PART EMPAT

****
Gelang alit bermata merah muda seakan menjadi saksi bisu terpisahnya cinta suci antara Roro Sawitri dengan Galuh Sucitra, pria sederhana dengan pemikiran sederhana layaknya api yang mencintai kayu. Meskipun Roro Sawitri tak punya daya untuk menolak kehendak sang rama tapi gadis manis berlesung pipi itu tetap pada pendiriannya. Ia tetap menyimpan cinta yang tulus pada Galuh Sucitra.

Semenjak hari itu, keluarga Ki Janu Baran mulai repot mempersiapkan pernikahan antara Roro Sawitri dengan Bagus Samudra. Tak ingin perasaan putrinya berbalik, Ki Janu Baran sesegera mungkin mengutus punggawa kademangan untuk menyampaikan kesanggupan Roro Sawitri untuk dipersunting Bagus Samudra.

Tak hanya itu, pria tua berkumis lebat juga ingat akan janjinya pada keluarga Galuh Sucitra. Maka dari itu, pada siang hari yang terik dimana matahari dengan gagahnya menyinari jalanan Bumiwisesa, Ki Janu Baran memerintahkan abdinya yang lain untuk membawa tiga buah peti hasil panen berupa lima karung beras, tiga karung jagung dan dua karung gandum. Tak lupa juga pria itu membawa sekotak perhiasan terbaik yang dimiliki kademangan Bumiwisesa untuk menebus kesalahannya karena telah berani membatalkan peningsetan yang telah terjadi satu bulan yang lalu.

"Ndoro demang, ada apakah hingga gusti ndoro memanggil kami berdua?" tanya Paman Loka di hadapan Ki Janu Baran. Dua pria bertubuh gemuk duduk bersimpuh di lantai, keduanya tak lupa menjura pada gustinya, Ki Janu Baran.

"Paman Loka, aku ingin memerintahkanmu untuk pergi ke Balegiri. Sampaikan suratku pada Nak Mas Bagus Samudra, ini mengenai persetujuan putriku untuk menikah dengan beliau," ujar Ki Janu Baran dengan nada bangga seraya menyerahkan sebuah surat yang terbuat dari kain kasar warna putih susu yang dibungkus dengan gulungan bambu pada Paman Loka.

"Baik, Ndoro." Paman Loka lalu mengangguk, ia perlahan berdiri lalu menerima surat itu dari tangan majikannya.

Pandangan Ki Janu Baran lalu tertuju pada pria gemuk satunya, Paman Supaka. Pria itu berperawakan sama dengan Paman Loka, hanya saja ia terlihat lebih muda beberapa tahun dan memiliki warna kulit yang begitu bersih.

"Paman Supaka, bawa tiga buah peti berisi lima karung beras, tiga karung jarung, dan dua karung gandum putih ke kediaman Galuh Sucitra. Tak lupa juga minta ke abdi dalem, mbok Kasih, untuk meminta sekotak perhiasan terbaik yang dimiliki oleh Kademangan Bumiwisesa. Katakan pada keluarga Mpu Kapi dan juga Galuh, semua barang yang kaubawa adalah wujud rasa menyesalku dan juga denda karena telah membatalkan peningsetan. Tak usah menunggu sore, kalian segeralah pergi ke kediaman keduanya." Ki Janu Baran memerintah dengan tatapan tajam. Pandangan pria yang berkuasa di Bumiwisesa jatuh pada kedua pria itu penuh isyarat tak ingin penolakan.

"Baik, Ndoro," ucap Paman Loka bersamaan dengan Supaka lantas membungkukkan badan dan menjura. Perlahan mereka meninggalkan pendopo kademangan dengan wajah heran yang tak bisa ditutupi.

"Supaka, kasihan ya Galuh Sucitra, ia bahkan sudah menunggu hari pernikahannya jauh-jauh hari tapi justru ketika hari pernikahan sudah tiba, calon pengantinnya malah diberikan pada orang lain," celetuk Ki Loka setelah jauh dari pendopo kademangan.

"Sstt ..., hati-hati kalau bicara kalau Ndoro Demang dengar, kita bakal dikeluarkan dari pendopo. Memang benar sih kasihan Galuh tapi Ki Janu Baran kan punya kuasa atas Roro Sawitri. Lagipula siapa yang tak tergiur punya mantu kaya calon akuwu pula. Sudah, sudah, ayo kita laksanakan tugas kita masing-masing. Jangan sampai Ndoro Demang manggil kita karena tugas tak terselesaikan," ujar Supaka menimpali.

Ki Loka menganggukkan kepala. Mereka lalu berpencar sesuai tugas mereka masing-masing. Ki Loka pergi ke area kandang kuda guna meminjam kuda yang digunakan sebagai alat transportasi ke Balegiri, ia pun harus mengurus ijin pada kusir yang menjaga area perkandangan.

Begitupun dengan Ki Supaka, ia pergi ke arah lumbung pangan di gudang kademangan yang berada di bagian paling belakang pendopo. Pria itu menyampaikan tujuannya dan meminta ijin pada petugas yang menjaga lumbung pangan untuk mengambil beberapa karung pangan sesuai yang diminta Ki Janu Baran.

****

Dalam pikiran Roro Sawitri, ia masih mengingat jelas bagaimana pertemuan pertama mereka. Pertemuan manis di pendopo kademangan satu tahun lalu memang tak bisa ia lupakan. Galuh Sucitra datang ke pendopo guna menyerahkan beberapa keris pesanan ramanya, kala itu sang rama sedang bertugas keliling desa guna mengecek sistem perairan yang tengah digalakkan. Pertemuan mereka yang pertama, ketika Galuh Sucitra tersenyum ramah padanya, ketika pria berkumis tipis itu menyerahkan pesanan ramanya dengan penuh kehati-hatian, sungguh mencuri hati Roro Sawitri.

Kini, senyum manis Galuh Sucitra takkan mampu dinikmati oleh Roro Sawitri lagi. Dalam hitungan hari ke depan, ia mungkin akan melangsungkan pernikahan di Balegiri. Hal itu sangat menyakitkan bagi Roro Sawitri terlebih ia harus menyanding pria asing yang sama sekali tidak ia kenal.

Menitikkan air mata lagi, sang gadis duduk di depan kaca benggala besar yang terpajang di kamarnya. Hati Roro Sawitri sedih ketika otaknya kembali merekam memori terakhir pertemuannya dengan si Mpu pandai besi nan tampan.

"Sudah, Ndoro ayu jangan menangis lagi. Tidak semua keinginan itu harus terwujud, jika Nak Mas Galuh bukan jodoh Ndoro ayu, walau dikejar apapun tetap takkan berjodoh," nasihat Mbok Kasih muncul dari balik pintu lalu menghampiri Roro Sawitri yang lagi-lagi menangisi nasibnya.

"Mbok, saya sedih karena harus menikah dengan pria yang tidak saya cintai. Lebih baik saya mati daripada harus melayani pria yang tidak saya inginkan," rintih Roro Sawitri pelan, gadis itu seakan tak punya tenaga lagi untuk menjeritkan isi hati.

"Sstt ..., Ndoro Ayu tidak boleh bicara begitu. Jodoh dan mati itu takdir yang berbeda, jika jodoh itu bisa diubah maka berbeda sama mati. Kalo mati,  semua sudah putus. Ndoro tidak akan bisa lagi melihat atau mencintai siapapun yang Ndoro inginkan," tukas Mbok Kasih lalu mengusap bahu mungil Roro Sawitri.

Gadis itu masih menitikkan air mata, tidak terbayangkan dalam benaknya bagaimana ia berjalan di samping pria asing menggunakan kemben emas dan tujuh buah tusuk konde emas yang bertengger di kepalanya. Sungguh pernikahan yang dulunya ia idamkan kini menjadi momok yang tak terelakkan.

"Ndoro, mulai sekarang lupakan Galuh Sucitra, belajarlah hidup dengan Nak Mas Bagus. Saya rasa Anda harus menerapkan 'tresno jalaran saka kulina' agar Anda tahu, tidak semua kisah cinta itu buruk dan menakutkan."

****
Galuh Sucitra menghabiskan semua waktunya di tempat pemandaian besi di belakang rumahnya. Bersamaan dengan beberapa pandai besi lainnya, Galuh Sucitra bersikap dingin dan bekerja jauh lebih giat. Beberapa pandai besi lainnya merasa heran akan tingkah Galuh yang begitu memporsir jam kerjanya. Bahkan tengah malam, ketika beberapa pandai besi sudah kembali pulang ke rumah, Galuh Sucitra tetap setia pada besi-besi timpaannya.

Suasana panas yang membakar tanah Bumiwisesa siang itu tak dirasakan lagi oleh Galuh. Ketika beberapa pandai besi tua beristirahat karena tak kuat akan cuaca panas, Galuh Sucitra tetap menimpa besi panas dengan palu besar di tangan kanannya.

Peluh yang membasahi tubuh setengah telanjang Galuh Sucitra sama sekali tidak dipedulikan pemuda usia 22 tahun tersebut. Teguran dari pandai besi lainnya sama sekali tidak ia indahkan.

"Jadi, kedatanganku kemari pertama-tama aku meminta maaf pada kalian karena telah membatalkan pertunangan dan juga pernikahan kalian. Putriku Roro Sawitri telah mendapatkan jodoh yang pas untuknya..."

Suara Ki Janu Baran terus terngiang dalam otak Galuh Sucitra. Dalam sekejap ia merasa dunia ini tidaklah adil untuknya. Ada apa dengan dirinya? Galuh bukanlah pria cacat, ia mampu menghidupi Roro Sawitri kelak, kenapa pria tua bangka itu justru berkata demikian?

Semangat Galuh kembali membara, kemarahan yang berkobar dalam dadanya sengaja ia salurkan pada besi-besi timpaannya. Sebuah palu besar di tangan kanannya sekali lagi terayun menimpa lempengan besi panas yang ia jepit dengan jepitan besi di tangan kirinya. Peluh mengalir dari ujung dahinya, sengaja tak ia usap, ia ingin peluh-peluhnya menjadi bukti bahwa Galuh bukanlah tipe pria pemalas. Jika hanya emas, Galuh tetap sanggup membelikan Roro Sawitri seberapa banyak yang gadis itu pinta. Tapi kenapa, pria yang akan menjadi calon mertuanya begitu tega menyingkirkannya? Apa salahnya?

"Anakku, Cah bagus Galuh, istirahatlah sebentar. Hari sudah siang, sejak pagi kau belum makan apapun," ucap Nyi Kapi, ibu kandung Galuh Sucitra dengan perasaan khawatir.

Wanita tua berambut putih menghampiri Galuh, menyentuh lengan Galuh yang berotot dengan lembut. Sebagai seorang ibu, hatinya begitu was-was ketika putra kesayangannya begitu tak kenal waktu melampiaskan segala kekesalannya.

Galuh menoleh ke arah ibunya sejenak, ia kembali mengayunkan palunya ke atas lempengan. Suara keras yang tercipta membuat siapapun trenyuh akan nasib malang yang menimpa Galuh Sucitra.

"Nanti, Biyung. Saya harus menyelesaikan belati ini hari ini juga," jawab Galuh pelan tanpa memperhatikan ibunya.

"Berhentilah sebentar, Cah Bagus. Bagaimana kalo Biyung suapi jika kamu memang benar tidak bisa meninggalkan pekerjaanmu," bujuk Nyi Kapi lembut. Galuh tak menjawab, pemuda itu malah beranjak pergi menuju ke perapian, membakar kembali besi yang ia timpa.

Nyi Kapi mendesah lirih, ia merasa sedih dengan sikap dingin yang Galuh Sucitra tunjukkan. Anaknya tidaklah seperti itu, ia lebih hangat dibandingkan sinar mentari di pagi hari. Tapi semenjak Ki Janu Baran datang, kehangatan pada putranya lantas hilang tertelan waktu.

Wanita tua itu terpaku di tempatnya, menyaksikan punggung basah Galuh dengan hati tersayat perih. Putranya cukup mampu menghidupi Roro Sawitri tapi ayah dari gadis itu justru menusuk hati putranya dengan pengakuan tak masuk akal. Menelan ludah dengan susah payah, Nyi Kapi masih mengingat dengan jelas bagaimana ekspresi Galuh Sucitra ketika ia bercerita mengenai pertemuannya dengan Roro Sawitri. Bagai sinar bulan purnama yang utuh, Nyi Kapi tahu sejak saat itulah hati putranya tertambat pada Roro Sawitri. Kenapa, kenapa perbedaan status menjadi alasan seseorang untuk terluka dalam hidupnya?

"Ngger, jangan siksa dirimu karena Roro Sawitri. Kita ini apa Cah Bagus, kita cuma lumpur. Jangan paksakan hatimu karena itu sakitnya luar biasa," ujar Nyi Kapi pelan tapi mampu sampai ke telinga Galuh Sucitra.

"Iya Biyung, saya tahu. Saya tidak akan memimpikan Roro Sawitri lagi, apalah arti cinta saya untuknya Biyung. Saya telah terluka dan tidak akan mencintai siapapun lagi di dunia ini."

Nyi Kapi terdiam, hatinya kembali tersayat ketika mendengarkan jawaban lugas dari putranya. Hati wanita itu tertusuk, sungguh tertusuk. Lalu bagaimana dengan hati Galuh? Tentu saja pria itu merasakan remuk seremuk-remuknya.

Kedatangan Mpu Kapi di tempat tersebut membuat Nyi Kapi dan Galuh Sucitra menoleh bersamaan ke arahnya.

"Salah satu abdi Ki Janu Baran datang, ia membawa tiga kotak peti bahan pangan untuk kita. Katanya itu adalah denda untuk pembatalan peningsetan kemarin," jelas Mpu Kapi pelan membuat Galuh beranjak berdiri dan pindah dari depan perapian.

Wajah pria itu terlihat masam, ia menghampiri ramanya perlahan. "Bapa, aku ingin bicara dengannya. Dimanakah ia sekarang?"

*********************************************
>>
Jangan lupa tekan tanda bintang dan kasih komentar terbaikmu ya. Terima kasih untuk dukungannya. <<

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top