertahan atau pergi lalu bercerai."
Bagus Samudra menyeringai, ia mengerti saat ini Roro Laksmi tidak akan mungkin membantah segala keputusannya. Wanita itu sudah telanjur jatuh hati padanya. Jadi apa? Ya, wanita akan tetap rela disakiti selama ia jatuh hati dan memiliki cinta di hatinya.
*****
Jangan lupa kisah ini butuh VOTE untuk berkembang ya. Segera klik VOTE dan follow akun.
Thank you, Dear.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top