Pantas Anak Anak Tak Mau Jadi Petani, Kenapa?
Di sebuah Taman Kanak-kanak di sebuah kota di Indonesia seorang guru TK yang biasa dipanggil Bu Guru Ellen bertanya kepada anak-anak asuhnya.
Bu Guru, "Toni, kalau kamu besar nanti ingin menjadi apa?"
Toni, "Saya ingin menjadi pilot, Bu."
Bu Guru,"Kamu Gatot, ingin jadi apa?"
Gatot, "Jadi dokter, Bu."
Bu Guru,"Anni anak manis, kamu ingin jadi apa?"
Anni,"Saya ingin jadi hakim, Bu."
Bu Guru, "Arman, kalau kamu?"
Arman, "Jadi dosen, Bu Guru."
Bu Guru,"Kalau kamu, Eren?"
Eren, "Saya ingin jadi Jaksa, Bu."
Bu Guru, "Agung kamu ingin jadi apa, Nak?" Agung,"Jadi pegawai bank, Bu Guru."
Bu Guru,"Kalau kamu Dewi, ingin jadi apa ya?"
Dewi, "Saya ingin jadi menteri, Bu."
"Bagus. Semua bagus, Anak-anak...! Untuk mencapai cita-cita itu semua, kalian harus rajin belajar, dan jangan lupa berdoa. Dan kalian jangan lupa sebelum ke sekolah sarapan pagi dengan menu bergizi agar kita tumbuh sehat.
"Iya, Bu Guru...!!!" anak-anak megiyakan serentak.
Ya, gambaran situasi keinginan dan cita-cita anak-anak di TK di atas adalah potret profesi yang di dalam benak anak-anak sebagai profesi yang terhormat dan "cool," serta pantas untuk diraih dengan belajar yang benar, rajin dan disertai doa. Tentu saja semuanya boleh saja "siapa menjadi apa." Tapi, jika tak ada jawaban dari anak-anak "saya ingin menjadi petani, Bu Guru Ellen," padahal kita semua hidup di negara agraris ini pasti ada suatu yang tidak beres.
Sekali lagi, boleh Anda coba di rumah jika Anda mempunyai anak yang baru masuk TK, tanyakan kepada mereka, adakah anak itu ingin menjadi petani? Saya pastikan tidak ada yang ingin menjadi petani. Padahal sehari tiga kali, sarapan pagi, makan siang, dan makan malam kita berhadapan dengan makanan yang notabene adalah produk petani untuk kita santap. Beras, sayuran, ikan, daging, susu, tempe, tahu semua itu adalah produksi petani dan itu penting bagi kehidupan keseharian kita, sejak kita di buaian sampai ajal kita.
Pertanian itu meliputi tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, perikanan dan perkebunan. Orang yang mengusahakan cakupan pertanian itu disebut petani (dan buruh tani). Petani adalah sebuah profesi yang ditinggalkan oleh kita. Bukti secara statistik mengatakan seperti itu. Biro Pusat Statistik BPS) mencatat dan mengungkap September 2013 rumah tangga petani berjumlah 26.13 juta orang. Padahal, tahun 2003 jumlah rumah tangga petani adalah 31.17 juta, jadi berkurang sebesar minimal 5.07 juta selama 10 tahun atau mengalami penurunan 1.75 persen per tahun. Rumah tangga petani adalah setiap rumah tangga yang minimal satu orang anggotanya mengusahakan kegiatan pertanian. Penyebabnya tentu saja bermacam-macam seperti petani meninggal dunia, pindah pekerjaan ke sektor lain yang lebih menguntungkan dan memberikan kesejahteraan. Tetapi fakta Survei Angkatan Kerja Nasional oleh BPS yang diadakan setahun setiap Pebruari dan Agustus menyatakan bahwa mutasi pekerjaan dari sektor pertanian ke sektor yang lain diperkirakan tidak kurang dari 200ribu orang per tahunnya.
Lantas kenapa sebagai profesi menjadi petani tidak disukai bahkan dijauhi oleh kita? Setidaknya ada beberapa alasan yang bisa kita sebut adalah:
1. Petani identik dengan kemiskinan struktural) a. BPS mengungkap Maret 2012, 63 persen dari 29.13 juta penduduk miskin di Indonesia tingal di pedesaan, hal ini secara otomatis dipahami bahwa itu adalah petani dan buruh tani. b. Profesor Sajogyo mengungkap bahwa kepemilikan lahan petani gurem di Indonesia adalah rata-rata kurang dari 0.5 hektar, dan setiap tahun meningkat sebesar 1.5% per tahun, dan jumlah buruh tani meningkat dengan laju 5% per tahun. Penguasaan lahan oleh Pemerintah lebih banyak diberikan kepada "masyarakat kota" dibanding kepada "masyarakat pedesaan." Setiap tahun puluhan ribu hektar lahan sawah berubah fungsi menjadi pemukiman, kawasan industri/pabrik-pabrik, kota mandiri, dan bahkan tempat bermain golf.
2. Petani identik dengan rendahnya pendidikan Sebagai akibat poin-1 di atas, generasi yang lebih berpendidikan tidak akan memilih profesi petani, sehingga profesi petani adalah pilihan yang terpaksa untuk yang berpendidikan rendah dan orang tua-orang tua. Data BPS berdasarkan Sensus Pertanian 2003) mengungkap bahwa 80 persen dari petani kita hanya menamatkan pendidikan paing tinggi setingkat sekolah dasar SD). Tingkat pendidikan yang tinggi berkorelasi positif dengan tingkat produktivitas yang tinggi dengan aplikasi teknologi pertanian yang tepat guna.
3. Kita Suka Yang Instan dan Gampang Kebijakan pembangunan ekonomi mulai meninggalkan sektor pertanian dengan memacu pertumbuhan industri pengolahan yang penuh ketergantungan pada impor. Ini adalah kebijakan yang mudah dengan mengimpor kita tak perlu bekerja keras untuk memproduksi sendiri kebutuhan keseharian kita. Mengimpor berarti membeli, tidak punya uang ya kita hutang. Ini pakem pemerintah kita sejak runtuhnya Orde Baru. Negara kita lebih suka mengimpor beras, kedelai, gula, sayuran, daging, padahal kita mempunyai sumber daya alam yang luar biasa banyak, demikian juga luas lahannya. Dan lebih buruknya kita menyadari akan melimpahnya sumberdaya alam yang kita miliki ini. Kita malas saja tidak mengerjakannya dengan berbagai alasan.
Krisis ekonomi yang terjadi berkali-kali menunjukkan dan membuktikan bahwa sektor pertanianlah sebagai motor penggerak pertumbuhan ekonomi dan mempunyai daya tahan tinggi terhadap krisis ekonomi yang terjadi di banding dengan sektor-sektor lain. Tapi, kita menganak-tirikan sektor pertanian ini. Jika tak diperbaiki dengan semangat kerja keras untuk bisa memenuhi kebutuhan sendiri, sebentar lagi kita tidak hanya mengimpor produk pertanian, bahkan juga akan mengimpor petani untuk memproduksi kebutuhan kita. Dan akhirnya petani asli Indonesia akan menjadi kenangan. Asyik diceritakan saat kita makan. MW)
Di Denmark, tak ada tempat untuk konglomerat di sektor pertanian, peternakan, perikanan dan usaha usaha yang berhubungan dengan hajat hidup orang banyak. Konglemerat hampir hanya kebagian salam “gigit jari.” Bertekuk lutut di depan petani ! 90 persen pangsa pasar produk pertanian, peternakan dan perikanan serta kaitannya dikuasai oleh koperasi. Sebagian sisanya dikuasai oleh usaha kecil menengah UKM).
Koperasi milik petani mengusai semua usaha hulu sampai hilir sektor pertanian, peternakan dan perikanan. Seorang peternak susu yang sempat saya temui dengan bangga bercerita bahwa bukan hanya semua produk susunya ditampung oleh koperasi, tapi masalah kesehatan ternak pun diurus oleh koperasi.
Saya sempat ngobrol dengan dokter hewan yang sedang mengobati seekor sapi perah pak Ben yang sakit. Si dokter hewan mengakui bahwa dia ditelpon oleh koperasi untuk datang ke peternakan pak Ben. Dan koperasi menghubungi dokter hewan, tentu saja setelah dihubungi oleh pak Ben.
Pasar swalayan terbesar dan memiliki ribuan cabang di Denmark, SuperBrugsen (termasuk anak anak usahanya) adalah kepunyaan konsumen, anggotanya terutama petani, tempat di mana petani memasarkan hasil usahanya.
Bank terbesar di Denmark, Danske Bank melayani keperluan petani di saat ekonomi booming maupun krisis (Petrick, M., and M. Kloss. 2013. "Exposure of EU Farmers to the Financial Crisis").
Sejak dari awal pendiriannya, Danske Bank fokus pada sektor pertanian. Institusi keuangan Denmark paling peduli dengan nasib petani, ranking 1 di Eropa. Urutan negara yang instutusi keuangannya paling mau melayani sektor pertanian di Eropa adalah sbb :
1. Denmark
2. Perancis
3. Jerman
4. Yunani
5. Irlandia
Pada tahun 1300-an, pandemic yang disebut “black death” menyebabkan kematian ratusan juta jiwa, lebih dari 60% populasi Eropa punah karena pandemic yang disebabkan oleh sejenis bakteri.
Setelah dianalisa DNA korban, pada tahun 2010, diketahui penyebab pandemic adalah bakteri jenis “Yersinia pestis”. Denmark tak terkecuali, kematian penduduk yang lebih separuh menyebabkan ladang ladang kosong.
Pemerintah kemudian mengeluarkan aturan bahwa tanah tanah yang kosong, tak boleh dimiliki swasta. Ladang ladang tersebut dibagi bagikan ke petani sesuai dengan jumlah anggota keluarga.
Petani seperti dapat durian runtuh, tiba-tiba punya ladang yang sangat luas. Dari sinilah muncul ide “koperasi.” Koperasi kemudian berkembang ke berbagai unit usaha yang mendominasi ekonomi Denmark sampai ratusan tahun.
Diantara koperasi yang omset penjualannya besar adalah :
1. Arla Food dairy), memiliki penjualan pertahun sebesar DKK 73,6 Milyar (Rp 147,2 Triliun)
2. Danish Crown daging), penjualan pertahun DKK 58,03 (Rp 116 Triliun)
3. DLG farm supply), penjualan pertahun DKK 59,1 (Rp 118 Triliun)
4. Kopenhagen Fur Center, penjualan pertahun DKK 13,3 (Rp 26,6 Triliun).
Produksi Pertanian 3 Kali Dari Kebutuhan Banyak negara, termasuk Indonesia belum swasembada pangan (kejadiannya: tak pernah, pernah swasembada, kemudian tidak swasembada lagi), tapi Denmark menghasilkan pangan 3 kali lipat dari kebutuhan penduduknya.
Artinya produksi pangan Denmark melimpah ruah. 30% untuk konsumsi sendiri, sisanya 70%) diekspor ke 100 negara di berbagai penjuru dunia. Ada juga disumbangkan sebagai bantuan luar negeri Denmark DANIDA) ke negara negara Afrika atau negara yang kekurangan pangan.
Akhirnya, banyak hal yang bisa dipelajari dari Denmark, mulai dari pemberdayaan petani (sehingga lebih kuat dari konglomerat) sampai ke usaha pengadaan pangan yang melimpah ruah!
Di Indonesia, bisakah?
Semoga bermanfaat
Masih gak mau anaknya bercita-cita jadi petani? Paling gak, #Petaniberdasi
Jayalah Petani Indonesia...!!!
Dikutip dari : #Kompasiana
#Banggabertani
#KoperasiPetani #PetaniMulia #PahlawanTanpaTandaJasa
Dikutip dari @iCampusIndonesia
Link: https://timeline.line.me/post/_dfxsai_WRUT6fFUvI2PWKLoq3axewWx4-Bg4eyI/1155356201909051530
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top