PART ENAM

****
Sore itu matahari masih bersinar dengan terik, sinarnya yang terasa panas masih sanggup membakar kulit para hamba pencari nafkah di tanah Bumiwisesa. Para petani beberapa terlihat riang pulang ke kediaman, cicit burung perkutut sayup-sayup terdengar dari balik pohon guna mengisi suasana sore yang begitu syahdu lagi tentram.

Ki Supaka akhirnya kembali ke kademangan dengan tangan kosong. Wajah pria bertubuh gemuk itu terlihat pucat dan menegang akibat memikirkan kira-kira amarah yang seperti apa yang bakal ia terima dari Ki Janu Baran. Namun sebagai seorang laki-laki, Ki Supaka tidak sepenuhnya menyalahkan perasaan Galuh Sucitra. Laki-laki di belahan dunia mana pun tetap akan merasa terhina jika lamarannya tempo hari dikembalikan secara sepihak.

Seperti biasa, Ki Janu Baran terlihat santai di pendopo tengah. Pendopo yang berwujud rumah joglo lama dengan beberapa tiang kayu jati sebagai peyangga dan lantai yang terlihat begitu sangat luas itu digunakan untuk menerima tamu ataupun memberi tugas-tugas pada abdi dalem.

Dengan bersiul kecil, Ki Janu Baran tengah memainkan jarinya di depan sebuah sangkar cantik berisi burung perkutut kesayangannya. Siulan-siulan kecil itu memicu sang burung untuk berkicau sesuai seperti yang diinginkan oleh sang tuan.

Ki Supaka berjalan dengan hati-hati memasuki pendopo, hatinya berpacu dengan hebat. Semoga gustinya tidak marah besar sehingga ia tidak menerima hukuman berat.

"Gusti ndoro, saya menghadap," ucap Ki Supaka lalu berjalan jongkok di hadapan Ki Janu Baran. Pria paruh baya dengan kulit putih bersih itu menjura-kan kedua tangannya di depan dada dengan penuh khidmat.

Ki Janu Baran berbalik, menghentikan siulannya pada sang burung lantas menghampiri Ki Supaka dengan wajah terlihat begitu serius.

"Hasil apa yang kaubawa, Ki Supaka?" Pertanyaan itu langsung tertuju tanpa basa-basi lagi di hadapan Ki Supaka. Sang paman menundukkan kepala, bersiap menerima arah dari sang tuan karena tidak berhasil membawa kabar gembira.

"Gusti ndoro, ampun bila laporan saya tidak berkenan di hati Ndoro Demang. Saya sudah datang ke kediaman Galuh Sucitra tapi pemuda itu menolak semua barang bawaan yang sudah saya bawa. Galuh berpesan jika ia tidak mengharapkan apapun selain kebahagiaan Roro Sawitri. Pemuda itu menginginkan agar Ndoro bisa membuat Roro Sawitri bahagia," lapor Ki Supaka dengan hati-hati sambil tertunrduk menatap lantai yang terbuat dari batuan marmer.

"Lancang! Berani-beraninya dia menolak pemberianku," hardik Ki Janu Baran seraya menggebrak meja tugas yang berada di samping kirinya. Ki Supaka kembali menjura, merasa takut akan kuasa Ki Janu Baran.

"Dia kira dia siapa? Dia hanya anak miskin yang berani menentang kekuasaanku. Dia kira dia siapa? Hanya pandai besi yang berani sekali menentang kekuasaanku di sini!" marah Ki Janu Baran dengan wajah memerah bak api yang berkobar.

Roro Sawitri yang mendengar gelegar suara rama-nya, merapat ke pendopo guna mencuri dengar bahasan apa yang membuat sang rama begitu marah. Selama tinggal di kademangan, Roro Sawitri jarang mendengar sang rama marah terlebih hingga menggebrak meja dan berteriak lantang bak orang kesurupan.

"Jika aku mau, aku bisa mengusir Galuh Sucitra dari wilayah Bumiwisesa!" marahnya sekali lagi dengan napas naik turun karena menahan gemuruh yang hebat di dalam dada.

Suasana terasa begitu panas, kemarahan Ki Janu Baran hanya bisa didengarkan dengan setia oleh Ki Supaka. Hingga akhirnya Ki Loka datang dari kadipaten Balegiri guna menghadap Ki Janu Baran sore itu.

"Gusti Demang, saya menghadap. Saya membawa kabar gembira untuk Anda, Tuan." Ki Loka menghadap dengan wajah berseri-seri, ia berjongkok di hadapan Ki Janu Baran lalu menjurakan tangan.

"Kabar baik apa yang kaubawa?" tanya Ki Janu dengan nada kaku. Kemarahannya mulai menurun ketika ia mendengar ada kabar gembira dari Balegiri.

"Kanjeng Akuwu Nak Mas Bagus Samudra akan menjemput Roro Sawitri dalam waktu tiga hari, Ndoro. Beliau terlihat sangat senang ketika menerima surat dari Anda," jawab Ki Loka dengan tenang dan enteng.

Ki Janu Baran menghela napas, kemarahan yang tadinya meledak kini berangsur-angsur pulih dengan senyuman khas si demang berkumis lebat. Pria paruh baya itu manggut-manggut, merasa puas dengan laporan Ki Loka dari Balegiri.

"Baiklah, aku akan mempersiapkan semuanya dalam waktu tiga hari. Sekarang kalian berdua kembalilah bekerja, aku sudah mendengarkan laporan kalian masing-masing." Ki Janu Baran kembali menitahkan tugasnya membuat kedua pria tersebut menganggukkan kepala lantas pergi tanpa lupa menjura di depan dada.

Ki Janu Baran tersenyum puas, ia lupa akan kemarahannya pada Galuh Sucitra. Persetan dengan pemuda itu, kini ia harus mempersiapkan pernikahan putrinya. Terbayang dalam benak Ki Janu Baran alangkah serasinya jika Roro Sawitri bersanding dengan Bagus Samudra. Dibalik itu, tentu saja Ki Janu Baran tergiur akan jabatan yang telah diiming-imingkan oleh si akuwu muda. Ya, siapa yang tidak mau memiliki jabatan langgeng dan memiliki banyak harta. Ki Janu Baran pun sudah pasti mau.

****
Hati Roro Sawitri terasa hancur tatkala ia mendengar dan mencuri dengar percakapan ramanya dengan sang abdi dalem. Gadis itu tak menyangka jika rencana ayahnya sudah sampai ke tahap yang begitu serius. Bagai disambar petir, hati Roro Sawitri merasa remuk ketika ia tahu dalam waktu tiga hari ia akan diboyong dan dibawa ke Balegiri. Itu artinya tak ada lagi kesempatan baginya untuk bertemu dengan Galuh Sucitra. Duh Gusti, dosa apa yang telah diperbuatnya hingga langkah kakinya pun terasa sakit dan nyeri?!

Menangis sedih, Roro Sawitri bersimpuh di sisi ranjang. Gadis berkulit putih bersih itu menangisi nasibnya yang begitu buruk. Darimana sifat tamak ramanya itu datang? Dulu ketika beliau tahu hubungannya dengan Galuh, ramanya bahkan menyambut hubungan keduanya dengan baik tapi kenapa-, kenapa ketika penguasa Balegiri datang, Roro Sawitri seakan tak pernah mengenal lagi sifat ramanya.

"Ndoro putri, sudah jangan menangis lagi. Terima pernikahan ini dengan hati ikhlas. Gadis di tanah jawa harus ngebekti sama rama ibu, tidak boleh durhaka apalagi membangkang. Gusti ayu, ramamu sudah menjadi kanjeng ibu sedari kau masih kecil, berbaktilah dan nurut padanya, Ndoro." Mbok Kasih datang menghampiri seraya mengelus punggung Roro Sawitri.

Gadis itu masih menangis sesenggukan, ia berbalik badan lalu memeluk Mbok Kasih dengan pilu. Sedari kecil ia dirawat oleh Mbok Kasih, jika ia merasa sedih hanya abdinya itu yang sanggup menghibur hatinya.

"Mbok, saya mencintai Kangmas Galuh, bukan Bagus Samudra." Roro Sawitri merintih dalam tangisnya, ia memeluk Mbok Kasih semakin erat.

Sang abdi terdiam, rasa sesak dalam dada itu menjalar jauh ke dalam hati wanita tua. Ia mengetahui perasaan gustinya tapi apa daya, keputusan sang rama jauh lebih penting dari apapun.

"Cah ayu jangan sedih, jika Ndoro mau ikhlas menerima, Simbok yakin, Cah ayu pasti juga akan bahagia hidup di samping Nak Mas Bagus," hibur Mbok Kasih seraya mengelus rambut Roro Sawitri yang tergerai panjang sepunggung.

"Tapi Mbok, saya hanya mencintai Kangmas Galuh dan bukan Kangmas Bagus. Saya hanya mau hidup dengan Kangmas Galuh, bukan yang lainnya." Lagi-lagi Roro Sawitri menekankan isi hatinya pada Mbok Kasih. Wanita tua dengan gelungan sederhana di kepala itu terbungkam, hatinya bergemuruh hebat. Naluri kewanitaannya akhirnya runtuh, ia pun turut menangis bersama Roro Sawitri.

"Mbok, ijinkan saya bertemu dengan Kangmas Galuh, Mbok." Roro Sawitri melepas pelukannya, menatap Mbok Kasih yang turut berkaca-kaca.

"Jangan Gusti nanti jika rama mencarimu, Simbok harus bilang apa? Kasihaninlah saya, Ndoro." Mbok Kasih lalu menghapus air mata yang membasahi pipinya dengan jarik lurik yang ia pakai.

"Kasihanilah saya juga, Mbok. Anggap ini adalan permintaan terakhir saya selama tinggal di Bumiwisesa. Jika saya telah pergi ke Balegiri, saya tidak mungkin bisa lagi bertemu Kangmas Galuh. Mbok, tolong saya," rengek Roro Sawitri kembali menangis.

Jiwa keibuan Mbok Kasih kembali runtuh. Anak gadis Ki Janu Baran tidak pernah menderita, ia selalu pandai menyimpan isi hatinya, tapi tidak untuk kali ini. Mbok Kasih begitu mengenal Roro Sawitri, ia terlalu menderita akhir-akhir ini.

"Baiklah, Simbok akan cari cara agar Gusti ayu bisa keluar dari pendopo. Tapi Gusti ayu harus janji segera kembali sebelum malam hari. Atau perlu saya temani, Ndoro?" tanya Mbok Kasih akhirnya luluh.

Roro Sawitri menghentikan tangis, ia menyeka air mata yang tumpah di kedua pipinya yang merah. Menggenggam erat kedua tangan abdinya, Roro Sawitri seakan mendapatkan secercah harapan untuk bertemu dengan kekasihnya.

"Jangan, Mbok. Jika kita pergi berdua, saya takut rama akan curiga dan marah. Sebaiknya Simbok memikirkan alasan yang tepat selama saya pergi," ucap Roro Sawitri pelan. Mbok Kasih menganggukkan kepala tanda mengerti.

Roro Sawitri lantas beranjak berdiri, bersiap untuk melarikan diri sekali lagi dari pendopo kademangan melalui pintu belakang dimana di sana tidak dijaga oleh para pengawal pilihan sang rama.

Mbok Kasih kembali mengusap wajahnya yang memerah habis menangis. Hatinya turut sedih atas nasib sang momongan. Mbok Kasih sudah menganggap Roro Sawitri seperti anaknya sendiri, sebentar lagi ia pun bersiap untuk melepas Roro Sawitri. Ada rasa kehilangan dalam diri Mbok Kasih, jika ia boleh meminta maka ia akan meminta untuk ikut ke Balegiri menemani Roro Sawitri hingga ajal benar-benar menjemputnya. Itu jika Ki Janu Baran memperbolehkan, jika tidak maka ia akan pensiun dari tugasnya dan kembali menjadi petani sejati.

****
Kaki Roro Sawitri terus saja berlari, ia mengejar waktu berusaha menemui Galuh Sucitra untuk yang terakhir kali. Rasa rindu yang membuncah tak kuasa ia bendung lagi, ia ingin bertemu dengan Galuh. Ingin sekali.

Beberapa bongkah batu gunung tanpa sengaja ia sandung, ia terjungkal tapi bagi Roro Sawitri tidak ada alasan untuk berhenti. Gadis berlesung pipi terus saja melangkahkan kaki menuju ke kediaman Galuh Sucitra. Pemuda itu, pemuda yang membuatnya mabuk hati dan tak berdaya. Jika bukan karena dia, ia tidak mungkin berani keluar dari rumah seorang diri tanpa pengawasan.

Melewati sekumpulan pohon jati yang lebat, Roro Sawitri tak memiliki rasa takut dalam hatinya. Tak terlintas dalam benaknya jika seumpama ada begal dan perampok menghadangnya, Roro Sawitri hanya memikirkan cara bagaimana ia bisa menemui Galuh Sucitra.

Mengejar waktu, melirik sekilas ke arah barat Roro Sawitri berusaha terus bergegas. Ia tidak boleh kehilangan kesempatan.

Setelah berjuang melewati hutan jati, menelusuri bebatuan gunung yang panjang, akhirnya Roro Sawitri sampai juga ke sebuah rumah joglo tua dimana di belakang rumah itu terdengar dengan nyaring suara besi ditimpa sahut-sahutan.

"Roro Sawitri ...." Mpu Kapi tertegun ketika melihat kehadiran Roro Sawitri seorang diri. Gadis itu terdiam, menata napasnya yang naik turun sehabis berlari.

"Bapa, saya ingin bertemu dengan Kangmas Galuh. Ijinkan saya bertemu, Bapa." Roro Sawitri memohon ijin, membuat Mpu Kapi hanya bisa menunjuk ke arah belakang rumah.

Tanpa banyak bicara Roro Sawitri berlari ke arah belakang rumah, menyusul keberadaan pria yang sangat ia cintai. Membenahi selendang merah yang membungkus kedua bahunya, Roro Sawitri tersenyum lega ketika melihat tubuh setengah telanjang tengah menimpa besi-besi tua. Tak peduli dengan peluh keringat yang bercucuran, Roro Sawitri mendekat ke arah Galuh Sucitra. Ia sangat merindukan pria itu. Pria dengan segala kepolosannya, bekerja tiada henti walau malam telah tiba. Ya, ia merindukan punggung itu.

"Kangmas ...." panggil Roro Sawitri pelan membuat Galuh Sucitra menghentikan tempaannya pada salah satu besi di hadapannya.

Pria itu ragu, ia menoleh ke belakang dengan hati-hati. Betapa terpananya Galuh ketika tahu akan kehadiran Roro Sawitri, gadis pujaannya. "Nimas ...."

Galuh Sucitra melepaskan palu di tangannya, bergegas menyambut kedatangan Roro Sawitri dengan hati gegap gempita. Wajah lelah yang terlihat kini lenyap setelah keduanya saling bertemu. Galuh Sucitra tersenyum manis, menghampiri Roro Sawitri penuh rindu.

"Nimas, apakah benar ini dirimu?" tanya Galuh Sucitra lirih. Ia menatap kekasihnya dengan mata mulai berkaca-kaca. Serindu apapun ia pada gadis ini, kenyataan bahwa ia bukanlah jodohnya sangatlah menusuk. Kesakitan yang tercipta tempo hari tidak akan lenyap begitu saja.

"Kangmas ..., saya hanya menyukaimu, tidak ada yang lain. Hanya dirimu, Kangmas." Roro Sawitri berkata pelan, berusaha meyakinkan hati di hadapan Galuh Sucitra.

Pemuda berkumis tipis menggigit bibir, tak ada suara dari bibirnya yang tipis. Hatinya remuk ketika gadis pujaannya berkata demikian. Perlahan ia memberanikan diri untuk menaut kedua tangan halus Roro Sawitri.

"Saya pun mencintai kamu lahir batin, Nimas. Tapi kuasa ramamu tidak bisa saya tentang. Maaf jika saya salah tapi saya tidak pernah berniat untuk menyakitimu," ucap Galuh dengan wajah tak kalah sedih.

Keduanya saling terdiam, Roro Sawitri menundukkan wajah guna menutupi kedua matanya yang mulai bermasalah. Ia kembali menangis, mengadu akan rasa sakit yang tak bisa ia tahan sendiri.

"Kangmas, saya hanya ingin hidup bersamamu. Hanya bersamamu."

*****************
VOTE baby, jangan lupa ya. Thanks untuk dukungannya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top