Kapitolus III; Treason

Stepa Axo, Perbatasan. 25 Desember 1741 M. 10.00 p.m.

Cuaca tidak begitu baik bila memasuki bulan Desember. Seorang wanita diatas bukit merapatkan mantelnya yang sudah usang, mencoba mengumpulkan sisa-sisa kehangatan yang ada. Nafasnya mengepul, menandakan bahwa mendung tidak hanya membawa gelap akan tetapi juga membawa angin dingin yang semakin menusuk ketika malam datang.

Wanita berambut hitam itu merunduk, memasang posisi siap tiarap untuk membidik dengan senapan runduknya. Konstelasi bintang tujuh di langit tidak terlalu terlihat, tapi dia yakin bahwa dia menghadap ke arah utara, tepat arah para incarannya kali ini lewat.

Dia melihat lewat teleskop di senapannya, menanti dengan sabar sekecil apapun tanda yang diberikan oleh rekannya. Stepa pada saat malam bagaikan bayangan hitam yang terapit oleh tiga negeri lainnya—Acropora, Fragrans dan Sentral.

"Kali ini kita akan bunuh semuanya."

Ingatannya kembali ke beberapa jam yang lalu. Wanita itu tergabung dalam kumpulan pemberontak tanpa nama di daerah Barat, Negeri Swietenia. Kumpulan tersebut adalah kaum pemberontak yang masih dan ingin memperjuangkan haknya walau dengan nyawanya. Para manusia yang mengecam habis-habisan tahta Raja Thamerlaine Csaba Agung IV. Berjuang untuk mereka yang lemah, menindas mereka yang semena-mena. Para pendosa itu, manusia-manusia hina yang tidak memanusiakan manusia, berhak menuai apa yang telah mereka tanam.

Dan misinya kali ini adalah menggagalkan mereka yang dari Sequo Virens sepulang menghadiri pasar budak dan membeli budak layaknya binatang.

Sungguh, Sequo Virens adalah tanah agung tempat para Dewa yang tidak layak diperlakukan layaknya ladang budak.

Cuma cara ini—cara yang dapat diterima di negeri bobrok ini. Cara yang mungkin akan didengar dan ditanggapi—yakni dengan pembunuhan. Darah dibalas dengan darah. Mata dibalas dengan mata. Nyawa dibalas dengan nyawa. Nestapa dibalas dengan nestapa. Duka dibalas dengan duka.

Hanya ada ilalang tinggi di Stepa Axo, tidak banyak penerangan, hanya samar-samar lampu hingar bingar dari Acropora dan lampu jalanan yang redup saat akan memasuki Swietenia. Kereta yang lewat di sana akan sangat terlihat karena memiliki lampu minyak di kedua sisi.

"Ah," wanita itu mengeluh, lensa teleskop di senapannya buram. Titik-titik air hujan perlahan jatuh, diikuti rentetan air yang lain. Hanya hujan shower, tidak begitu deras, tapi tidak pula disebut gerimis. Hujan tidak terlalu menguntungkan bagi snipper sepertinya kali ini, walaupun dia biasa bekerja sendiri, dia lebih memilihi ditemani spotter bila hujan melanda seperti ini.

Tapi, apa yang sudah terjadi sekarang ini, tidak bisa ditarik kembali.

Mereka harus membebaskan para budak itu, apapun yang terjadi. Dia mengadah ke langit malam, kini sepenuhnya dia tidak bisa melihat rasi bintang apapun di langit. Dia kembali fokus ke teleskopnya, lagi-lagi menanti dengan sabar aba-aba dari rekannya.

Hingga dentuman peluru membuatnya sedikit terlonjak.

"SIAL," dia mendecih. Mengamati gelapnya stepa dengan teleskop senapannya. Tidak ada apa-apa. Pergerakan ilalang kacau karena bergesekkan dengan hujan yang semakin menderu. "Apa yang terjadi?" dia mengerang frustasi. Hujan membuatnya tidak bisa melihat dengan jelas.

'DOR!'

Satu tembakan lagi.

Dua tembakan menyusul.

"SIAL!"

Wanita itu masih mencari gerangan siapa yang menghancurkan rencana yang para rekannya buat. Tidak ada lampu. Tidak ada tanda datangnya kereta. Tidak ada lampu minyak yang berjalan. Tidak ada—tanda apapun.

Hujan semakin deras, menderu tanpa ampun. Pemandangan terhadap pergerakan ilalang kabur, suara angin bercampur dengan suara hujan, wanita itu kesusahan untuk tahu apa yang sedang terjadi di sekelilingnya. Kewajiban seorang snipper adalah one shoot one kill, dia diharuskan untuk setia di tempatnya merunduk, hal ini ditegaskan kembali rekannya bahwa apapun yang terjadi dia harus berada di tempat.

Tapi perlukah hal itu sekarang? Berdiam saat temannya terbunuh adalah bukan prinsip yang dia pegang. Di sakunya sekarang setidaknya tersimpan satu buah revolver dengan enam peluru, sebuah pematik api, dan gas air mata.

Dia melihat untuk terakhir kali lewat teleskopnya, mengerang frustasi karena tidak menemukan tanda apapun. Dia bergegas menuruni bukit, menyeimbangkan langkahnya beberapa kali karena tanah yang licin. Dia berlari secepat mungkin menuju stepa, ladang yang penuh dengan ilalang yang tinggi.

Nafasnya memburu, dia menemukan salah satu temannya terbujur setelahnya. Dia menahan nafas, kondisinya tidak begitu baik, jasadnya bercampur dengan tanah yang becek dan selongsong peluru bersarang di kepalanya."Ti—Tidak bisa," desisnya, "dimaafkan."

Dia menghunus revolvernya dari sarung pistol di pinggang kirinya.

Rekannya ada enam, dan seingatnya baru saja ada empat tembakan yang diluncurkan.

Wanita itu mengambil nafas dalam-dalam, berusaha menahan emosinya agar tidak meluap-luap. Tembakan yang kelima tidak terlalu jauh di mana dia berdiri, wanita itu menyelinap di balik ilalang, sedikit berjinjit agar langkahnya tidak ketahuan.

Mengikuti insting, dia menerobos ilalang di sayap kirinya, sesosok pria akhirnya terlihat oleh mata ambernya, kali ini wanita itu tidak bisa menyembunyikan amarahnya. Tapi hatinya tertohok saat yang dilihatnya adalah orang yang sangat dia kenal. Hatinya sakit, lututnya bergetar, sekujur tubuhnya membatu.

"Bedebah," ujar wanita itu. Hujan perlahan berhenti, gemerisik antara ilalang dan air hujan berangsur tenang. Sosok itu mendekatinya, mata amber yang sama, rambut hitam yang sama—seseorang yang sama-sama lahir di kampung halaman yang sama dengannya... mengkhianatinya.

"Hai, Else," sapanya, memasang sebuah senyuman yang memuakkan. "Padahal aku sudah bilang untuk di bukit saja," ujarnya sambil membuang napas keras. "Aku berencana membunuhmu untuk yang terakhir sembari menikmati pertunjukkanku."

"Bajingan tengik." Wanita yang disapa Else itu mengepalkan tangannya erat, giginya bergemelutuk menahan amarahnya, dan sorot matanya penuh dendam."Jadi kau memutuskan untuk menjadi pengkhianat tanahmu sendiri ya?"

"Kau harus mulai berpikir rasional, Else," ujarnya."Tanah kita sudah dirampas habis. Tidak ada yang bisa memberikanmu kehidupan selain ini. Yang kuat yang hidup. Mereka yang kuat akan berkuasa dan yang lemah tidak akan bertahan hidup."

"Omong kosong."

"Aku bisa memberimu satu kesempatan, Else. Pergi bersamaku." Lelaki itu menodong kepala Else dengan pistol, "Atau tidak sama sekali."

Wanita itu meludah, memberikan penghinaan yang pantas untuk manusia di depannya. "Aku lebih baik mati daripada berkhianat dengan tanahku sendiri."

"Baiklah. Ah, sayang sekali, padahal kau cantik," mata amber pria itu terlihat sendu.

Else memejamkan mata, setidaknya mati sebagai manusia yang membela tanah kelahirannya lebih baik daripada mati sebagai pengkhianat. Dia sudah sangat siap bila harus mati, angin yang membelai wajahnya sungguh memenangkan.

Mungkin memang begini seharusnya.


  ✥ 


Stepa Axo, Perbatasan. 25 Desember 1741 M. 11.30 p.m.

Sebut saja Else seorang yang tak tahu balas budi. Sebut saja demikian bila memang itu kenyataannya.

Stepa Axo terbakar, ilalang yang tinggi semakin menambah agungnya jago merah yang mengamuk. Dari kejauhan, langkah wanita itu menjauh, meninggalkan kereta yang perlahan menjadi bara.

Kaki Else terus berlari ke arah selatan Stepa Axo, menuju tanah kelahirannya di negeri barat, Swietenia. Dalam dekapannya, orok itu terus menangis, mencoba mencari kehangatan tubuh Else yang belum kering.

Semua terjadi begitu cepat, saat tiba-tiba timah panas malah mendarat ke tubuh rekannya yang mencoba ingin membunuhnya. Wanita itu membuang napas keras setelahnya, sampai-sampai dia terduduk antara perasaan lega karena lolos dari ujung kematian.

Dia melihat mayat rekannya, memberikan tambahan anak bedil untuk memastikan dia mati. Bedebah harus mati mengenaskan dan membusuk tanpa martabat.

Else mencari siapa yang berhasil melihatnya dalam rerumputan ilalang yang rapat. Dan ditemukannya mata cokelat itu bersinar dalam kegelapan. Tak berucap satu katapun, Else melarikan diri.

Karena dia tahu betul—siapa yang ada di balik bayangan itu.

Pria itu—berseragam hitam dengan aksen kuning.

Orang yang paling dia benci adalah orang yang menolongnya hari ini.

Dan tanpa perasaan ingin berbalas budi karena dendam yang meluap, wanita berambut hitam itu berlari menuju kereta yang berhenti di jalan setapak. Memporak porandakan keretanya, membunuh kusirnya, dan melepaskan kudanya. Dia melempar pematiknya, kereta itu mulai terbakar, namun sebuah suara mampir ke daun telinganya.

Else gelagapan. Desingan peluru entah darimana mengikuti langkahnya. Dia memutar arah, mengambil buntalan yang menangis itu. Suara langkah kuda-kuda dan gesekan kereta pada tanah bebatuan semakin jelas, sorot lampu minyak kereta dapat dia lihat dari kejauhan.

Else membelok, kabur ke dalam ilalang, menghilang.

Dan membawa bayi itu dalam dekapannya.


[a/n]

sorry for late update!

kemaren aku ketiduran sumpah, dan meninggalkan segunung tugas anu wkwkwkw.

hari ini update dua chapter!

terima kasih sudah membaca. Muah~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top