PART EMPAT BELAS
****
Tanah merah pagi itu masih terasa lembab oleh tetesan embun yang turun dari pucuk dedaunan. Dari arah timur sorot mentari memancar kuning keemasan. Cuitan burung pipit menambah suasana pagi yang begitu asri di kadipaten Balegiri.
Membuka mata dan menyadari tengah berada di tanah kelahiran orang, hati Roro Sawitri terasa sendu. Rasa sepi yang hinggap dalam dadanya sama sekali tak bisa terhapus oleh waktu. Perjalanan panjang dan tak berujung kini tengah ia lalui. Entah, apakah ia akan menemui titik bahagia atau justru akan menderita selamanya.
Duduk di depan kaca benggala, Roro Sawitri dapat melihat tanda merah yang membekas di pipi kirinya. Ya, Bagus Samudra telah murka padanya tadi malam dan melayangkan tangannya yang keras ke wajah cantik Roro Sawitri. Bagi gadis berlesung pipi itu kemarahan Bagus jauh lebih baik dibanding ia harus melepaskan mahkotanya pada pria yang sama sekali tidak ia cintai. Roro Sawitri lebih memilih mati membusuk daripada hidup berkalang derita yang tak berkesudahan.
Mbok Kasih terdiam, perasaannya turut campur aduk ketika mendapati bekas tamparan di pipi Roro Sawitri yang tentu saja terlihat begitu mencolok. Wanita tua itu tak dapat berbuat apa-apa selain menyisir rambut momongannya dengan sangat lembut.
Deritan pintu menyadarkan keduanya. Baik Mbok Kasih maupun Roro Sawitri, mereka melayangkan tatapan ke arah pintu menyusul seorang wanita muda datang menghampiri mereka.
Roro Laksmi menatap Roro Sawitri dengan tatapan tajam, hal itu membuat sang gadis merasa heran dan tak mengerti.
"Selamat pagi, adhi Sawitri. Bagaimana dengan malam pertamamu dengan Kangmas Bagus?" tanya Roro Laksmi tanpa basa-basi. Wajah wanita itu terlihat cemburu, tapi ia menahannya dengan perasaan yang luar biasa sesak.
Roro Sawitri bangkit dari kursi, tak ada jawaban dari bibir mungil tersebut. Melihat bekas tamparan di wajah sang gadis, Roro Laksmi tersenyum samar. Sepertinya malam pertama mereka tidak berjalan dengan lancar. Entah, mengetahui hal itu hati Roro Laksmi merasa berbunga-bunga.
Mendengar pertanyaan yang terasa begitu pribadi dari bibir wanita itu, Mbok Kasih lantas menjura dan mohon pamit untuk meninggalkan mereka berdua.
"Sepertinya Kangmas Bagus sedikit kasar padamu, tenanglah. Dia memang selalu berapi-api jika mengajak bercinta seorang gadis," timpal Roro Laksmi lalu berjalan menghampiri beberapa pot bunga wijaya kusuma yang bunganya mulai layu ketika kala siang tiba.
"Siapa dirimu? Kenapa aku belum pernah melihatmu?" tanya Roro Sawitri memberanikan diri untuk bertanya. Mendengarkan pertanyaan itu, hati Roro Laksmi seakan terbakar. Wanita berkemben hijau muda lantas tertawa terbahak, sungguh tak ada unggah-ungguh yang tercermin dari wanita itu.
"Sepertinya Kangmas Bagus sudah menyiapkan segalanya dengan begitu matang, lihat saja bagaimana ia menyiapkan bunga wijaya kusuma di dalam kamarmu. Ah, ranjang putih ini pasti telah menjadi saksi pergumulan kalian semalam. Bagaimana, apakah Kangmas Bagus begitu perkasa tadi malam?" goda Roro Laksmi lalu kembali tertawa.
Roro Sawitri terdiam, ia mulai tidak menyukai lagak perempuan tersebut. Sebenarnya siapa dia? Kenapa ia begitu mengenal Kangmas Bagus?
"Kau ingin tahu siapa diriku, Adhi Sawitri?" tanyanya seraya membalikkan badan dan menatap ke arah Roro Sawitri dengan pandangan menantang.
"Aku Roro Laksmi, istri pertama Kangmas Bagus Samudra. Kau bisa memanggilku kakangmbok, adhi Sawitri. Jangan lupa, sekarang kita ini seperti saudara. Jika kau merasa ada sesuatu yang ingin kau bicarakan padaku, jangan sungkan. Oh ya, Kangmas Bagus sangat suka mencumbu dari belakang. Kira-kira tadi malam seperti apakah dia memperlakukanmu?" tandas Roro Laksmi terdengar seperti mengolok.
Sama seperti biasanya, Roro Sawitri mengunci mulut rapat-rapat. Hatinya bergemuruh ketika tahu kenyataan bahwa Bagus Samudra telah beristri sebelumnya. Kenapa, kenapa Roro Sawitri kali ini merasa begitu ditipu?!
"Baiklah, Adhi Sawitri saat ini kau perlu beristirahat. Mungkin Kangmas Bagus akan mendatangimu lagi pagi ini, sebaiknya aku tidak mengganggu hubungan kalian." Roro Laksmi berbalik badan, meninggalkan Sawitri seorang diri di kamar tanpa lupa membanting pintu keras-keras.
Kedua kaki Roro Sawitri terasa lemas, ia kembali terduduk dengan hati tercabik. Saat ini pada siapa lagi ia harus mengadu? Apakah ramanya sudah tahu jika Bagus Samudra telah memiliki istri sebelumnya? Jika ya, mengapa ramanya begitu tega mendorongnya ke sebuah jurang yang sama sekali tak berdasar.
Benar saja tebakan Roro Laksmi, tak lama kemudian pintu itu kembali berderit menampilkan sosok Bagus Samudra yang memakai beskap putih. Pria itu terlihat begitu tampan, sayang sekali wajahnya yang tampan tidak sebanding dengan hatinya yang busuk.
"Nimas, bagaimana dengan dirimu? Tadi malam aku telah berbuat kasar padamu jadi maafkan kekhilafanku, Nimas." Bagus berkata pelan seraya mendekat. Tangan kanan pria itu perlahan mengelus bahu Roro Sawitri yang terbuka.
Gadis itu terdiam, ia tertunduk dengan hati menggumpal marah. Tanpa sadar gadis itu menggenggam kedua tangannya dengan begitu erat. Perlahan Bagus Samudra membungkuk, mendekatkan wajahnya ke ceruk leher sang gadis. Aroma bunga melati menguar dari tubuh gadis itu, sekali lagi membuat nafsu Bagus Samudra kembali bangkit dan tak tertahankan.
"Nimas, bagaimana dengan pagi ini? Aroma tubuhmu begitu menggoda. Aku menginginkanmu, Nimas," bisik Bagus Samudra di telinga Roro Sawitri. Gadis itu mendadak merasa jijik, ia lantas mendorong tubuh pria itu agar menjauh dari tubuhnya.
"Menjauh dari tubuhku, Kangmas. Aku benci padamu," teriak Roro Sawitri lalu bangkit dari kursi yang ia duduki. Bagus Samudra terhuyung mundur, wajahnya terlihat bingung. Ia tak menyangka jika Roro Sawitri masih begitu marah padanya.
"Nimas, ada apa? Aku sudah meminta maaf padamu. Aku ini suamimu, apa salah jika aku menginginkan dirimu sepagi ini?" tandas Bagus Samudra mendadak kesal.
"Kangmas, kau sudah membohongiku. Kenapa kau tak pernah bilang jika kau sudah beristri? Kenapa kau begitu tega padaku? Apa salahku padamu di kehidupan yang lalu Kangmas, apa?" tegas Roro Sawitri dengan air mata yang berderai hebat.
Bagus Samudra terdiam, namun tak lama kemudian ia tersenyum kecil lalu mendekat ke arah Roro Sawitri. "Jika kau bisa membahagiakanku maka aku akan menceraikan Roro Laksmi untukmu. Nimas, hidupku sederhana. Jika kau bisa memuaskanku, apapun keinginanmu sudah pasti aku kabulkan. Jadi, mari kita lakukan pagi ini."
Tangan Bagus Samudra meraih tangan Roro Sawitri tapi gadis itu segera menepisnya dengan keras. Ia terlalu murka dengan pria pembohong seperti Bagus Samudra. Bagaimana ia bisa memaafkan pria yang telah memalsukan statusnya demi mendapatkan wanita lain? Sungguh, seperti itukah kelakuan akuwu di Balegiri?!
"Pergi dari kamarku, Kangmas. Aku tidak ingin melihatmu," tandas Roro Sawitri lalu membelakangi Bagus Samudra. Hal itu membuat Bagus tak kalah murka, ia kembali menarik tangan Roro Sawitri dengan kasar.
Tak peduli dengan tangisan gadis bermata cokelat, Bagus Samudra mendekap tubuh Roro Sawitri dengan erat. Pria itu lantas menarik paksa wajah gadis tersebut, memaksa untuk mencium bibir Roro Sawitri.
Gadis itu meronta, namun dekapan Bagus Samudra terlalu kuat untuknya. Ia hanya bisa merasakan sakit yang luar biasa di dalam dada ketika Bagus Samudra melabuhkan lumatan gila di bibir tipisnya.
Lima menit berselang, Bagus Samudra melepaskan ciuman kasarnya dan merenggangkan dekapannya. Tersenyum tipis, Bagus Samudra merasa puas telah mencium Roro Sawitri pagi itu. Bibir yang ranum dan merah muda telah ia dapatkan, lain hari pelan tapi pasti ia akan mendapatkan apa yang selama ini ia idam-idamkan. Tentu saja.
"Nimas, hapus air matamu. Aku menunggumu di pendopo untuk sarapan bersama," ujar Bagus Samudra pelan seraya mengusap bibirnya dengan ibu jari. Pria itu tersenyum tipis lalu berbalik pergi dari kamar istri barunya.
Roro Sawitri sesenggukan, ia merasa muak dengan dirinya sendiri. Gadis itu seakan tak memiliki daya untuk melawan Bagus Samudra. Jatuh terduduk di lantai, Roro Sawitri merasa kotor dengan tubuhnya.
"Kangmas Galuh, kenapa kau tega padaku? Kenapa kau tidak menjemputku ke sini? Aku sudah tidak kuat dengan semua ini. Duh, Gusti cabut saja nyawaku."
Pandangan Roro Sawitri tiba-tiba tertuju pada pisau yang tersaji dekat piring buah. Ia lantas bangkit, meraih pisau itu dengan gegap gempita. Tangisnya mendadak berhenti ketika melihat pisau tersebut. Terbayang jelas di matanya bagaimana Bagus memperlakukannya dengan kasar, terbayang juga bagaimana sikap ramanya yang begitu tidak memihak padanya. Terbayang senyum Galuh yang begitu tulus padanya ketika pria itu pertama kali mengajukan lamaran. Semua itu terbayang secara bergantian di memori otak Roro Sawitri.
Memejamkan mata rapat-rapat, Roro Sawitri lantas menyayatkan pisau itu di sisi lehernya dengan cepat. Darah mengucur, membasuh tubuh putih Roro Sawitri. Gadis itu terjatuh di lantai, tangannya masih menggenggam pisau dengan erat.
Air mata gadis itu kembali menetes, pandangannya mulai menggelap seiring dengan bayangan Galuh Sucitra yang tengah tersenyum dan tertawa bersamanya.
"Nimas, jika kau menjadi istriku maka namamu akan berganti menjadi Nyi Galuh. Kau tahu Nimas, aku akan membuatkan pisau tertajam untuk kau gunakan memasak daging sapi. Masakkan aku kuah daging sapi yang paling enak. Jika sore telah tiba, mari nikmati air putih dari kendi di sisi pematang sawah bersama-sama. Nimas, aku mencintaimu, sama seperti aku mencintai diriku."
Sekali lagi air mata Roro Sawitri kembali menetes, harapan itu kini telah tiada. Bagaimana ia bisa bahagia jika jiwanya telah menyatu dengan Galuh Sucitra. Mata Roro Sawitri perlahan menutup, darah terus saja mengucur menbasahi rambutnya yang hitam legam.
Gusti, lebih baik aku mati, lebih baik aku pergi. Dengan begitu, aku tidak perlu lelah memikirkan semua ini. Ijinkan aku kembali ke sisimu, Gusti.
*******///*****
Yuk di VOTE dan follow akunnya ya.
Terima kasih banyak.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top