Kapitolus VII ; Agapi (2)
Perjanjian padahal sudah ditandatangani—
Raja Arddun dengan murah hati memberikan setengah kekuasaannya kepada adik sulungnya—Raja Thamerlaine—untuk menghindari terjadinya perang saudara.
Raja Arddun memimpin tanah bagian Sequo Virens, Swietenia, dan Iris.
Raja Thamerlaine memimpin tanah bagian Fragrans, Acropora, dan Pinot Gris.
Raja Arddun dengan bijak membuat kebijakan-kebijakan pemerintah lainnya, soal upeti, perubahan otonomi di mana tanah-tanah Shorea dibagi menjadi negeri-negeri bagian, pembangunan secara bertahap daerah-daerah tertinggal, dan penelusuran penuh tanah Sequo Virens.
Bahkan, dewa-dewa seakan memuji kelihaian Raja Arddun dengan berkah yang melimpah-limpah.
Lalu, keserahakan datang.
Bisikan-bisikan itu terus menghantui telinga Raja Thamerlaine.
Dan hatinya yang tak pernah puas itu menuntut lebih dan lebih. Keserakahan tak memberinya ruang untuk bersyukur, hatinya sudah gelap, terkuasai oleh nafsu sepenuhnya.
Raja Thamerlaine menghendaki perang. Beliau menghendaki seluruh tanah menjadi miliknya.
✥
"Ampun, Yang Mulia," manusia itu berkata, pada tuannya di pembaringan. Dia mengenakan terusan berwarna putih, wajahnya sudah menua, rambutnya sudah memutih sampai jenggot, dan dia tengah memegang tongkat. Dia terduduk, di kursi dekat pembaringan, menatap tuannya sendu sembari menundukkan pandangannya. "Sekiranya saya datang tidak dalam waktu yang tepat."
"Tidak apa, Alastair," ujar pria itu, suaranya serak. "Bukankah waktu yang tepat? Engkau, cenayangku, sahabatku, penasihatku, berada di detik terakhirku."
Orang tua yang disebut Alastair itu hanya diam. Cahaya bulan menyeruak ke dalam kamar kecil itu lewat jendela. Menurutnya tidaklah pantas seorang Raja tergeletak tak berdaya dalam pembaringan ruangan kecil nan kumuh seperti ini. Malangnya Raja Arddun.
"Aku memutuskan untuk menemui Thamerlaine," tangannya bersedekap. Matanya memejam damai dan dadanya naik turun secara teratur. Melihatnya wajah damainya, hati Alastair semakin sendu. Luka yang tersembunyi di balik baju yang dipakainya itu pasti sangat menyiksanya.
Bahkan, masih dia ingat bagaimana keadaan istana yang carut marut, panah-panah api berterbangan, teriak-teriakkan yang memekkankan ditemui di seluruh sudut istana, adu pedang-pedang, dan cucuran darah korban. Cepat-cepat Alastair yang merasa keadaan semakin memburuk, membawa Rajanya yang terluka di sudut durbar ke tempat yang sekiranya aman—atau setidaknya, menjauhkannya dari petaka yang lebih parah. Raja terluka di dada kanannya, terhujam pedang salah satu pasukan pembela Raja Thamerlaine—dan pelakunya ditemukan mati tergeletak tak jauh di mana Raja Arddun merintih.
Sempat terjadi genjatan senjata karena hilangan Raja Arddun selama seminggu, namun keadaan tidak langsung membaik karena Raja Thamerlaine mengerahkan banyak pasukannya untuk memburu Raja Arddun.
"Ampun, Raja. Tapi keadaan Baginda Raja belum membaik. Dan ditakutkan bahwa mediasi di Stepa Axo adalah sebuah jebakan agar Baginda Raja keluar."
Alastair membantu Raja Arddun untuk duduk.
"Kalau itu satu-satunya cara agar ini berakhir—" kalimatnya menggantung, tangan kirinya memegang dada kananya yang tengah diperban. "—akan aku lakukan, Alastair. Aku sudah banyak kehilangan. Banyak orang yang berkorban untukku. Ini saatnya aku berkorban untuk mereka. Thamerlaine mengingankan kepalaku, bukan kepala yang lain."
"Ampun, Raja. Maaf bila hamba lancang," –Alastair menundukkan kepalanya sedalam-dalamnya— "Tapi itu keputusan yang terburu-buru, Rajaku, pemilik tunggal tanah Dewa di Sequo Virens. Hamba benar-benar tidak bisa membayangkan Raja Thamerlaine, pemilik tiga negeri di daerah utara, menjadi Raja di tanah Shorea."
"Panglima-panglimaku sudah tidak ada lagi. Peralatan perang mulai habis. Bahan makanan menipis. Apa yang bisa diharapkan, Alastair?" Raja Arddun tersenyum kecut. "Kau sendiri melihatnya, kan?"
Alastair itu hanya diam. Menunduk dalam-dalam. Dia tahu betul apa yang Rajanya maksud, soal mimpi-mimpi yang mengganggu di malam-malamnya. Bagaimana Raja Thamerlaine memimpin tanah Shorea di mimpinya, menghunus kepala Raja Arddun dan meminum darahnya. Dan begitu saja akhirnya—tidak berlanjut. Sebuah nestapa tiada akhir—mungkin.
"Mimpimu itu adalah pertanda kejadian yang sekarang bukan? Dimana diriku masih hidup." Raja Arddun melihat Alastair dengan mata sendunya. "Perang tiada akhir. Begitulah akhirnya. Thamerlaine tidak akan berhenti bila tidak membawa kepalaku sebagai kenang-kenangan. Sungguh, Alastair—" kata Raja Arddun menggantung. "—mimpi itu akan berubah jika aku memenuhi keinginan Thamerlaine."
Pria tua itu mencoba menyanggah, namun dia urungkan. Dia hanya bisa menunduk dalam-dalam.
"Setelahnya, aku berharap ada harapan lain lewat mimpimu. Lewat pertanda bintang-bintang. Desauan angin. Arakan awan. Dan tunas-tunas baru yang tumbuh di tanah."
Dalam diamnya, Alastair menahan air matanyanya. Dia tahu betul bahwa Rajanya sedang mengucap selamat tinggal. Kali ini tidak ada sanggahan. Malam itu begitu tenang, begitu cerah, begitu damai.
Malam terakhir Raja Arddun.
✥
Sebelum sampai ke medan perang, seseorang membawa kabar. Dengan baju ziarahnya dan kuda berwarna hitam, di mengangkat tinggi-tinggi pedang kebanggaannya. Dengan lantang dia berkata, "Raja Arddun telah mati!" berulang-ulang, diikuti dengan seruan sukacita pasukan di belakangnya.
Mereka mengabarkan itu ke seluruh tanah Shorea, dari selatan—Sequo Virens, menyebar hingga ke barat—Pinot Gris. Banyak yang bersorak kegirangan karena menang namun tak sedikit pula yang mengeluh, mengutuk dewa-dewa, dan menyalahkan semesta. Entah apa yang Raja Thamerlaine janjikan kepada pendukungnya, namun bagi pendukung Raja Arddun tentunya memberikan nestapa yang sejadi-jadinya karena rajanya telah kalah telak.
Maxwell yang mendengarnya langsung membatu, tak bisa berkata, lidahnya kelu, bahkan dia mati rasa saat pasukan-pasukan Raja Thamerlaine menyeretnya kasar. Pria berambut cokelat itu kalah telak—apa yang harus dia katakan kepada gadis di dapur umum itu?
Para tahanan—pendukung Raja Arddun—bersimpuh, diikat kedua tangannya di belakang. Beberapa memohon pengampunan, tak sedikit pula yang rela mati saat moncong senapan laras panjang yang dingin menyentuh pelipis mereka, mereka pikir, lebih baik mati sebagai pengabdi Raja Arddun daripada harus mengabdi pada Raja Thamerlaine. Isi kepala berceceran, bau anyir darah menyeruak, pasukan Raja Thamerlaine memerlakukan mereka bagai hewan di penjagalan—mungkin, lebih parah.
Moncong dingin itu menyentuh pelipis Maxwell, akhirnya.
Maxwell yang masih dalam keadaan terkejut hanya diam. Lidahnya kelu, seluruh ototnya mati rasa. Dia tak berdaya. Dia tak lebih dari raga tanpa jiwa.
Moncong itu turun ke dagunya, membuatnya mendongak. "Aku sangat kenal dengan wajah ini."
Mata cokelat milik Maxwell menatap tanpa jiwa mata biru manusia yang menodongnya.
"Maxwell. Tidak menyangka kau bagian dari manusia menjijikkan ini," ujar pria itu sambil menggeleng tak percaya. "Sungguh disayangkan. Padahal kita pernah sama-sama berjuang di pihak Thamerlaine gila itu—"
"Bukan begitu menyebut cara menyebut Rajamu—"
Pria itu tertawa. "Serius. Thamerlaine sudah gila—Ah!" ujarnya di sela tawanya. "Maafkan aku, oh, ya Maha Diraja," lanjutnya. Dia tertawa mengejek. "Kau ingin aku berkata begitu?" Pria itu tertawa lebih keras.
Maxwell tak menjawab. "Bunuh aku, Gionino. Ah, maafkan kelancangan hamba, Tuan. Bunuh saja aku, Letnan Gionino."
Pria yang diketahui bernama Gionino itu menatap jenaka. "Sejujurnya, aku membenci dengan kenaifanmu, Maxie. Tapi sungguh," –dia memberi jeda, melihat sekelilingnya, dia lalu memikul senjata laras panjangnya di bahu kanannya, menyejajarkan tubuhnya dengan Maxwell yang sedang bersimpuh— "bukankah melihat mereka begitu menjijikan?"
Mereka yang disebut adalah pasukan Raja Thamerlaine yang berteriak-teriak sok jagoan, membuang-buang bubuk mesiu dengan otaknya yang kecil. Maxwell menghela napas. "Apa bedanya denganmu?"
Gionino tersenyum miring. "Aku punya ini, Maxie,"—mengetuk pelipisnya dengan telunjuknya— "Otak. Sedang mereka tidak," –dan lalu tertawa terbahak-bahak— "Ah. Aku melakukan ini juga demi kelangsungan hidupku. Kesetian Raja atau apalah itu, semuanya tahi."
Maxwell tak menjawab. Mendengarkan ocehan omong kosong Gionino tidak lebih baik daripada dihujam belati berulang kali, seperti di neraka. Dia sama sekali tidak mengerti apa yang pria itu sedang katakan. Pikirnya, Gionino tidak lebih baik daripada mereka-mereka yang dia kira tak punya otak.
"Aku akan sangat kesepian nanti bila tidak ada kau, Maxie. Berkumpul dengan orang goblok seperti mereka—" decih Gionino. "Bisa membuatku ketularan goblok."
Maxwell menghela napas panjang. "Letnan—"
Gionino melotot, memonyongkan bibirnya dan menaruh telunjuknya di bibir Maxwell. "Sst. Mohon ampun kepadaku, Maxie." Dia beranjak. Kali ini dia kembali memegang senapan laras panjangnya, menghadapkan moncongnya di depan mata Maxwell. "Oke. Aku menunggu, Maxie."
"Tidak—"
Satu desingan peluru meluncur, mengenai bahu kiri Maxwell.
"Tidak—"
Kali ini bahu kanan. "Kau tahu? Aku tidak akan pernah bosan melakukan ini, Maxie. Kita pernah satu batalyon ingat? Sama-sama berpihak pada Raja Thamerlaine dan kali ini—" kalimatnya menggantung "—kau sangat menyedihkan, Maxie."
Memori Maxwell reflek kembali ke masa-masa dimana pria cokelat itu bersama dengan pria berambut pirang di depannya. Padahal, keduanya tidak banyak saling menyapa. Bahkan—jauh dari kata seorang teman. Tidak sepantasnya Gionino mengatainya menyedihkan atau apapun itu.
Mereka bersama hanya pada saat akademi pelatihan kemiliteran yang hanya berlangsung selama dua tahun—akademi yang dikhususkan untuk mereka pembela Raja Thamerlaine. Gionino tidak pernah bisa menang darinya, dalam adu tangan kosong, adu pedang, adu tembakan. Kerjaan Gionino hanya menganggu Maxwell saja, dengan sungut-sungutan bahwa suatu hari pemuda bermata biru itu bisa menang melawan Maxwell. Bahkan, teriakan-teriakan Gionino sering mampir di mimpi Maxwell saking hari-harinya dipenuhi ocehan tak berguna milik Gionino. Dan keadaannya sekarang—seperti dejavu. Maxwell dipaksa untuk mendengarkan ocehan omong kosong itu lagi.
Namun walau begitu, Gionino mendapat pangkat yang lebih tinggi daripada Maxwell yang hanya berstatus pasukan sayap kanan setelah dinyatakan lulus.
"Aku memberikanmu sebuah penawaran, Maxie." Gionino kini mengarahkan senapannya pada paha kiri Maxwell. "Jadilah bawahanku." Sehabis mengatakan itu, peluru diluncurkan. "Pikirkanlah ini, selagi aku masih baik." Mata biru itu melihat tajam mata cokelat di bawahnya. Gionino tersenyum, dia mengarahkan senapannya ke arah lain, ke seorang lelaki tua yang tak jauh dari tempat Maxwell bersimpuh.
'DOR.' Dan isi kepala pria itu berceceran. Gionino selalu ingin membunuh bila dia kesal.
Pria berambut pirang itu akhirnya pergi, meninggalkan Maxwell yang merintih kesakitan. Gionino tersenyum, menghela napas panjang sambil memikul senapan panjangnya. Jauh di dalam hati Gionino, ada maksud lain yang terselubung, yang dia simpan rapat-rapat dalam jiwanya. Bahkan sebenarnya, hatinya tidak kuat menahan sukacita saat mata cokelat yang dia rindukan kembali menatapnya setelah sekian lama.
Dia mengagumi Maxwell.
Ah, tidak.
Dia mencintainya.
Bagaimanapun, mungkin Maxwell pun sudah lupa, pria berambut cokelat itu pernah menyelamatkannya sekali. Saat dia masih kecil, menjadi manusia papa yang kehilangan arah, mata biru itu akan selalu ingat mata cokelat manusia itu. Mata cokelat yang menghangatkan, yang memukul telak manusia-manusia yang telah menyiksanya dahulu. Sejak saat itu, mata biru Gionino akan selalu mencari mata cokelat milik Maxwell.
Maxwell tidak perlu tahu.
Cukup Gionino yang mengerti, cukup dia yang mencintainya dengan caranya sendiri.
"Tidakkah kau pikir ini seperti takdir, Maxie?"
Dan dia tak kuasa menahan sukacitanya sekali lagi, saat Maxwell tertatih menghampirinya.
"Akan kulakukan."
Ah, benar, memohonlah seperti itu, Maxie.
✥
Manusia-manusia yang berpihak pada Raja Arddun dikumpulkan di halaman istana. Menunggu eksekusi satu persatu. Pria dan wanita dipisah. Beberapa wanita diseret paksa menuju ke dalam istana dan dimanfaatkan untuk pasukan-pasukan pembela Raja Thamerlaine untuk disetubuhi terlebih dahulu.
Bedebah!
Cecillia masih melihat dengan mata hijaunya, melihat bagaimana satu persatu teman prianya ditembak tepat di ubun-ubun dan bagaimana teman-teman perempuannya diseret satu persatu.
Sungguhkah ini adalah sebuah akhir?
Jiwanya hilang kemana, raganya sudah tak bisa merasakan apapun. Dia hanya terdiam saat akhirnya tiba gilirannya diseret. Seseorang berkata semacam "Lihat ini. Aku menemukan wanita cantik seperti ini." atau "Kurasa yang ini akan sangat enak." disusul dengan jilatan di pipi. Cecillia bahkan hanya diam, tak kuasa untuk berontak ataupun memaki saat tangan-tangan itu mulai menyentuhnya.
"Lepaskan dia," suara baritone seorang pria menghentikan tawa-tawa menjijikkan para pria. Para pria itu melihat sosok pria itu sekilas lalu tertawa terbahak-bahak. Mata cokelat madu itu menatap tajam. "Lepaskan, selagi aku masih baik." Suaranya pelan akan tetapi penuh penekanan. Dia menghadapkan senapannya.
"Easy, man. Kau boleh ambil bagian pertama—"
'DOR."
Satu tembakan.
Ada hening sesaat, enam orang yang lain melihat ngeri manusia yang baru saja berujar kini terbujur kaku dengan peluru di kepalanya.
"Kurang—"
'DOR.'
Satu tumbang, yang lain bersiap menyerang.
'DOR.'
Disusul dengan empat tembakan cepat setelahnya.
"Dasar, manusia bodoh. Bukankah kalian diajarkan bahwa prinsip pasukan adalah jangan pernah meninggalkan senjatamu?" Pria itu menunduk, berkata pada salah seorang manusia yang napasnya tersenggal-senggal. "Sampai bertemu di neraka, man." Pria itu menjambak rambut manusia itu, mengangkat tinggi-tinggi, lalu menjebloskan kepala itu ke lantai keras-keras.
"Kau tidak apa-apa, Cecillia?"
Mata hijau itu melihat ke asal suara, mata cokelat yang tidak asing.
"Ah," pria itu cepat cepat membuka jaket yang dia kenakan, lalu memakaikannya ke wanita di depannya. "Maafkan aku, Cecillia yang terlambat."
Cecillia hanya diam, air matanya jatuh, lalu dia memeluk pria di depannya erat-erat. "Wi—William. Bagaimana ka—kamu—"
"Hal itu tidak begitu penting sekarang," ujarnya, disusul dengan tatapan sendu.
"A—Apakah Maxwell selamat?"
William tersenyum getir. "Semoga saja."
✥
[a/n]
william be lyke; 'Aku kena friendzone T.T'
alastair be lyke; 'RAJAAAAAAAAA. Jangan tinggalkan aku~ T.T'
gionino be lyke; '( ͡° ͜ʖ ͡°) Maxie~'
wkwkwkwkwkwkwkwkw
ah sudahlah. Agapi itu artinya cinta, bdw, jadi aku ingin jadi cah cinta sementara, dan dua part sebelumnya aku ingin menonjolkan cinta-cintanya wkwkw gak terlalu ngena? Yasudahlah T.T
Apalah aku. Baru mau bangkit dari WB wkwkwkw
Ah aku nunggak berapa ini T.T
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top