Bagian 3
Suasana malam yang sunyi selepas hujan, membuat Abra tidak bisa bebas tertidur seperti biasa meski waktu sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Pikirannya masih saja melayang pada gadis yang tadi siang tidak sengaja ia temui.
Kayra. Abra tak menyangka jika Kay berubah hampir keseluruhan bahkan bisa dibilang secara drastis hingga Abra sampai hampir tak mengenalinya lagi.
Apa yang harus ia lakukan? Tak mungkin dirinya tiba-tiba muncul hanya untuk mengatakan maaf setelah bertahun-tahun berlalu, apa mungkin Kay masih mengingatnya? atau Bagaimana jika ternyata Kayra masih menyimpan dendam padanya? batin Abra mulai gaduh.
***
"Kay, jadi pacar aku, mau?" ucap Abra remaja saat itu.
"Enggak." Kay menjawab datar lalu beranjak dari tempatnya meninggalkan Abra yang mengernyit heran.
"Kay, kita pacaran ya?" tanya Abra selang sebulan dari kejadian sebelumnya.
"Enggak, Bra." Lagi-lagi penolakan yang Kay berikan.
Abra merasa dirinya semakin tertantang ketika mendapat dua kali penolakan dengan cara yang tidak wajar dari Kay. Abra yang notabene memiliki tinggi badan 170 cm lebih dari rata-rata remaja seusianya, berkulit putih bersih, serta paras perpaduan keturunan Jawa-Arab ditambah sebuah lesung pipi di pipi kanan membuat Abra dengan mudah mendapatkan perhatian dari para gadis di sekolahnya. Tanpa Abra berusaha pun, teman-teman perempuannya akan dengan mudah bertekuk lutut padanya, tapi yang menarik bagi Abra adalah Kay berbeda. Abra sudah mendekati Kay dari beberapa bulan, namun tak ada tanda-tanda sedikitpun Kay luluh padanya.
Hingga suatu ketika, Abra bisa masuk lebih dalam ke kehidupan Kay hanya karena ia menolong Kay dari bullying verbal yang dilakukan oleh beberapa teman sekelas mereka. Dari sanalah Abra tahu apa yang menyebabkan Kay menjadi seorang yang tertutup. Dari sana pula Abra mulai tahu dan mengikuti ritme kehidupan Kay hingga Abra bisa memahami Kay perlahan sampai Kay menjadi terbiasa dengan perhatian yang Abra berikan.
"Kay, aku sebenernya udah lama suka sama kamu dan aku rasa kamu udah tau itu. Ini permintaan ketiga aku setelah dua kali kamu selalu nolak aku, Kay." Abra berdiri tepat di depan Kayra ketika mereka kini berada di sebuah taman kota, namun tak ada tanggapan apa pun dari Kay yang masih terduduk fokus menatap Abra.
"Kay, kamu mau kan jadiin aku pacar kamu?" Abra menatap Kay dan menggenggam lembut telapak tangan gadis itu.
Diam, Kay sendiri tidak tahu harus menjawab apa, namun yang ia tahu hatinya sudah bisa menerima Abra masuk ke kehidupan pribadinya tanpa rasa khawatir ataupun takut.
"Kamu diam, itu artinya iya. Oke, mulai hari ini kamu pacar aku." Abra tersenyum melihat Kay yang kini salah tingkah.
Hari-hari berjalan baik, meski Abra sedikit risih dengan penampilan Kay yang terkesan kuno belum lagi dengan badan Kay yang bisa dibilang lebih besar dari rata-rata perempuan, tapi Abra selalu berhasil menutupinya dari Kay. Beruntungnya Kay bukan tipe gadis yang suka menempel padanya, Kay tidak ingin menjadi pusat perhatian karena berpacaran dengan Abra, jadi Abra hanya perlu sedikit memainkan perannya pada Kay tanpa perlu sering berada di dekat gadis itu.
Sambil menyelam minum air, itulah peribahasa yang pas untuk Abra kala itu. Setelah berpacaran dengan Kayra, Abra jadi leluasa mendekati Mita -sahabat Kay- yang sudah ia incar sejak lama dengan selalu menggunakan Kay sebagai alasannya mendekati gadis itu.
Hanya seminggu dan ia akan meninggalkan Kay, itulah yang selalu ada dalam pikiran Abra. Bentuk tantangan dari taruhan yang ia dan dua sahabatnya lakukan ketika melihat Kay yang sangat pendiam dan tak pernah tergoda untuk berteman dengan laki-laki. Kini Abra berhasil mendapatkan hadiah yang menjadi incarannya, satu set peralatan pendakian brand favoritnya dari Vero dan Dion sebagai imbalan jika salah satu dari ketiganya mampu memenangkan taruhan.
***
"Om Dyan!" Suara rengekan Kayla serta gedoran pintu di kamarnya membuat Abra sedikit tersentak dari pikirannya. Dengan segera Abra bangkit dan membuka pintu kamar sebelum suara Kayla membangunkan Ravendra -adik Kayla- yang tidur bersama sang nenek di kamar sebelah.
"Kenapa La?" Abra berjongkok mensejajarkan tingginya dengan Kayla.
"Lala mimpi jelek, Om." cicit Kayla yang kini memeluk tubuh Abra.
Abra membalas pelukan Kayla dan membawa gadis kecil itu masuk dalam gendongannya.
"Kayla lupa berdoa ya tadi?" tanya Abra setelah menutup pintu dan mendudukkan Kayla di pangkuan saat pria itu duduk di pinggir ranjang.
"Aku berdoa kok, Om. Tapi ... Bunda....," ucapan Kayla berubah menjadi isakan.
"Bunda?" Abra bingung dengan bunda yang dimaksud Kayla, setahunya Kayla memanggil ibunya dengan sebutan Mama.
"Bundanya Lala, Om. Bunda Kayra." Kay menatap Abra dengan mata berkaca-kaca, sementara Abra mengernyitkan dahinya sebagai respon.
"Bunda Kayra? Bukannya Bunda Dinda?" Abra yang mulai mengerti maksud Kayla mencoba mengoreksi, karena setahunya guru kelas Kayla bernama Dinda yang siang tadi ia temui waktu menjemput Kayla.
"Bunda Kayra, Om. Bunda yang tadi nemenin Kayla mainan di kelas." Kayla menjelaskan.
"Oh, iya ... Iya." Abra tentu saja ingat siapa Kayra yang dimaksud keponakannya.
"Lala mimpi Bunda nangis, Om. Bunda minta tolong. Lala sedih, takut." Kayla meneruskan kembali ceritanya.
"Itu cuma mimpi, Kayla. Bunda pasti sekarang juga lagi bobok di rumahnya." Abra mencoba memenangkan Kayla meski ia sendiri kebingungan bagaimana caranya.
"Tapi Lala takut, mau ketemu Bunda sekarang." Kayla kembali terisak seraya merapatkan diri pada dada Abra, bahu kecilnya bergetar tanda bocah itu benar-benar ketakutan.
"Besok ya La. Ini udah malam banget, Bunda pasti juga udah bobok di rumah. Nanti Om coba tanyain Bunda dulu," Abra meringis di akhir ucapannya. Menanyakan? Bagaimana cara dirinya bisa bertanya, sememtara ia tak lagi memiliki kontak Kayra.
"Lala mau sekarang, Om! Ayok!" Dengan cepat Kayla turun dari pangkuan Abra serta menarik tangan pria itu agar segera bangkit dan mengantarkannya.
"Bentar La, Bunda juga nggak akan suka kalo Lala malam-malam keluar rumah. Pasti Bunda pernah bilang kalo anak kecil nggak boleh keluar rumah malam-malam kan?" Perkataan Abra menghentikan tingkah Kayla yang kemudian menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. Bunda Kayra-nya pernah bilang, jika anak kecil sepertinya tidak boleh tidur larut malam apalagi keluar di malam hari, hal itu sangat tidak baik.
"Om janji?" Kayla melepaskan pegangannya pada tangan Abra dan mengganti dengan menjulurkan jari kelingking mungilnya sebelah kanan ke hadapan Abra.
"Iya, Janji, tapi Kay harus bobok dulu sekarang." Abra berujar dengan mengaitkan kelingkingnya pada kelingking Kayra sebagai persetujuan.
Tanpa Abra duga, dengan cepat Kayla melepaskan kaitan jari mereka kemudian naik ke atas ranjang dan merebahkan diri di sana.
"Lala bobok sini aja, Om Dyan nggak boleh tinggalin Lala sebelum Lala bangun besok." Kayla memeluk guling di sebelahnya kemudian memejamkan mata, sementara Abra hanya menggelengkan kepala tak habis pikir dengan kelakuan keponakannya.
"Kayra. Apa ini cara Tuhan kasih jalan buat ketemu dia lagi? Gimana ya reaksi dia kalo besok tiba-tiba aku datang ke sana?" gumam Abra. Tanpa terasa ia kembali larut dalam pikirannya hingga tanpa sadar matanya memberat dan terpejam menyusul Kayla yang telah lebih dulu terlelap.
...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top