MeTrollGril : [Say Something]

Song : Say Something by A Great Big World ft. Christina Aguilera
......................................................................................................

Tik... tik... tik...

Perlahan tapi pasti kurasakan diriku mulai terhanyut mengikuti detakan jam dinding. Suaranya menggema ke seluruh ruangan, menandakan betapa sepinya bangunan bernama rumah yang kuhuni saat ini. Dan entah mengapa, perasaan sendirian kembali menjalari diriku.

Aku memilih untuk berbaring di sofa, menatap dinding perapian yang di cat warna biru prussian. Hari ini tanggal dua November, tepat hari ulang tahunku yang ke dua puluh. Tak ada hadiah, tak ada pesta, bahkan keluargaku sendiri seolah tak sudi untuk menelepon dan sekedar mengucapkan 'Selamat Ulang Tahun' kepadaku. Aku tahu, tak ada seorang pun yang mengharapkan keberadaanku di dunia ini.

Kecuali pria itu.

Awalnya, aku tak pernah menyangka bahwa pria pemilik iris sebiru lautan itu akan menjadi sahabatku. Empat tahun yang lalu kami bertemu secara kebetulan di sebuah café, lalu karena hanya satu meja yang tersisa, aku dan dia terpaksa duduk bersama. Sejak saat itulah, kami menjadi semakin dekat setiap harinya dan akhirnya menjadi sepasang sahabat.

Dia selalu ada untukku. Dia satu-satunya cahaya penerang di antara kekelaman hidupku. Dan seperti cerita roman yang klise, aku jatuh cinta padanya. Caranya memanggilku menimbulkan getaran menyenangkan di sekujur tubuhku. Kehadirannya selalu berhasil membuatku merasa nyaman. Mata birunya yang selalu memancarkan sorot kejujuran selalu membuat jantungku seperti dipacu.

Dan karena semua hal itulah aku jadi membencinya.
Aku lega ia tidak datang ke rumahku lagi selama beberapa hari ini. Namun entah mengapa, di sela-sela kelegaan yang kurasakan selalu ada sejumput rasa rindu dan kesendirian yang menelusup ke relung kalbuku. Sialnya, lama-lama perasaan tersebut semakin membesar dan membesar, hingga akhirnya menggeser perasaan lega di hatiku. Menyebalkan...

Ketika aku sedang gundah seperti ini, aku selalu menggigiti jari-jemari tanganku hingga berdarah. Mungkin orang-orang normal tak akan tahan dengan rasa sakitnya, namun itu bukanlah masalah bagiku. Sebagai pengidap kelainan congenital insensitivity to pain*, aku tak bisa merasakan sakit secara fisik.

" Bisakah kau hilangkan bad habit-mu itu?"

Aku terkejut mendengarnya. Refleks aku menoleh ke belakang dan tampaklah Adrian, pria bermata biru tersebut. Ia terkekeh pelan melihat reaksiku. Tangannya menenteng sebuah kotak, entah apa isinya. Kedua irisnya berkilat ditimpa cahaya dari perapian.

" Apa yang kau lakukan di sini?" tanyaku, sebisa mungkin berusaha untuk terlihat dingin. Padahal hatiku berdebar-debar tak keruan.

" Merayakan ulang tahunmu," ia menyahut dengan enteng sebelum duduk di sebelahku. Tangannya dengan cekatan bergerak membuka kotak putih berukuran sedang yang dibawanya. Di dalamnya terdapat sebuah red velvet cake berbentuk lingkaran yang dilapisi dengan fondant berwarna putih serta dihiasi krim dan buah stroberi di atasnya. Sial, ia benar-benar hapal dengan sesuatu yang kusuka.

" Maaf, tadi aku tak sempat membeli lilin. Tidak masalah, kan?" ia bertanya sambil menampilkan jurus puppy dog eyes andalannya, mengobrak-abrik pertahanan hatiku.

" Hm," aku menyahut singkat, " sudah selesai, kan? Pulanglah." Aku tahu aku terdengar begitu jahat saat ini, tetapi aku benar-benar tak mengharapkan kedatangannya, terlebih saat ini.

" Tamara, mengapa kau jahat sekali malam ini?"

Aku menoleh ke arahnya. Napasku tercekat kala kutemukan sorot terluka terpancar dari kedua matanya. Seketika rasa bersalah menerpaku. Ah... aku kejam sekali...

" Aku... aku ingin kau menjauh dariku, mulai saat ini juga."

Hening. Kami berdua terpaku pada pikiran masing-masing. Rasa bersalah kembali menggigitku dengan kuat, membuat tubuhku berjengit. Astaga, dia hanya ingin membahagiakanku, kenapa aku jahat sekali?

" Kenapa, Tam?" suara parau Adrian memecahkan lapisan keheningan di antara kami. " Kenapa? Kau tak ingin menjadi sahabatku lagi? Kau membenciku?"

Pertanyaannya terus terngiang di benakku. Berulang terus menerus seperti kaset rusak. Aku benar-benar lelah. Kuputuskan untuk tak menghiraukan pertanyaannya dan kembali berbaring, ke posisiku semula. Sementara Adrian berpindah ke lantai, tepat di depanku. Tangannya yang besar menggenggam tanganku erat-erat, membuat dinding pertahanan yang susah payah kubangun hancur tak bersisa. Kepalanya bertumpu di bantal yang ada di pelukanku.

" Tam... katakan, apa salahku? Apakah aku pernah jahat kepadamu? Apakah-"

" Dri, boleh aku bilang sesuatu?" aku memotong kalimatnya. Adrian menegakkan punggung, tidak menjawab pertanyaanku. Baiklah, diam berarti iya.

Aku menghela napas. " Sebenarnya, selama dua tahun ini... aku jatuh cinta padamu, Adrian Hemsworth."

Meskipun mataku terpejam, aku dapat menebak ekspresi Adrian saat ini. Terkejut. Bingung. Gundah. Gelisah. Semua bercampur menjadi satu. Aku tertawa kecil membayangkan wajahnya. Pasti lucu sekali.

" Tapi-"

" Ya, aku tahu. Kita hanya sahabat, tak kurang dan tak lebih..." lagi-lagi aku memotong kalimatnya. " Dan aku benci ketika kau memberikan seluruh perhatianmu padaku."

" Kenapa?" tch, kali ini aku percaya dengan perkataan salah satu teman sekolahku yang menyatakan cowok itu bodoh dan tidak peka. Ya, mereka benar-benar tolol!

" Kau bodoh atau apa, Dri?" aku balik bertanya. Lelah, aku benar-benar lelah. " Tentu saja karena aku selalu berharap lebih darimu. Berharap agar kau memiliki perasaan yang sama kepadaku. Berharap agar kau mau berpaling dariku, padahal kau telah memiliki tunangan yang begitu sempurna."

Bendungan air mataku langsung jebol ketika aku membayangkan Arlene, tunangan Adrian yang akan dinikahinya dua hari lagi. Gadis berambut pirang itu begitu sempurna, dengan tubuh dan paras wajah bak boneka barbie, ia bisa memikat pria manapun untuk jatuh cinta padanya. Sementara aku? Aku hanyalah seorang anak yang bahkan tak diinginkan kehadirannya di dunia ini.

"Aku bodoh, kan, Dri? Ya, kan?" tanyaku dengan suara yang makin melemah teredam tangisan. Adrian meraihku ke dalam pelukannya. Aroma parfumnya merasuk ke dalam indera penciumanku, menenangkan sekaligus menyedihkan karena aku tahu aku tak akan pernah memeluknya seperti ini lagi.

"Katakan sesuatu, Dri..." pintaku parau, " kumohon, katakan sesuatu agar aku bisa menyerah untuk mengejarmu..."
Tangan besarnya bergerak membelai rambut panjangku yang kusut. Kubenamkan wajahku di bahu lebarnya, membiarkan kausnya basah oleh airmataku. Kemudian ia mendekatkan bibirnya ke kupingku dan berbisik, " maaf, Tam, aku... aku tidak mencintaimu."

Dan saat itulah aku yakin bahwa aku harus menyerah, membiarkan dirinya dibawa pergi oleh orang yang dicintainya.

Say something, I'm giving up on you...
.....................................................................
THE END

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top