Untuk Kakak

Perhatikan, Rani – Sheila on 7 (1999)

Beranjak dewasa kakakku Rani tercinta

Sudah saatnya belajar berpijar

Tinggalkan Jakarta demi masa depan cipta

Sudah waktunya kau mulai terjaga

   

“Kak Rani, Kakak seriusan pilih lanjut keluar kota?”

Pertanyaan itu sedari tadi kutanyakan berulang kepada sesosok gadis yang sudah sangat familiar denganku sejak kecil. Gadis itu menoleh saat aku kembali bersuara. Bibirnya terpulas senyum—kontras sekali dengan ekspresi penasaran bercampur kecewa yang kutunjukkan.

Sejujurnya, aku sudah tahu jawabannya. Aku sudah menanyakan ini berkali-kali dan ia selalu menjawab di tiap pertanyaan dengan sabar.

“Iyaaa.” ‘Kan, dia benar-benar menjawabnya. “Kenapa, sih? Kamu tanya itu dari kemarin padahal jawaban aku selalu sama. Kamu mau ikut?”

Membayangkan hidup di kota lain, yang jauh lebih kecil dari Jakarta, membuatku merinding. Jakarta adalah kota yang telah menyediakan semuanya. Aku selalu percaya, sesusah apa pun hidup di Jakarta, hidup di daerah lain yang lebih kecil pastilah lebih susah. Kota besar ini telah menyediakan segalanya yang manusia butuhkan untuk hidup.

“Gaklah! Di Jakarta udah enak semuanya, kenapa juga harus keluar kota lagi?” Aku mengambil satu langkah maju untuk ikut berjongkok di sampingnya yang sedang memberi pupuk pada pot-pot tanamannya. Aku bisa melihat kulitnya yang berwarna cokelat muda khas wanita Indonesia itu sudah agak kotor karena pupuknya. “Banyak universitas bagus di Jakarta. Kita punya UI di sini! Kenapa Kakak gak lanjut di sana aja?”

Gadis yang kupanggil ‘Kak Rani’ itu terkekeh pelan. “Kalau nilai aku masuk, ya, aku juga pilih UI,” jawabnya dengan nada suara tenang. Aku mendadak terdiam kemudian menyadari kebodohanku. Pemilihan universitas yang sangat berdasarkan kemampuan diri dan nilai jelas menghalangi jalannya untuk memilih universitas di Jakarta yang terkenal dengan nilainya yang tinggi-tinggi. “Lagipula nggak apa, kok. Merantau bakal jadi pengalaman baru buat aku. Mama sama Papa juga setuju.”

Hidup sendiri itu merepotkan, aku selalu mempercayai hal itu. Silakan bilang aku anak manja, tetapi aku memang tidak bisa membayangkan bagaimana hidup sendiri di kota asing selama beberapa tahun. Seminggu tidak berada di rumah saja rasanya rindu setengah mati, bagaimana dengan menahun?

“Emangnya kenapa Kakak kayaknya semangat banget untuk ngerantau?” Aku kembali bertanya. Aku belum menemukan kecocokan dari pendapatku dengan pikiran Kak Rani. Mungkin karena kita berbeda opini. Mungkin karena jarak usiaku dengan Kak Rani yang terpaut tiga tahun sehingga kami kurang bisa mencocokan isi otak.

Bibir Kak Rani membentuk senyum.

“Setidaknya aku bisa ngerasain bebas,” ucapnya. “Demi masa depan.”

Percakapan kami ditutup dengan Kak Rani yang izin untuk masuk ke dalam rumah karena ingin mandi sore. Aku hanya mengangguk sebelum mataku beralih untuk menatap punggung sempit yang mungkin tidak akan kulihat lagi untuk beberapa waktu ke depan.

Aku tidak mengerti jalan pikiran gadis tersebut, tetapi aku tahu bahwa aku selalu mengharapkan yang terbaik untuk Kak Rani.

.

Beranjak melentik kakakku Rani yang cantik

Jadikan masa depanmu menari

Ingat selalu pesan kedua orang tuamu

Jalani dengan hatimu yang tulus

   
“Aku pergi dulu, ya.”

Kak Rani tersenyum kepadaku. Aku bisa melihat ayahnya membawa kopernya masuk ke dalam mobil sementara gadis itu membawa ranselnya di punggung. Kerudung segi empatnya—yang biasa ia pakai hanya saat dirinya mau pergi—terpasang rapi di kepalanya. Dia hanya mengenakan kemeja lengan panjang dan celana kain biasa—terlihat nyaman.

“Berapa jam perjalanan, Kak?” tanyaku setelah aku melangkah keluar dari rumah. Tidak sopan bila aku tetap berbicara dari teras rumahku sedangkan Kak Rani sudah ada di depan gerbang rumahnya.

“Tiga jam,” jawab Kak Rani. “Naik pesawat.”

Aku meringis. “Lama juga,” komentarku. Aku memegangi besi pagar rumahku sambil tetap berusaha melihat ke arah gadis tersebut. “Hati-hati di jalan, ya, Kak. Awas pegel. Kalau pesawatnya goyang-goyang, nanti marahin aja pilotnya.”

Lawan bicaraku tergelak. “Iya, iya. Aman,” ujar gadis itu. “Aku berangkat ya!”

Aku membalas seruan Kak Rani dengan lambaian tangan ringan. Meski begitu, hatiku sedikit berat berpisah dengan anak perempuan yang sudah lama sekali kukenal itu. Dia hanya akan pulang setiap liburan kurasa.

Orang tuanya juga pasti berat berpisah dengan dirinya. Akan tetapi, aku bisa melihat wajah ayah dan ibunya tetap tersenyum sambil menatapnya dengan penuh kasih sayang. Pasti banyak harapan yang ditaruh oleh mereka berdua.

Aku pun ikut berharap. Harapanku tidak terlalu banyak ke gadis itu, aku hanya ingin dia kembali dengan selamat.

.

Dan jangan takut, jangan layu

Pada semua cobaan yang menerpamu

Jangan layu

Kami selalu bersamamu

Dalam derap, dalam lelap mimpi indah bersamamu

   

Aku tidak tahu apa yang terjadi kepada Kak Rani selama satu semester pertamanya di perantauan.

Begitu dia pulang untuk liburan pergantian semester, aku bisa melihat matanya yang biasa terlihat bersinar itu sedikit redup. Kelopak matanya juga tampak hitam dengan kantung yang tebal.

“Kakak pulang kapan?” Aku sedikit berbasa-basi. Aku baru saja pulang dari sekolah ketika menemukan tetanggaku itu sedang menyapu halaman rumahnya. Dari kejauhan tadi saja aku sudah bisa melihat bahwa tubuhnya lebih kurus daripada sebelumnya.

“Aku pulang kemarin,” jawab Kak Rani. Dia terlihat sangat lelah, tetapi dia mencoba untuk tetap tersenyum kepadaku. “Udah saatnya liburan.”

Aku berhenti di depan pagar rumahnya sebelum menyenderkan bahuku sedikit untuk melihat ke arah Kak Rani dengan lebih jelas.

“Istirahat yang cukup ya, Kak,” pesanku setelah terdiam lama dan hanya menatapnya.

“Iya.” Kak Rani menjawab lagi, tetpai kali ini singkat sekali. “Aku gak bisa istirahat sama sekali di sana, bakal bayar semua utang tidurku di liburan ini. Aku bakal hidup kayak beruang lagi hibernasi.”

Mendengar ucapan Kak Rani membuatku tergelak. “Ngelucu aja, Kakak. Mana bisa nggak istirahat sama sekali, pasti ada tidur juga, kan,” ujarku. “Aku juga pernah bilang kayak gitu pas mau UAS, nyatanya tetep aja aku banyak tidur.”

Aku tidak menduga reaksi berikutnya akan cukup mengerikan.

Kak Rani menatapku dengan nyalang sebelum dia berdecih. “Kamu tau apa soal perkuliahan,” katanya dengan nada yang tidak menyenangkan. “Gak usah sok tahu. Kamu masih anak SMA.”

Malamnya, aku memikirkan ucapan Kak Rani sambil terbaring di atas kasurku dengan sedikit gelisah. Apakah ucapanku menyakitinya? Apakah kehidupan perkuliahan memang seberat itu sampai mengubah Kak Rani, si tetangga paling ramah yang pernah kukenal, menjadi sangat tajam lidahnya kepadaku?

Aku merasa tidak enak sekali. Aku jadi menghindari untuk berbicara dengan Kak Rani sepanjang liburannya karena sangat takut menyinggung hatinya.

Begitu aku mendapat kabar dari mamaku bahwa Kak Rani akan pergi kembali ke perantauannya pada esok hari, aku kembali merasa menyesal. Aku berlari ke swalayan terdekat dari rumahku dan membelikan sebuah minuman dingin yang kutitipkan kepada ibunya—aku menyampaikan bahwa minuman itu sebagai permintaan maaf.

Besok siangnya sepulang sekolah, aku dikabari oleh mamaku kalau Kak Rani telah kembali ke daerah kampusnya. Aku bisa melihat sampah botol itu di tong sampah depan rumahnya. Aku tersenyum tipis, setidaknya Kak Rani menerima permintaan maafku meski aku tidak tahu apakah ia memaafkanku atau tidak.

.

Padamkan sekejap warna-warni duniamu

Saat kau mulai kehilangan arah

Nyalakan sekejap warna-warni duniamu

Saat berjalanmu kembali tegap

Tahun terakhir Kak Rani berkuliah adalah tahun pertamaku berkuliah.

Aku akhirnya menyadari mengapa Kak Rani selalu terlihat seperti manusia yang disedot seluruh sari-sari semangat hidupnya saat ia kembali ke rumah untuk liburan. Sedikit aku ceritakan saja, setelah pertengkaran kecil kami di hari itu, aku dan Kak Rani semakin jarang berbicara. Sayangnya lagi, aku tidak pernah punya nama akun media sosial Kak Rani sehingga kami bagaikan orang yang tidak saling mengenali lagi.

Hidup perkuliahan memang segila itu ternyata.

Sambil menatap kedua sepatuku yang telah kotor karena kegiatan ospek fakultas yang telah berlangsung selama berbulan-bulan itu aku mulai berpikir, apakah beban ini masih akan kurasakan di semester depan? Apa kampus akan terasa seperti neraka selama empat tahun ke depan?

Aku ingin menatap langit. Aku ingin mengucapkan rentetan kata maaf kepada Kak Rani karena menyinggung hatinya waktu itu. Kak Rani benar. Saat itu, aku hanya anak SMA dan seharusnya tidak membandingkan kehidupan SMA dengan kuliah karena jauh berbeda.

Apakah Kak Rani sudah bisa kembali tersenyum cantik seperti biasanya? Kata orang-orang, semakin tinggi semesternya semakin berkurang juga bebannya. Apakah Kak Rani mengalami hal yang serupa?

Aku selalu menginginkan Kak Rani untuk mengalami hal yang baik-baik saja di dunia ini. Semoga hidup di perantauan sana tidak menghancurkan dirinya—mengubah dirinya menjadi seseornag yang semakin tidak aku kenal.

.

Mungkin semua ini

‘kan cepat berakhir

Semoga semua ini

Adalah persinggahan sementara mimpimu

  

“Kak Rani.”

Rasanya anak laki-laki di depannya itu jauh berbeda dari ingatan Rani terakhir kali. Yang ia hanya bisa ingat kembali adalah seorang pelajar SMA dengan seragam yang sedikit berantakan dan sorot mata penasaran di matanya, bukan sesosok pemuda dewasa dengan bahu tegap dan kesan mapan terpancar darinya.

“Adit?”

Pemuda itu mengangguk cepat. Langkahnya besar-besar ketika berjalan ke arah Rani, seikat bunga di tangannya bergoyang.

“Selamat karena udah resmi jadi dokter, Kak.” Bunga itu disodorkan ke arah Rani. Tangan Rani sedikit kaku ketika menerimanya, rasa terkejut membasuh dirinya. “Akhirnya aku punya tetangga dokter juga, hehe.”

“Kamu ngapain di sini? Ini jauh banget, lho.”

“Aku ke sini sama Tante, kok.” Pemuda itu menyeringai jenaka dan Rani menyadari bahwa sosok di depannya ini mungkin masih sama dengan anak yang ia kenal; tetangganya yang hobi sekali bertanya ini-itu kepadanya sedari kecil. “Aku mau lihat role model-ku secara resmi jadi ibu dokter yang bakal jadi role model orang lain juga.”

Rani tidak mengerti kenapa pemuda ini, Adit, mengucapkannya dengan sangat ringan—seolah mereka tidak mendiamkan satu sama lain selama bertahun-tahun. Seolah Rani tidak pernah bersalah karena merasa tersinggung dengan ucapan bocah SMA waktu itu. Seolah Adit tidak pernah menatapnya takut-takut ketika Rani tengah berlibur.

Role model apanya.” Rani sebenarnya ingin menangis terharu. “Cuma jadi dokter.”

“Cuma jadi dokter?! Kak Rani sampai jauh-jauh ke luar kota demi jadi dokter, ninggalin aku sendirian jadi satu-satunya anak gede di daerah rumah ketika yang lainnya masih SD!” Adit terdengar tidak terima. Rani tergelak, dia membiarkan satu air mata menetes di sudut matanya. “Tapi nggak apa-apa. Karena aku tau Kak Rani juga lagi berjuang, aku juga berjuang, Kak.”

Rani mengadah sedikit untuk menatap Adit yang tersenyum kepadanya.

“Kamu udah sarjana?”

“IPK 3,8 dalam waktu empat tahun pas. Cum laude.” Wajah Adit tampak bersinar ketika mengatakannya. “Karena Kak Rani udah jadi dokter, aku juga mau nemenin Kakak sebagai Sarjana Ekonomi.”

Rani sungguh berterima kasih kepada Tuhan karena telah memberikannya tetangga merangkap sahabat yang sangat baik seperti Adit di dalam hidupnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top