Bagian 7
Beberapa hari ini, semua berjalan normal. Abra semakin sibuk dengan usaha yang beberapa tahun belakangan dirintisnya, sedang Angga mulai mempersiapkan diri mengenalkan anak-anaknya dengan wanita yang akan menjadi calon ibu mereka.
"Yah, Om Dyan kok nggak ke sini lagi?" Kayla mendongak saat ia sedang duduk bersandar pada lengan ayahnya yang sedang memangku laptop di ruang keluarga.
"Om Dyan lagi sibuk, Sayang. Nanti pasti ke sini lagi." Angga mengelus puncak kepala Kayla.
"Lala kangen, Yah." Kayla merubah posisinya, memeluk erat tubuh Angga yang telah meletakkan laptopnya ke meja dan kini bersandar di sofa. Malam sudah larut, namun gadis itu sama sekali belum ingin tidur dan lebih memilih menemani sang ayah bekerja.
"Loh, kangen Ayah?" Angga mengerutkan dahinya.
"Kangen sama Om Dyan." Wajah Kayla mendongak, menunjukkan barisan gigi putihnya pada sang ayah.
"Yaudah, besok Ayah bilang Om Dyan biar ke sini." Angga mengangkat tubuh mungil Kayla dan mendudukkannya ke atas pangkuan, "Sekarang kita bobok ya, udah malem nih, besok kan sekolah."
Angga menggendong putrinya ketika sebuah anggukan Kayla berikan sebagai jawaban, mengantarkan serta menemani Kayla hingga gadis itu terlelap dan kembali melanjutkan pekerjaannya. Hal yang biasa Angga lakukan setahun belakangan ini setelah istrinya berpulang.
***
"Kenapa, Mas?" Abra bertanya setelah mereka selesai melakukan pertemuan. Dalam pekerjaan, Abra dan Angga memang menjalin kerjasama dimana tempat Abra merupakan penyedia bahan baku untuk usaha garmen yang dikelola oleh Angga.
Tanpa berkata apa pun, Angga memberi kode pada Abra agar sang adik mengikutinya masuk dalam ruangan kerja miliknya.
"Kayla kangen kamu katanya." Angga berkata seraya mendudukkan diri pada kursi kerjanya.
"Kalo cuma itu, Mas nggak akan pilih tempat yang privasi begini." Abra mencibir, namun turut mendudukkan dirinya di depan sang kakak.
"Iya, kamu bener, Yan. Sebenernya ada hal lain yang mau aku bilang, ini menyangkut aku dan ... anak-anak." Angga terlihat menegakkan duduknya seraya menumpukan kedua tangannya ke atas meja.
"Maksudnya gimana, Mas?" Abra mengerutkan dahinya seraya membenarkan posisi duduknya lebih mendekat di depan sang kakak.
"Aku nggak sengaja ketemu tetangga lama kita sewaktu dulu kita tinggal di Sukoharjo, mungkin kamu enggak inget karena waktu kita pindah rumah yang di Solo, kamu masih kecil banget kalo nggak salah.
Jadi intinya, beliau dan Mama mau menjodohkan aku sama anak perempuannya, seusia kamu gitu. Minggu lalu, aku udah ketemu sama gadis itu, aku juga udah jelasin semua status dan tujuanku, lebih mengejutkan buat aku, waktu dia nggak keberatan dengan status dan keberadaan anak-anak bahkan setuju dengan perjodohan ini, lalu aku bilang akan mengenalkan anak-anak sama dia. Rencananya sih minggu-minggu ini.
Menurut kamu, apa Kayla akan setuju kalo aku kenalin sama wanita yang akan jadi calon mamanya nanti? Aku belum bilang apa-apa sama dia, aku masih ragu, Yan. Aku lebih takut bikin Lala kecewa nanti." Angga menjelaskan kemudian meminta pendapat pada Abra. Sebenarnya hal inilah yang membuatnya risau beberapa hari ini, tentang bagaimana nantinya pertemuan Kayla dan Kayra.
"Mas serius? Terus pendapat Mas Angga tentang dia gimana?" Abra menegakkan duduknya. Setahu dirinya, sang kakak sangat mencintai mendiang sang istri bahkan ia sempat berpikir jika sang kakak tidak akan pernah menikah lagi. Mendengar apa yang baru saja kakanya bicarakan, membuat Abra tertarik untuk mendengar pendapat Angga mengenai wanita yang akan menjadi calon kakak iparnya nanti.
"Dia tenang, nggak cerewet, dan sangat sederhana. Sangat berbanding terbalik dengan mendiang istriku." Angga tersenyum, mengingat kenangan bersama mendiang sang istri hingga sesaat kemudian senyum itu pudar ketika menyadari jika sang istri tidak lagi bersamanya.
"Ya, kakak iparku memang unik." Abra terkekeh ketika mengingat orang yang tidak pernah ia sangka bisa menjadi kakak iparnya enam tahun lalu. Seorang gadis yang juga berhubungan dengan masa lalunya.
"Sebaiknya Mas beri Lala pengertian, dan segera pertemukan mereka. Siapa tahu Lala langsung suka sama dia. Semoga saja kehadirannya bisa sedikit mengobati kerinduan Lala sama Vendra dengan kasih sayang seorang ibu," imbuh Abra antusias.
"Ya, sepertinya pulang dari sini aku akan kasih tahu Lala," ucap Angga yang terlihat membuka layar ponselnya dengan dahi mengernyit, "tapi sepertinya Mama udah curi start dari aku."
Angga menunjukkan pada Abra mengenai pesan singkat sang mama yang menyuruhnya pulang lebih awal untuk makan malam penting bersama.
"Kamu yakin nggak bisa ke rumah nanti malam?" Angga bertanya kembali pada Abra, pasalnya pria itu mengatakan tidak bisa berkunjung dalam waktu dekat ini dengan dalih ada urusan yang harus ia selesaikan.
"Iya, Mas. Aku mau kejar jodoh aku, nanti aku kenalin kalo dia udah nerima aku. Ini rahasia ya, takut kalo Mama denger malah minta ketemu. Sukses buat makan malamnya nanti ya, Mas. Semoga anak-anak suka sama dia. Segera lamar kalo kalian udah saling cocok, dan jangan lupa kabari aku." jawab Abra antusias dengan senyum yang mengembang sempurna.
"Aamiin, sebenarnya aku sedikit tertarik dengan kepribadiannya. Dan semoga ini bukan jalan yang salah. Aku cuma ingin mengusahakan kebahagiaan anak-anak sebelum memikirkan diriku sendiri.
Lalu, siapa gadis yang udah bikin kamu ngejar dia? Mas jadi penasaran, nggak biasanya kamu sampe ngejar kayak gini. Biasanya kamu yang dikejar-kejar duluan," Angga terkekeh melihat Abra yang terlihat salah tingkah mendengar ucapannya.
"Dia istimewa, Mas. Tapi aku dulu bodoh banget udah sia-siain dia." Abra tersenyum mengingat Kayra, namun sesaat kemudian senyum cerahnya berganti senyum kecut kala ia memgingat bagaimana dulu dirinya tega menyakiti Kayra.
"Ah, pasti kamu habis ketemu mantan ya? Sejak kapan seorang Abra gagal move on, he?" ledek Angga.
"Ah, ngeledek mulu kamu, Mas. Kamu tau sendiri kan, setelah terakhir aku pacaran, aku enggak pernah deket sama siapa-siapa lagi. Dia dulu datang lebih awal, tapi aku yang bodoh malah bikin dia jadi bahan taruhan. Ketemu lagi sama dia, aku anggap sebagai kesempatan. Aku akan berusaha buat luluhin hati dia. Aku sadar kalo aku bener-bener cinta sama dia." Abra berucap antusias.
"Jadi dia wanita yang dulu kamu ceritain? Beruntung kamu kalo masih diberi kesempatan. Tapi saranku, lebih baik kamu minta maaf saja yang bener sama dia. Jangan lagi permainkan hati wanita sesukamu. Mama juga wanita kalau-kalau kamu lupa. Kalau tidak suka atau hanya karena penasaran, lebih baik jangan kamu teruskan. Jangan pernah memberi seorang wanita harapan jika ujungnya kamu patahkan." Angga mengingatkan.
"Ini bukan penasaran, Mas. Aku bener-bener suka sama dia. Aku udah enggak mau main-main lagi. Apa pun akan aku lakuin buat dapetin hatinya dia lagi." Abra antusias.
"Wow, secantik apa sih dia sampe kamu bisa jadi macem bucin gini?" Angga menjepitkan telunjuk serta ibu jarinya pada dagu, pura-pura berpikir.
"Bukan karena cantiknya, tapi dia gadis baik-baik dan memiliki daya tarik tersendiri dari kebaikannya." balas Abra antusias. Namun, Abra tidak pernah tahu jika keantusiasannya sekarang akan berpengaruh pada hatinya nanti.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top