KAZUNA VERSION by aidasenju

Malam ini benar-benar sejuk. Angin berhembus menerpa pepohonan dan rumput-rumput sehingga membuat mereka bergoyang-goyang. Cuaca hari ini sangat cerah dan suhu udaranya juga nyaman mengingat hari ini adalah musim Gugur. Musim di mana orang-orang lebih suka keluar rumah dibandingkan harus berdiam diri di dalamnya.

Mereka tidak mau menyia-nyiakan musim yang mereka nanti-nanti ini. Begitu pun dengan seorang pria berkacamata yang sekarang sedang duduk di bawah pohon besar sambil bersandar di batangnya. Baginya, dengan cara ini lah dia bisa melepas semua bebannya dan menenangkan sejenak pikirannya.

Apakah dia sedang banyak masalah? Pria itu merogoh saku celananya dan mengeluarkan sebuah pena hitam. Untuk menulis? Sepertinya tidak mungkin. Lihat saja, di sekelilingnya tidak ada kertas maupun benda lain yang bisa di coret dengan tulisan. Mustahil bukan jika ia menulis di tanah atau batang pohon dengan menggunakan pena?

Ia menekan ujung atas pena dengan ibu jarinya namun yang keluar bukanlah ujung bawah pena melainkan suara seorang perempuan yang terdengar jelas dari speaker kecil di gagang pena. Ternyata itu adalah pena perekam suara.

'Kazuna, Jadilah anak yang baik selama Ibu pergi. Sedikitpun kau tidak boleh mengeluh kepada orang lain sekalipun kau sedang kacau. Ingat! Kau adalah anak laki-laki yang kuat dan Ibu banggakan. Apapun yang terjadi kau harus bisa menghadapinya. Ibu menyayangimu dan akan selalu mengawasimu dari langit bersama Tuhan.'

Pria bernama Kazuna itu memejamkan mata dan mendongakkan kepalanya ke atas. Ia mengambil nafas panjang dan menghembuskannya dengan berat pula. Berusaha melepas semua yang dibebankan kepadanya. Matanya perlahan terbuka. Ia melihat langit gelap yang dihiasi oleh jutaan bintang yang bersinar terang serta satu bulan sabit yang sangat indah. Terlihat satu bintang yang sinarnya paling terang di antara bintang yang lain. Kazuna melihatnya dan tersenyum.

"Ibu, kau kah itu? Apa kau sedang melihatku sekarang? Aku merindukanmu dan ingin berada di dekatmu. Menceritakan semua yang aku alami dan berbagi bersamamu. Ibu, aku belum terbiasa hidup tanpamu. Rasanya hidupku sangat berat. Dicaci, dikucilkan, dijauhi oleh teman dan direndahkan oleh semua orang tanpa tau apa salahku. Itu membuatku semakin menderita. Ibu, ku mohon jemput lah aku secepat mungkin dan biarkan aku hidup di sana bersamamu. Aku sangat merindukan kehidupan dengan penuh kasih sayang darimu. Hidup yang penuh dengan kebahagiaan."

Tanpa disadari air mata keputus asaan mengalir dari iris Kazuna, membuat kacamata yang ia pakai menjadi berembun dan buram.

"Dasar aneh. Orang lain berharap memiliki umur panjang, tapi kau justru ingin segera mati."

Kazuna tersentak saat suara perempuan menyapa indra pendengarnya. Pria itu lalu mendongak ke atas dimana suara itu berasal dan seketika irisnya membulat begitu mendapati seorang perempuan bergaun putih tengah duduk di dahan pohon.

K-kuntilanak?!

Kazuna ingin berteriak, tapi lidahnya terasa kelu sekarang. Ingin lari, tapi kakinya seolah terpaku dan tidak bisa digerakkan.

Gadis itu memutar matanya malas melihat reaksi laki-laki itu. Ia lantas melompat turun dan mendarat sempurna di depan Kazuna yang semakin dilanda ketakutan.

"Aku bukan hantu," ucap gadis bermata [eye color] itu setelah berdiri di depan Kazuna yang masih terkejut.

"L-lalu, k-kau siapa? Kenapa kau duduk di atas pohon malam-malam begini?"

"Namaku [Name]. Dan memangnya kenapa kalau aku duduk di atas sana? Memang pohon ini punyamu? Bukan 'kan?"

"Tapi kau bisa menakuti orang-orang yang lewat sini."

"Ketakutan seperti kau?" [Name] menatap Kazuna geli.

Kazuna tergagap sebelum laki-laki itu menjawab. "S-siapa yang tidak takut jika seorang perempuan bergaun putih duduk di atas pohon seperti itu?"

"Entahlah. Yang pasti bukan aku." [Name] mengangkat bahu dan langsung mendudukkan diri di samping Kazuna yang masih menatapnya tanpa berkedip.

"Kau sedang putus asa ya?" tanya [Name] tanpa menatap laki-laki di sampingnya. Iris gadis itu terlihat terpaku pada gelapnya langit malam dengan taburan bintang di atas sana.

Kazuna terdiam sesaat sebelum mengikuti tatapan gadis bergaun putih itu. "Anggap saja begitu," ucapnya tenang. "Aku sudah lelah dengan semuanya. Meski aku sudah berusaha keras, orang-orang tetap tidak pernah menghargai usahaku. Selalu diremehkan, dikucilkan, dan dibanding-bandingkan. Semua itu membuatku muak dan marah."

"Kau marah pada mereka?"

"Tidak." Kazuna tertawa hambar, "Aku marah pada diriku sendiri karena tidak bisa berbuat apa-apa untuk mengubah pandangan mereka terhadapku."

"Untuk apa?"

Kazuna menoleh begitu mendengar [Name] bergumam. "Hah?"

"Untuk apa kau berusaha mengubah pandangan orang lain? Beda orang, beda pula isi kepala mereka. Wajar jika ada orang yang beranggapan hal positif yang kau lakukan sebagai sesuatu yang negatif. Kau juga tidak bisa memaksa orang lain untuk selalu sependapat denganmu, jadi abaikan saja jika kau menemukan pandangan negatif orang lain terhadap apa yang kau lakukan," jelas [Name] yang kini balas menatap Kazuna. "Ini hidupmu. Jadi lakukan saja apa yang menurutmu benar, Sadboy."

Kazuna mengernyit mendengar sebutan itu keluar dari celah bibir gadis di sampingnya. "Sadboy? Namaku Kazuna, bukan Sadboy."

"Baiklah." [Name] mengangguk seolah dia mengerti. "Kazuna si Sadboy kalau begitu."

Sebelum Kazuna bisa melayangkan protesnya, [Name] sudah berdiri seraya menepuk-nepuk pakaian yang dikenakan gadis itu. "Aku harus pergi. Jika orang-orang itu tau aku keluar dari tempat itu, bisa-bisa mereka membunuhku begitu mereka menemukanku disini."

Mendengar kalimat terakhir [Name], mau tidak mau Kazuna tersentak dibuatnya. "M-membunuh?!"

[Name] tidak menjawab karena gadis itu sudah mulai berjalan meninggalkan Kazuna yang masih terpaku. "Pokoknya jangan bunuh diri disana ya! Aku tidak mau pohon itu jadi angker nantinya." Gadis itu melambai tanpa membalikkan tubuhnya.

"T-tunggu!" Kazuna segera berdiri. "A-apakah kita bisa bertemu lagi?!"

[Name] berhenti sejenak sebelum menoleh pada Kazuna. Perlahan tapi pasti, sebuah senyum kecil terbit menghiasi wajah ayunya.

"Semoga waktu memberi kita kesempatan itu."

******

Pohon di dekat danau itu seolah menjadi tempat istimewa bagi Kazuna, karena di tempat itulah dia bertemu dengan orang yang berhasil membuka mata dan hatinya. Satu hari cukup untuk membuat mereka lebih akrab dari yang pernah Kazuna pikirkan. Sifat [Name] yang simpel, to the point namun sedikit misterius itu seolah berhasil membuat Kazuna jatuh hati.

Baik. Anggaplah Kazuna jatuh cinta pada [Name]. Jika kalian bertanya sejak kapan, Entahlah. Kazuna juga tidak tau. Mungkin sejak pertama kali mereka bertemu?

Hari ini adalah hari dimana Kazuna kembali bertemu dengan [Name] di bawah pohon itu. Kali ini, Kazuna datang lebih awal dari gadis berhelai [hair color] tersebut. Dan ia bersyukur pada kenyataan itu. Karena Kazuna jadi memiliki waktu untuk mengatur detak jantungnya yang semakin berdetak dengan cepat dari waktu ke waktu.

Setelah sekian lama bergelut dengan perasaannya, akhirnya Kazuna memantapkan hati untuk menyatakan cinta pada [Name].

Ada rasa takut dalam benak Kazuna memikirkan bagaimana jika [Name] tidak memiliki perasaan yang sama dengannya? Lebih-lebih jika bertemanan mereka hancur hanya karena perasaan sepihaknya saja. Tapi Kazuna tidak bisa menahan perasaannya lagi. Meski nanti [Name] menolak, setidaknya perasaan Kazuna bisa tersampaikan pada gadis pujaannya itu.

"Kazuna."

Suara familiar yang memanggilnya itu sontak membuat sang empunya nama menoleh hanya untuk mendapati orang yang ditunggunya kini berjalan mendekatinya.

"Maaf, aku terlambat," ucap [Name] penuh sesal begitu tiba di depan Kazuna.

Kazuna menggeleng seraya tersenyum. "Tidak apa-apa. Aku juga baru sampai."

Bohong.

Faktanya Kazuna sudah berada disana sejak 2 jam yang lalu.

"Begitu? Syukurlah."

Entah Kazuna yang salah lihat, atau [Name] memang terlihat pucat?

"[Name], kau baik-baik saja?" tanya Kazuna khawatir.

[Name] mematung sesaat sebelum gadis itu berkata dengan senyum kecilnya. "Apa maksudmu? Tentu aku baik-baik saja, Kazuna."

"Kau yakin? Tapi kau terlihat puc-...."

"Sudah kubilang aku baik-baik saja. Yang lebih penting sekarang adalah sesuatu yang ingin kau sampaikan padaku. Apa itu? Kau membuatku penasaran," potong [Name] cepat.

Kegugupan yang semula hilang kini kembali datang begitu kalimat [Name] mengingatkan Kazuna akan tujuannya mengajak gadis itu bertemu hari ini.

"Errr... S-sebenarnya aku ..." Kazuna menelan ludah gugup saat dirasa kata-kata yang sudah ia siapkan seolah tersangkut di tenggorokan. "A-aku ... Menyukaimu, [Name]. B-bukan sebagai teman, tapi aku menyukaimu sebagaimana laki-laki menyukai perempuan."

Iris Kazuna bisa melihat bagaimana bola mata [eye color] itu membulat sempurna. Sepertinya [Name] terkejut atas pernyataan cintanya.

"Aku..." [Name] tergagap. Matanya berusaha untuk mengindari tatapan Kazuna yang seolah menembus kepalanya.

"Kau tidak perlu menjawabnya sekarang." Kazuna tersenyum canggung. Sebelah tangan laki-laki itu terangkat untuk menyentuh lehernya dengan gugup. "Kau bisa memikirkannya dulu. Aku akan menunggu."

Terdiam sesaat sebelum [Name] menjawab. "Baiklah."

Kazuna tersenyum cerah mendengar jawaban [Name]. Keduanya lalu melanjutkan percakapan mereka seperti biasa seolah pernyataan cinta itu tidak pernah ada.

*******

Kazuna pun kembali menunggu [Name] keesokan harinya, namun gadis itu tidak muncul bahkan hingga matahari terbenam. Tidak ingin berpikiran buruk, Kazuna lantas kembali berjalan pulang seraya terus meyakinkan dirinya sendiri tentang alasan kenapa [Name] tidak muncul di tempat biasa mereka bertemu.

'Mungkin dia sibuk hingga tidak sempat datang kesini.'

Meski Kazuna berkata seperti itu, namun tetap saja hatinya menentang kata-kata tersebut.

Bagiamana jika [Name] menghindarinya gara-gara pernyataan cinta Kazuna waktu itu?

Apakah sebenarnya [Name] tidak memiliki perasaan yang sama dengannya?

Tuhan, Kazuna tidak apa-apa jika memang [Name] tidak membalas perasaannya. Asalkan pertemanan mereka tidak hancur seperti yang ia takutkan selama ini.

"Apakah kau Masunaga Kazuna?"

Ketika Kazuna kembali ke tempat itu 3 hari kemudian, bukan [Name] yang ada disana, mlainkan seorang laki-laki berambut putih dengan setelan yang rapi.

Meski bingung tentang siapa orang itu, Kazuna tetap menjawab. "Ya."

"Kau pasti bingung dan bertanya-tanya kenapa aku bisa tahu namamu," ucap orang itu. "Seorang gadis memintaku untuk menyampaikan pesan kepadamu."

Kazuna mengernyit. "Seorang gadis?"

Orang itu mengangguk membenarkan. "[Name] ingin bertemu denganmu. Silahkan ikuti aku."

.
.
.

Kazuna pikir, dia tau segalanya tentang [Name]. Tapi ternyata tidak. Kazuna tidak tahu apa-apa tentang gadis pujaannya itu.

Jadi ini alasan kenapa wajah [Name] selalu terlihat pucat?

Hal itu karena [Name] sedang sakit.

Kanker otak stadium akhir.

Itu yang orang asing katakan. Kazuna sekarang mengenalnya dengan nama Kitakado Tomohisa, seorang dokter yang menangani [Name] di rumah sakit ini.

"Masuklah." Tomohisa membuka pintu kamar dimana [Name] tengah berbaring dengan berbagai kabel menempel di tubuh ringkihnya. Suara monitor yang terdengar seirama di samping ranjang [Name] membuktikan bahwa gadis itu masih bernapas.

Dengan berat, Kazuna melangkahkan kakinya memasuki ruangan. Bau obat-obatan mulai menusuk hidungnya saat pintu di belakangnya kembali tertutup, meninggalkan Kazuna hanya berdua dengan [Name] di ruangan itu. Masih dalam aksi diamnya, Kazuna mendudukkan diri di kursi yang terdapat di samping ranjang rumah sakit.

Perasaan ini persis seperti apa yang Kazuna rasakan beberapa tahun yang lalu. Saat ibunya terbaring di ranjang rumah sakit yang sama seperti [Name] saat ini.

Tanpa bisa dicegah, airmata mulai menetes dari iris hijau Kazuna. Air asin itu mengalir di sepanjang pipi sebelum jatuh ke lantai yang dingin.

Kenapa?

Kenapa Kazuna harus berada di situasi seperti ini lagi?

Tidak puaskah Tuhan membuatnya hancur dengan cara mengambil Ibunya beberapa tahun yang lalu? Dan sekarang, apakah Tuhan akan mengambil [Name] juga?

Kazuna tidak ingin itu terjadi. Tapi semua orang tahu, kanker otak stadium akhir sudah tidak bisa diselamatkan lagi. Kazuna jadi bertanya-tanya, sudah berapa lama [Name] menahan kesakitannya selama ini? Seberapa hebat gadis itu menyembunyikan rasa sakit hingga Kazuna bahkan tidak menyadarinya sama sekali?

"K-kazuna." Suara dengan nada lemah itu berhasil menarik Kazuna dari segala pemikiran di kepalanya. Laki-laki itu melihat bagaimana [Name] menatapnya sayu namun dengan senyum yang menghiasi bibinya. "A... pa ... kab.. ar?"

"Bodoh. Harusnya aku yang bertanya seperti itu." Kazuna balas tersenyum, namun matanya kembali basah oleh air mata. "Kenapa kau tidak mengatakan tentang kondisimu dari awal?"

"Maaf."

"Jangan minta maaf, [Name]. Jangan." Kazuna menggeleng sebelum membenamkan wajahnya yang pada tangan [Name] yang ditusuk jarum infus. Kazuna tidak ingin terlihat cengeng di depan [Name], tapi ia tidak bisa menahan sesak ini lebih lama lagi. Alhasil, Kazuna pun menangis.

"Kau memang cengeng." [Name] tersenyum di balik masker oksigennya. Pandangannya turut berkabut oleh airmata yang merangsek keluar dari iris [eye color] gadis itu. "Saat pertama kita bertemu juga kau menangis seperti ini. Jujur, aku kesal padamu saat itu. Di saat aku ingin hidup, kau malah ingin mati. Bodoh."

Kazuna mendongak hingga ia bisa melihat [Name] yang kini juga tengah menangis.

"Hiduplah dengan baik, Kazuna. Ingatlah, disaat kau berharap ingin mati, ada orang di luar sana yang berharap Tuhan memberi mereka umur yang lebih lama dari yang mereka miliki." Dengan susah payah, [Name] mengangkat tangan yang digenggam Kazuna untuk menyentuh wajah basah laki-laki itu. Jari-jari [Name] bergerak perlahan untuk menyeka air mata di wajah Kazuna. "Aku senang ketika kau menyatakan perasaanmu padaku, karena aku juga memiliki perasaan yang sama denganmu. Aku tidak bisa mengatakannya saat itu. Dan aku berpikir bahwa mungkin tidak akan pernah bisa, karena waktu tidak mengizinkannya. Tuhan pun tidak mengizinkanku untuk mencintaimu lebih lama, Kazuna. Karena aku akan segera mati."

"[Name]-..."

"Jangan lupakan aku, Kazuna. Kumohon."

Kata-kata itu menjadi kalimat terakhir [Name] sebelum gadis itu mulai kesulitan bernapas. Di tengah ketakutannya, Kazuna mencoba memanggil dokter ataupun perawat. Mereka datang tak lama kemudian dan segera memberi penanganan pada [Name].

Kazuna hanya bisa menatap nanar tubuh orang yang dicintainya di sudut ruangan. Pandangannya kembali berkabut oleh airmata. Dan ketika bunyi monitor yang nyaring dan panjang terdengar, saat itu pula pertahanan Kazuna pun runtuh.

Laki-laki itu berteriak dan menangis sekencang-kencangnya.

Setelah semua yang mereka lalui, akhirnya berakhir karena salah satunya telah pergi.

Kini seingin apapun Kazuna untuk pergi menemui [Name], ia tidak bisa. Kazuna tidak bisa lagi pergi ke pohon itu dengan harapan akan bertemu gadis yang ia cintai disana. Namun, meski eksistensi [Name] telah menghilang dari dunia ini, kenangan tentang gadis itu akan selalu ada di dalam ingatannya.

********
Omake
.
.

"Pergi ke tempat itu lagi, [Name]?"

Pertanyaan itu berhasil menghentikan gerak tangan [Name] di jendela kamar rumah sakitnya. Dengan segera, gadis itu menoleh hanya untuk mendapati sang dokter berhelai seputih salju itu kini tengah mantapnya dengan tangan bersedekap. Tubuh atletisnya bersandar di kusen pintu yang terbuka.

"Iya."

"Perasaanku saja atau memang kau lebih sering pergi kesana akhir-akhir ini?" Selaku dokter yang menangani [Name], Tomohisa jelas tahu apa yang selama ini gadis itu lakukan diam-diam. Keluar rumah sakit tanpa seijinnya sudah sering [Name] lakukan. Tomohisa mengerti, mengingat [Name] nyaris menghabiskan lebih banyak waktu di rumah sakit membuat Dokter muda itu berpikir bahwa mungkin [Name] merasa bosan. Tapi dengan cara menyelinap keluar diam-diam seperti itu tentu saja membuat siapapun khawatir pada kondisi tubuh gadis berhelai [hair color] tersebut.

"Ada sesuatu yang membuatku tertarik disana," jawab [Name] dengan senyum.

"Sesuatu atau seseorang?"

[Name] tidak segera menjawab karena gadis itu sudah menggeser jendela dan melompat keluar. Untunglah kamar [Name] berada di lantai 1, jadi kemungkinan gadis itu terluka ketika menjalankan aksi kaburnya tidak mungkin terjadi.

"Kau tahu jawabannya, Dokter."

Dengan begitu, [Name] segera menghilang dari pandangan Tomohisa.

"Aku jadi penasaran tentang siapa orang yang berhasil membawa kembali senyuman di wajahnya." Tomohisa bergumam dengan senyum tulus yang tersemat di bibir laki-laki itu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top