Bagian 6
Suara detik jarum jam memecah sunyi dalam kamar bernuansa hijau pastel yang terlihat remang dari sebuah lampu tidur dekat ranjang. Waktu telah menunjuk angka dua belas lewat, namun Kayra tidak juga mampu memejamkan matanya. Gadis itu hanya bergonti-ganti posisi tidur sedari memasuki kamar sejak tiga jam yang lalu.
Kayra akhirnya menyerah, mengacak rambutnya asal kemudian memilih beranjak dan mendudukkan dirinya di samping jendela, mengamati jejak basah gerimis yang mulai menyapa bumi. Belum lama dia duduk, namun pikirannya kembali ditarik pada pertemuannya dengan Airlangga beberapa jam lalu.
***
"Ehm, seperti yang Om Yasa katakan tadi, aku Ndaru. Lebih tepatnya Airlangga Handaru. Om Yasa lebih suka manggil aku Ndaru semenjak kecil. Dua bulan lalu, kami nggak sengaja kembali bertemu waktu mobilku hampir menyenggol mobil Om Yasa. Yah, dan berakhir dengan pertemuan ini. Sebelumnya aku ingin mengatakan statusku, agar semua jelas di awal. Aku seorang ... duda dengan dua anak. Puteriku berumur lima tahun sedang puteraku baru berumur satu tahun. Istriku meninggal sesaat setelah melahirkan puteraku. Jika kamu keberatan, kita mungkin tidak perlu melanjutkannya," ucap Airlangga mantap.
Untuk sesaat Kayra terdiam mendengar penjelasan pria di depannya, namun beberapa saat setelahnya, sebuah keputusan tanpa Kayra duga begitu saja muncul bahkan pada akhirnya sampai mengejutkan diri Kayra sendiri dengan perkataan yang keluar dari bibirnya.
"Mendengar kejujuranmu di awal, aku ... aku sangat menghargai itu ... Aku tidak ingin mengawali apa pun dengan kebohongan.
Dulu saat pertama kali aku begitu percaya sama seseorang, pertama kali juga aku merasa sangat tersakiti karena ternyata selama itu pula aku dipermainkan dan dibohongi, sejak saat itu sampai sekarang aku nggak percaya lagi sama yang namanya sebuah hubungan apalagi kembali mencobanya.
Namun setelah aku mendengar sendiri apa yang kamu katakan tentang dirimu, aku ... aku akan mencoba mengenalmu dan keluargamu. Ayahku mengatakan kamu orang baik, dan aku nggak akan pernah tau sebelum aku mengenalmu sendiri secara langsung ... dimulai sebagai teman, mungkin." Kayra menatap lurus pada Angga.
Kayra menghela napasnya pelan setelah mengatakan hal itu, sesaat kemudian ia baru menyadari satu hal, jawabnnya tidak akan bisa lagi diralat apalagi ditarik ketika sebuah jawaban Airlangga berikan untuknya.
"Baiklah, tapi aku bukan mencari teman apalagi pacar. Usiaku sudah dua puluh delapan tahun, bukan waktunya lagi untuk aku menjalin hubungan tanpa kejelasan. Jika setelah mengenal, kita bisa saling menerima, aku akan langsung meminangmu pada Om Yasa, namun jika kita tidak berjodoh semoga tidak merusak silaturahim kita. Ucapanmu tadi aku anggap sebagai persetujuan dari kamu untuk memulai perkenalan kita, jadi dalam waktu dekat akan aku bawa anak-anak pada pertemuan kita selanjutnya, pada akhirnya semua akunl serahkan pada mereka karena kenyamanan mereka adalah segalanya bagiku," jelas Angga.
Kayra sempat menahan napas mendengar dengan seksama perkataan Angga. Kayra tahu, tak ada lagi kesempatan dirimya untuk mundur setelah ini hanya dengan alasan tidak siap. Dia sudah memulai, maka ia pula harus menjalani apa yang diucapkannya dengan konsisten.
Semoga ini bukan keputusan yang salah, batin Kayra.
Setelah ayahnya mengatakan akan menjodohkannya, Kayra telah melakukan istikharah untuk memantapkan langkah, menumpahkan segala risau hati pada pemiliknya. Dan mungkin inilah jawaban yang ia dapatkan dari setiap sujudnya.
***
"Loh, baru pulang, Mas?" Ratna yang baru saja selesai mencuci botol-botol susu Vendra di dapur nampak terkejut melihat putera sulungnya baru sampai rumah ketika larut malam.
"Iya, Ma. Angga ketemu dia sama Om Yasa dulu tadi." Angga menjawab seraya melepas sepatunya dan meletakkan pada rak sepatu yang terletak di bawah tangga, mencuci tangan kemudian menyalami sang mama.
"Oh, terus gimana? Kamu nggak nutupin apa pun dari mereka kan?" Bu Ratna mendudukkan diri di sebelah Angga yang kini telah menyandarkan dirinya di sofa.
"Enggak sama sekali, Ma. Angga ceritain semua ke dia."
"Terus reaksi dia gimana, Mas?" Bu Ratna terlihat antusias dengan memutar duduknya untuk menghadap sepenuhnya pada Angga.
"Dia bilang kalo dia mau mengenalku dan anak-anak."
Mendengar jawaban san putera membuat bu Ratna tersenyum haru. Pasalnya, selama setahun semenjak kematian istrinya, Angga selalu menolak ketika akan dikenalkan dengan seseorang. Karena desakan Bu Ratna menggunakan alasan jika Kayla dan Vendra yang butuh sosok ibu, akhirnya Angga mau mencoba membuka diri kembali untuk membina rumah tangga juga demi anak-anaknya.
"Mama harap kalo dia jodoh kamu, semoga dia bisa nerima kamu apa adanya bersama cucu-cucu Mama. Mama yakin dia pasti wanita yang baik. Semoga akhirnya pun juga akan baik." Ratna tersenyum tulus seraya menepuk pundak Angga pelan kemudian berlalu ke kanar di mana Vendra telah tertidur.
"Apa ini udah benar, Sayang?" gumam Angga lirih seolah sedang berbicara dengan mendiang sang istri yang tengah berada di sampingnya. Angga masih sangat mencintai istrinya, dan membuka hati kembali terasa seperti dirinya telah mengkhianati almarhum istrinya meski sang mama telah mendukung sepenuhnya.
***
Sementara itu di tempat berbeda, sama hanya dengan Kayra, Abra pun belum juga bisa memejamkan mata. Sejak pertemuan terakhirnya dengan Kayra beberapa hari lalu, perasaan Abra menjadi kian gelisah. Penolakan yang ia terima dari ayah Kayra bisa ia atasi, namun mendengar Kayra telah dijodohkan dengan pria lain, membuat Abra merasa jika kesempatannya dekat dengan Kayra semakin menipis dan bisa hilang kapan saja. Sisi hatinya belum bisa menerima itu.
"Gimana caranya biar aku bisa tau perasaan Kay sekarang?" gumam Abra menatap lurus pada langit-langit kamarnya dengan kedua tangan yang terlipat ke belakang menumpu kepala.
Kayra Putri Wiyasa, Abra tak bisa mengalihkan pikirannya dari gadis itu.
Sejak Kayra mengetahui permainan konyol Abra dan kedua sahabatnya, hingga Abra berhasil menjalin hubungan dengan Mita, harusnya Abra merasa bebas dan bahagia, namun yang dirasa justru kebalikannya, Abra merasa kosong. Ia merasa kehilangan Kayra meski ia selalu saja menepis perasaan itu. Hubungannya dengan Mita pun hanya bertahan sebulan, karena keduanya merasa bersalah dengan Kayra. Tak ada kesempatan bagi mereka untuk sekedar meminta maaf pada Kayra, karena semenjak saat itu Kayra tak sedikitpun membiarkan orang lain mendekat padanya lagi. Kayra benar-benar tertutup dan lebih suka menyendiri. Semenjak itu pula, Abra hanya bisa diam-diam mengamati Kayra dari jauh, hingga Kayra menghilang begitu saja dari hidupnya setelah mereka dinyatakan lulus.
Ketika Tuhan seakan memberi kesempatan untuknya memperbaiki semua dengan mempertemukan dirinya kembali dengan Kayra, Abra tak akan menyia-nyiakan kesempatan itu. Bagaimanapun caranya, Abra tak akan menyerah hingga Kayra mau memaafkannya kembali.
"Aku nggak akan menyerah, sampai kamu sendiri yang menyuruh aku pergi, Kay," tekad Abra.
...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top