Bagian 10
"Bunda!"
Kayla yang sedari tadi berdiri di depan kelas, berlari ketika mendapati sosok dewasa yang sejak tadi ia cari.
"Kayla, hati-hati Sayang," peringat Kay ketika gadis kecil itu berlarian sepanjang lorong untuk menghampirinya.
"Bunda mau pulang?" tanya Kayla ketika mendapati Kayra telah menyandang tas di bahunya.
"Iya, Kayla belum dijemput?" Kayra menggiring bocah berseragam hijau batik itu merapat padanya kemudian mendudukkan diri pada kursi panjang di depan ruang kelasnya.
Kayla hanya menggelengkan kepala seraya menunduk.
"Bunda temenin Kayla sampai dijemput kalo gitu ya," usul Kayra yang diangguki antusias oleh gadis kecil di sampingnya.
Tak berapa lama mereka menunggu, hingga sosok Abra muncul mendekat dengan sedikit terengah.
"Kok Om Dyan yang jemput sih? Ayah mana?" Kayla bertanya heran dengan kepala yang berusaha melongok ke belakang tubuh Abra mencari keberadaan sang ayah yang seharusnya menjemput.
"Ayah di kantor, makanya Om Dyan jemput Lala sekalian jalan mau ketemu Ayah," jawab Abra berlutut di depan Kayla, sesaat ia melihat reaksi Kayra melalui ekor matanya.
Tidak tampak gurat terkejut atau apa pun di wajah Kayra. Hanya ekspresi datar Kayra yang Abra dapati saat ini.
"Ayok, Om." Kayla turun dari kursi, kemudian berdiri di depan Kayra, untuk mencium tangan guru favoritnya itu.
"Hati-hati ya Kayla." Hanya itu yang Kayra ucapkan sebelum ia juga ikut berdiri di hadapan keduanya.
"Baik, Bunda." Kayla menarik tangan Abra menuju pintu gerbang yang tidak jauh dari tempat mereka, namun baru beberapa langkah kemudian ia berbalik menghadap pada tempat di mana Kayra bersiap pergi.
"Mau pulang bareng kita?"
Pertanyaan tak terduga dari Abra membuat Kayra berdiri kaku dan mengerjap untuk mencerna.
"Bunda pulang sama kita, Om?" Sebuah tanya dari Kayla yang bernada antusias membuat Kayra sadar jika dialah orang yang Abra maksud.
"Coba tanya sama Bunda Kayra, ajak Bunda pulang bareng kita." Abra menepuk pelan kepala Kayla yang kini tampak semakin antusias.
"Bunda, ayok pulang bareng Kayla. Nanti Om Dya antar. Bunda mau kan? Ayo, Bun!" Entah sejak kapan Kayla sudah berada di samping Kayra dengan sebelah tangan mungilnya yang menggandeng tangan Kayra, memancarkan binar harap agar sang guru mau memenuhi permintaannya.
"Kayla, Kayla pulang sama Om ya. Bunda biar pulang sendiri, kita enggak searah Sayang. Nanti Kayla tambah kesiangan pulangnya." Kayra coba memberi pengertian.
Tidak, Kayra tidak ingin masuk dalam lingkaran kehidupan Abra lagi, apalagi sampai memiliki balas budi pada pria itu. Namun bukan Kayla jika ia tidak mendapatkan apa yang ia inginkan.
"Bunda, Ayah enggak akan marah kok kalo Kayla antar Bunda dulu. Ya Bunda ya? Pulang sama Kayla. Sekaliiii aja," bujuk Kayla seraya menampilkan senyum polosnya.
"Kayla, rumah Bunda kan enggak dekat, Nak. Jadi, Kayla pulang duluan aja ya biar bisa cepat ganti baju, makan siang terus istirahat. Biar Kayla nggak kecapekan ya, Sayang." Hati-hati Kayra memberi pengertian.
Mendengar penolakan Kayra seketika membuat wajah Kayla mendadak mendung. Gadis kecil itu tampak menunduk lesu.
"Tapi ... iya, Bunda." Kayla ingin membantah, namun ia urungkan dengan melepaskan genggamannya pada tangan Kayra dengan kepala menunduk.
Melihat reaksi Kayla membiat Abra berjalan mendekat pada keduanya.
"Ayo, La, kita pulang," ajak Abra sembari mengulurkan tangannya, namun bocah itu masih saja bergeming.
"La?" panggil Abra sekali lagi, akan tetapi yang didapati malah badan Kayla yang tampak bergetar. Gadis itu menangis, meski tak bersuara.
Kayra yang menyadari itu, bergegas berlutut untuk mensejajarkan diri dengan Kayla.
"Kayla kenapa? Bunda salah ya?" tanya Kayra seraya mengangkat wajah Kayla agar menatap padanya.
Hanya gelengan yang Kayla berikan sebagai jawaban.
"Dia berharap," celetuk Abra.
"Sayang, Bunda enggak bermaksud buat bikin Kayla sedih. Tapi Bunda cuma pengen Kayla pulang tepat waktu biar bisa cepat istirahat, Sayang." Perlahan Kayra kembali memberi pengertian.
"Lala pengen pulang sama Mama," lirih Kayla ditengah isakannya.
"Mama?" Kayra mengernyit.
"Nanti kita ke Mama. Kayla pamit dulu sama Bunda." Abra berusaha membujuk Kayla.
Abra sedikit menyesal ketika idenya mengajak Kayra pulang bersama, malah berujung penolakan meski secara halus, bahkan menjadikan Kayla murung dan ingin bertemu sang mama.
Kayla menganggukkan kepala, mencium tangan Kayra kemudian berbalik pada Abra tanpa sedikitpun mengangkat pandangannya.
Pandangan Kayra tak lepas dari Kayla yang kini berjalan keluar gerbang. Seiring langkah Kayla yang menjauh, rasa tak nyaman semakindalam menyusup pada perasaan Kayra.
Dirinya yang melihat perubahan sikap Kayla merasa sangat bersalah pada gadis kecil itu. Harusnya ia tak menolak, tapi dengan mengiyakan ajakan Kayla sama saja dia memberi harapan lain.
...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top