Kapitolus IV; The Solid Beneath Us
Kota Sindora, Swietenia. 26 Desember 1741 M. 12.25 a.m.
Else pulang dengan tatapan getir, orang-orang yang bersiap menyambutnuya dengan sorak surai memasang wajah bertanya-tanya. Bukan berita yang bagus, mereka pikir.
"Dimana yang lain?"
Else tak menjawab, membuat tanda tanya semakin besar di kepala mereka. "Maafkan aku," lirihnya. Melihat sinar mata amber Else yang meredup, satu persatu orang menghela napas lalu beranjak pergi. Kekecewaan yang mereka cecap tidak terlalu membuat mereka kaget, menghadapi sebuah kematian adalah hal yang sudah mereka persiapkan jauh-jauh hari. Bahkan pertama saat nama Raja yang sekarang diagungkan menggantikan Raja yang terdahulu. Petaka bertubi-tubi datang setelahnya.
Mereka hidup dalam bayang-bayang ketakutan karena bersembunyi di sudut kota Sindora yang terpencil, jauh dari hiruk pikuk keramaian negeri Swietenia, tidak ada yang tahu tepatnya. Itulah kadang beberapa rumor mengatakan bahwa bila berhasil menemukan tempat ini, akan mendapat hadiah yang menggiurnya—karena pasalnya daerah ini menurunkan produktivitas di tambang karena budak berkurang. Mereka yang tinggal disini adalah para budak yang selamat, para jompo, para anak kecil yang yatim piatu, para penyandang disabilitas, beberapa wanita yang membantu di dapur umur dan beberapa pria yang jelas bergabung dalam perkumpulan pemberontak.
Tapi semenjak misi terakhir ini tak berlangsung begitu baik, perkumpulan itu hanya menyisakan Else yang selamat. Sekarang wanita itu kehabisan ide untuk mengumpulkan lagi manusia-manusia yang akan melanjutkan perjuangannya. Atau mungkin tidak sama sekali, cukuplah Else yang memiliki tanggungan untuk melindungi kampung ini.
Wanita berambut hitam panjang itu berjalan gontai menuju gubuk kecilnya. Bau belerang menguar dan genangan limbah kental yang menjijikkan terlihat di setiap tanah yang dia jejakkan. Seorang bocah lelaki yang awalnya menopang dagu di sebuah kursi rotan langsung beranjak dan berlari ke arahnya.
"Else!"
Bocah lelaki itu sempat tersandung dan langsung ditangkap wanita itu. Else tersenyum kecut, menghela rambut anak lelakinya. "Hai, Jagoan," ucapnya sembari menyejajarkan tubuhnya dengan milik bocah lelaki itu. Beberapa saat lalu, dia melupakan kehadiran seseorang yang kini berada dalam gendongannya karena senjata runduknya yang berat. "Adrik, dengarkan Else, mengerti?" ujarnya kepada bocah lelaki di depannya. Wanita bermata amber itu meletakkan senjatanya. Lalu menangkupkan kedua tangannya ke pipi Adrik, dia mengusap pipi kenyal itu dengan jempolnya."Adrik sebentar lagi akan punya adik."
Mata amber bocah lelaki itu berbinar.
Else melepaskan gendongannya. Terlihat orok itu tertidur, kulitnya putih, rambutnya cokelat muda, dan jemari mungilnya menggapai-gapai. Elsepun tak mengerti mengapa orok yang dibawanya ini begitu tenang di pelukannya.
"Else, dia bersinar!" seru Adrik. Jemarinya menoel pipi itu.
"Eh?" Else sendiripun kaget. Ada sedikit sinar biru yang dipancarkan oleh bandul di dalam buntalan bayi itu.
"Else. Dia cantik," sorak Adrik kemudian. Mata ambernya berbinar dan dia berlari kegirangan mengelilingi Else. Wanita itu merenung sejenak, mencoba menelaah apa yang terjadi. Hari ini begitu banyak hal yang terjadi padanya.
Tentang sebuah pengkhianatan.
Sebuah kematian.
Kehilangan.
Dan kelahiran orok yang digendongannya.
Perlahan dia mengambil bandul itu dari dalam saku bayi itu, yang wanita itu tahu bahwa itu bukan pahatan sembarangan. Bandul itu berbentuk belah ketupat berlapis emas dengan ukiran timbul stilasi semacam bunga—sejenis baby's breath mungkin, di tengahnya ada kilauan batu sapphire yang menyilaukan, dan dibaliknya tertulis nama bayi itu. Kalau dipikir, budak mana yang diperjualan belikan dalam kondisi seperti ini? Tidak ada. Orok yang berada di gendongannya alih-alih seorang budak, dia yakin benar bahwa bayi itu adalah keturunan pegawai yang memiliki pangkat tinggi.
Dia mengelus pipi bayi itu, Adrikpun akhirnya berhenti, napas bocah itu memburu namun matanya berbinar kembali melihat sosok kecil itu. "Else. Nama."
Hati wanita bermata amber itu entah mengapa penuh, penuh sukacita yang banyak-banyak, kegembiraan yang menggebu-gebu, asa yang lama telah dia rindukan. Lewat orok ini, mungkin, walaupun sangat kecil kemungkinannya, dia bisa menemukan jawaban akan pertanyaan yang selalu ditanyakannya.
Kapan semua ini berakhir?
"Namanya—" ujar Else lirih. Air matanya menggenang di sudut matanya,"—Althaea."
Senyum Adrik mengembang.
"Mulai sekarang, jaga adikmu baik-baik ya, Jagoan."
✥
Stepa Axo, Perbatasan. 26 Desember 1741 M. 02.00 a.m.
Sebelum fajar menyingsing, setelah meletakan senapan runduknya, memastikan bayi yang ditemuinya tadi malam dan bocah lelakinya terlelap, wanita berambut panjang bernama Else itu memutuskan untuk kembali ke Stepa Axo. Hawa dingin bulan Desember tidak serta merta langsung menjinak, bahkan lebih parah bila pagi menjelang. Titik-titik embun membentuk kabut tipis yang mengiringi langkah Else dengan cangkul yang dipingkulnya.
Pagi ini, dia berencana untuk mengebumikan rekannya.
Rekannya pantas mendapat penghormatan terakhir.
Ah, kecuali pengkhianat itu, Else mungkin akan membiarkannya membusuk dan dimakan belatung perlahan. Seorang pendosa, manusia yang diselimuti keserakahan dan menjual rekan serta tanahnya sendiri tidak pantas untuk mendapat penghormatan darinya. Bedebah sialan.
Butuh satu jam perjalanan, dan Else memilih bukit tempat biasanya dia melakukan aksinya sebagai peristirahatan terakhir teman-temannya. Wanita itu menggali, membuat lima galian kubur untuk teman-temannya. Peluhnya tidak dia pedulikan. Dinginnya angin selepas hujan bulan Desember tak menggentarkan niatnya. Gemerisik ilalang menjadi penemannya.
Abieze.
Sarid.
Zebulon.
Ivander.
Gideon.
Nama-nama itu akan selamanya terukir di sudut dalam hatinya, tercetak indah sebagai rekan sesama pejuang yang membela tanah kelahiran. Else tak kuasa menahan air matanya, dengan susah payah dan hati yang hancur, dia mencari titik-titik dimana rekannya berjaga dan membawanya ke atas bukit. Kulit mereka yang biasanya cokelat kini pucat dan membiru, lubang bekas selongsong mulai membusuk dan dihinggapi lalat-lalat serta dikerubungi semut. Hati Else makin tercabik-cabik.
Lima lelaki itu yang menemaninya, merampok beberapa kereta barang yang lewat untuk keperluan makanan untuk persembunyian kecilnya. Tapi sekarang—
Yang terjadi sekarang—
—mereka memejamkan mata, tergolek tanpa jiwa, raganya akan membusuk. Hanya akan ada nama yang tertinggal. Selamanya, di hati Else.
Lima mayat itu berjajar di depan Else. Setelah membasuh sebentar jasad teman-temannya dengan kain dan air yang dibawanya, wanita itu berdiri, mata ambernya menamati mereka satu persatu. Dadanya sakit, dihujam pilu berkali-kali. Punggungnya bergetar, nafasnya sesak menahan tangis, dengkulnya lemas hingga dia terduduk.
"Aku—" ujarnya bergetar. "Aku—" Bahkan dirinya yang sekarang tidak sanggup berkata. Dia hanya menggegam baju milik Sarid yang penuh lumpur—pria berkulit cokelat yang paling besar diantara lima rekannya. Air matanya jauh jua.
Tidak tahan lagi, Else menangis, sejadi-jadinya, meraung-raung menyalahkan semesta.
Matahari di ufuk timur mulai terlihat, wanita itu masih sedikit terisak, dia mengumpulkan lagi kekuatannya, menempatkan satu persatu jasad rekannya ke liang lahat. Menguburkan dengan duka yang mendalam. Dia mengelap peluh di dahinya. Mata ambernya melihat terbitnya matahari, sebuah awal baru akan terjadi. Dia menarik nafas panjang, memejamkan matanya dan mengepalkan tangan di depan dadanya.
Dia yang terbuat dari tanah akan kembali ke tanah.
Sakaeka yang Agung, raga bisa melebur bersama tanah, tapi jaga jiwa-jiwa yang baik bersamamu. Jadikan dia bintang. Penunjuk arah. Penanda sebuah kejadian. Pembawa kabar. Saksi yang diam yang menyembuhkan segala lara.
Dia membuka matanya. Melihat kelima gundukkan itu sekali lagi, tubuhnya dia tegapkan, lalu memberikan sebuah hormat. "Selamat jalan—"
...rekan.
.
.
Kota Sentral, Shorea. 21 November 1740 M. 12.01 a.m.
"Aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi," ujar pria itu. Matanya cokelat, rambutnya tercukur rapi, mengenakan pakaian hitam dengan banyak lencana di dada kirinya, seorang Letnan Satu. Pria itu berdiri tegap di depan sel tahanan.
Manusia yang bersembunyi di balik gelapnya jeruji itu tidak menjawab.
"Aku berani jamin bahwa aku ada di pihakmu, Alastair." Pria itu berdeham, masih dengan posisi siap dan scepter yang diapit di antara lengan kanannya."Aku tahu ini ada hubungannya dengan campur tangan dari para dewa."
Tidak ada jawaban. Alih-alih membuka suara dengan erangan atau semacamnya, pria renta yang disebut sebagai Alastair itu malah semakin bersembunyi dalam gelapnya sel tahanan.
"Aku akan kembali lagi besok," ujar pria itu kemudian. "Akan aku yakinkan kau bahwa aku benar-benar tidak berada di pihak Raja." Pria itu mengambil napas panjang, hampir dua jam yang dia habiskan di penjara bawah tanah terbuang percuma—lagi-lagi. Ini sudah memasuki hari ketiga dan dia masih tidak mengerti mengapa Alastair begitu keukeuh untuk bungkam. "Akan aku cari alasan mengapa Raja menginginkan semua anak kecil itu terbunuh."
Sebelum pergi, pria itu membungkukan sedikit badannya, memberi penghormatan yang pantas untuk pria rentan di balik jeruji. Dia berbalik, menyusuri lorong yang lembab dan menuju tangga.
Di balik kegelapan, Alastair menatap sendu. Cahaya bulan yang masuk lewat lubang-lubang sel menjadi satu-satunya pelipur lara di hatinya. Di benaknya, tidak ada yang berhak dia percayai selain yang para dewa-dewa yang terus memberinya mimpi. Dan mimpinya tidak pernah bagus di malam-malam sejak dia berada di dalam tahanan ini. Mimpi buruk, dari yang paling buruk.
Di mimpi itu, hujan datang, langit hitam, kilat bersahutan, guntur bagai genderang. Langit bagai terbelah, membuat satu buah lubang tepat di atas kastil istana. Lubang itu menurunkan makhluk bangor dan bengis yang akan memangsa apa yang ada di dekatnya.
Membayangkannya saja membuat Alastair untuk enggan tidur. Tiga haripun sama saja, dia tidak diberikan tanda-tanda lagi apakah pria yang di hadapannya adalah orang yang pantas mendengarkan mimpi-mimpinya.
Sungguh, dia tidak menyesal memberitahukan sebuah peringatan kepada Raja. Terlebih, memang kepada siapa lagi pesan itu harus ditujukan bila tidak langsung ke Raja yang memiliki tahta tertinggi di negeri Shorea. Dia diberikan pertanda bahwa Raja sedang melakukan praktek ilmu hitam yang mengancam keseimbangan buana, setidaknya, orang tua rentan itu berusaha untuk mengingatkan walau tidak digubris.
Setidaknya, dia berusaha sedikit untuk menghentikan Raja.
Walau ujungnya nihil.
Sungguh begitulah yang ada di benak Alastair.
Malam itu, setelah kepergian pria itu, Alastair terkesiap dari tidur singkatnya. Mata hijaunya menatap keder makhluk di depannya. Mata nyalang itu, dengan kuku-kuku yang tajam dan gigi taring yang panjang.
"—Zoticos?"
Mimpi buruknya baru saja menjadi nyata.
✥
Kota Sentral, Shorea. 1738 M.
Tidak ada angin apa-apa, pagi itu tenang seperti biasanya. Wazir duduk di salah satu kursi durbar dan Raja duduk di kursi singgasana yang disediakan untuknya. Wajahnya seketika sangat culas melihat tumpukan-tumpukan dan gulungan-gulungan papirus yang akan wazir lontarkan kepadanya.
Menjadi Raja—tidak semenyenangkan bayangannya.
Dirinya sangat menikmati masa-masa perang di mana dia bisa melihat manusia yang tampak kecil itu bagaikan binatang, saling membunuh, saling berteriak, saling menghujam, dan saling berebut kekuasaan. Hatinya dipenuhi perasaan senang yang meluap-luap, yang tidak sembarangan orang bisa rasakan. Bahkan rasanya—ah, dia begitu ingat bagaimana tangannya dipenuhi darah saudaranya sendiri. Rasanya begitu mengagumkan.
Bagaimana kentalnya darah.
Bau anyirnya.
Warnanya yang merah legam.
Dan teriakan manusia yang dihujamnya begitu elok di telinganya.
Menakjubkan!
Sampai-sampai dia ingin melakukannya kembali.
"Hentikan," kata Raja kemudian, menghentikan tutur wazir.
Sang wazir lantas menunduk dalam-dalam. Raja tak bicara lebih banyak lagi, dia beranjak dari singgasananya, menghendaki untuk berjalan menuju kursi singgasananya di ruangan tengah. Dia lelah—lebih tepatnya dia bosan.
Dia ingin membuat keributan.
Dia ingin hasratnya terpuaskan.
Dia ingin perang.
Hingga pikirannya tebersit akan suatu rencana yang besar—mengalahkan Dewa.
Dia menyeringai, matanya berkilat. Lalu bisikan-bisikan itu semakin jelas di kepalanya.
"Raja diraja. Maharaja. Yang Mulia. Baginda. Ampun saya, Yang Mulia."
Selanjutnya, sang Raja tidak terlalu kaget saat dirinya tiba-tiba terduduk di singgasana, dengan mengepal kepala ruby di scepternya. Dia melihat seseorang berjubah hitam kini menunduk kepadanya.
Sungguh, dia tidak begitu kaget.
Tidak ada yang tidak mengenal sosok di depannya. Seharusnya dia sadar bahwa bisikan-bisikan yang diterimanya berasal dari cenayang yang kini ada di depannya. Cenayang yang selalu memberikan ide-ide cemerlang seperti membunuh Raja Arddun dan menjadi penguasa tunggal Negeri Shorea. Raja menyeringai.
"Hibur aku, Zoticos."
.
.
✥
Badass Else. Duh. Can't love you more.
✥
[a/n]
Aku baca ulang part ini dan tidak pernah bosan karenanya wkwkwkw.
Semoga kalian merasakan hal yang sama. I love the idea of Else was.
Bdw, tumben aku post sore yak? WKWKWKWKWKWKW.
Kapanpun itu, terima kasih sudah membaca~
17 Maret 2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top