Kapitolus VIII; Terlahirnya Sepasang Kembar

Desa Jackia Ornate, Pinot Gris, 18 Juni 1740

Hujan mewarnai malam itu, pria itu menggenggam tangan wanita di sampingnya erat. Nafas wanita itu menderu, rambut pirangnya basah. Beberapa kali dia berteriak menahan sakit yang bersaing dengan gemuruh geledek. Dia mengambil napas dalam-dalam saat diperintahkan oleh perempuan bergaun putih, begitu pula saat menghembuskan napas, kegiatan ambil mengambil napas itu tak lepas titah dari perempuan bergaun putih yang kini sedang memegang kaki sang wanita berambut pirang.

"Bertahanlah, Cecillia."

Cengkraman tangan wanita itu pada pria sebelahnya yang merupakan sang suami, semakin erat. Kuku-kukunya semakin menancap dalam daging lengan sang suami, pria itu sedikit merintih namun tetap berusaha menguatkan wanitanya. Sakit pada lengannya tidak ada apa-apanya dibanding dengan aktivitas menentang maut yang dialami wanitanya.

Suara tangis bayi menyusul setelahnya deru nafas yang panjang.

Satu.

Dua.

Dua jabang bayi.

Mata emerald itu menatap penuh sukacita mata cokelat di sebelahnya. Sang pria membalas dengan tatapan sedikit getir, pasalnya hatinya mendadak gusar karena istrinya baru saja melahirkan sepasang kembar di saat Raja Thamerlaine memerintahkan untuk membunuh semua kembar.

"Jangan khawatir. Semua akan baik-baik saja. Kita berdua akan pikirkan cara." Wanita yang bernama Cecillia itu memegang tangan suaminya, mengelus punggung tangannya dengan ibu jarinya yang mungil. Bulir-bulir keringat sebesar jagung masih tampak jelas di seluruh wajahnya.

Perempuan bergaun putih itu tersenyum, menyerahkan dua orok kepada Cecillia. "Selamat. Bayinya perempuan, Nyonya."

Cecillia berdecak senang, dia membawa dua gadis kecilnya. Mereka tertidur nyaman dalam bedongan yang dibuat oleh perempuan bergaun putih, matanya sesekali mengerjap. "Dia memiliki mata yang mirip denganmu, Cecillia," celetuk Maxwell setelah melihat salah satu gadisnya menunjukkan bola mata warna emerald.

"Dan... mereka memiliki hidung dan rambut Daddy Maplenya," ujar Cecillia sambil terkikik geli. Bayi yang satunya terpejam, masih nyaman dalam hangatnya selimut yang membedongnya sambil mengucupkan bibirnya sesekali.

Maxwell tak kuasa menahan haru melihat kedua gadisnya selamat menghembuskan napas di dunianya, rasa gundah gulananya menguap begitu saja, sekarang hanya ada rasa sukacita yang sangat amat banyak memenuhi hatinya karena melihat dua makhluk mungil itu. Mereka bernapas. Mereka bernyawa. Dan tangan besar Maxwell disambut oleh mereka dengan sukacita.

Tampaknya, ruangan yang tadinya dipenuhi oleh sukacita dan haru tiba-tiba berubah menjadi tegang saat tiba-tiba suara bedilan terdengar.

Disusul dengan dobrakan setelahnya.

Maxwell buru-buru keluar, mengecek apa yang barusan terjadi di lantai utama.

Dan dia disana—

Gionino, atasannya, dengan senapan yang masih mengepul karena barusan digunakan, berdiri di ambang pintu dengan seonggok mayat di bawah kakinya.

"Hai. Maxie." Senyumnya menyebalkan.

Maxwell sedang tanpa senjata, dia hanya dibalut dengan celana panjang dengan suspender cokelat dan celana kulit panjang berwarna cokelat tua. Pria itu menganga tak percaya, menyembunyikan fakta bahwa barusan dia menelan ludahnya sendiri.

"Sebaiknya kau punya alasan yang bagus mengapa kau menyembunyikan kelahiran anakmu, Maxie." Gionino dengan sepatu penuh lumpurnya mulai memasuki ruang tengah dengan memikul senapan laras panjang khas gayanya. Dia melihat ke seluruh ruangan tengah. Ada tungku perapian di sudut ruangan, empat buah kursi dengan satu buah meja kayu ek, dan dapur. "Tampak lenggang sekali, huh?"

"Bukan urusanmu, Gionino," ujar Maxwell. Kali ini dia tidak menggunakan kata hormat kepada atasannya. Gionino terhenyak, namun tersenyum jenaka. Pribadi Maxwell yang keras membuatnya tertarik pada manusia berambut cokelat itu. "Dan yang lebih penting, apa tujuanmu kemari?" Maxwell menuruni tangga, menghampirinya.

Gionino terkikik. "Melihat kabar istrimu tentu saja. Tunjukkan sedikit sopan santunmu, Maxie." Dia merentangkan kedua tangannya, senapannya masih di tangan kanannya, seakan menyambut Maxwell yang datang kepadanya.

Maxwell mendecih tidak suka."Maafkan saya, Letnan." Pria berambut cokelat itu tak menyambut pelukan yang disediakan Gionino untuknya.

"Kedudukan jangan membuatmu terlena. Ah—" Suara Gionino meninggi. "Atau—kau baru saja mengakui bahwa kau aman dan bergelimang harta karena Thamerlaine gila itu?"

Maxwell hanya diam.

"Kalau begitu, harusnya kau tahu balas budi. Aduh, Maxieku yang nakal." Jarak keduanya hanya beberapa meter, cukup dekat sampai-sampai Gionino bisa berbisik ke telinga Maxwell. "Tetap laksanakan tugasmu—Maxie." –jeda— "Aku belum melihatmu membunuh atau menyeret satu anak kecilpun."

"Tidak akan pernah."

Gionino berdeham, sembari mangut-mangut dan tersenyum. "Aku suka caramu. Caramu memanfaatkan Thamerlaine itu." Pria berambut pirang itu berkeliling, dia mengoceh soal mengapa penjaga pintu Maxwell terpaksa dia bunuh karena tidak membiarkan dia masuk, sungguh tidak sopan. "Daripada itu, tujuanku untuk melihat anakmu."

Maxwell melihat tajam mata biru itu.

"Kuharap anakmu bukan kembar, Maxie. Karena aku sedang sangat kesal sekarang."

Maxwell hanya bisa membatu saat Gionino berjalan melaluinya dan mulai menaiki tangga, pria berambut cokelat itu mencoba bersikap sewajar mungkin agar Gionino tidak terlalu curiga. "Anakku perempuan." Berbagai skenario seketika muncul di otaknya, sampai berakhir ke kesimpulan bahwa dia harus membunuh pria bermata biru di depannya.

Di anak tangga yang kedelapan, Gionino menoleh, melihat mata cokelat yang kini menatapnya tajam. Dia menyeringai, lalu tersenyum jenaka.

"Bukankah sedikit tidak sopan membawa senapan saat menjenguk bayi?"

Gionino memasang wajah lucu, menaikkan sebelah alisnya. Tidak menggubris kata Maxwell, dia melanjutkan langkah kakinya menuju kamar Cecillia.

Maxwell yang sudah mengira bahwa kata-katanya tidak dipedulikan oleh Gionino, mengambil cepat senapan dari sarung senjata penjaganya, berusaha sepelan mungkin agar tidak kepergok dengan Gionino.

"Maxie. Turunkan! Atau aku tidak segan-segan menembakmu dari sini," tegas Gionino. Matanya memicing, menarik pelatuknya dan bersiap meluncurkan peluru kapan saja tepat ke kepala Maxwell.

Maxwell mengangkat kedua tangannya.

"Naik," tegas Gionino. Mengarahkan senapannya ke arah tangga. "Anakmu kembar—bukan?" Gionino bertanya, membuat langkah Maxwell di tangga kedua berhenti. "Aku sedang sangat kesal, Maxie. Aku tidak akan segan-segan sekalipun itu anakmu."

Dengan tangan yang masih terangkat, Maxwell berdiri menghampiri Gionino. Skenario yang telah dia susun langsung menguap begitu saja. Setengah hatinya berkata untuk menyerah, setengah hatinya berkata untuk mengeyahkan makhluk di depannya. Gionino memang berbeda, dia bukan seseorang yang cukup bodoh untuk tidak menyadari skenario sederhana miliknya.

Maxwell mengakui kelihaian pria di depannya.

Selongsong peluru diluncurkan, mengenai tepat paha kanan Maxwell. Mata biru itu menatapnya tajam, tanpa ampun. Dia mendengkus saat pria bermata cokelat itu tersungkur ke lantai kayu, tangannya menahan darah yang keluar sambil merintih. Satu peluru lagi mengenai paha kirinya. Maxwell kini benar-benar lumpuh. Bersimpuh di depannya tak berdaya. "Jangan bermain-main denganku, Maxie." Setelah berkata demikian, dia menurunkan senapannya lalu pria rambut pirang itu memasukki kamar.

"Hai, Cecillia."


  ✥  


Beberapa prajurit memasuki rumah Maxwell dengan sepatu yang masih basah karena mendengar ledakan peluru yang keras. Mereka dikejutkan dengan penampakan Gionino yang kini tersungkur, satu buah peluru bersarang di kepalanya, jatuh dari lantai dua.

Pelakunya; Cecillia.

Senapan laras panjang itu masih digenggamnya.

Dia menembakkan satu peluru ke salah satu pasukan yang masih ternganga kaget. "Aku akan melakukan hal yang sama bila kalian membocorkan hal ini. Aku tidak sedang bercanda."

Manusia yang hadir disana bergidik ngeri—termasuk Maxwell. Yang benar saja, istrinya baru saja melahirkan sepasang kembar, dan dengan bengisnya menembak seorang letnan satu hingga mati. Alih-alih berpakaian pantas, Maxwell melihat wanita yang tak lain adalah istrinya itu masih mengenakan overall putih dengan rambut kumal yang masih basah karena keringat.

Walau raut wajah ayunya menunjukkan rasa nyeri dan untuk berdiri, rasanya lutut wanita itu tak tahan, pegangan tangannya pada senapan begitu mantap. Untuk sekilas, dia tidak menyangka bahwa dia ternyata menikahi seorang petarung wanita yang sangat lihai. Karena di matanya, Cecillia adalah wanita yang memiliki mata hijau indah, senyum menawan sampai lesung pipit di bawah matanya terlihat, dengan tawa yang menentramkan—berubah menjadi pembunuh dua manusia; satu letnan dan satu bawahanya, dan tentu mengancam semua yang hadir di sana.

Mungkin benar kata orang, seorang ibu bisa menjadi monster yang sangat menyeramkan. Dan kata itu benar-benar terbuktikan sendiri oleh Maxwell.

Cecillia Ealdian; yang kini menjadi seorang ibu, tidak segan-segan menembak kepala Gionino ketika pria membuka pintu dan menyapanya. Membuat pria yang tidak sedang dalam kondisi siaga langsung tertembak dan tewas sampai jasadnya jatuh ke lantai satu.

"Sembunyikan fakta ini," ujar Cecillia penuh penekanan, masih mengarahkan senapannya ke sepuluh pasukan yang hadir kesana. "Letakkan senjata kalian," perintahnya. Hampir-hampir wanita bermata hijau itu jatuh, dia berjalan terseok-seok beberapa langkah. Terlihat benar dia menahan sakit, tapi dia begitu tangguh dengan aura mengancam yang membuat beberapa orang di bawahnya tunduk.

Dengan patuh mereka meletekkan satu persatu senjata mereka sambil mengangkat kedua tangannya. Mereka ternganga.

"Apa ini sudah semua?" wanita itu bertanya yang hanya dibalas dengan anggukan mereka. "Berbalik!" tegas Cecillia setelahnya.

Lagi-lagi dengan patuh mereka berbalik.

Wanita itu memicingkan mata, kali ini dia berdiri tegak untuk menfokuskan senapannya hati-hati. Dadanya membusung, mengambil napas banyak-banyak sampai—tembakan beruntut terdengar setelahnya, mengenai satu persatu pasukan yang berada di bawah. Maxwell menganga tak percaya. Istrinya—baru saja membantai sepuluh kroco Gionino termasuk Gionino sendiri dengan tangannya.

Cecillia mengambil napas panjang, dadanya kembang kempis, semburat asap masih mewarnai senapan yang dibawanya. Dia langsung terduduk. Dengan rambut yang masih basah, dia menoleh ke arah Maxwell. Wanita itu tersenyum, mata hijaunya menyiratkan sebuah kelegaan.

Maxwell hanya membalas senyumnya, tak mengatakan suatu apa, bahkan tak menanyakan bagaimana Cecillia berlatih menembak—sungguh, dia tidak butuh jawaban sekarang. Pria itu merangkak ke arah istrinya, tepat saat Cecillia akhirnya ambruk juga. Mata hazelnya melihat kelopak istrinya yang menutup, napas wanitanya masih memburu, senyumannya masih terukir. Mimik bibirnya bergerak, seperti mengucapkan 'Syukurlah.'

Maxwell tak bisa menahan kelegaannya lebih lama lagi, dia membuang napas lega, tangan besarnya mengelus rambut pirang Cecillia yang kini bersandar di badannya lalu mengecupnya sekilas. Kenyataan bahwa istrinya dan kedua anaknya selamat sudah sangat membuatnya dipenuhi perasaan lega yang amat sangat.

.

.

.

[a/n]

Aku punya pertanyaan;

Berapa lama aku menghilang dan berapa hutang yang harus kubayar?

:(((

Dikit dan gak terlalu nyambung sama judul? Wkwkw. Maaf. :((

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top