Kapitolus IX; Kebimbangan Maxwell
Ibu kota Canan, Swietenia, 18 Juni 1748
Seorang gadis kecil bermata biru mengambil rantingnya, dia menulis sesuatu di tanah, sesuatu yang abstrak, sesuatu seperti lingkaran-lingkaran yang aneh. Dia mengaduh, seseorang melempar batu kepadanya. Berulang-ulang kali.
"Kata Else, mereka itu hanya iri padaku," lirihnya, matanya sama sekali tidak tertarik dengan siapa yang sedang menjahilinya. Dia sudah terlalu hafal dengan perlakuan macam ini. Mereka adalah anak-anak di kota, anak-anak penduduk asli Shorea yang beruntung memiliki keluarga pegawai sipil.
Namun, gadis kecil itu tak bisa menahan diri saat bongkahan batu yang cukup besar mengenainya sampai dia tersungkur. Dia melihat kearah lemparan, segerombolan anak-anak itu menertawainya. Bermata amber dan berkulit sawo matang. "Heh. Aneh!" Seseorang yang paling tinggi berteriak, disusul dengan tawaan yang lain.
Mereka lalu mengelu-elukan kata 'aneh' berulang kali sambil memasang wajah konyol. Ada yang menjulurkan lidah. Ada yang menarik kantung matanya. Ada yang mengapitkan kedua lengannya mirip ayam.
Gadis yang digoda mendecih tidak suka, hatinya mengutuk manusia-manusia yang mengoloknya tapi dia selalu mengingat kata-kata Else. 'Jangan membuang energimu untuk hal yang tak berguna.' Sehingga gadis itu buru-buru mengurungkan niatnya untuk setidaknya membungkam mulut sampah anak-anak di depannya.
Setelahnya, seseorang bocah laki-laki datang. Dengan pedang kayu di tangannya dia berucap semacam, "Jangan ganggu Thea!" "Langkahi dulu aku." "Aku ini abangnya!" Sedang yang dibela hanya memasang wajah datar sambil menghela napas.
"Dasar abang bodoh. Tidak perlu membuang energi begitu, kan?" gumamnya. Dia berjongkok lagi, melanjutkan aktivitas menggambarnya yang sempat berhenti. Kali ini dia mengetuk-ngetuk tongkatnya sedikit tidak minat. Manik birunya beralih ke segerombolan manusia itu tadi, terutama ke abangnya—yang paling berkulit cokelat dengan mata amber yang bersinar, mengenakan kaus putih usang serta bertelanjang kaki, kini menghentak-hentakan kakinya tak terima sambil mengayunkan pedang kayunya—dan gadis itu tidak mampu menahan senyumannya. "Abang bodoh."
"Pergi sana! Dasar anak kecil!" Adrik berteriak setelah sekitar empat bocah lelaki yang menggoda adiknya barusan berlari sambil menangis. Dia mengacung-ngacungkan pedangnya tak suka layaknya mengusir ayam.
"Menurutmu, kau bukan anak kecil?" mata gadis itu tak beralih dari tanah.
"Ingat, Thea. Aku satu tahun lebih tua," ujar Adrik sambil membusungkan dadanya, tangan kirinya di pinggang dan tangan kanannya mengacungkan pedang kayunya dengan bangga. "Lagipula, apa mereka tidak malu?" Kali ini gantian Adrik yang mengeluh. Tak mendapat sambutan jawaban dari Althaea, dia ikut berjongkok. "Gambar apa sih?"
"Abang," ujar gadis itu.
"Jadi menurutmu aku segumpal lingkaran-lingkaran aneh ini?"
Gadis itu hanya mengecapkan bibir. Dia menunjuk lingkaran kecil,"Mata abang." Lalu ke lingkaran yang paling besar. "Kepala abang." Dan lingkaran yang sedikit lebih besar daripada lingkaran yang ditunjuk sebagai mata."Hidung abang."
"Apa hidungku sebesar itu?"
Gadis berumur sekitar delapan tahun itu hanya tertawa. Dia melihat mata amber Adrik yang berada di depannya. Mereka berdua terpaku, seketika pikirannya menuju ke siang saat mereka berdua bermain di danau kota. Mata Althaea tidak pernah seoranye milik Adrik. Dan kulitnya... tidak pernah bisa secokelat milik Adrik. Althaea sama sekali tidak mirip dengan penduduk Shorea.
"Kita sudah pernah bahas ini, Thea." Adrik menghela napas, seakan tahu benar apa yang adiknya pikirkkan. Dari sorot mata birunya—yang jelas sungguh berbeda dari mata ambernya—Adrik tahu bahwa gadis di depannya akan menyinggung soal bagaimana mereka berbeda. Mata amber dengan sapphire. Kulit cokelat sawo matang dengan putih pucat. "Lagipula, adikku cantik." Adrik menunjukkan cengiran lebarnya. Tangannya mengacak-acak rambut cokelat gadis di depannya.
Althaea hanya mengangguk mengiyakan, memasang senyum kecil. Ingatannya kembali beberapa tahun lalu di mana saat itu dia masih menangis bila ada yang menggangunya dan Adrik selalu datang. Gadis itu berkata, 'Kenapa Thea berbeda?' Cepat-cepat Adrik berlari, mengambil pasir putih dan melumpuri dirinya sampai dia memutih. Althaea melihatnya heran kala itu, sambil masih sesenggukkan dan mengusap ingusnya. 'Siapa bilang?' Adrik berkata saat tubuhnya memutih, dari kepala, lengan, dan kaki. 'Adrik dan Thea sama sekarang.' Dan Althaea kecil hanya bisa tertawa melihat abangnya. 'Thea selamanya akan jadi adik Adrik. Adrik sudah berjanji pada Else untuk menjaga Thea. Jadi, jangan menangis lagi.'
Ingatan Althaea berakhir di situ.
Dia melihat lagi Adrik, menarik napas panjang dan menghembuskannya keras-keras.
"Kenapa?" Bocah lelaki berambut hitam yang sedari tadi hanya memegangi lututnya saat berjongkok sedikit kaget mendengar dengkusan keras Althaea.
Gadis berambut seleher itu menggeleng. "Bukan apa-apa. Aku hanya baru saja mengingat kelakukan abangku yang bodoh."
Adrik memukul kepala Althaea setelahnya, "Kau—dewasa sebelum waktunya. Kau tahu?"
Yang hanya dibalas dengan cengiran mengejek Althaea. Gadis itu beranjak, lalu berteriak senang, matanya berbinar melihat gadis kecil berambut hitam yang bersembunyi di balik pohon. "Rashin!" teriaknya girang. Kaki kecilnya menghampiri gadis itu.
"Al—Thea." Gadis yang dipanggil Rashin itu menggapai-gapai udara, mencari sosok yang dipanggilnya Althea—nama asli gadis yang dipanggil barusan padahal Althaea.
Adrik yang sedari tadi berdiri hanya melihat keduanya bergantian, jujur saja, bocah lelaki itu tidak pernah melihat adiknya seriang itu sebelumnya. Dan gadis yang dipanggil Rashin barusan—ah, dia menyadari sesuatu, bahwa Rashin adalah gadis buta. Tangan kecil Rashin meraba-raba wajah Althaea. Hidung. Bibir. Rambut. Sampai-sampai Althaea mengaduh namun tertawa kegirangan. "Benar. Ini aku, Rashin!" Mata biru Althaea kini beralih ke mata Adrik. Dia tidak berkata namun matanya mengisaratkan bahwa dia sedang sangat bahagia sekarang. Pemuda bermata amber itu hanya tersenyum.
Akhirnya Adrik mengerti mengapa Althaea sangat suka bermain mengunjungi kota sekalipun gadis itu akan tersiksa karena kelakuan anak-anak di kota.
Dan saat mata Adrik dan Rashin saling bertabrakan, dia tahu satu hal—Rashin adalah salah satu dari kaumnya. Tapi—mengapa dia sama sekali tidak ingat?
✥
Ibu Kota Sentral, Shorea, 1741
Maxwell tidak terlalu suka dengan usul William—jujur saja. Namun, malam itu, dia merenungi tapak tilasnya kembali. Bagaimana dia dulu berperang, lalu bertemu dengan Cecillia, lalu menjadi bawahan manusia brengsek bernama Gionino—yang berhasil istrinya dia bunuh, dan bagaimana dia hidup dalam keadaan carut marut negeri yang dipimpin oleh Raja gila. Sekarang, ditambah satu lagi—
"Anakmu—" Malam itu, William sedikit menggantungkan kata-katanya "—adalah satu-satunya harapan, Maxwell."
Maxwell meneguk satu gelas besar beernya. Dia tidak biasa minum alkohol, sekalipun kadarnya rendah seperti beer, namun sekalinya dia minum, itu tandanya bahwa sesuatu sedang sangat mengganggu pikirnya. Ah. Bagaimana dia bisa melepaskan anaknya begitu saja?
"Will brengsek," ujarnya, dibarengi dengan gebrakan keras antara gelas yang dipegangnya dengan meja bar.
Malam itu, sedikit gerimis. Kedua sahabat yang lama terpisah akhirnya dipertemukan.
William Matthew dengan Maxwell Ealdian.
Keduanya pernah bertarung bersama di pihak Raja Arddun. Sampai akhirnya dia tahu bahwa William berubah menjadi pendukung Raja Thamerlaine di garis depan.
"Aku tahu aku tidak sopan, Max. Maafkan aku," ujar lelaki bermata cokelat madu—William. Keduanya memutuskan untuk berbicang di salah satu bar di samping kota Sentral. "Kau tahu sendiri. Selama ini Alastair tidak pernah meleset. Ini adalah satu-satunya kesempatan kita. Ah tidak," –mata cokelat madu itu melihat mata lelaki yang senada dengan sangat serius— "Ini adalah kesempatan terakhir kita. Kita! Para penduduk Negeri Shorea! Semuanya ada di keputusanmu sekarang."
Maxwell menghela napas keras, tangan besarnya memijat pelipisnya. "Bagaimana bisa aku mempercayaimu, Will? Setelah pengkhianatanmu." Mata itu menatap tajam.
Raut muka William berubah sendu. Dia melihat kawannya mulai memesan satu gelas besar beer yang dia tahu betul bahwa hal itu adalah minuman yang sangat jarang sahabatnya minum. "Aku punya alasan sendiri, Max. Aku harap kamu mengerti," katanya. Matanya kini beralih ke bartender. "Tolong. Cider saja." Dia pikir, dia juga membutuhkan beberapa tegukan alkohol. "Aku yang menyelamatkan Cecillia."
"Terima kasih soal itu," ujar Maxwell setelah meneguk beernya.
"Kumohon, kali ini percayalah padaku. Aku tidak akan memintamu lebih dari ini. Yang aku katakan adalah sebenar-benarnya cerita. Tidak aku beri tambahan pun pengurangan. Harus ada yang menghentikan," –kalimatnya menggantung, diikuti dengan intonasi yang sangat pelan takut-takut ada yang mendengar–"si gila Thamerlaine, Max."
Kata-kata William tergiang terus di kepala Maxwell. Mengganggu pikirnya. Tentu, William Matthew adalah rekannya yang sangat berharga. Namun apa yang dibicarakan William barusan terlalu tiba-tiba baginya, begitu sangat tidak masuk akal, begitu merobek hatinya.
William bercerita sedikit soal keputusan berbelok ke pihak Thamerlaine—yang menyebabkan Maxwell sedikit naik darah dan menggebrak meja.
Soal kegilaan Raja Thamerlaine yang mencuri anak-anak demi kepuasan pribadi—yang dikatakan William bahwa Raja tengah mencari kekekalan abadi dengan meminum darah anak-anak itu.
Soal rencana William dengan mendirikan ILA—suatu organisasi yang bermarkas di Sequo Virens yang berusaha menggulingkan pemerintahan.
Soal ramalan Alastair terutama, yang memaksanya meneguk gelas ketiga beernya—sungguh, tidak ada orang tua yang rela bahwa anaknya digunakan sebagai senjata belaka.
Dia bahkan tak kuasa melihat raut wajah Cecillia, pun senyum kedua anak gadisnya yang masih berumur satu tahun harus menghilang dari kehidupnya.
Tiba-tiba Maxwell dipaksa untuk menghancurkan dunianya sendiri demi Negerinya.
.
.
[a/n]
umm..
gitu.
OK.
WKWKWKW.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top