Kekuatan (1)
Rekomendasi lagu : Lonely oleh Noah Cyrus
Aku punya kekuatan.
Pendengaranku sangat sensitif. Aku dapat mendengar bisikan orang-orang di ujung ruangan bahkan dapat mendengar omongan dari ruangan yang lain. Tanpa perlu melihat ekspresi ataupun gerak bibir mereka, aku dapat mendengar semuanya. Tidak hanya perkataan saja, tetapi aku juga dapat mendengar nada serta intonasi mereka, juga emosi di balik perkataan itu.
Terkadang, aku juga dapat membaca pikiran orang lain sebelum mereka mengutarakannya. Mungkin, aku adalah bangsa fae di kehidupan sebelumnya. Atau mungkin aku adalah hasil percobaan ilmuwan gila yang bermain dengan mutasi genetika. Bisa juga aku adalah keturunan penyihir yang bersembunyi dari radar manusia sehingga orang tuaku harus menyembunyikan identitasku.
Aku menghela napas panjang. Seharusnya aku memerhatikan pelajaran inggris Miss Rani sejak sejam yang lalu. Tetapi pendengaranku yang terlampau sensitif justru memfokuskan diri pada gosip-gosip yang dibisikkan oleh dua perempuan paling populer di kelasku. Keduanya duduk bersebelahan hanya dua meja di samping kananku. Tanpa melihat merekapun aku dapat mendengar mereka sedang membicarakan ... diriku.
'Kau lihat yang Nana lakukan tadi pagi?'
'Apa?'
'Widya menyapanya tapi Nana justru mengkritik rambut Widya.'
'Ihh, judgmental banget!'
'Iya kan? Emangnya ga bisa lebih baik apa?'
Iya, iya, aku sadar aku salah. Seharusnya aku tidak perlu mengkritik rambut Widya. Tunggu, niatku bahkan bukan untuk mengkritik tetapi untuk bercanda. Kulihat tadi pagi rambut Widya masih basah dan belum diikat sesuai peraturan sekolah. Pikiran pertamaku adalah rambutnya mirip kuntilanak. Itu lucu, bukan? Jadi ketika dia menyapaku, aku membalas dengan, "Pagi juga, kuntilanak."
Tetapi tidak ada yang langsung tertawa mendengar hal itu. Justru suasana menjadi canggung. Ah, mereka benar-benar tidak mengerti humor selera tinggi. Aku perlu menjelaskan terlebih dahulu pada mereka. "Rambutmu mirip kuntilanak karena panjang." Aku tertawa kecil menunjukkan itu adalah candaan. Meski masih lamban, menurutku, Widya akhirnya menangkap gurauanku dan ikut tertawa.
Widya hanya tertawa sebentar kemudian memberikanku tatapan tidak suka. Ya, aku sangat mengenali tatapan itu. Sorot mata yang tajam dan gurat bibir yang mengarah ke bawah. Itu adalah tatapan yang sering menatapku balik dari cerminku sendiri.
Tapi kenapa? Kenapa mereka memberikanku tatapan itu?
Bukankah humor adalah cara terbaik untuk berelasi dengan sesama? Kenapa Widya justru tidak suka dengan candaanku?
Aku baru mengerti bahwa candaanku terlalu berlebihan ketika mendengar Hailey dan Tasya berbisik-bisik mengenai diriku. Kata-kata yang mereka gunakan untuk mendeskripsikan perbuatanku adalah: kasar, jahat, dan bully.
Aku menghela napas lagi. Lagi-lagi aku lupa bahwa manusia biasa tidak memiliki toleransi ejekan sebesar diriku. Mereka tidak bisa menerima gurauan yang terlalu mengkritik. Aku harus bersikap lebih lembut lagi dan berhati-hati agar tidak merusak ego mereka. Benar-benar ... perempuan-perempuan ini sangat lemah. Ego mereka sangat rentan dan satu kalimat yang seharusnya tidak mengejek saja sudah menyakiti perasaan mereka.
Mereka, para perempuan yang selalu terpaku dengan kecantikan dan mengidolakan grup band Korea. Tidakkah mereka sadar bahwa mereka termakan pancingan korporat-korporat besar? Para korporat itu membuat masyarakat berpikir standar kecantikan begitu tingginya sehingga agar para perempuan dapat mencapai standar itu mereka harus menjadi konsumer dari berbagai produk mereka. Dan grup band Korea? Bukankah itu adalah salah satu contoh perbudakan di masa modern? Bayangkan, mereka sudah melatih para penyanyi itu dari sejak SMP –lebih muda dariku sekarang yang SMA, untuk membuat imej yang dapat dikonsumsi oleh jutaan orang di dunia. Intinya, kedua hal itu merupakan contoh betapa manusia dapat dengan mudahnya dikontrol oleh objek-objek fana seperti kecantikan dan 'idola.'
Jujur aku merasa tidak cocok disebut sebagai spesies yang sama dengan manusia perempuan seperti mereka. Aku berbeda, hal itu jelas. Inilah yang membuatku mulai memikirkan ulang segala teori mengenai identitas asliku. Rasanya semakin tidak mungkin aku adalah manusia perempuan biasa.
Oh, aku harus pura-pura memerhatikan pelajaran. Bisa kudengar pikiran Miss Rani yang mulai curiga melihat diriku yang menunduk terus dari tadi. Perempuan tengah baya itu hendak memanggil namaku bila aku lanjut tidak memerhatikan dirinya.
Benar saja, ketika kukembalikan perhatianku pada Miss Rani, guruku itu tersenyum tipis padaku. Phew, aku baru saja selamat dari cercaan Miss Rani.
Kedua gadis itu, Hailey dan Tasya masih saja membicarakan diriku. Ayolah, memangnya mereka tidak memiliki topik lain untuk dibicarakan selain diriku? Bukannya apa-apa, aku justru tersanjung mereka menghabiskan waktu mereka untuk membahas tindakanku. Tetapi aku sendiri tidak mau menghabiskan lebih banyak waktu mendengarkan mereka. Aku harus fokus pada pelajaran di depanku karena tidak seperti mereka, aku mementingkan pendidikanku. Aku memiliki rencana hidup. Tidak seperti para perempuan lain yang bersekolah hanya untuk berpacaran, aku bersekolah untuk mengenyam pendidikan.
Kendati demikian, aku sadar tindakanku salah tadi pagi. Seharusnya aku berpikir lebih banyak sebelum berkata-kata. Widya sudah baik mau menyapaku –biasanya semua orang hanya mengabaikanku. Seharusnya aku hanya menyapanya balik saja, tidak perlu niat bergurau atau bercanda. Seharusnya aku berpikir lebih mengenai efek perkataanku pada Widya. Seharusnya aku langsung meminta maaf padanya ....
Ah, begitu pemikiran 'seharusnya' sudah dimulai di otakku, tidak ada yang dapat kulakukan untuk menghentikannya. Dadaku terasa sesak memikirkan semua skenario yang berputar di kepalaku di mana aku hanya menyapa balik Widya selayaknya orang normal. Mungkin bahkan kita dapat mulai berteman dengan begitu. 'Seharusnya' dan 'seandainya.' Tiada akhir bagi pemikiran itu di dalam otakku.
Dari sudut kelas yang lain, kudengar seorang lelaki mulai berbisik pada temannya mengenai diriku pula. Kali ini aku tidak tahu siapa orang itu. Aku tidak mau mencari tahu.
'Nana freak banget deh,' kata lelaki itu.
'Iya kan? Masa disapa malah balasnya ejekan?'
Tidakkah orang-orang tahu bahwa tanpa mereka mengkritik diriku, aku sudah menghujat diriku sendiri berkali-kali lipat? Sebelum mereka mengeluarkan kata-kata itu, aku sudah berulang kali memukul diriku sendiri di dalam benakku.
Mataku terasa memanas dan rasa sesak itu semakin terasa. Tidak, aku harus kuat. Aku, Nana Quincy Simbolon, bukanlah manusia biasa. Aku memiliki kekuatan. Dan bila ini adalah bayaran dari kekuatanku, hal itu tidaklah seberapa.
***
Oke, jadi sekolah hari ini tidak begitu baik. Ya ... Kapan juga sekolah menyenangkan untukku?Tidak apa-apa. Berdasarkan semua novel dan serial TV yang kulihat, memang SMA adalah fase tersulit dalam kehidupan semua orang yang pada akhirnya akan sukses. Mereka yang pada akhirnya akan menjadi pimpinan perusahaan, dokter serta ilmuwan terkenal –biasanya mereka tidak menikmati SMA. Society terlalu lamban untuk pemikiran mereka yang maju, terutama kalangan murid-murid SMA yang masih kekanak-kanakan.
Orang sepertiku memang ditakdirkan untuk tidak memiliki masa SMA yang menyenangkan.
Aku hanya perlu bertahan selama tiga tahun. Karena aku sekarang duduk di kelas 2 SMA, berarti satu setengah tahun lagi.
Setelah itu, aku akan dengan senang hati meninggalkan SMA untuk mempelajari pelajaran yang kusukai. Meski ... aku belum begitu tahu ingin mempelajari apa. Mungkin kedokteran, mengingat nilaiku cukup untuk masuk fakultas dari universitas negeri yang menjadi incaran. Apa aku mencoba kuliah luar negeri saja ya?
Rasanya otakku akan sia-sia bila harus menghadapi masyarakat Indonesia yang begitu tertutup dan berpegangan pada sistem feudal yang disebut senioritas.
Tapi apa yang sebenarnya aku ingin pelajari lebih dalam di dunia ini?
Sementara pikiranku masih melana, kakiku sudah mencapai pintu gerbang rumahku. Rumah yang sederhana, terdiri dari dua lantai namun tidak begitu besar. Melihat rumahku, aku kembali berpikir, Aku harus mencari beasiswa bila ingin sekolah di luar negeri. Keluargaku bisa dibilang berada di kalangan menengah atas, aku akui itu. Tetapi terdapat tiga anak yang perlu dibiayai untuk sekolah dan kedua orang tuaku sudah membanting tulang untuk pendidikan kami.
Bila aku dengan egois meminta dibiayai sepenuhnya untuk pendidikan luar negeri, belum harus menghitung biaya keseharian di sana ... bagaimana dengan adik-adikku? Sebagai anak pertama, aku merasa bertanggung jawab untuk memikirkan mereka. Di saat yang sama, dadaku terasa sakit memikirkan aku harus mengorbankan pendidikanku. Bila saja tidak ada kedua adikku, bila saja aku anak tunggal ... orang tuaku dapat membiayaiku untuk kuliah luar negeri. Dan aku dapat meninggalkan negeri ini, kelompok masyarakat ini. Pergi jauh dari tatapan-tatapan mereka dan semua kebisingan mereka.
Aku hanya ingin pergi jauh dari sini. Dari tempat yang menolakku karena aku adalah aku.
–Bersambung–
Halooo jadi ini aku lagi ikut lomba menulis. Oleh karena itu, kalau ada feedback atau kritik boleh bangeet <33 Dukungan kalian akan sangat sangat berarti
Dan kalau kalian ikutan lomba yang sama japri dong wkkw <33
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top