PART DUA BELAS

Hello, jangan lupa klik vote dan follow akun ya. Terima kasih banyak.

****
Malam itu bulan bersinar dengan utuh, dengan ditemani ribuan bintang yang bertabur suasana malam terasa semakin meriah. Lukisan malam yang sempurna membuat pernikahan Bagus Samudra berjalan dengan lancar. Suara iringan tayub masih bertalu-talu dari pendopo depan, pesta belum juga usai ketika Kamini mengantarkan sang mempelai wanita menuju ke kamarnya.

"Ndoro putri, pintu berukir daun semanggi ini adalah kamar Anda. Silakan masuk dan beristirahat, jika Ndoro membutuhkan sesuatu, ndoro bisa memanggil hamba," ujar Kamini dengan hormat.

Roro Sawitri tidak menjawab, hanya anggukan kepala yang bisa ia berikan sebagai syarat bahwa ia mengerti akan informasi yang diberikan Kamini padanya. Sesampainya ia di Balegiri tadi siang, gadis itu bahkan belum menjumpai Mbok Kasih.

"Kamini, apa kau melihat keberadaan Mbok Kasih?" tanya Roro Sawitri dengan tatapan penuh selidik. Gadis itu mengedarkan pandang, menatap setiap titik ruangan dengan tatapan begitu asing. Bola matanya tiba-tiba terpaku pada sebuah pintu yang berukir dengan sangat indah. Ketika ia hendak bertanya, Kamini buru-buru mengalihkan pembicaraan.

"Mbok Kasih tengah berbenah di ruangannya sendiri, Ndoro. Sedari siang beliau sibuk menata barang bawaan Ndoro, mungkin beliau masih lelah jadi biarkan hambamu satu ini yang melayani Anda," ucap Kamini seraya menyembah di hadapan Roro Sawitri.

"Apa kau tahu, kamar siapa yang memiliki ukiran pintu paling indah itu?" tanya Roro Sawitri seraya menunjuk ke arah pintu berukiran motif daun mahoni.

Kamini menoleh sejenak ke arah pintu yang ditunjuk Roro Sawitri. Wanita muda bersanggul kecil itu mendadak berwajah masam, apa yang harus ia jawab kali ini? Haruskah ia mengatakan bahwa kamar itu milik Roro Laksmi, istri tertua Bagus Samudra?

"Kamini ...."

"Ndoro, malam ini cuaca di Balegiri sangat dingin. Sebaiknya Anda segera masuk ke kamar, hamba akan membuatkan teh jahe hangat untuk Anda." Kamini menjura lalu buru-buru berbalik badan meninggalkan junjungannya.

Roro Sawitri mengerutkan dahi, pertama kalinya ia merasa ganjil sesaat setibanya di Balegiri. Menatap kembali ke pintu yang ia maksud, Roro Sawitri hanya bisa berbalik badan memasuki kamar seraya menyimpan kembali pertanyaan yang belum sempat Kamini jawab. Ya, mungkin kamar itu kamar yang spesial buat Bagus Samudra sehingga siapapun tidak boleh mendekatinya.

Gadis berlesung pipi menghela napas, memasuki kamar dengan tatapan lesu. Kedua mata gadis itu kembali berbinar ketika mendapati beberapa pot bunga wijaya kusuma tertata apik di dalam kamarnya. Perlahan masuk lalu menghampiri pot bunga yang tengah menguncup, ada perasaan bahagia yang menyembul dalam hati Roro Sawitri. Sudah lama ia tidak menyaksikan bunga itu mekar. Malam ini ia berkesempatan untuk melihatnya kembali.

"Apa kau menyukai bunganya?" tanya seseorang dengan nada yang begitu familiar. Roro Sawitri menoleh, ia melihat Bagus Samudra sudah berdiri di ambang pintu seraya tersenyum.

"Kata Mbok Kasih kau sangat menyukai bunga itu sehingga aku memiliki ide untuk membawa beberapa pot bunga wijaya kusuma terbaik dan meletakkannya di kamarmu," terang Bagus Samudra seraya menutup pintu kamar tanpa lupa untuk menguncinya.

Mendapati aura yang begitu gelap, Roro Sawitri perlahan berjalan mundur dan mulai menjauh dari pot-pot bunga yang tertata apik di samping jendela kamar.

"Bagaimana dengan kamar ini? Cukup luas bukan untuk kita berdua?" tanya Bagus Samudra lalu berjalan menuju ke ranjang berseprei putih lengkap dengan taburan bunga mawar merah di atasnya.

Roro Sawitri masih bersikap waspada, ia memilih diam daripada menanggapi setiap ucapan Bagus Samudra yang mengajaknya berbincang malam itu. Sang gadis membiasakan diri untuk tidak berakrab-akrab ria dengan pria itu kendati pria yang kini duduk di atas ranjang dan melepas beskap yang ia pakai sudahlah menjadi suami sahnya.

"Kenapa kau hanya diam? Apa kau merasa tegang ketika memikirkan malam pertama kita, Nimas?" tebak Bagus Samudra lalu menoleh ke arah Roro Sawitri yang menempel rapat di dinding bagaikan cicak.

Bagus Samudra terkekeh melihat wajah Roro Sawitri yang benar-benar menegang. Ia lalu bangkit berdiri dan mendekati gadis itu dengan wajah berbinar bahagia.

"Jangan khawatir, aku akan melakukannya dengan sangat lembut Nimas. Yang perlu kaulakukan saat ini adalah kau hanya perlu mengecilkan suara desahanmu," ucap Bagus Samudra seraya mendekat ke arah Roro Sawitri.

"Jangan mendekat!" sergah Roro Sawitri panik ketika pria itu hanya tinggal berjarak satu meter di depannya. Bagus menghentikan langkah, ia terpaku lalu lagi-lagi kembali tersenyum.

"Kenapa? Apa kau belum siap untuk memulai? Nimas, jangan lupa aku ini sekarang adalah suamimu. Kamu wajib menuruti apa mauku dan sebagai timbal baliknya, aku akan menuruti semua keinginanmu," ujar Bagus Samudra lalu kembali mendekat.

Roro Sawitri menggeser tubuh, berusaha menghindar dari Bagus Samudra namun pria itu tidak terlalu sabar sehingga dengan sedikit kasar pria itu menarik tangan Roro Sawitri.

Gadis itu terhenyak, ia jatuh ke dalam pelukan Bagus Samudra yang begitu erat. Sang pria kembali tersenyum, merasa bungah ketika ia bisa memeluk tubuh pujaan hatinya dengan begitu erat.

"Jangan malu padaku, Nimas. Malam ini hanya ada kita berdua," goda Bagus Samudra seraya mengelus pipi halus Roro Sawitri.

"Jangan menyentuhku Kangmas, atau aku akan berteriak keras malam ini." Roro Sawitri mengancam, wajahnya benar-benar terlihat takut. Bagus kembali tertawa, ia bisa merasakan jika wanita kecil miliknya memang benar-benar ketakutan. Gemetar tubuh Roro Sawitri bisa dirasakan oleh kulit telanjang Bagus Samudra.

"Kenapa? Apa yang kau takutkan Nimas? Kau harus membiasakan diri untuk melayani suamimu," bisik Bagus Samudra di depan wajah Roro Sawitri.

Tangan kiri pria itu masih erat menahan punggung sang gadis, Bagus Samudra berusaha menahan tubuh Roro Sawitri yang mulai berontak di dalam dekapannya. Bagi Bagus, semakin berontak gadis itu dalam pelukannya maka semakin besar hasrat liarnya memuncak. Sungguh, Bagus segera ingin menuntaskan hasrat terliarnya malam ini.

"Jangan menyentuhku, aku mohon. Aku-aku tidak pernah mencintaimu maka dari itu lepaskan aku. Aku tidak bisa melakukan apapun untukmu," ucap Roro Sawitri pelan, memohon dengan segenap hati berharap pria itu luluh dan bisa meninggalkannya malam ini.

Bagus Samudra terdiam, air mukanya sedikit berubah kendati ia sama sekali belum melepaskan tubuh gadis itu dalam dekapannya.

"Kau masih memikirkan pria bernama Galuh itu, Nimas?" tebak Bagus pelan membuat sorot mata Roro Sawitri sedikit melebar. Mungkinkah Bagus akhirnya mengerti maksud hatinya?

Bagus menghela napas, ia menarik dagu Roro Sawitri dengan sedikit keras. Bola mata pria itu menajam ke arahnya seakan ingin memaksa.

"Kalau begitu kenapa kau tak menganggapku sebagai Galuh malam ini? Aku adalah suamimu, Nimas. Jangan pikirkan pria lain selagi kau tinggal bersamaku," tegas Bagus Samudra dengan menekankan nada ucapannya.

"Tidak, aku tidak menyukaimu Kangmas. Aku mohon lepaskan aku," bisik Roro Sawitri pelan. Perlahan air matanya turun dari pelupuk matanya yang indah.

Bagus memperhatikan wajah itu dengan seksama. Tak memperdulikan air mata Roro Sawitri yang terjun bebas dari pelupuk matanya yang menggenang.

"Mari kita lakukan malam ini, Nimas. Setelah kau merasakannya, kau akan bertekuk lutut padaku dan bisa melupakan Galuh," tandas Bagus Samudra lantas mendekatkan bibirnya pada sang gadis.

Roro Sawitri meronta, ia memalingkan wajah sesaat ketika bibir itu hanya berjarak dua senti saja darinya. Bagus Samudra menautkan alis, penolakan Roro Sawitri benar-benar mengganggu kesenangannya saat ini.

"Jadi kau tidak ingin melayaniku malam ini?" tanya Bagus Samudra dengan terang-terangan membuat tubuh Roro Sawitri bergetar semakin ketakutan.

Tak ada jawaban dari bibir gadis berlesung pipi tersebut, membuat kesabaran Bagus Samudra terkuras habis. Menarik tangan Sawitri, Bagus menggelandang tubuh itu dan melemparkannya ke atas ranjang.

"Aku tanya sekali lagi padamu, apa kau tidak ingin melayaniku malam ini, Nimas?" tandas Bagus Samudra dengan tangan berkacak pinggang.

Roro Sawitri meneteskan air mata, memberanikan diri untuk menggelengkan kepala. Mendapati jawaban yang begitu mengejutkan, kemarahan Bagus mendadak memuncak. Tak banyak bicara pria itu lantas menarik paksa kemben milik Roro Sawitri.

Gadis itu terkejut bukan main, dengan sigap ia mendekap kembennya dengan sisa-sisa tenaga yang ia punya. Bagus terlihat begitu beringas, ia mengacak-acak harga diri istrinya dengan hati yang dipenuhi dengan kemarahan.

"Jangan Kangmas," pinta Roro Sawitri bersikukuh membuat Bagus Samudra kehilangan akal lantas menampar wajah gadis tersebut.

"Ingat Roro Sawitri, aku memperistrimu tidaklah gratis. Kekuasaan ramamu akan bertambah seiring dengan kau menjadi istriku. Tapi jika kau masih bersikeras untuk mempertahankan dirimu, bukan hanya kekuasaan ramamu saja yang hilang. Aku bisa saja memerintahkan punggawaku untuk menghabisi ramamu malam ini," tegas Bagus Samudra dengan kasar.

Roro Sawitri terus menangis, mendekap ujung kembennya dengan begitu erat. Sebagai seorang gadis, ia cukup memiliki harga diri atas nama sebuah cinta. Mana bisa ia menyerahkan dirinya sedangkan ia sama sekali tidak mencintai pria itu. Perasaan cintanya hanya tertambat untuk Galuh seorang.

Bagus semakin kesal, ia merasa Roro Sawitri tetap bersikukuh dengan pendiriannya. Karena tak mendapatkan apa yang dimauinya, Bagus membanting pot bunga wijaya kusuma dengan keras. Suara pecahan pot membuat suasana kamar terasa begitu gaduh. Tangisan Roro Sawitri tak kunjung berhenti, Bagus merasa frustrasi malam ini.

"Sawitri, malam ini aku mengampunimu tapi tidak untuk malam berikutnya. Ingat, nyawa ramamu ada di tanganku!" Bagus lalu bergegas pergi meninggalkan kamar. Pria itu membanting pintu dengan sangat keras, kegaduhan malam itu benar-benar tak bisa dihindari.

Tak lama kemudian Mbok Kasih menghamburkan diri ke dalam kamar. Ia terkejut bukan main melihat betapa berantakannya kamar tersebut terlebih melihat kondisi junjungannya yang nyaris telanjang sembari mendekap kemben di dadanya.

"Ndoro putri ...." gumam Mbok Kasih menghampiri Roro Sawitri yang menangis.

Melihat kehadiran Mbok Kasih, tangis gadis itu pecah seketika. Ia meraung dalam dekapan wanita tua yang sudah merawatnya sedari kecil.

"Mbok, aku ndak kuat tinggal di sini Mbok. Aku ingin mati saja," tangis sedih Roro Sawitri dalam dekapan Mbok Kasih.

Wanita tua itu tak menjawab, bola matanya berkaca-kaca melihat kondisi junjungannya yang begitu menyedihkan. Membayangkan Roro Sawitri demikian, hati Mbok Kasih menjerit. Meskipun hanya sebatas abdi namun wanita itu merasa berdosa sekali pada mendiang ibu Roro Sawitri. Sebagai seorang wanita yang juga pernah melahirkan, Mbok Kasih merasa pilu. Benarkah pria itu semua diciptakan dengan sifat keras? Sama kerasnya dengan tulang punggung yang dituntut untuk tetap kuat dan tegar?

Mbok Kasih meneteskan air mata, ia mengelus punggung Roro Sawitri dengan lembut. "Sabar Ndoro, sabar. Gusti niku mboten sare."

*******///******

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top