Bagian 1

"Aku suka Abra, Kay," ucap gadis bermata sipit, dengan rambut kuncir kuda di depannya.

"Abra?" cicit Kay sedikit tidak percaya ketika mendengar apa yang Mita katakan.

Riuhnya suasana kantin tak sedikit pun mengusik fokus Kay pada Mita. Kay sebelumnya memang mendengar kabar itu, namun ketika mendengarnya langsung dari Mita, rasanya sungguh menyakitkan. Bagaimana bisa Mita yang tahu jelas tentang Kay dan Abra sedari awal malah mengatakan hal itu? Kay perlahan menundukkan kepala saat dirinya ternyata hanya menemukan kejujuran dari mata Mita.

Kay kecewa, bahkan sangat kecewa. Di sisi lain, Kay juga sadar jika dia tidak akan bisa mengendalikan perasaan orang lain. Dia juga tahu, jika mulai hari ini semua tak akan lagi sama.

"Abra, sebenarnya aku udah lama suka sama dia ... maaf." Mita meneruskan ucapannya, tanpa menyadari jika sebuah cairan bening siap meluncur bebas dari mata Kay yang kini menunduk.

"Aku udah suka sebelum kamu kenal sama dia. Awalnya aku nggak mau lanjutin perasaan aku Kay, waktu kamu bilang kalau kalian jadian, tapi waktu aku tau kalian putus dan dia ternyata juga suka aku, aku ngerasa harapan aku masih ada. Minggu lalu Abra nembak aku, dan aku nggak bisa nolak gitu aja karena jujur aku juga masih suka sama dia, Kay. Plis Kay, jangan marah." Mita menggenggam sebelah tangan Kay yang berada di atas meja, namun Kay perlahan menarik tangannya. Ia tidak tahu lagi harus bagaimana, Kay terlanjur mencintai Abra, namun ternyata Abra hanya mempermainkannya dan satu fakta lagi harus ia terima, Mita dan Abra telah bersama. Lalu apa lagi yang tersisa darinya? Tidak ada.

Kay masih bergeming sejenak menahan napasnya mendengar penuturan Mita, ada rasa bersalah terselip namun rasa kecewanya lebih dominan sekarang. Andai Mita jujur padanya sedari awal, andai ia tetap menutup diri dari Abra, andai ia tidak jatuh cinta. Semakin Kay menggumamkan kata andai di batin dan pikirannya,  semakin besar pula kekecewaan yang Kay rasakan.

"Selamat ya," ucap lirih Kay seraya beranjak, ia harus menjauh sebelum air matanya tak lagi bisa terbendung.

"Harusnya kamu jujur sedari awal," lanjut Kay ketika dia berada satu langkah membelakangi Mita.

***

"Bahkan ini udah empat tahun, tapi kenapa aku belum juga bisa lupa rasanya," gumam Kay tanpa sadar.

"Bunda," suara gadis kecil menarik perhatian Kay dari selembar foto usang yang tak sengaja ia temukan dalam selipan buku harian lama miliknya ketika mengemasi barang-barang di gudang kemarin.

Kay sedikit terkejut dan lekas membalik foto itu ke atas meja kerjanya. Kay berdiri lalu menghampiri gadis kecil yang memanggilnya dari dekat pintu.

"Loh,  Kayla kok belum pulang, Sayang? Bunda Dinda kemana?" Kayra berjongkok tepat di depan bocah lima tahun itu.

"Bunda Dinda di kelas, Kayla tadi bilang mau ketemu Bunda di sini." Kayra tersenyum menatap Kayla.

"Kayla belum dijemput?" Kayra melihat jam pada pergelangan tangannya, sekolah telah usai tiga puluh menit yang lalu namun Kayla hingga sekarang masih berada di sekolah. Kayra melihat pada Kayla yang hanya menggelengkan kepala sebagai jawaban.

Kayla sebenarnya bukan murid di kelas Kayra, mereka saling mengenal saat Kayra sekali menggantikan Dinda mengajar di kelas gadis kecil itu.

"Bunda antar ke kelas, ya? Nanti yang jemput kamu cariin kalo pas dateng malah Kayla nggak ada di kelas." Kayra berdiri, menggandeng tangan mungil Kayla sesaat setelah bocah berkerudung ungu itu menganggukkan kepala antusias.

Di sinilah Kayra sekarang, menjadi seorang pengajar di sebuah taman kanak-kanak di wilayah pinggiran kota Solo. Kayra sendiri tak menyangka kenekatannya memilih sebuah jurusan yang mengharuskannya berinteraksi dengan banyak orang, mampu mengubah kepribadian dirinya meski tak sepenuhnya berubah. Kayra sepenuhnya fokus pada pendidikan sejak saat itu, tak lagi mau berurusan dengan kaum adam hanya untuk sekedar bermain perasaan.

Kayra menjelma, tak ada lagi tubuh tambun yang terlihat bahkan semakin anggun dengan jilbab yang mulai ia kenakan dua tahun belakangan. Wajah teduh perlahan menggantikan raut dingin yang selama ini ia tunjukkan.

"Din, keluarga Kayla udah ditelepon?" Kayra bertanya ketika masuk dalam ruang kelas Kayla, sementara Kayla sendiri telah berlari menuju rak mainan di sudut depan kelas.

"Udah, tapi yang biasa jemput lagi nggak kerja katanya. Ayahnya juga lagi ke luar kota," jawab Dinda yang terlihat meletakkan ponsel setelah menghubungi seseorang.

"Ibunya kemana?" Kayra bertanya namun pandangannya mengamati Kayla yang kini duduk bermain puzzle di dekat mereka.

"Ibunya udah nggak ada pas nglahirin adikknya Kayla," tutur Dinda sedikit berbisik pada Kayra yang telah duduk di depannya.

Seketika Kayra menatap lekat rekan kerjanya kemudian melihat prihatin ke arah bocah kecil itu. Kayra tidak menyangka jika dibalik keceriaan Kayla, bocah itu menyimpan rasa kehilangan meski mungkin belum bisa mengungkapkan secara jelas.

"Permisi!" Sebuah suara berat seseorang dari luar kelas mengalihkan perhatian Dinda, namun tidak dengan Kayra yang membelakangi pintu. Kayra lebih memilih menghampiri Kayla dan membantu gadis itu membereskan puzzle yang berserakan. Sayup-sayup Kayra dapat mendengar jika pria itulah yang diutus untuk menjemput Kayla.

"Kayla, sudah dijemput, Nak. Bunda bantu beresin puzzlenya, terus Kay pakai tasnya ya." Kayra berdiri setelah puzzle kembali tersusun lalu meletakkan kembali pada rak mainan.

"Om Dyan!" seru Kayla menyadari kehadiran pria yang sedikit mirip dengan sang ayah. Ia berlari setelah memakai kembali tasnya dengan benar.

"Kayla, hati-hati...."

Kayra yang berniat menyusul Kayla mendadak berdiri terpaku di tempatnya. Di depan sana, Kayla telah berada dipelukan seorang pria muda seusia Kayra. Pria yang kini tersenyum pada Kayla, pria itu....

"Terima kasih, Bu Dinda. Sekali lagi maaf saya terlambat menjemput Kayla."

Kayra bergeming, tak lagi mendengar apa yang orang-orang di depannya bicarakan, hingga sebuah tarikan di ujung baju menyadarkannya.

"Bunda Kay, Kayla pulang dulu ya." Kayla berpamitan kemudian mencium tangan Kayra.

Hingga Kayla berbalik dan menghilang dibalik pintu, pria itu tak sedikit pun nampak menyadari keberadaan Kayra. Berbeda dengan Kayra yang dengan mudah mengenalinya, pria itu bahkan tidak mengalami banyak perubahan, hanya postur tubuh yang lebih tinggi, wajah yang terlihat dewasa dengan sebuah kaca mata yang kini membingkai mata tajam pemiliknya.

"Kay? Kayra!" Tepukan sedikit keras pada pundaknya mengalihkan perhatian Kayra yang masih tertuju pada pintu.

"Kamu nggak mau pulang, Kay?" Kay mengamati Dinda yang telah menjinjing tas bersiap pulang.

"Ah, Iya. Ayok! Aku ambil tas dulu." Kay berjalan lebih dulu untuk menutupi keterkejutannya agar tidak disadari Dinda.

Dia? Kenapa bisa di sini? batin Kayra.

Kayra pulang dengan membawa banyak pertanyaan dalam benaknya. Dari sekian banyak tempat kenapa dia harus bertemu lagi dengan pria itu. Seketika semua memori mendobrak untuk diputar kembali dalam bayangannya.

Ayolah, Ra! kamu kenapa? ini tuh udah lebih dari empat tahun. Lupain! batin Kayra mencibir semua memori yang kembali berkelebat.

Nyatanya, mengobati luka karena cinta tak semudah ia merasakan cinta untuk pertama kalinya, bahkan empat tahun berlalu tak membuat Kayra dengan mudah melupakan rasa sakit dan kekecewaannya.

...

Ada yang penasaran nggak? Bagi kalian yang punya akun FB, bisa meluncur ke grup 2P Literasi. Bagi yang mau di tag akun FB nya, boleh kasih tau nama akunnya, nanti aku tandai di sana.
Jangan lupa tinggalkan jejak like dan komen sebanyaknya di cerita favorit kamu ya... See u..

Salam sayang
Rey💟💟💟

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top