Racun

Song : Madu dan Racun by Arie Wibowo (1985)

“Aku ingin kau menghamiliku.”

Aku tidak tahu, apakah ada wanita yang pernah meminta seorang pria untuk menghamilinya, seorang pria yang bukan suaminya, bukan kekasihnya dan bukan ... kenalannya. Meminta orang asing, orang lewat, yang tidak dia ketahui kehidupannya, untuk menghamilinya. Aku yakin, tidak banyak jalang gila yang seperti itu. Mungkin, hanya aku satu-satunya.

“Untuk?”

Aku justru terperangah dengan tanggapannya yang biasa-biasa saja. Seolah apa yang aku minta hanyalah sepotong kue untuk dicoba.

“Ingin,” jawabku cepat. Aku menurunkan tatapanku, takut dia akan tahu bahwa aku memiliki sedikit keraguan.

Dia tertawa.  Suaranya tajam dan sangat maskulin. Ada serak-serak basah yang bisa kutangkap saat mendengar tawanya.

“Benar hanya itu?” Senyumnya lenyap seketika, berubah dengan cepat menjadi tatapan predator yang bermain dengan mangsanya sebelum makan.

Aku merasa rambut belakangku meremang. Pria itu mengeluarkan aura mencekam yang berbahaya. Seluruh tubuhnya menunjukkan gelagat tidak menyenangkan. Aku rasa sikap santainya yang tadi hanyalah sebuah kamuflase belaka. Maka tanpa menjawab, aku berbalik pergi, berusaha meninggalkan dia yang sedang sibuk menyesap wiski di meja bar.

“Ingin pergi setelah kau menawarkan sesuatu yang sangat bagus padaku?”

Tangan kuat itu menangkap lenganku dengan sigap. Aku terkesiap, bukankah dia akan menolak tawaranku?

“Apa kau mengenalku?” Dia berbisik dengan mata tajam menatapku.  Tubuhku menegang tanpa sadar, seolah-olah itu adalah respon alamiku terhadap predator.  "Kau pasti mengenalku."  Suara maskulin yang menawan itu telah lenyap dari pikiranku.  "Wijono, kan" Dia terkekeh, membuat bahuku semakin merosot. "Apa yang kau rencanakan dengan menggunakan benihku padanya?"

“A-aku ... tidak!  Sungguh, tidak!  Lupakan apa yang—” Aku menggelengkan kepalaku dengan kuat, mencoba melepaskan diri, tapi pria itu mencengkeram lenganku lebih erat.

"Aku hanya ingin tahu, jangan takut."  Dia tampak tersenyum.  Sepertinya.  "Jelaskan perlahan."  Dia menarikku untuk duduk di kursi kosong.  Menuangkan segelas wiski yang tidak kusuka dengan mata yang terus bersinar seolah menilaiku dari atas ke bawah.  Ketika botol wiski yang dia pegang mengeluarkan suara keras setelah berbenturan dengan meja bar, dia melirik ke bartender di belakang meja.  "Lupakan ini.  Beri dia lemon atau orange juice, atau apa pun yang bukan alkohol.” Setelah itu, pria itu sendiri yang menyingkirkan gelas wiski tadi. Untungnya, dia tidak lagi menatapku dan sibuk dengan semua itu. Saat itulah aku bisa bernapas lega.

Tubuhku gemetar hebat tatkala mata pria itu menyipit dengan fokus penuh padaku lagi. “A-aku ... ha-hanya ...” Aku memilin jari-jariku dengan gemetar. Bahkan mungkin keringat dingin di dahiku sudah benar-benar jatuh.

Bartender yang diminta untuk membuatkan minuman datang dan memberiku segelas jus jeruk.  Untuk sesaat aku berharap dia akan mengganggu sedikit lebih lama.  Namun nyatanya, dia hanya berada di sana tidak lebih dari lima belas detik.  Bartender itu pria yang cepat bergerak.  Kalau saja aku adalah bosnya, dia bisa mendapat banyak bonus. Tapi saat ini, sebagai pelanggan yang kurang puas, aku menilai dia sangat buruk.  Sangat menjengkelkan. Tidak bisakah dia lebih lama dari lima belas detik?

"Sepakat."  Dia tersenyum dengan tampilan yang sangat lembut kali ini.  "Bagaimana kalau kita mulai ... malam ini?"  Matanya menyipit, dan suara yang penuh pesona telah kembali.

Aku hanya bisa melongo mendengarnya. Maksudku, apa dia tidak tertarik dengan alasanku datang dan memintanya untuk ... yah, itu. Untuk itu.

Dia tertawa, seolah membaca pikiranku yang kusut. “Jelaskan itu nanti.” Dia meraih kunci mobil di atas meja bar, dan sebelum melangkah dia menunduk di telingaku. “Saat kita tinggal berdua.”

***

Aku memakai sabuk pengaman dengan patuh.  Di kursi kemudi, pria itu duduk dengan tenang saat mengemudikan mobil mewahnya di jalanan.  Seperti tampilan luarnya, isi mobilnya juga terlihat mewah dan elegan.  Persis seperti yang aku pikirkan sebelum masuk ke mobil, semua yang ada di sana hampir membutakan mataku.  Keluargaku cukup kaya, tapi gaya BMW yang sporty ini cukup membuatku takjub.  Ada harga, ada kualitas.  Dan pria itu tahu bagaimana melihat segalanya.

Apakah dia juga tahu melihat niat hatiku ?Mungkin itu sebabnya dia tidak terlalu penasaran dengan alasan aku mengajaknya melakukan hal gila?

Mobil berhenti di seberang jalan, tidak jauh dari kawasan hotel berbintang.  Saat aku menyadarinya, aku mencengkeram sabuk dengan kuat.  Keheningan di antara kami sejak kami keluar dari club sudah cukup menambah rasa canggung di pikiranku.  Haruskah aku mundur setelah hampir mencapai tahap ini?

“Di depan sana ada hotel.” Suaranya memecah hening, tanpa menoleh padanya, aku hanya menanti kalimat selanjutnya dengan debaran kuat di jantungku. “Semua akan berubah saat kau melangkah masuk bersamaku.” Dia terdiam, membuat suasana di antara kami semakin aneh. “Tidak ada jalan pulang setelahnya.” Kalimat terakhirnya adalah bisikan dengan rasa teror yang menakutkan.

Tidak ada jalan pulang. Aku mengulangi kata-kata itu seperti membaca mantra sihir untuk menguatkan tekadku.

“Ya.” Jawabanku juga terdengar seperti bisikan. Bedanya, penuh tekad dan rasa kemenangan.

Tiba-tiba, dia tertawa.  Aku menatapnya dengan bingung.  Namun berkat tawanya, suasana aneh yang kurasakan lenyap.  Di sela-sela tawanya, aku mulai memperhatikan suara radio yang berasal dari dalam mobil.  Cukup aneh untuk menyadarinya setelah beberapa menit aku duduk di sana.

Engkau yang cantik
Engkau yang manis
Engkau yang manja
Selalu tersipu, rawan sikapmu
Di balik kemelutmu

“Ini lucu. Lagu ini menyindirku sekarang.” Pria itu memaksa berbicara di antara gelak tawa anehnya. Dia memandangku sesekali dengan tawa yang kian melengking. Mobil itu dipenuhi suara Arie Wibowo yang lucu dan suara tawanya. “Aku sedang duduk dengan wanita cantik ...”

Di remang kabutmu
Di tabir mega-megamu
Kumelihat dua tangan
Dibalik punggungmu

“... dengan tangan dibalik punggungnya.” Tawa itu lenyap seketika, berganti dengan tatapan predator yang sempat kulihat di club.

Madu di tangan kananmu
Racun di tangan kirimu

Lagu sialan! Kenapa juga radio ini harus menyiarkan lagu Arie Wibowo yang ini?? Mereka bisa memutar yang lain di tengah malam seperti ini!

Aku tak tahu
Mana yang akan kau berikan padaku

Pria itu menatapku datar, dan aku bingung untuk mengartikan tatapannya. Seolah lirik lagu itu menjawab setiap keanehan dalam tatapannya padaku.

Aku tak tahu
Mana yang akan kau berikan padaku

Pria itu bangkit dari kursinya, menyudutkanku. Aku membeku sesaat sebelum akhirnya berusaha melebur, bersatu dengan kaca jendela mobilnya.

“Yang mana yang akan kau berikan padaku?”

Keringat di dahiku mulai menetes. Pendingin mobil sepertinya tidak mempan mengempaskan hawa panas yang kulitku rasa. Meski begitu, pendingin mobil tetap berhasil membuat kedua kakiku yang tidak tertutup kain—karena malam ini aku hanya menggunakan gaun selutut—membeku seperti es batu.

Engkau yang cantik
Engkau yang manis
Engkau yang manja
Selalu tersipu, rawan sikapmu
Di balik kemelutmu

Suara Arie Wibowo yang seharusnya terdengar merdu, malam ini rasanya terdengar menyeramkan. Apakah dia seolah-olah ingin memprovokasinya? Apa dia tahu, aku memang tidak datang dengan niat kecil?

“Jawab aku!” Pria itu memukul kaca jendela dengan keras. Aku tersentak, dan hanya bisa menciutkan tubuhku dengan gemetar. “Apa yang Wijono perintahkan, sampai-sampai putrinya sendiri yang harus datang padaku?” 

Udara dingin perlahan meniup tekukku.  Rasanya tubuhku seperti di terpa angin tornado yang melumat jantungku.  Jangankan menjawab, bahkan untuk bernafas pun terasa sangat sulit.  Kemarahan pria itu telah mencuri semua oksigen di dalam mobil.

Di remang kabutmu
Di tabir mega-megamu
Kumelihat dua tangan
Dibalik punggungmu

Pria itu menunduk, meniup telingaku dengan napasnya yang memburu. “Apa yang kalian rencanakan?” Ancaman di nada suaranya mencekik nyaliku. Aku memejam mata dengan kuat dan berharap sebuah truk akan melintas dan menabrak mobil ini, lalu aku tidak akan terjebak lebih lama bersama predator buas yang lapar itu.

“Jawab aku, sialan!” Dia berteriak. Demi Tuhan, jika aku tahu dia akan sangat berbahaya ketika marah, aku tidak akan berani menemuinya.

Setelah teriakannya itu, ada keheningan panjang yang terjadi. Terlepas dari suara tarikan napasnya yang kuat, suara Arie Wibowo masih mengudara ...

Madu di tangan kananmu
Racun di tangan kirimu

“Nurmala Putri Wijono.” Pria itu menyenandungkan namaku seperti sebuah doa sebelum makan malamnya. “Apa kau akan memberiku tangan kananmu? Atau ...”

Aku merasa tekukku meremang. Pria itu menundukkan kepalanya semakin dalam ke tekukku.

“... tangan kirimu?”

Aku tak tahu
Mana yang akan kau berikan padaku

Aku ketakutan mendengar setiap kalimatnya. Tanpa malu-malu, aku menangis dengan kuat. Selain karena aku sudah sangat takut, aku berharap dia akan bersimpati, meski sedikit.

Dia seolah memberiku waktu untuk menangis. Pria itu kembali ke kursinya.

“A-aku hanya ingin membuat papaku terkena serangan jantung. Itu saja,” ucapku di sela tangis. “Ji-jika dia tahu aku hamil ... di luar nikah ... dari pria yang ....” Aku tidak bisa melanjutkan kalimatku. Terlalu memalukan rasanya. Sekaligus, terlalu kentara jika niatku sama sekali tidak penting dan menguntungkan buatnya.

Keheningan menyelimuti kami. Pria itu mematikan mesin mobilnya, membuka jendela dan membakar sebatang rokok sigaret putih. Suara penyiar radio yang humoris terdengar seperti asap tipis yang perlahan memudar. Suasana jalan semakin sepi. Aku tidak yakin, apakah malam ini akan berakhir dengan baik-baik saja atau tidak.

“Pulanglah.” Pria itu berbicara setelah setengah batang rokoknya terbakar habis. Dia membuang sisanya sembarangan dan menyalakan mesin mobil. Tanpa menunggu sahutanku, mobil telah melaju ke arah yang berlawanan dengan tujuanku.

Kami menghabiskan waktu dalam diam. Hanya kalimat suruhan tadi yang benar-benar tersisa di udara. Aku masih merasa gemetar. kakiku sepertinya tidak dapat berpijak seandainya saja aku sedang berdiri. Aku tidak tahu ke mana pria itu membawaku. Apakah benar-benar membawaku pulang atau ke tempat yang berbeda. Tapi jawabannya kutemui setelah mobil mewah itu berhenti di depan pagar hitam yang menjulang tinggi, kokoh dan tampak angkuh. Itu rumahku, nerakaku. Di sana Wijono yang berkuasa mencekik hidupku.

Udara dingin dari pendingin mobil menerpa kulitku, dan membuatku kembali bertekad. “Aku tahu, kau pasti merasa dipermainkan. Tapi aku—“

“Aku bukan Wijono.” Pria itu memandang pagar hitam dengan pandangan datar. Suaranya lesu dan sama sekali tidak berbahaya seperti sebelumnya.

“Aku bisa membayarmu!” Keberanianku tersulut. Seolah tadi bukan aku yang meringkuk takut menghadapi amarahnya. “Aku bisa memberimu warisan—“

“Aku tidak bisa menghamili adikku sendiri.” Dia menatapku dengan sendu, ada jejak kerinduan yang dalam di matanya.

“Apa?”

Dia tersenyum, terlalu tipis sampai aku pikir itu bukan senyuman. “Herman, pria yang selalu merebut bisnis Wijono, kau tahu aku, kan? Sebenarnya, aku adalah putra dari Widya, wanita yang diperkosa Wijono.” Dia diam, mungkin untuk memberiku ketenangan agar aku bisa mencerna segalanya dengan cepat. “Ibuku bukan hanya diperkosa olehnya. Tapi dia juga melahirkan benih haramnya. Ibuku menjadi gila karena melahirkanku. Aku dibuang di panti asuhan. Lalu, dia meninggal karena bunuh diri setelah setahun di Rumah Sakit Jiwa. Dan ... identitas inilah yang membuatku marah pada Wijono.”

“Ta-tapi, kau ... kau selalu mengganggu Papa ... dia membencimu. Ka-kalau begitu ... kau anaknya, jadi ... seharusnya ....” Aku terlalu terkejut. Sulit mencerna semuanya hanya dalam beberapa menit, apalagi hanya dengan penjelasan singkat.

Aku mendatanginya hanya karena aku pikir, aku bisa menjadi bagian dari rencana jahatnya pada Papa. Karena aku pikir, selama ini dia adalah saingan bisnis perusahaan detergen Papa. Untuk menghancurkan Papa, dia bisa memanfaatkanku. Tidak pernah aku sangka ....

“Memang sulit untuk diterima, Nurmala,” ucapnya lirih. Hal yang jauh dari nada bicaranya tadi. “Meski kau lahir dari rahim yang berbeda, aku tetaplah kakakmu. Dan aku bukan bajingan seperti ayah kita.”

Aku ingin tertawa. Situasi ini sangat konyol. Aku mencari tahu dirinya, mendatanginya di Club malam ini, dan menawari diriku sendiri. Lalu, apa yang aku temukan? Selain kemarahannya yang mengerikan, aku mengetahui perbuatan tercela ... Wijono atau Papa, atau masih pantaskah aku memanggilnya ‘Papa’?

Aku mengusap wajahku dengan frustrasi. Aku hanya tahu Papa bajingan. Dia memiliki selusin simpanan, dan bahkan membawa pulang putri haramnya, membesarkannya dengan cinta dan perlahan melupakan keberadaanku. Aku tidak pernah menyangka akan menerima kenyataan terburuk dalam hidupku bahwa papaku lebih buruk daripada anjing liar di luar sana. Dia lebih hina dari binatang. Dia ....

“Pulanglah.”

Aku mendongak dan memandang wajahnya dengan lekat. Tanpa sadar, aku mengakui ketampanannya yang hampir mirip dengan foto wajah Papa di masa mudanya. Bagaimana mungkin aku tidak menyadari ini?

“Jangan menghancurkan masa depanmu.” Wajahnya mengeras. Dia tersenyum culas, hampir mirip bos mafia di film-film yang pernah aku tonton. Penampilan sang Predator itu telah kembali. “Kita bisa menyusun rencana balas dendam yang lebih menarik.”


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top